Headlines News :
Home » » Marja’iyyah

Marja’iyyah

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 08.42

Marja'iyah memiliki pemahaman (sifat fenomenal) di mana keberadaan alim (orang yang berilmu) dijadikan tempat kembali (dalam persoalannya) bagi orang awam (jahil). Marja'iyah diambil dari akar kata (bahasa Arab) raja'a yang berarti kembali. Marji' adalah isim makan (kata benda tempat), yang berarti tempat kembali, sama seperti masjid yang berarti tempat bersujud.

Peristiwa kembalinya orang yang tidak tahu (jahil) kepada yang tahu (alim) merupakan kejadian yang alami. Dan boleh juga dikatakan sebagai ekspresi fitrah manusia untuk mendapatkan kepuasan dari keingintahuannya (curious). Ketika dihubungkan dengan syariat, maka dia menjadi keniscayaan akal dan syariat juga.

Akal menyatakan bahwa: kita lazim mensyukuri nikmat yang ada. Sebagai Insan keberadaan kita berakal, di sisi lain kita beriman akan keberadaan-Nya, ciptaan-Nya, sifat jamal dan jalal-Nya serta lutf dari-Nya diantaranya dengan keberadaan Anbiya, Rasul, Imam serta syariat. Maka akal menghukumi wajibnya syukur atas nikmat yang tak terhingga ini, mengamalkan hukum-hukumnya dengan sebenarnya dan hal tersebut tidak akan didapat kecuali dengan berijtihad, taqlid maupun beramal dengan ihtiyath.

Berijtihad, taqlid dan ihtiyath, ketiganya merupakan usaha manusia untuk mendapatkan ilmu sebagai hujjah (dalil) syar'i, sebagai tempat menyandarkan amal perbuatannya.

Taqlid adalah beramal atas pandangan orang yang padanya terdapat hujjah syar'i. Perbuatan ini merupakan fitrah alami kehidupan, di mana kembalinya jahil kepada alim. Begitu juga dilakukan semua orang dalam kehidupan ini.

Amal dengan ihtiyath yaitu ketika tidak adanya kemungkinan pada semua hal sehingga dapat menjadikan kerusakan sistem dengan banyaknya kemungkinan, begitu juga dalam kebanyakan permasalahan dengan memberi keniscayaan pada kesulitan dan dosa. Sebagaimana harus bersikap ketika ada suatu hal di antara wajib danharam.

Ijtihad adalah mendapatkan hujjah sebagai hukum dengan keyakinannya.

Maka sebenarnya, kesemuanya adalah usaha muslim untuk melaksanakan taklif syar'inya dalam beramal. Hanya pertanyaan timbul ketika adanya orang yang jahil: Apa yang harus dilaksanakan orang jahil untuk menyelesaikan janji taklif syar'inya?

Kewajibannya adalah beramal berdasarkan fatwa mujtahid dan mujtahid harus beramal berdasarkan apa yang didapatkan dari istimbath. Hubungan mujtahid yang memberi fatwa dari hasil istimbathnya dan orang jahil yang hendak menyelesaikan taklif syar'inya. Mujtahid dikatakan sebagai marji' dan orang jahil sebagai muqallid. Hubungan muqallid kepada marji'nya dikatakan sebagai hubungan marja'iyah.

 

Perintah untuk Kembali kepada Marji'

Dalam kitab Akmalu ad-din dan Atmamu an-ni'mah diriwayatkan bahwa: Ishaq bin Ya'qub menulis kepada Wali 'Ashr (Imam Mahdi AF) atas persoalan yang dihadapinya. Muhammad bin Utsman Umari (wakil Imam Mahdi AF) membawa surat tersebut, dan membawa kembali surat jawaban dengan tulisan Imam Mahdi AF " Dan tentang peristiwa yang terjadi, kembalilah (kalian) kepada pembawa hadits kami, karena mereka adalah hujjah kami untuk kalian dan aku (AF) adalah hujjah Allah."

Larangan mengeluarkan fatwa tanpa Ilmu

Dari Abu Ubaidah mengatakan; berkata Abu Ja'far AS: "Barang siapa berfatwa kepada orang tanpa ilmu, tak akan ada hidayah dari Allah. Dikutuklah dia oleh para malaikat rahmah dan malaikat azab, dan bertemu dengannya dosa amalnya dari fatwa-fatwanya."

Maka sebenarnya, riwayat yang ada tersebut mewakili semua peristiwa yang telah lalu dan yang akan datang. Kembalinya orang kepada pemberi fatwa pun terjadi sejak awal. Begitu juga kembalinya para Imam Mazhab ahli sunnah kepada Imam-Imam Maksum AS dan sabahat-sahabatnya. Banyak riwayat yang menyatakan bahwa Aimmah AS pun memberikan izin orang-orang tertentu untuk memberikan fatwa atau menukil ungkapan dari mereka (AS) atau melaksanakan hal-hal yan tidak ada larangan dari Maksumin AS.

Para Maksumin AS pun memberikan cara untuk beristimbath hukum, sebagaimana diungkapkan Imam Ali al-Ridha AS: "Barangsiapa dapat mengungkap (ayat) metasyabih Al Quran menjadi muhkamat (yang jelas), maka tentu dihidayahi kepada shiratal mustaqim. Sesungguhnya, kabar yang muhkam dari kami seperti muhkamnya Al Quran, yang mutasyabih sebagai mutasyabih Al Quran. Maka ungkaplah mutasyabih menjadi muhkam, maka janganlah ikuti yang mutasyabih, tetapi ikutilah yang muhkamnya.

Perbedaan Wilayat Al-Faqih dan Marji' Taklid

Pada wilayat al-faqih, persyaratan kelengkapan kepemimpinan umat wajib ada padanya, yaitu shalahiyahnya sebagai pemimpin di mana dia harus memiliki kemampuan memimpin dan kafaah (cukup)nya dia pada segala cabang ilmu yang diperlukan sebagai pemimpin, seperti mujtahidnya dalam fiqih tradisional serta kedalaman pemahaman secara detail pada politik, budaya, sosial, ekonomi dan lain-lain.

Sementara marji' taklid memiliki persyaratan yang khusus, yaitu 'alamiyahnya, sehingga dapat diikuti oleh muqallidnya. Karena itu, Imam Khomeini mengisyaratkan kedua hal ini bisa terpisah dan tergabung. Dan syukur alhamdulillah, umat Islam masih diberkati seorang wali faqih yang juga lengkap persyaratannya dan marji' yang 'alam pada posisinya. Sehingga banyak ulama ahli khubara' menyatakan bahwa untuk mengikutinya sebagai suatu kewajiban dan kelaziman, dengan melihat salahiyah dan 'alamiyah beliau.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template