Headlines News :
Home » » Amerika; Teroris Teriak Teroris

Amerika; Teroris Teriak Teroris

Written By Musrin Salila on Jumat, 23 April 2010 | 06.19

Fakta Historis, Sebuah Prolog
Sebagai sebuah negara yang beridelogi Kapitalisme, AS memiliki kecenderungan kuat untuk terus mempropagandakan ideologinya dan berusaha untuk tetap menjadi lokomotif negara-negara yang ada di dunia. Kedigdayaan AS itu ditampakkan dalam bentuk propaganda kehebatan teknologi, informasi, militer, ekonomi, politik dan bidang-bidang kehidupan lainnya.

Semua itu hanyalah aksesoris untuk menutupi kebusukan ideology kapitalisme, kehancuran dan kebejatan kehidupan sosial mereka, dan keganasan nafsu imperialismenya yang tidak pernah pudar. Siapa yang menyangka bahwa AS ternyata juga kampium dalam kancah imperalisme. Untuk menjaga segala kepentingan dan eksistensinya di seluruh dunia, tidak jarang AS menggunakan metode klasik yang amat praktis, yaitu tekanan dan serangan militer terhadap siapa saja yang mengganggu dan menghalangi kepentingannya. Lembaga-lembaga Internasional semacam PBB, Mahkamah Internasional, Dewan Keamanan dan berbagai blok-blok internasional yang diciptakannya hanyalah alat legetimasi yang mendukung strategi dan tindak tanduknya sesuai dengan keperluannya. Jaringan media massa internasional yang dikuasainya menjadi sarana canggih untuk menciptakan opini internasional yang menghantam musuh-musuhnya dan menjaga kepentingannya di luar negeri.

Salah satu istilah yang dihembuskan oleh AS untuk menjatuhkan citra musuh-musunya adalah AS menciptakan stigma teroris kepada setiap negara atau sebuah komunitas yang melawan terhadap kebijakan politik AS --yang merupakan koalisi dan kolaborasi pengusaha-pengusaha yang menghasilkan penguasa--. Namun, siapa saja yang mengkaji kiprah AS dalam kancah pergaulan internasional selama ini, segera dapat menyimpulkan, bahwa sesungguhnya teroris yang sebenarnya justru adalah AS sendiri.
Begitu AS berhasil memerdekakan diri dari cengkraman Inggris, tidak kurang dari 216 kali --atau bahkan lebih-AS mengirimkan pasukan-pasukan militernya ke luar negeri dan melakukan operasi militer dengan dalih untuk menjaga keamanan dan perdamaian dunia padahal sejatinya ada udang di balik batu bahwa semuanya hanya demi memenuhi nafsu imperialismenya. Pasca PD II saja, AS telah mengintervensi lebih dari 20 negara di seluruh dunia diantaranya Yunani (1947-1949/ 2 tahun), Italia (1948), Korea (1950-1953/3 tahun), Guatemala (1954), Kongo (1960), Kuba (1961), Vietnam (1969-1975/6 tahun), Laos (1961-1975/14 tahun), Dominika (1965), Kamboja (1969-1971/2 tahun), Chili (1973), Granada (1983), Panama (1989), serta beberapa negeri-negeri Islam seperti Iran (1953) Libanon (1958 dan 1983), Libia (1986), Irak (1991, 1993 dan 1998-1999), Somalia (1991-1992), Sudan (1998) Serbia (1999) Afghanistan (1998 dan 2001-sekarang), Indonesia (sebentar lagi?).
Sejak Angkatan Darat AS menyembelih 300 orang Lakota pada 1890, AS telah melakukan operasi militernya lebih dari 100 kali. Hal ini menunjukkan ambisi AS untuk menguasai dunia dalam rangka untuk menjaga eksistensi dan kepentingan-kepentingannya, sekaligus menggambarkan imperalisme AS yang amat vulgar. Sejumlah oprasi militer yang telah dilakukan AS (lihat : al-waie no. 07. tahun I, Maret 2001) belum termasuk upaya-upaya AS untuk menempatkan pasukan keamanannya di berbagai belahan dunia, pengerahan armada, kapal induk maupun kapal selam bertenaga nuklirnya, dukungan pasukan tambahan ke berbagai kamp, pilot-pilot tempur sewaan yang berasal dari AS, keberadaan para penasehat militer, serta sejumlah operasi rahasia atau latihan milter yang tidak secara langsung berada di bawah kontrol militer AS.

Di luar itu semua, sejak PD ke-II, AS telah menjatuhkan bom atas 23 negara di dunia, membunuh jutaan penduduk sipil tak berdaya, serta meluluhlantahkan kawasan peperangan -sebagaimana yang terjadi dalam PD ke-II, Perang Korea, Perang Vietnam, dan Perang Teluk.
AS juga bertanggung jawab atas usaha kudeta lebih dari 20 kali di seluruh dunia dan memasang penguasa-penguasa boneka yang pro AS. CIA, dalam hal ini adalah pihak yang bertanggung jawab dalam banyak pembunuhan politik guna meraih tujuan-tujuan tersebut. Di samping itu, AS melakukan imperialisme dalam bidang ekonomi, politik dan budaya yang nyaris tak terbendung oleh negara-negara lain. Semua itu dalam rangka menjaga kepentingan-kepentingan AS dan menjaga eksistensinya di seluruh dunia. Begitulah yang ada dalam hitungan mengenai keculasan dan kebuasan AS untuk menguasai dan mengeskplotasi sumber daya dan sumber alam negara-negara lain, utamanya negeri-negeri Islam yang amat kaya. AS tetap akan menggunakan imperialismenya meski berganti topeng, tapi seribu topeng yang digunakanpun kalau kita muslim dan paham bahwa ideology kapitalisme-sekularisme yang imperialistic adalah ideology yang fasad.

Terorisme : Tak Sekedar Stempel AS bagi Musuhnya
Terorisme, dalam bahasa Arab, identik dengan kata al-Irhab -mashdar yang merupakan musytaq (pecahan kata) dari fi'il (kata kerja) arhaba. Maknanya adalah "menciptakan ketakutan" (akhafa), atau "membuat kengerian/kegentaran" (fazza'a). (lihat : Abdul Qodim Zallum, Persepsi-Persepsi Berbahaya, PTI, 2000). Makna bahasa ini terdapat dalam firman Allah SWT :
" …. (yang dengan persiapan itu) kalian menggetarkan musuh Allah dan musuh kalian …" (TQS. al-Anfal : 60).

Akan tetapi, makna bahasa ini telah mengalami transformasi makna sehingga menjadi terminology (istilah) yang baru. Dinas Intelejen Amerika dan Inggris, dalam sebuah seminar yang diadakan untuk membahas makna terorisme pada tahun 1979, telah menyepakati bahwa Terorisme adalah "Pengunaan kekerasan untuk melawan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politis".
Setelah seminar itu, diselenggarakanlah berbagai konferensi dan seminar Internasional, serta ditetapkan berbagai hukum dan undang-undang untuk mebatasi aksi-aksi yang dapat digolongkan sebagai terorisme. Berbagai hukum dan undang-undang dibuat untuk menerangkan kategori berbagai gerakan, kelompok, dan partai yang melakukan aksi terorisme ; serta untuk menentukan negara mana yang mensponsori terorisme. Semua aturan ini, menurut klaim mereka, adalah dasar untuk mengambil sejumlah tindakan yang diperlukan guna memerangi terorisme dan membatasi gerak-geriknya.
Dari tinjauan global terhadap berbagai undang-undang dan hukum yang berkaitan dengan terorisme, tampak jelas bahwa semua peraturan itu ternyata tidak mendalam dan tunduk pada orientasi politik dari negara-negara yang membuatnya. Sebagai contoh, kita melihat AS menganggap pembunuhan Indira Gandhi sebagai aksi terorisme, sementara pembunuhan Raja Faisal dan Presiden Kennedy tidak dianggap aksi terorisme. AS juga mencap pemboman gedung kantor Penyelidikan Federal di Oklahama beberapa tahun lalu sebagai aksi terorisme, akan tetapi ketika terbukti, pelakunya adalah kalangan milisi AS sendiri, pemboman yang semula dianggap aksi terorisme kemudian hanya dianggap aksi kriminal belaka.

AS secara khusus menyifati sebagian gerakan sebagai "gerakan perlawanan rakyat", misalnya gerakan revolusioner Nikaragua (Zapatista), Tentara Pembebasan Irlandia (IRA) dll. Para anggota dari gerakan ini, ketika ditangkap, diperlakukan sebagai tawanan perang sesuai dengan Protokol nomor 1 tahun 1977 yang ditambahkan pada Konvensi Genewa. Akan tetapi, AS menyifati setiap gerakan yang bertentangan dengan kepentingan AS atau kepentingan agen-agen AS sebagai gerakan terorisme. Nama gerakan tersebut pun kemudian dicantumkan dalam daftar organisasi teroris yang dikeluarkan secara periodik oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Yang terakhir yang dimasukkan sebagai gerakan teroris internasional adalah al-Qaida dan jaringannya dengan Osama bin Laden sebagai bos besarnya (lihat : Departemen Luar Negeri Amerika, Kampanye Anti Terorisme, edisi Indonesia).

Sejak decade 70-an, AS memang telah merekayasa opini umum internasional dan regional (di Amerika) untuk melawan terorisme, seperti yang kita lihat, dan melawan orang yang dicap sebagai teroris. Amerika telah mengeksplotasi aksi-aksi yang dilakukan untuk merealisasikan target-target sipil, baik yang dilakukan oleh berbagai gerakan politik atau gerakan militer yang tidak mempunyai hubungan dengan Amerika ataupun tidak mempunyai hubungan dengan Amerika (CIA). Banyak dokumen yang menerangkan bahwa aksi-aksi yang dicap sebagi aksi terorisme sebenarnya didalangi intel-intel CIA sendiri. Seperti pembajakan pesawat TWA di Beirut pada awal tahun 80-an lalu. Amerika telah mengkesploitasi peristiwa peledakan gedung al-Khubar milik Amerika di Saudi, dengan memaksakan rekomendasi yang berkaitan dengan upaya memerangi terorisme pada Konforensi Negara-Negara G-7 yang diselenggarakan di Prancis tahun 1996. Amerika juga memanfaatkan peledakan Gedung WTC di New York dan Markas Pertahanan AS Pentagon di Washington -bahkan sebelum diketahui siapa pelakunya-dengan mengeluarkan Undang-undang Perlawanan Terhadap Terorisme yang disetujui Senat Amerika.

Berdasarkan rekomendasi dan Undang-undang itu pula, Amerika dapat memata-matai orang yang dituduhnya sebagai teroris. Amerika berhak untuk mengungkap atau menculiknya. Amerika pun berhak menjatuhkan sanksi yang dianggap cocok baginya seperti penahanan, penyitaan, deportasi atau pencabutan kewarganegaraan, tanpa memberikan hak kepada pihak tertuduh untuk membela diri ataupun untuk hadir di hadapan pengadilan atau lembaga hakim juri. Seperti contoh, AS telah melakukan penahanan mantan pejuang Taliban ataupun al-Qaida dan menuduhnya sebagai penjahat perang, sebagaimana AS berhasil menggiring Slobodan Milosevic bekas pemimpin Serbia yang komunis itu ke Mahkamah Internasional.

Amerika lalu melakukan generalisasi sifat terorisme terhadap negara-negara yang merintangi kepentingan-kepentingannya seperti Korea dan Irak-yang disebutnya poros setan-, Cina, dan Libya; juga terhadap banyak gerakan Islam seperti Tanzhimul Jihad, Hammas, FIZ di Aljazair dan Jamaah Islamiyyah di Mesir. Serta menuduh juga beberapa orang seperti Osamah bin Laden, Faturachman al-Ghozi (Jamaah Islamiyyah), Abu Bakar Ba'syir (Majelis Mujahidin Indonesia) dll sebagai anggota jaringan terorisme internasional.

Amerika dengan kekuatan militer dan pengaruh politiknya untuk melakukan blokade ekonomi seperti yang dilakukan AS terhadap Irak dan Libya. Hal ini telah diungkapkan oleh Mantan Menlu Amerika George Schultz yang pernah menyatakan "Para teroris itu, bagaimanapun mereka berusaha melarikan diri, tetap tidak akan dapat menyembunyikan diri".

Karena Islam telah dinominasikan oleh AS untuk menjadi musuhnya setelah runtuhnya Komunisme, maka menjadikan negeri-negeri Islam sebagai wilayah 'sasaran tembak' terorisme adalah sangat tepat. Tujuannya adalah untuk mengukuhkan cengkraman Amerika di negeri-negeri Islam itu serta melestarikannya agar tetap berada di bawah hegemoni Amerika. Pasalnya, kaum muslim memang telah merintis jalan menuju kebangkitan untuk mengembalikan Khilafah, yang dalam paradigma ideology kapitalisme dengan AS sebagai gembongnya, Khilafah adalah sebuah kengerian yang mengancam eksistensi 'ketegaran' Kapitalisme dan impian buruk bagi AS dan sekutu-sekutunya.

AWAS, Politik Luar Negeri AS Berikutnya
Pasca tragedi 11 September 2001, memberi pengaruh cukup besar terhadap situasi politik internasional saat ini. Presiden AS, George W Bush pasca ledakan WTC dan Pentagon berpidato "America and our friends and allies join with all those who want peace and security in this world, and we stand together to win the war against terrorism"
Tak pelak lagi, hampir seluruh kepala negara-negara di dunia, termasuk penguasa-penguasa di negeri Islam, tunduk pada tuntutan AS. Perang melawan terorisme, telah menjadi kebijakan poltik luar negeri Negeri Paman Sam yang dominan.

Perang melawan terorisme merk Amerika ini, menjadi lebih dramatis dan seru karena dikampanyekan oleh AS dan konco-konco baratnya sebagai perang peradaban (lihat : al-waie, no. 15 tahun II, Nopember 2001), perang terhadap segala pihak yang ingin menghancurkan peradaban Barat (Kapitalisme) yang katanya "demokratis serta menghargai kebebasan dan nilai-nilai hak asasi manusia".
Amerika adalah sebuah negara ideologis. Negara yang dibangun atas dasar ideology kapitalisme. Politik luar negeri AS tidak bisa dilepaskan dari basis ideology kapitalisme ini. Secara mendasar dan global, inti politik luar negeri negara-negara kapitalis adalah penjajahan/imperialisme (lihat : Taqiyudin an-Nabhani, Mafahim Siyasi li Hizb at-Tahrir, ). Negara-negara kapitalis seperti AS, akan selalu menyebarluaskan ideologinya -kapitalisme- ke seluruh dunia dengan metode yang tetap, yaitu penjajahan. Penjajahan ini dilakukan dengan berbagai bentuk meliputi politik, ekonomi, militer dan budaya dan yang lainnya. Ini pula yang menjadi grand strategi politik luar negeri AS yang tidak pernah berubah.

Dalam format politik internasional AS, dua pilar paling mengemuka yang dijadikan kebijakan pokok negara adidaya itu adalah demokratisasi (lihat : Abdul Qodim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, Haram Menerapkan dan Memperjuangkannya, PTI, 2000) dan liberalisme ekonomi dunia (lihat : Abdul Qodim Zallum, Serangan Amerika untuk Menghancurkan Islam, PTI, 1999).

Dua pilar utama tatanan dunia yang ditawarkan AS ini jelas merupakan inti dari ideology kapitalisme yang memang sudah sejak lama diemban dan disebarluaskan oleh AS. Bagi AS, tegaknya dua pilar ini akan menguntungkan kepentingan mereka. Karena itu, tidak aneh jika AS demikian bersemangat menjajakan kapitalisme sebagai 'agama baru' di seluruh dunia.

"Jual" Jajan Kapitalisme-nya AS
Dalam bidang politik, untuk memperjuangkan kepentingan ideologinya, langkah pertama yang dilakukan AS adalah mengajak seluruh dunia untuk menjadikan kapitalisme sebagai standar, persepsi serta keyakinan yang berlaku di seluruh jagad ini. Untuk itu, AS melakukan internasionalisasi ideology kapitalisme sebagai asas interaksi dan UU internasional (lihat : al-waie no. 1 tahun I, September 2000) AS dan sekutunya kemudian membentuk PBB dan Piagam PBB, yang menjadi legitimasi dan alat kepentingan internasionalnya (lihat : al-waie no. 14 tahun II, Oktober 2001). Dari sana, dibuatlah Dewan Keamanan PBB dengan anggota tetap yang memiliki hak veto, yang dengan hak itu AS dapat dengan mudah menggagalkan segala keputusan yang dianggap bertolak belakang dengan kepentingannya, termasuk dalam hal ini memberi cap teroris atau bukan teroris.

Di bidang politik juga, berbagai aturan yang jelas-jelas bersumber dari ideology kapitalisme dibuat dan diinternasionalisasikan. Lahirlah, apa yang disebut dengan Declaration of Human Right atau Deklarasi Universal HAM tahun 1948. Deklarasi ini mencantumkan penjaminan atas kebebasan manusia, terutama kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan, dan perilaku. Internasionalisasi di butuhkan AS agar setiap tindak tanduknya di dunia internasional di amini meskipun sebenarnya hanya untuk national interest AS an sich.
Dalam lingkup dunia internasional, ada satu peristiwa besar yang mengubah kebijakan politik luar negeri AS yakni runtuhnya Uni Sovoiet. Ketika Soviet masih jaya, dunia diramaikan oleh dua kutub (bipolar) yang disebut-sebut sebagai Cold War. Akan tetapi setelah Soviet runtuh, sekitar tahun 1991, tatanan dunia menjadi unipolar. Kekuatan dunia hanya didominasi oleh satu kekuatan saja yaitu Blok Kapitalis dengan AS sebagai maha gurunya. Pangkalnya, AS dengan keserakahan kapitalismenya, ingin lebih memperkuat jajahannya atas negara-negara lain. Kemudian muncullah rancangan The New World Order (Tatanan Dunia Baru) yang merupakan keinginan AS agar menjadikan seluruh dunia tunduk kepada AS dan mengikuti seleranya (lihat : al-waie no. 18 tahun II, Februari 2002).

Salah satu perubahan penting lain dari politik luar negeri AS pasca Perang Dingin adalah dimunculkannya kampanye Perang Melawan Terorisme, terutama sejak peristiwa 11 September. Meskipun pada masa Perang Dingin, isu terorisme bukan merupakan hal baru, namun sekarang, ia telah menjadi agenda bersama negara-negara Barat dan pengikut-pengikutnya. Apalagi perang ini kemudian dikampanyekan sebagai perang melawan pihak-pihak yang menentang peradaban dunia disebutnya perang membela demokrasi dan HAM.

Dengan alasan (demokrasi dan HAM) itu juga digunakan untuk menjatuhkan negara-negara atau kelompok-kelompok yang mengancam kepentingan AS. Hal ini tampak dari sikap kepada Iran, Sudan, Irak, Afghanistan, atau kepada kelompok-kelompok Islam. Sudah sangat sering AS menggunakan alasan ini untuk menjatuhkan pemerintahan yang tidak lagi dianggap mampu menampung aspirasi kepentingan Amerika seperti kejatuhan Marcos di Filipina, Soeharto dan beberapa Presiden RI. Cara itu bisa dilakukan secara halus maupun transparan; lewat berbagai pernyataan (baca: demonstrasi) serta berbagai bantuan kepada kelompok oposisi atau LSM.
Sementara isu HAM dan Demokrasi tidak pernah digunakan, kalau seandainya tidak menguntungkan kepentingannya. Contohnya adalah perlindungan membabi-buta AS atas Israel yang jelas-jelas melanggar demokrasi dan HAM dan pantas disebut teroris; reaksi AS yang cenderung mendukung pemerintahan Aljazair, padahal FIS yang sebenarnya secara 'demokratis' menang dalam pemilu disana; diamnya AS terhadap fakta pembantaian rakyat muslim oleh pemerintahan dukungan AS di berbagai negara dan daerah seperti pembantaian suku Kurdi oleh Turki, penindasan pemerintahan Filipina di Moro, penekanan Thailand terhadap Pattani; termasuk pembantaian di Aceh, Ambon, Tanjung Priok dll.

Dalam serangannya ke Afghanistan, yang katanya untuk mempertahankan demokrasi dan kebebasan dunia, justru sebaliknya. AS justru banyak melanggar demokrasi dan HAM. Jika memang AS menyerang terorisme demi kebebasan, lalu mengapa pemerintahan AS menyensor wawancara dengan Osama bin Laden di Jaringan TV satelit al-Jazeera? Mengapa pula AS menekan VOA dan CNN untuk menutupi informasi tentang al-Qaida? Demikian juga jika AS mendukung demokrasi, mengapa AS mendukung Jenderal Musharaf yang jelas diktator dan tidak terpilih secara demokratis? Mengapa selama ini AS mendukung Soeharto, Marcos, Penguasa Saudi, Penguasa Kuwait dan pemerintahan diktator lainnya? Mengapa pula AS membela mati-matian Israel, yang jelas-jelas banyak melakukan pelanggaran HAM?

Sesunguhnya masih banyak pertanyaan yang tidak sempat terangkai menyusul keculasan AS mengegolkan ideology kapitalismenya. Dari sederet pertanyaan itu sungguh jawabannya hanya satu, yakni kepentingan inti AS adalah ekonomi. Dalam kenyataanya, mereka menggunakan ide demokrasi untuk menutupi kepentingan politik dan kebobrokan system ekonomi kapitalis. Karena itu, untuk mejauhkan agar masyarakat semakin terkelabui bahwa kapitalisme benar-benar bobrok, maka AS selalu membentuk opini bahwa suatu negara tidak modern kalau belum demokratis dan tidak menjunjung HAM ; inilah suatu bentuk pengalihan opini dan pemutarbalikan fakta.

Namun, ada satu pertanyaan yang mengganjal yang mungkin jawabannya masih simpang siur, seiring dengan kuatnya opini yang diarahkan oleh Barat ke dunia Islam. Yakni pertanyaan, siapa yang mengebom WTC? Banyak informasi yang menunjukkan, bahwa upaya AS untuk menyerang Afghanistan, bukanlah semata-mata karena tragedy WTC, akan tetapi merupakan suatu yang dirancang sejak lama. Penyerangan atas Afghanistan juga sangat berbau ekonomi, mengingat negeri ini melimpah kekayaan alamnya serta daerah sekitarnya. Asia Tengah mengandung jumlah minyak yang belum tergali, sekitar 6,6 triliun kubik meter gas alam. Uzbekistan dan Turkemenistan -dua negara yang sekarang diobok-obok penguasanya yang antek AS dan Inggris dengan isu terorisme- merupakan penghasil gas terbesar di Asia Tengah. Perusahaan-perusahaan minyak dan energi dunia sekarang -dan sering jadi sponshor balap mobil F1 dan GP-tengah bertarung untuk menguasai daerah tersebut, perusahaan itu antara lain Enron, Amoco, British Petroleum, Chevron, Exxon Mobil dan Unocal.

Harian The Independent, menulis bahwa tahun 1997, sebagai penasehat bayaran bagi perusahaan Multinasional Unocal, utusan khusus AS sekarang ini (Khalizad) ternyata pernah bernego dengan pejabat Taliban untuk membangun pipa gas alam dan minyak (cari : astaga.com). Namun perundingan ini tidak mulus, dan Unocal menyimpulkan Taliban menjadi penghalang bagi ambisi ekonomi mereka, yang notabene Unocal adalah milik AS. Untuk itulah Presiden Bush dan keluarganya yang sejak dulu sangat erat dengan bisnis ini, dalam buku yang berjudul "Bin Laden : Kebenaran yang Terlarang", yang ditulis oleh Jean Charles (mantan agen rahasia dan penulis al-Qaida) dan Gullaume Dasqute (wartawan investivigatif), diungkapkan bahwa pemerintaha Bush pada awalnya, sebenarnya tetap ingin mempertahankan rezim Taliban, asalkan negara itu mau bekerjasama dengan sumber minyak di Asia Tengah. Karena Taliban menolak syarat-syarat AS, akhirnya dasar keamanan energi berubah menjadi keamanan militer.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa AS menggunakan perang melawan terorisme sebagai senjata kepentingan ekonominya? Boleh jadi, perang melawan terorisme ini merupakan alat yang paling cepat dan efektif. Dengan begitu, AS bisa masuk ke wilayah manapun di dunia ini dan menguasainya dangan alasan menyerang terorisme. Cara ini juga efektif untuk mengancam dan menundukkan negara-negara yang membakang terhadap AS. Tampaknya, AS melihat, semata-mata menggunakan instrumen ekonomi seperti IMF dan WTO tidaklah cukup dan terlalu bertele-tele.

Cara seperti ini juga sudah pernah dan masih lekat di ingatan kita ketika AS melancarkan serangan pada Perang Teluk II. Dengan mengorbankan banyak harta dan manusia, AS sekarang ini menikmati kemenangannya dalam Perang Teluk II, yakni minyak yang murah dari negara-negara kaya minyak di Timur Tengah seperti Saudi dan Kuwait. Dan kini mata kita tidak bisa dibutakan atas serangan AS dan bolo-bolonya berhasil memukul mundur pasukan Taliban, setelah itu apakah AS hengkang dari Afghanistan? Sembari terus memburu sisa pejuang Taliban dan al-Qaida, AS telah menempatkan agennya Hamid Karzae untuk menjadi pion yang bisa dikendalikan oleh AS (lihat : HTI, Naskah Khutbah Idhul Adha 1422, 2002).

Di sisi lain, kampanye anti terorisme ini efektif digunakan oleh AS dan pemerintahan negara-negara bonekanya untuk menekan dan melenyapkan setiap kelompok atau orang yang dianggap akan mengancam kepentingan penjajahan AS. Potensi ancaman kelompok anti AS di negara boneka ini cukup besar. Bagi AS, mematikan potensi itu sejak sekarang adalah lebih baik daripada membiarkannya menjadi besar.

Oleh karena itu, hampir tidak ada satu pun gerakan Islam yang ada saat ini, kecuali harus siap-siap dicap sebagai teroris oleh Amerika (termasuk Hizbut Tahrir). Cap ini pun bahkan tidak dapat dihindarkan oleh gerakan-gerakan dan partai-partai Islam yang sama sekali tidak menggunakan kekerasan untuk mencapai target-targetnya. Sebab, Amerika telah menganggap bahwa aktivitas semua gerakan, partai, atau negara yang menyerukan kembalinya Islam adalah aksi "terorisme" yang bertentangan dengan Undang-Undang Internasional. Selanjutnya, berdasarkan justifikasi ini dan berdasarkan ketentuan yang harus dijalankan oleh negara-negara penandatangan Undang-Undang Terorisme, Amerika dapat menghimpun kekuatan negara-negara tersebut di bawah kepemimpinannya untuk memukul berbagai gerakan, partai atau negara tersebut.

Menghancurkan Stigma, Membangun Opini
Stigma yang diberikan oleh Amerika dan negara-negara lain bahwa Islam adalah terorisme dan bahwa kaum muslim adalah para teroris sesungguhnya hanya predikat yang tendensius. Predikat itu tidak sesuai dengan fakta yang ada dan juga bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dari ajaran Islam. Allah Swt. Berfirman :
"Tiadalah kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" (TQS. al-Anbiya' 107)

"Kami telah menurunkan kepadamu al-Qur'an sebagai penjelas atas segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta sebagai rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim (TQS. an-Nahl 89)

Dari sinilah kaum muslimin -yang kini tengah berjuang mengembalikan Khilafah dan menjadi sasaran langsung dari langkah politik yang disebut dengan "melawan terorisme" -berkewajiban untuk membentuk opini umum Dunia Islam dan opini internasional. Carannya adalah dengan membongkar hakikat dari apa yang dinamakan Undang-Undang Terorisme -sebentar lagi Indonesia juga merealisasikannya dengan telah dibentuknya pengadilan ad hoc oleh Menkeh dan HAM Yusril Isra Mahendra-serta hakikat politik Amerika yang digunakan untuk menciptakan hegemoni atas dunia melalui undang-undang itu. Kaum muslim wajib membeberkan bahwa Amerikalah sebenarnya yang berada di balik aksi-aski terorisme yang banyak terjadi di dunia, meskipun tuduhannya dilemparkan kepada orang-orang Islam, dan mampusnya orang-orang Islam menerima hal itu dengan tanpa reserve.

Disamping itu, kaum muslim berkewajiban pula untuk menjadi representasi Islam dalam segala perbuatan dan tindakannya. Sebab, Islam mempunyai metode khusus untuk merealisasikan berbagai target dan tujuan diantaranya adalah melanjutkan kehidupan Islam dengan cara mendirikan kembali negara Khilafah (lihat : Konferensi ISNA, Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, PTI, 1998; Mengenal Hizbut Tahrir, 2001; Pembentukan Partai Politik Islam, 2000) yang bertumpu pada ash-shira' al-fikr dan al-kifah as-siyasi serta menjauhkan diri dari penggunaan senjata (kekerasan).

Kita juga wajib menjelaskan bahwa tugas Daulah Islamiyyah setelah berhasil didirikan tetap terikat dengan syariat, baik tugas dalam negeri seperti mengatur beraneka ragam urusan rakyat dan menerapkan hudud, maupun tugas luar negeri seperti mengemban risalah Islam melalui jihad fi sabilillah kepada seluruh umat manusia dan memusnahkan penghalang-penghalang fisik yang merintangi penerapan Islam.

Selebihnnya, kaum muslimin wajib pula menerangkan bahwa penerapan Islam oleh mereka sendiri ataupun untuk umat agama lain, tidaklah didasarkan pada hawa nafsu mereka untuk mewujudkan kepentingan pribadi mereka. Tetapi semata-mata karena menjalankan perintah Allah Swt. Sebab Allah-lah yang telah telah menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan ini. Allah pula yang telah menuntut manusia untuk menata hidupnya sesuai dengan hukum-hukum Islam yang diturunkan-Nya kepada Muhammad Rasulullah Saw.

Akhirnya, Rahmat yang telah dijanjikan oleh Allah jika kita benar-benar bisa menerapkan syariat Allah dimuka bumi ini akan tersampaikan. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara hukum yang berkaitan dengan sholat dan jihad, antara doa dan menggetarkan musuh, antara zakat dan pemotongan tangan pencuri, atau antara menolong orang yang dianaya dan menghukum mati orang yang melanggar kehormatan kaum muslimin. Sebab semuanya adalah hukum-hukum Islam semata yang wajib diterapkan oleh individu Muslim atau institusi negara, yang kemunculannya akan segera kita nikmati, Insya Allah, Amiin.
Wallahu alam bis showab.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template