Headlines News :
Home » » Keindahan Akhlak Nabi

Keindahan Akhlak Nabi

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 08.46

Perjalanan hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah merupakan momentum awal untuk kemenangan Islam dari masyarakat Jahiliyah. Melalui proses hijrah Nabi Muhammad SAW melakukan konsolidasi untuk membangun masyarakat Islam, yang berkeadilan. Cita-cita Islam adalah membe-baskan manusia dari penindasan atas nama suku, agama, ras, dan golongan. Islam hadir untuk memberikan rasa keadilan pada manusia.

 Hijrah, paling tidak, mempunyai berbagai aspek, aspek teologis dan sosiologis. Dari aspek teologis, hijrah merupakan peristiwa supranatural. Tuhan berperan secara langsung baik dalam penyiapan, perencanaan, maupun perlindungannya. Al-Quran mengisyaratkan peristiwa itu:

“Apakah mereka (kaum kafir Makkah) berkata, Kami adalah kelompok yang menang? Kelompok mereka itu akan dihancurkan, dan mereka lari terbirit-birit. Sungguh, saat itu akan datang sebagai janji kepada mereka, dan saat itu akan sangat menyedihkan dan sangat pahit (bagi mereka).” (QS. Al-Qalam/54:45-47). 

Ayat yang lain bahkan menggambarkan kemenangan Nabi Muhammad Saw setelah hijrahnya, dengan izin Allah.

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu melaksanakan al-Quran, akan mengembalikanmu ke tempatmu semula (Makkah)”. (QS. Al-Qashash/28:85).

Aspek teologis hijrah memang mempunyai landasan pendukung. Namun hijrah bukanlah semata-mata peristiwa teologis. Sisi sosiologis sejarah yang merupakan penguat hijrah, ditandai dengan meninggalnya paman Nabi SAW, Abu Thalib dan istri Nabi Khadijah; pengasingan kepada kaum muslimin dan penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan kafir Quraisy kepada kaum muslimin; dan perjanjian aqabah I dan aqabah II. Peristiwa-peristiwa ini memberikan landasan sosiologis kepada Nabi untuk melaksanakan hijrah.

***

Hijrah merupakan sebuah momentum untuk mengembalikan kepercayaan diri kaum muslimin terhadap ajaran yang selama ini diyakini dengan begitu banyak pengorbanan. Sejarah mencatat bagaimana sahabat Nabi seperti Bilal dan Salman al-Farisi yang disiksa kafir Quraisy karena keyakinan keislamannya.

Hijrah membentangkan sebuah harapan untuk membangun masa depan yang lebih baik. Sebuah tatanan masyarakat yang merupakan kemestian Ilahi. Hijrah merupakan perlawanan terhadap penindasan kekuasaan dengan melakukan pembinaan masyarakat pada tempat yang sesuai. Madinah, sebagai sasaran hijrah, merupakan kota perlawanan, kota perjuangan untuk merebut kemenangan.

Hijrah bukanlah pelarian karena ketakutan terhadap kematian, karena tidak mungkin Rasulullah takut terhadap kematian. Karena jika Rasulullah mempertahankan keberadaannya kaum muslimin di Makkah, maka ini akan menyulitkan kaum muslimin itu sendiri, yang waktu baru berjumlah 100-an orang. Rasulullah sendiri berhijrah setelah mempersiapkan kondisi psikologis dan sosiologis di kota Madinah dengan mengadakan perjanjian Aqabah I dan Aqabah II.

***

Mengembangkan makna hijrah untuk menarik relevansi kekiniannya, jelas tidak harus menggunakan parameter sosiologis sejarah jaman Rasulullah. Karena menarik sosiologi sejarah menjadi kemestian yang harus dilalui itu merupakan kemuskilan. Karena Rasulullah SAW telah tiada. Jadi memaknai makna hijrah saat ini adalah dengan menarik  peristiwa itu sebagai ibrah (pelajaran).

Jadi tidak ada salahnya jika belajar dari peristiwa hijrah untuk dijadikan pelajaran dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini. Sehingga krisis yang melanda bangsa ini tidak berkepanjangan.

Ibrah dari peristitwa hijrah dapat ditarik relevansinya dengan melihat persoalan-persoalan yang mengelayuti bangsa ini. Tidak dapat dipungkiri bangsa ini sedang dirundung krisis yang tidak kunjung selesai-selesai. Berbagai krisis yang menerpa bangsa ini bagai benang kusut yang untuk menyelesaikannya mengalami kesulitan yang luar biasa. Padahal bangsa ini sudah mempunyai be-gitu banyak orang pintar, tapi di sinilah justru letak kesulitannya. Karena kepintaran yang diiringi dengan egoisme justru memperuwet masalah. Apa-lagi jika kepintaran diiringi dengan nafsu kekuasaan dan kekayaan akan makin mempersulit penyelesaian.

Ada dua hal yang dapat ditarik kesimpulan dari peristiwa hijrah masa Rasulullah.

Pertama, siapnya kondisi sosiologis dari masyarakat Makkah dan Madinah, baik yang akan pindah dan yang menampung kepindahan. Kedua, adanya kepemimpinan yang memberikan rasa perlindungan dan keadilan pada kedua masyarakat itu, sehingga di Madinah tercipta suatu masyarakat madani. Yaitu masyarakat yang plural, inklusif, berkeadilan sosial dan demokratis.

Hijrah merupakan konsep yang harus dilakukan dalam konteks kondisi bangsa Indonesia yang sedang krisis. Dalam perjalanannya, wajah Indonesia, setelah lebih dari lima puluh lima tahun merdeka, ternyata tidak mengarah pada cita-cita awal pendirian bangsa ini. Banyak persoalan yang menggelayut menjadi agenda besar. Persoalan krisis sosial-ekonomi-politik kemudian berimbas pada disintegrasi bangsa. Tak ada kebanggaan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Dari pelajaran hijrah di atas, kita dapat simpulkan bahwa untuk membangun bangsa ini menuju cita-citanya —bangsa dengan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera — kita perlu menyiapkan beberapa hal. Prasyarat pertama mempersiapkan kondisi sosiologis yang mampu menerima ide-ide perbaikan. Kita perlu melakukan penyadaran kepada masyarakat baik di kalangan elite maupun akar rumput untuk menerima bahwa Bangsa Indonesia merupakan bangsa dengan beragam suku, agama dan budaya. Membangun kesadaran pada tiga hal ini haruslah dikembangkan pada segala lapisan masyarakat.

Kita perlu memberikan cara pandang pada masyarakat bahwa perbedaan suku, agama dan budaya bukanlah suatu sekat sosial apalagi sumber konflik sosial. Justru semua ini merupakan kekayaan bangsa yang harus dikembang-kan untuk membangun bangsa yang makin beradab. Semua perbedaan itu bukan menjadi media penghalang untuk mengembangkan kreativitas dan membangun persaudaraan antar sesama anak bangsa. Aset untuk saling mengenal antar sesama anak bangsa.

Sedangkan prasyarat kedua adalah membangun pemerintahan yang berwibawa; yang memberikan perlindungan hukum dan keadilan pada segenap lapisan masyarakat; yang tidak memandang keberadaan hukum hanya untuk masyarakat bawah, sedangkan lapisan elite terabaikan oleh kekuatan hukum. Penegakan supremasi hukum inilah yang akan memberikan wibawa kepada pemerintah.

Penundaan hukum terhadap segala tindak kejahatan kemanusiaan, bukan saja memberikan rasa ketidakadilan hukum di masyarakat tapi juga menimbulkan ketidakpastian hukum. Akibatnya, masyarakat mengambil langkah-langkah di luar jalur hukum, yang kemudian menimbulkan potensi konflik horizontal, resistensi kesukuan dan agama.   Seharusnya begitu terjadi peristiwa pelanggaran hukum, maka penegakan hukum harus ditindak. Karena jika sudah meluas proses penyelesaian secara hukum amat sulit sekali.

Membangun masyarakat yang beradab, berkeadilan dan demokratis yang menjadi cita-cita bersama sesama anak bangsa, tentu hanya menjadi sekadar harapan jika kemauan dari seluruh masyarakat khususnya elite masyarakat  tidak berkeinginan untuk memperbaiki keadaan. Alih-alih memperbaiki keadaan, bahkan justru mengambil keuntungan dari keadaan seperti ini

Ayat al-Quran yang paling sarat memuji Nabi Muhammad Saw adalah ayat yang berbunyi wa innaka la’alâ khuluqin ‘azîm, sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung.

Kata khuluq yang berarti akhlak secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan khalq yang berarti ciptaan. Bedanya adalah kalau khalq lebih bermakna ciptaan Allah yang bersifat lahiriah dan fisikal, maka khuluq adalah ciptaan Allah yang bersifat batiniah. Seorang sahabat pernah mengenang Nabi yang mulia dengan kalimat berikut kâna Rasûlullâh ahsanan nâsi khalqan wa khuluqan, bahwa Rasulullah Saw adalah manusia yang terbaik secara khalq dan khuluq. Dengan kata lain, Nabi Muhammad Saw adalah manusia sempurna dalam segala aspek, baik lahiriah maupun batiniahnya.

Kesempurnaan lahirah beliau sering kita dengar dari riwayat-riwayat para sahabat yang melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah misalnya mendeskripsikan sifat-sifat lahiriah Nabi seperti berikut:

"Nabi Muhammad Saw adalah seorang manusia yang sangat anggun, yang wajahnya bercahaya bagaikan bulan purnama di saat sempurnanya. Badannya tinggi sedang. Postur tubuhnya tegap. Rambutnya ikal dan panjang yang tidak melebihi daun telinganya. Warna kulitnya terang. Dahinya luas. Alisnya memanjang halus, bersambung dan indah. Sepotong urat halus membelah kedua alisnya yang akan tampak timbul di saat marahnya. Hidungnya mancung sedikit membengkok, yang di bagian atasnya berkilau cahaya. Janggutnya lebat. Pipinya halus. Matanya hitam. Mulutnya sedang. Giginya putih tersusun rapi. Dadanya bidang dan berbulu ringan. Lehernya putih, bersih dan kemerah-merahan. Perutnya rata dengan dadanya.

Bila berjalan, jalannya cepat laksana orang yang turun dari atas. Bila menoleh, seluruh tubuhnya menoleh. Pandangannya lebih banyak ke arah bumi ketimbang langit yang kebanyakannya merenung. Beliau mengiringi sahabat-sahabatnya di saat berjalan, dan beliau jugalah yang memulai salam."

Deskripsi para sahabat Nabi tentang sifat-sifat manusia yang agung seperti ini akan banyak Anda temukan di dalam kitab-kitab semacam Maulid yang lazim dibaca di tanah air kita, seperti Barzanji, Diba, Simthu ad-Durar dan sebagainya. Kita dibawa hanyut oleh para perawi tentang bentuk lahiriah Nabi, sesuatu yang meskipun indah dan sempurna, namun tidak menjadi fokus pandangan al-Quran terhadapnya.

Lalu, apa yang menjadi fokus pandangan al-Quran terhadap Nabi Saw? Jawabnya adalah khuluq-nya alias akhlaknya, seperti yang kita kutipkan ayatnya di atas. Apa arti akhlak? Kata Ghazâlî, akhlak adalah wajah batiniah manusia. Ia bisa indah dan bisa juga buruk. Akhlak yang indah disebut al-khuluq al-hasan; sementara akhlak buruk disebut al-khuluq as-sayyi’. Akhlak yang baik adalah akhlak yang mampu meletakkan secara proporsional fakultas-fakultas yang ada di dalam jiwa manusia. Ia mampu meletakkan dan menggunakan secara adil fakultas-fakultas yang ada di dalam dirinya: ‘aqliyyah, ghadhabiyyah, syah-waniyyah dan wahmiyyah. Manusia yang ber-akhlak baik adalah orang yang tidak berlaku ifrât alias eksesif dalam menggunakan empat fakultas di atas, dan juga tidak bersifat tafrît alias mengabaikannya secara total. Ia akan sangat adil dan proporsional di dalam menggunakan keempat anugerah Ilahi di atas.

Dengan kata lain akhlak yang baik adalah suatu keseimbangan yang sangat adil yang dilakukan oleh seseorang ketika berhadapan dengan empat fakultasnya di atas. Ia tidak ifrât di dalam menggunakan rasionalitasnya sehingga mengabaikan wahyu, dan juga tidak tafrît sehingga menjadi bodoh. Ia tidak ifrât di dalam menggunakan ghadhab atau emosinya sehingga menjadi agresor, namun tidak juga tafrît sehingga menjadi pengecut. Ia tidak ifrât di dalam syahwatnya sehingga menghambur-hamburkan nafsunya, namun juga tidak tafrît seperti biarawan/ti. Ia mampu meletakkannya secara proporsional sehingga ia membagi secara adil mana hak dunianya dan mana hak akheratnya. Kemampuan itu disebut dengan al-khuluq al-hasan.

Orang yang menyandang sifat ini di kedalaman jiwanya sudah pasti akan memantulkan suatu bentuk yang sangat indah secara lahiriah di dalam segala aspek kehidupannya sehari-hari; yang -seperti kata sebuah riwayat- dari pancaran wajahnya akan memantul sebuah energi yang akan mengingatkan orang kepada Allah Swt.; yang untaian kata-katanya akan menambahkan ilmu kepada setiap orang yang mendengarnya; dan akhlak lahiriahnya bisa menyadarkan orang dari kelalainnya. Akhlak seperti inilah yang ditunjukkan Rasulullah Saw kepada umat-nya. Keluhuran akhlak Nabi Saw ini adalah cermin yang bersih dan indah yang membawa kita untuk bisa berkaca dengannya di dalam kehidupan kita sesama manusia dalam segala lapisannya. Sebab akhlak Nabi adalah cerminan al-Quran yang sesungguh-nya. Bahkan beliau sendiri adalah al-Quran hidup yang hadir di tengah-tengah ummat manusia. Membaca dan menghayati akhlak beliau berarti membaca dan menghayati isi kandungan al-Quran. Itulah kenapa ‘Aisyah sampai berkata bahwa akhlak Nabi adalah al-Quran.

 Hubungan ‘Alî dan Rasulullah Saw

Keluhuran laku Nabi dapat pula didengar dari Imam ‘Alî bin Abi Thalib kw, sepupu dan menantu Nabi, dan orang tidak pernah kafir seumur hidupnya. Ia pernah berkata berkhutbah tentang hubungannya dengan Nabi:

“Ketika masih anak-anak, aku membanting dada para lelaki Arab, dan mengalahkan jagoan-jagoan suku Rabi’ah dan Mudhar. Sungguh kalian mengetahui kedudukanku di sisi Rasulullah Saw. sebagai kerabat yang sangat dekat. Beliau meletakkanku di pangkuannya sementara aku masih kanak-kanak, beliau merangkulku ke dadanya, membaringkanku di tempat tidurnya, menyentuhkanku ke tubuhnya, sehingga aku mencium aromanya. Seringkali beliau mengunyah sesuatu kemudian menyuapkannya untukku. Beliau tidak pernah berbohong dalam ucapannya terhadapku, dan tidak pernah pula salah dalam tindakannya.

Sungguh Allah telah menyertakan malaikat yang paling mulia bersama beliau, sejak beliau disapih, untuk berjalan dengannya di atas jalan-jalan kemuliaan dan keluhuran-keluhuran akhlak, baik siang maupun malam. Sungguh aku sejak dulu mengikuti beliau seperti seekor anak unta mengikuti jejak kaki induknya. Setiap hari beliau menunjukkan kepadaku panji dari akhlaknya, dan memerintahkanku untuk mengikutinya. Setiap tahun beliau pergi menyendiri ke bukit Hira’, di mana aku melihatnya dan tak seorang pun selainku melihatnya. Pada saat itu, tidak ada satu rumahpun dalam Islam yang mengumpulkan manusia kecuali Rasulullah Saw dan Khadijah, serta akulah orang ketiga dari mereka.

Seringkali aku melihat cahaya wahyu dan kerasulan, dan mencium napas kenabian. Sungguh aku pernah mendengar rintihan setan di saat wahyu turun kepadanya, lalu aku bertanya, "Ya Rasulullah, rintihan apa ini?" Beliau menjawab, "Itu adalah setan. Dia telah bosan dari ibadahnya. Sesungguhnya engkau mendengar apa yang aku dengar dan melihat apa yang aku lihat, hanya saja engkau bukan seorang nabi, tetapi engkau adalah pengganti nabi, dan sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan.

Sungguh aku bersama beliau di kala pembesar-pembesar Quraisy mendatanginya, lalu mereka berkata, "Ya Muhammad, sesungguhnya engkau telah mengakui perkara besar yang tidak pernah diakui oleh nenek moyang-mu dan tidak pula dan menunjukkannya kepada kami, maka kami yakin bahwa engkau adalah nabi dan rasul; tetapi, apabila engkau tidak memenuhinya, maka kami anggap engkau seorang penyihir dan pembohong."

Rasulullah Saw. berkata, "Apa yang kalian minta?" Mereka berkata, "Engkau panggil pohon itu ke mari sehingga ia tercerabut dengan akar-akamya dan berhenti di hadapanmu". Nabi menjawab, "Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Apabila Allah melakukannya untuk kalian, apakah kalian akan percaya dan memberi kesaksian atas kebenaran ini?" Mereka berkata, "Ya". Maka beliau berkata, "Aku akan tunjukkan kepada kalian apa yang kalian inginkan. Sungguh aku yakin bahwa kalian tidak akan tunduk pada kebajikan, dan ada di antara kalian orang yang akan dilemparkan ke dalam lubang, dan ada juga orang yang akan membentuk kelompok-kelompok [melawan-ku]". Kemudian beliau berkata, "Hai pohon, apabila engkau beriman kepada Allah dan hari akhir, dan meyakini bahwa aku adalah utusan Allah, maka datanglah dengan akar-akarmu dan berdirilah di hadapanku atas izin Allah".

Demi yang mengutusnya dengan kebenaran, sungguh pohon itu tercerabut dengan akar-akarnya dan datang dengan gemuruh suara yang kuat dan kepakan seperti kepakan sayap burung, sampai ia berhenti di hadapan Rasulullah Saw berkepak-kepak, dan membentangkan rantingnya yang paling tinggi di hadapan Rasulullah Saw dan sebagian rantingnya terbentang di pundakku, dan aku berada di sisi kanan beliau.

Ketika orang-orang itu melihat itu, mereka berkata dengan angkuh dan sombong, "Sekarang engkau perintahkan agar separuhnya datang kepadamu dan separuhnya lagi tinggal [di tempatnyal". Beliau memerintahkan itu, lalu yang separuh datang kepadanya dengan sangat mengagumkan dan dengan gemuruh suara yang lebih kuat. Hampir saja pohon itu menyelimuti Rasulullah Saw Kemudian mereka berkata dengan kufur dan congkak, "Suruhlah yang separuh itu kembali bersatu dengan separuh yang lainnya seperti sedia kala". Lalu beliau memerintahkannya dan pohon itu pun kembali. Lalu aku berkata, "Tiada tuhan selain Allah, sesungguhnya aku yang pertama kali beriman kepadamu, ya Rasulullah, dan yang pertama kali mengakui bahwa pohon itu telah melakukan apa yang telah dilakukannya dengan perintah Allah Yang Mahamulia, sebagai bukti atas kenabianmu dan sebagai penghormatan atas kalimatmu". Namun mereka semua berkata, "Tidak, dia adalah penyihir dan pembohong. Sihir yang menakjubkan mudah baginya. Tidak ada yang mempercayaimu dalam perkaramu ini kecuali orang seperti ini". (sambil menunjukku).

Sungguh aku termasuk orang-orang yang tidak mempedulikan ejekan orang yang mengejek dalam jalan Allah. Wajah mereka adalah wajah orang-orang benar dan ucapan mereka adalah ucapan orang-orang yang bijak. Mereka penghidup malam dan mercu suar siang. Mereka berpegang teguh pada tali al-Quran dan menghidupkan sunnah-sunnah Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak sombong dan tidak angkuh. Mereka tidak berbuat kejahatan dan kerusakan. Hati mereka di surga sedang tubuh mereka sibuk beramal". (Nahj al-Balaghah, khutbah al-Qâsi’ah).[]

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template