Headlines News :
Home » » Rezim Pasar Vs Kesejahteraan Sosial

Rezim Pasar Vs Kesejahteraan Sosial

Written By Musrin Salila on Minggu, 30 Mei 2010 | 21.51


Oleh: Musrin Salila, S.Pd

Pra Kata

Gagalnya dominasi negara – ala Keynesian – dalam proses pembangunan dan kebijakan ekonomi pasca perang dunia II mendorong negara-negara Barat seperti Amerika Serikat untuk merestrukturisasi dan mereformasi ulang posisi serta peran negara-negara berkembang pada khususnya dalam kebijakan ekonomi dan pembangunan. Salah satu kebijakan yang didorong oleh negara adi daya itu adalah untuk menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi ke arah liberalisasi yang lebih luas serta kepercayaan pada mekanisme pasar melalui serangkaian reformasi ekonomi berorientasi pasar (Sugiono;2006).

Pada tahun 1980-an ini, nyaris disegala penjuru dunia, negara-negara berkembang mulai mengadopsi kebijakan-kebijakan yang dimaksudkan untuk merestrukturisasi watak peran negara dalam perekonomian, untuk meliberalisasi perdagangan domestik dan regulasi investasi serta untuk menswastakan seluruh perusahan-perusahan milik negara (BUMN). Dengan asumsi negara-negara berkembang dianggap gagal selama ini dalam mengelola kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pembangunan nasionalisme ekonomi. Oleh karenanya negara-negara Asia termasuk di dalamnya Indonesia dengan serta merta mengadopsi kebijakan-kebijakan tersebut untuk diterapkan sebagai langkah restrukturisasi.

Walaupun demikian halnya, kebijakan ekonomi yang dianggap gagal oleh negara-negara maju tersebut, pada dasarnya merupakan kebijakan para negara-negara maju juga yang mulai digulirkan sejak tahun 1950-an. Maka jika kebijakan kedua ini juga didorong oleh negara-negara maju untuk meliberalisasikan sektor ekonomi, tentu saja meminjam pendapatnya Antonio Gramsci bukanlah kosong dari kepentingan hegemoniknya Amerika Serikat berserta sekutunya. Oleh karena itu, tulisan ini ingin melihat seputar perubahan kebijakan tersebut, hingga mengkritisi bagaimana dampak buruknya ketika negara berada di bawah rezim pasar.

Negara, Rezim Pasar dan Kesejahteraan Sosial

Globalisasi kapitalisme yang bertujuan untuk meminimalkan peran negara dengan menonjolkan peran swasta melalui sistem pasar pada mulanya bermaksud untuk memangkas sejumlah birokrasi negara dalam mengatur perdagangan dan investasi yang dinilai kurang ”efesien” dan ”efektif” dalam menjalankan tiga agenda utamanya yaitu, deregulasi, liberalisasi dan privatisasi. Negara pada saat itu bukan lagi dipahami sebagai solusi, akan tetapi justru negara dipahami sebagai problem keterbelakangan itu sendiri di negara-negara tersebut. Para kritisi menimpakan problem ekonomi kronis seperti inflasi dan rendahnya produktifitas yang menghadang negara-negara berkembang pada tahun 1970-an di pundak intervensi negara dalam perekonomian yang sangat kuat.

Sehingga dengan keterlibatan negara dalam perekonomian tersebut para kritisi ini menilai peran negara telah mengakibatkan munculnya monopoli, menghalangi kompetisi dan menggiring pada inefesiensi sumber daya serta alokasinya yang tidak produktif semisal korupsi dan perburuan rente (rent seeking). Wal hasil negara-negara berkembang seperti Asia, Amerika Latin dan Afrika yang selama ini mengadopsi kombinasi berbagai kebijakan ekonomi yang beragam seperti nasionalisme ekonomi, intervensionisme komprehensif negara hingga sosialisme negara, untuk melakukan restrukturisasi dan reformasi posisi peran negara dalam kebijakan ekonomi dengan memberikan kewenangan dan keluasan bagi sistem pasar.

Pilihan terhadap sistem pasar ini, karena dianggap mampu untuk mengatasi berbagai problem ekonomi yang terjadi di negara-negara yang dianggap terbelakang. Kepercayaan terhadap sistem pasar ini setidaknya mereka contohkan dengan keberhasilan negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Malaysia tampil sebagai negara industri baru atau NICs (Newly Industrialist Countries) dengan menerapkan sistem ekonomi yang berbasis pada pasar. Walaupun pada akhirnya kemudian negara-negara yang disebut sebagai Newly Industrialist countries ini menuai kegagalan, akibat dihantam oleh badai krisis ekonomi yang akar penyebabnya masih diselidiki hingga sekarang (Faqih, 2006; 197-198)

Akan tetapi terlepas dari kegagalan negara-negara Asia Timur tersebut menerapkan sistem pasar, namun wacana yang dominan pada saat itu adalah kegagalan negara dalam mendorong kesejahteraan dan kemajuan bagi bangsanya. Oleh karena itu pada tahun 1970-an sangat kuat dorongan yang terjadi kepada negara-negara berkembang untuk menerapkan sistem ekonomi yang berbasis pada pasar, karena sistem ekonomi yang berbasis pada pasar dianggap mampu untuk menjawab krisis ekonomi dan mendukung bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Sugiono; 2006,8). Sehingga wacana restrukturisasi karakter dan peran negara yang berorientasi pasar menjadi sesuatu yang tidak tertandingi dengan wacana lain, tanpa mempedulikan watak dan lingkungan spesifik masyarakat atau negara tertentu. Walaupun akhirnya belakangan ini modus liberasi ekonomi yang didorong oleh negara-negara Barat tersebut diketahui bermuara terhadap pengikisan segala bentuk campur tangan negara dalam mengurus ekonomi (kesejahteraan) rakyat, dan menggantikannya dengan sistem pasar.

Sebab apa yang menjadi landasan ideologis bagi rezim pasar ini tidak jauh berbeda dengan konsep ekonomi neoliberalisme. Bahkan Mansour Faqih (2006) menyebutkan neoliberalisme merupakan landasan ideologis bagai rezim pasar untuk menaklukkan peran negara di dunia ketiga seperti Indonesia. Oleh karenanya Mansour melihat kehadiran rezim pasar yang didorong melalui globalisasi ekonomi ini merupakan kelanjutan kolonialisme yang masih memiliki akar ideologis yang sama. Sehingga tawaran untuk keluar dari kemacetan ekonomi serta janji untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang tidak lain hanyalah sebuah kedok baru dari imperialisme dan kolonialisme.

Mekanisme rezim pasar ini diawali melalui penciptaan kebijakan free trade yang merupakan hasil kesepakatan internasional yang telah ditandatangani pada bulan April 1994 di Marrakesh, Maroko, atau yang sering juga disebut dengan istilah General Agreement on Tariff and Trade (GATT). GATT ini merupakan suatu kumpulan aturan internasional yang mengatur prilaku perdagangan antar pemerintah. Selain itu GATT juga memiliki peran sebagai lembaga pengadilan untuk menyelesaikan sengketa perdagangan antar bangsa. Namun pada tahun 1995, GATT digantikan (diambil alih) perannya oleh organisasi pengawasan dan kontrol perdagangan dunia yang dikenal dengan sebutan World Trade Organizations (WTO). WTO sendiri diisi oleh lembaga perusahan multinasional yang memiliki kepentingan dengan globalisasi ekonomi tersebut. Sehingga kebijakan-kebijakan yang keluar dari WTO tidak lain sebagai wujud dari suara TNCs ini.

Oleh karena itu, dengan berdirinya WTO ini, TNCs mengalami peningkatan jumlah maupun hasil penjualan yang jauh di atas negara. Misalnya pada tahun 1970 TNCs berjumlah 7000, namun pada tahun 1990, TNCs mengalami peningkatan hingga berjumlah 37.000. Tentu saja ini peningkatan yang luar biasa. Apalagi perkembangan TNCs tersebut juga diikuti dengan kemampuannya untuk menguasai 75 % perdagangan dunia. Sehingga nilai penjualan mereka jika dibandingkan dengan PDB berbagai negara menghasilkan peringkat dimana 52 dari 100 terbesar adalah koorporasi, sedangkan negara hanya 48 lebihnya, dan Indonesia menduduki peringkat ke 31 dengan PDB lebih rendah dibandingkan angka penjualan lima koorporasi (Wall-Mart, General Motors, Exxon Mobile, Royal Dutch Shell, British Petroleum) pada tahun 2002. (Anderson, 2005;33, Faqih, 2006; 214).

Perkembangan TNCs yang amat luar biasa ini, tentunya tidak lepas dari dukungan negara-negara donor beserta lembaganya yang oleh Richard Peet disebut sebagai trinitas maha tidak kudus (The Unholy Trinity), Mereka ini selain WTO adalah IMF dan World Bank. Lembaga keuangan inilah yang telah memaksa negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk tunduk dengan berbagai program dan kebijakan yang telah dicanangkannya. Misalnya untuk kasus Indonesia lembaga-lembaga ini memaksakan untuk menerapkan kebijakan Structural Adjusment Program dalam rangka mereformasi kebijakan dalam negeri sebagai ”pelicin” jalan untuk memudahkan aktor-aktor rezim pasar bebas di atas, terutama TNCs untuk beroperasi dalam bentuk ekspansi produksi, pasar maupun ekspansi investasi.

Reformasi kebijakan dalam negara-negara berkembang seperti Indonesia tentu saja sangat dibutuhkan bagi perusahan-perusahan transnasional tersebut. Sebab internasionalisasi produksi sebagai salah satu gejala globalisasi memerlukan kemudahan untuk relokasi industri sekaligus memberi kemudahan secara global. Cara yang lazim biasanya digunakan oleh lembaga keuangan internasional itu untuk menundukkan negara-negara berkembang sebagaimana pengakuan John Perkins (2005) salah seorang Economic Hit Man dalam bukunya ”Confession of an Economic Hit Man” adalah dengan memberikan pinjaman utang yang sebanyak-banyak di luar batas kemampuan negara-negara berkembang tersebut untuk membayarnya. Sehingga ketika negara-negara berkembang terkendala untuk membayar utang tersebut, lembaga-lembaga internasional seperti IMF atau World Bank bisa memaksakan kehendaknya untuk mengatur berbagai kebijakan dalam negeri yang dapat menguntungkan peran TNCs atau proyek-proyek milik Amerika dan sekutunya (Perkin, 2005; 19-20).

Bahkan menurut Perkins negara-negara seperti Amerika yang memegang kendali terhadap lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut dapat memaksa negara-negara miskin – karena ketidaksanggupan mengembalikan hutang – untuk menyerahkan sumber daya alamnya untuk dikelola oleh perusahaan-perusahaan negara-negara pemilik modal. Oleh karena itu tidak heran kemudian banyak aset-aset bangsa yang berupa BUMN (Badan Usaha Milik Negara) maupun aset dalam perut bumi seperti minyak, gas, emas, tembaga dan pasir diserahkan sepenuhnya kepada perusahan-perusahan Amerika. Seperti Freeport di Papua, Caltex di Riau, New Mon di Sulawesi, Exxon Mobile di Aceh dan Jawa Tengah Serta banyak yang lainnya.

Tidak puas dengan hal itu, negara-negara pemegang rezim pasar pun bisa untuk mendesak negara-negara miskin untuk membuat suatu regulasi yang bisa memudahkan dan memberikan kenyamanan bagi perusahan-perusahan mereka beroperasi. Seperti halnya pembuatan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang jauh dari keberpihakan terhadap rakyat Indonesia sendiri. Walaupun sebagian besar rakyat menolak atas pengesahan RUU PMA tersebut, namun pemerintah sebagai pengendali negara tidak mampu berbuat banyak akibat tekanan lembaga keuangan tersebut. Pada konteks inilah sebenarnya negara sudah kehilangan fungsinya. Karena peran-peran sosial banyak diambil alih oleh TNCs. Padahal sebagaimana kita ketahui, bagi rezim pasar ini, realitas sosial termasuk manusia hanya direduksi pada aspek ekonomi semata (homo Economicus). Manusia, alam, hutan dll merupakan aset yang bisa dikalkulasikan untuk mencapai laba.

Dalam kondisi yang demikian, maka membiarkan kehidupan rakyat di tengah kekuatan rezim pasar sama saja artinya dengan meletakkan masa depan hidup manusia di mulut buaya yang suatu waktu siap untuk dilumat. Karena memang rezim pasar tidak ada sangkut pautnya dengan kesejahteraan rakyat ataupun keadilan sosial di negara-negara dunia ketiga, melainkan lebih didorong oleh motif kepentingan pertumbuhan dan akumulasi kapital berskala global.

Untuk itu program-program yang didesain oleh rezim pasar ini untuk dijalankan oleh negara dunia ketiga seperti privatisasi Aset Nasional, liberalisasi keuangan dan perdagangan, serta pencabutan subsidi untuk kesejahteraan sosial merupakan sebuah racun yang mematikan. Sebab tidak ada sebuah negara yang maju dengan membiarkan kehidupan rakyatnya di tengah gelombang rezim pasar. Bahkan kalau dikaji lebih jauh, Amerika, Inggris dan sebagian negara Eropa lainnya adalah negara-negara selalu melakukan proteksi bagi kehidupan rakyatnya, baik dalam sektor pertanian maupun dalam hal perdagangan.

Amerika Serikat misalnya, yang selama ini selalu mempengaruhi kebijakannya melalui World Bank untuk menjauhi peran pemerintah di negara-negara berkembang terhadap regulasi pertanian rakyatnya, nyatanya Amerika sendiri merupakan negara yang sangat kuat dalam memproteksi sektor pertanian rakyatnya dengan memberikan subsidi produksi pertanian dan subsidi ekspor yang besar. Kebijakan ini bukanlah hal yang baru bagi AS, sebab sejak Abraham Lincoln mejabat sebagai presiden ke-16, pemerintah AS sudah mulai mentransfer tanah-tanah negara menjadi milik petani dengan ukuran per-unit kapling 65 Hektar.

Kemudian ketika berkembangnya sistem pembakaran mesin dan traktor, Di AS pengguna traktor meningkat pesat, dari 250.000 traktor pada tahun 1920 menjadi 2,3 juta pada tahun 1945. Bahkan AS adalah negara yang memberikan subsidi atas ekspor bagi rakyatnya. Bahkan kalau dirunut lebih jauh, AS adalah negara yang memiliki 100 lebih undang-undang dan peraturan disektor pertanian yang berpihak pada petani. Dan sejarah kemajuan AS dalam memproteksi pertanian ini juga diikuti oleh negara lainnya seperti Inggris, Jepang, Thailand dan Afrika (Khudari: 45-47:2004).

Hal yang juga dilakukan oleh pemerintahan Inggris, walaupun secara gagasan mereka menyambut baik Ide Adam Smith tentang Free Trade dan pencabutan proteksi negara terhadap pasar, namun pemerintahan Inggris tidak serta merta melaksanakannya, kenyataannya pemerintahan Inggris baru benar-benar meninggalkan Merkentelisme ini setelah 70 tahun dari tawaran tersebut, sebab pemerintahan Inggris sangat yakin, dengan dibukanya pasar bebas dan dicabutnya intervensi pemerintah terhadap sektor pertanian yang masih lemah, jelas akan menguntungkan pihak pemilik kapital dan alat-alat produksi, oleh karenanya pemerintahan Inggris memperkuat basis perekonomian dan pertanian rakyatnya. Baik dalam aspek pertanian maupun dalam aspek lainnya.

Upaya yang dilakukan oleh Amerika dan Inggris tersebut juga dilakukan oleh pemerintahan Jepang, Setiawan.B dalam bukunya “Globalisasi Pertanian” (2003) menjelaskan bahwa setelah menyadari dampak buruk dari kebijakan Komodor Perry Amerika yang memaksa Jepang untuk membuka ekonominya bagi perdagangan luar negeri sekaligus dicabutnya proteksi pemerintah, membuat Jepang di bawah Dinasti Meiji bangkit dengan melakukan proteksi besar-besaran terhadap sektor perekonomian rakyat, bahkan selain sebagai regulator, pemerintahan Jepang juga terjun langsung sebagai entrepreneur (wiraswasta) di tengah tiadanya pengusaha swasta Jepang saat itu. Negara membangun dan mengoperasikan sendiri pelbagai perusahan, seperti batu bara, tembaga, tambang emas, baja, perkapalan, peremesinan, semen, kertas, gelas, kartun, dan banyak lainnya. Pemerintahan Jepang juga menerapkan pembatasan terhadap impor, Hambatan kuantitatif, diskriminasi, control devisa, dan tariff tinggi.

Jadi tampak dari sini bahwa kemajuan negara-negara seperti Amerika, Inggris dan sekutunya itu maupun di beberapa negara Asia bukan karena kehidupan rakyat diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi justru dicapai dengan campur tangan pemerintah/negara. Hal ini sesuai dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh Karl Polanyi dalam bukunya “The Great Transformation” sebagaimana yang dikutip oleh Khudari, menurutnya “..dengan membiarkan mekanisme pasar menjadi satu-satunya direktur atas nasib umat manusia dan lingkungan alamnya, nantikanlah akan kehancurannya lingkungan alam dan masyarakatnya”. Hal yang sama juga disampaikan oleh Noor Fauzi, bahwa liberalisasi pasar bagi petani, sama saja akan menghancurkan dan memusnahkan kehidupan para petani kita ke depan (Fauzi: 146: 2005)

Kalau kita menoleh ke beberapa Negara di Amerika Latin, barangkali atas kejahatan rezim pasarlah yang membuat beberapa Negara seperti Venezuela, Bolia, Kuba, Ekuador dan Brazil memberikan perlawanan atau arus yang berbeda terhadap kepentingan negara-negara adidaya tersebut. Misalnya kita bisa melihat bagaimana Hugo Cavez di Venezuela dan Evo Morales di Bolia begitu gigihnya untuk melakukan nasionalisasi aset-aset mereka yang selama ini dipegang oleh rezim pasar.

Kemudian sebagai contoh yang termashur adalah negeri Cina, yang selama ini dianggap sebagai Negara yang akan mengalami kegagalan karena tingginya proteksi Negara dalam perekonomian, ternyata secara diam-diam Cina menjadi bayang-bayang kekuatan ekonomi baru Asia yang secara perlahan-lahan mulai menggoyang kepentingan Amerika dan Negara-negara actor kapitalis lainnya. Oleh karena itu menurut penulis, dengan adanya proteksi atau kedaulatan Negara untuk mengatur kehidupan rakyatnyalah jalan bagi kebangkitan sebuah Negara tersebut, begitu pula sebaliknya.

Kesimpulan

Dari paparan di atas, maka dapat diringkas bahwa penyerahan kedaulatan Negara terhadap rezim pasar hanya akan memperburuk kondisi sebuah Negara, meminjam pendapatnya Saleh Abdullah (2005), sekurang-kurangnya ada tiga resiko yang harus dihadapi oleh rakyat dalam sebuah negara yang sudah ”dikudeta” oleh rezim pasar tersebut. Pertama, Penghilangan sejumlah aturan, sistem dan mekanisme negara (birokrasi dalam arti positif) yang menjadi alat untuk menjamin (dalam bentuk subsidi) agar pelayanan terhadap masyarakat dipenuhi, dan pengalihan kepada pihak swasta (dengan menghentikan segala bentuk subsidi). Bila hal itu terjadi maka rakyat akan segera kehilangan sandaran dan alat dalam bentuk sistem/mekanisme negara yang selama ini merupakan cara bagi negara untuk memenuhi tanggung jawabnya.

Dikatakan berbahaya disini, karena swastanisasi, tidak saja membuat jasa lebih mahal karena tidak ada subsidi negara, akan tetapi juga karena tidak ada mekanisme politik untuk pertanggungjawaban. Artinya peran swasta akan lebih didasari pada prinsip-prinsip pasar yang hanya menghitung untung dan rugi, tanpa beban tanggung jawab politis. Beda halnya dengan pelayanan yang diberikan oleh negara, selain murah, juga mengandung unsur pertanggung jawaban politik yang bernama pemilihan umum (Pemilu). Kita berhak untuk tidak memilih si A atau partai B jika memang kita melihat dia tidak becus dalam memberikan pelayanan terhadap rakyat.

Bahaya kedua adalah, berkaitan dengan peran negara sebagai mediator pertikaian. Negara yang merupakan kontrak politik antar warga negara, lewat proses-proses politik yang disepakati bersama akan kehilangan fungsinya ketika rezim pasar melalui koorporasinya betul-betul mengkudeta negara. Sebab negaralah yang memiliki manajemen serta administrasi politik guna mengatur dan melayani kebutuhan dasar warga negara. Artinya secara sederhana, bila kita membiarkan peran negara untuk melayani dan menjalani hak-hak warga negaranya dihapus, maka pada dasarnya kita akan mengembalikan periode pertikaian yang pernah terjadi sebagaimana ketika bekum terbentuknya negara. Karena kita tahu bahwa rezim pasar bertumpu pada persaingan atau kompetisi, bukan pada resolusi konflik.

Dalam pengertian ini dapat kita cermati bagaimana pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia ketika terjadi konflik antara masyarakat Porong Sidoarjo dengan Lapindo Brantas Inc akibat semburan lumpur panas Lapindo Inc yang membuat ribuan warga Porong Sidoarjo harus tergusur. Ternyata dalam kondisi ini negara yang memiliki kedaulatan tidak mampu mengambil peran strategis bagi rakyatnya, terbukti waktu satu tahun tidak ada langkah-langkah yang berpihak pada rakyat, rakyatnya nyatanya sampai sekarang masih banyak yang berada di penampungan sementara. Bahkan tuntutan rakyat agar PT.Lapindo Brantas untuk mencairkan uang ganti rugi secara cash tidak didukung oleh pemerintah. Menunggu sensistitifitas Lapindo untuk membantu rakyat tentu saja sesuatu yang amat musthail, karena korporasi bukanlah berjalan atas rasa belas kasihan, melainkan berjalan atas pertimbangan untung dan rugi.

Persoalan kedua juga dapat kita amati dari peristiwa konflik warga dengan anggota Marinir AL yang terjadi di Alas Tlogo Pasuruan baru-baru ini. Demi kuasa bisnis, pihak Marinir sebagai tentara yang dibiayai oleh rakyat nyatanya dengan mudah untuk mengeluarkan semburan peluru mematikan untuk para ibu-ibu dan rakyat jelata yang berada disana. Sehingga warga pun harus kehilangan nyawa anak, orang tua atau tetangganya mereka hingga lima orang. Penembakan atau konflik yang terjadi tersebut tentunya bukan semata-mata karena tanah itu menjadi tempat latihan militer atau tanah itu milik rakyat, namun jauh dari itu sebenarnya juga akibat dari dominasi marinir untuk memberikan kuasa tanah tersebut pada korporasi. Sebab buktinya konflik terjadi ketika buldoser atau alat-alat berat untuk penggarapan proyek di tanah itu akan dilakukan. Namun upaya rakyat mempertahankan kedaulatannya harus berhadapan dengan kuasa pasar. Sekali lagi, negara dalam hal ini juga tidak sanggup membentingi rakyatnya dari kejahatan yang seperti demikian.

Bahaya ketiga atas pengkudetaan negara oleh rezim pasar ini adalah, kepastian kehidupan manusia akan kehilangan pijakan. Para neoliberal yang memuja sistem pasar percaya bahwa hanya sistem pasar yang bebas (liberalisasi) yang bisa menggairahkan kehidupan ekonomi. Kepercayaan atau ketergantungan terhadap rezim pasar yang demikianlah yang akan membuat kehidupan rakyat menuai ketidakpastian, karena logika pasar hanya tergantung pada suplai and demand.

Untuk selain berharap akan tampilnya kembali negara yang berdaulat, bagi masyarakat sipil pun sembari menunggu sesuatu yang belum pasti ini, perlu untuk menumbuhkan, mengembangkan, menyebarkan berbagai wacana ancaman glibalsiasi tersebut hingga mampu membentuk berbagai komunitas perlawanan sebagaimana yang sudah mulai berjalan dibeberapa negara miskin. Dengan adanya kekuatan masyarakat sipil negara-negara yang sedang terjajah bisa tersadarkan kembali untuk menjadikan dirinya sebagai negara yang berdaulat.

Buku Bacaan

Heru Nugroho, 2001, Negara, Pasar dan Keadilan Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

John Perkins, 2005, Confessions of an Economic Hit Man, Jakarta, Abdi Tandur

Joseph E. Stiglitz, 2003, Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional, Jakarta, Ina Publikatama

Mansour Faqih, 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Muhadi Sugiono, 2006, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Jeremy Seabrook, 2006, Kemiskinan Global Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme, Yogyakarta, Resist Book

Khudari, 2004, Neoliberalisme Menumpas Petani, Menyingkap Kejahatan Industri Pangan, Yogyakarta, Resist Book

Mansour Faqih, 2002, Jalan Lain, Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta, Insist Press

Noor Fauzi, 2005, Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta, Insist Press, 2005

Jurnal Seri Gerakan Sosial, 2003, Gelombang Perlawanan Rakyat; Kasus-Kasus Gerakan Sosial di Indonesia, Insist Press, Yogyakarta

Rita Abrahmasen, 2004, Sudut Gelap Kemajuan, Relasi Kuasa Dalam Wacana Pembangunan,
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template