Headlines News :
Home » » KISAH TELADAN DOA YANG SELALU DIKABULKAN

KISAH TELADAN DOA YANG SELALU DIKABULKAN

Written By Musrin Salila on Sabtu, 17 April 2010 | 06.39

Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang

mengisi seminar di IAIN

Sunan Gunung Djati, Bandung.  Saya duduk di

bangku kedua dari depan sambil

menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah,

yang belum saya kenal.

 

Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan

memperkenalkan ia yang baru

saja tiba.  Saya segera berdiri menyambut

senyumnya yang lebih dulu merekah.

Ia seorang yang bertubuh besar, ramah, dalam

balutan gamis biru dan jilbab

putih yang cukup panjang.  Kami berjabat tangan

erat, dan saat itu tegas

dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga

yang dikenakan-nya) serta

sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi kaos

kaki putih.  Sesaat batin

saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir dan

tasbih.

 

Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran

pertama.  Saya bahagia

karena para peserta tampak antusias.  Begitu juga

ketika giliran Mimin tiba.

Semua memperhatikan dengan seksama apa yang

disampaikannya.

Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan

retorika yang menarik.

Wawasannya luas, pengamatannya akurat.

 

Saya tengah memandang wajah dengan pipi merah

jambu itu saat Mimin berkata

dengan nada datar.  "Saya diuji Allah dengan

cacat kaki ini seumur hidup

saya."

 

Ia tersenyum.  "Saya lahir dalam keadaan seperti

ini.  Mungkin banyak orang

akan pesimis menghadapi keadaan yang demikian,

tetapi sejak kecil saya telah

memohon sesuatu pada Allah.  Saya berdoa agar

saat orang lain melihat saya,

tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali

Allah," Ia terdiam sesaat dan

kembali tersenyum.  "Ya, agar mereka ingat Allah

saat menatap saya.  Itu

saja."

 

Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan

bisa kuliah.  "Saya kuliah

di Fakultas Psikologi," katanya seraya

menambahkan bahwa teman-teman pria

dan wanita di Universitas Islam Bandung-tempat

kuliahnya itu-senantiasa

bergantian membantunya menaiki tangga bila kuliah

diadakan di lantai dua

atau tiga.  Bahkan mereka hafal jam datang serta

jam mata kuliah yang

diikutinya.  "Di antara mereka ada yang

membawakan sebelah tongkat saya, ada

yang memapah, ada juga yang menunggu di atas,"

kenangnya.

 

Dan civitas academica yang lain?  Menurut Mimin

ia sering mendengar orang

menyebut-nyebut nama Allah saat menatapnya. 

"Mereka berkata: Ya Allah, bisa

juga ya dia kuliah," senyumnya mengembang lagi. 

"Saya bahagia karena mereka

menyebut nama Allah.  Bahkan ketika saya berhasil

menamatkan kuliah,

keluarga, kerabat atau teman kembali memuji

Allah.  Alhamdulillah, Allah

memang Maha Besar.  Begitu kata mereka."

 

Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga

berkata bahwa ia tak pernah

ber-mimpi akan ada lelaki yang mau

mempersuntingnya.  "Kita tahu, terkadang

orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi

seorang yang cacat seperti

saya.  Ya tawakal saja."

 

Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada

seorang lelaki yang saleh, mapan

dan normal melamarnya.  "Dan lagi-lagi saat

walimah, saya dengar banyak

orang menyebut-nyebut nama Allah dengan takjub. 

Allah itu maha kuasa, ya.

Maha adil!  Masya Allah, Alhamdulillah, dan

sebagainya," ujarnya penuh

syukur.  Saya memandang Mimin dalam.  Menyelami

batinnya dengan mata

mengembun.

 

"Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu

saya, bahkan orang yang tak

men-genal saya, menatap takjub seraya lagi-lagi

mengagungkan asma Allah.

Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan

agar saya tidak ke bidan,

melainkan ke dokter untuk operasi.  Bagaimana pun

saat seorang ibu

melahirkan otot-otot panggul dan kaki sangat

berperan.  Namun saya pasrah.

Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Allah

berkehendak semua akan

menjadi mudah.

 

Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar dibantu

bidan," pipi Mimin memerah

kembali.  "Semua orang melihat saya dan mereka

mengingat Allah.  Allahu

Akbar, Allah memang Maha Adil, kata mereka

berulang-ulang."

 

Hening.  Ia terdiam agak lama.

Mata saya basah, menyelami batin Mimin. 

Tiba-tiba saya merasa syukur saya

teramat dangkal dibandingkan nikmatNya selama

ini.  Rasa malu menyergap

seluruh keberadaan saya.  Saya belum apa-apa. 

Yang selama ini telah saya

lakukan bukanlah apa-apa.

 

Astaghfirullah.  Tiba-tiba saya ingin segera

turun dari tempat saya duduk

sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya

selama hidup saya, saya

menahan airmata di atas podium.  Bisakah orang

ingat pada Allah saat

memandang saya, seperti saat mereka memandang

Mimin?

 

Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari

panggung, pandangan saya

masih kabur.  Juga saat seorang (dari dua)

anaknya menghambur ke pelukannya.

Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara

telapak tangan kanannya

berusaha membelai kepala si anak.  Tiba-tiba saya

eperti melihat anak saya,

yang selalu bisa saya gendong kapan saya suka. 

Ya, Allah betapa banya

kenikmatan yang Kau berikan padaku.

 

Ketika Mimin pamit seraya merangkul saya dengan

erat dan berkata betapa dia

men-cintai saya karena Allah, seperti ada suara

menggema di seluruh rongga

jiwa saya.  "Subhanallah, Maha besar Engkau ya

Robbi, yang telah memberi

pelajaran pada saya dari pertemuan dengan hambaMu

ini.  Kekalkanlah

persaudaraan kami di Sabilillah.  Selamanya. 

Amin."

 

Mimin benar.  Memandangnya, saya pun ingat

padaNya.

Dan cinta saya pada Sang Pencipta,

yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin

mengkristal.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template