Headlines News :
Home » » POLITIK CERPEN DAN CERPEN POLITIK

POLITIK CERPEN DAN CERPEN POLITIK

Written By Musrin Salila on Minggu, 10 Oktober 2010 | 09.04

Oeh : Musrin Salila, S.Pd

SEBUAH KESAKSIAN ATAS SAKSI MATA Cahyaningrum Dewajati Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 1. Pengantar Buku sastra bisa dibredel, tetapi kebenaran dan kesusasteraan menyatu bersama udara, Tak tergugat dan tak tertahankan. Menutupi fakta adalah tindakan politik, menutupi kebenaran adalah perbuatan paling bodoh yang bisa dilakukan manusia di muka bumi. (Adjidarma, 1997) Realitas dalam sastra adalah fakta mental (mantifact). Akan tetapi, cerpen-cerpen Seno Gumira yang terangkum dalam Saksi Mata seolah-olah mereduksi secara jelas berbagai pengalaman dan peristiwa politik penting di Indonesia pada tahun 1992—1994. Pada masa itu, sebagai jurnalis, Seno Gumira sangat merasakan betapa dahsyatnya tekanan politik para penguasa terhadap pers. Fakta-fakta dalam jurnalisme, menurutnya, dengan mudah dapat diembargo, dimanipulasi, ditutup dengan tinta hitam, dan dibreidel. Baginya, genre sastra, khususnya cerpen, adalah media yang sangat lentur yang mampu mengungkapkan “kebenaran”. Kebenaran dalam kesusasteraan bisa jadi merupakan sebuah perlawanan bagi historisisme, yakni sejarah yang hanya diciptakan bagi pembenaran kekuasaan (Adjidarma, 1997:2). Keresahan yang dialami Seno sebagai jurnalis yang tidak mampu mengungkapkan kebenaran/fakta empirik dalam media massa karena kendala politis, justru melahirkan cerpen-cerpennya yang sangat cerdas menghadirkan fakta mental pada pembacanya. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan ‘politik cerpen’ adalah ‘siasat’ Seno dalam menyampaikan kegundahan batinnya yang tidak tersampaikan lewat media massa, disampaikan melalui bentuk cerpen pada pembacanya. Hal itu disebabkan istilah politik selain mempunyai arti ilmu pemerintahan dan ketatanegaraan, dapat pula diartikkan sebagai sebagai kebijakan, siasat, cara bertindak, dalam menghadapi sebuah masalah (Tim Penyusun, 1988:694). Oleh karena gagasan yang disampaikan Seno dalam kumpulan cerpen Saksi Mata didominasi oleh perenungan peristiwa-peristiwa kekerasan politik di Indonesia yang mencekam pada saat itu, maka cerpen-cerpennya dapat disebutkan sebagai cerpen politik. Fenomena yang dialami Seno ini sebetulnya yang sejalan dengan apa yang diungkapkan Herry Lavin dalam makalahnya “Literature as an Institution”(1973) sebagai suatu bentuk hubungan timbal balik atau reciprocal relations antara kesenian, termasuk dialamnya karya sastra, dengan masyarakatnya. Hal ini dipertegas oleh Bakdi Soemanto dalam pidato pengukuhan guru besarnya (2004), bahwa pada dasarnya, dunia diluar karya cipta—yang disebut kenyataan—adalah ciptaan manusia juga. Pada saat “nyata” itu di persepsi seseorang, maka yang disebut “nyata” akan berubah menjadi suatu construct, yaitu bangunan pikiran. Dengan demikian, setiap orang sesungguhnya dapat membangun contructnya sendiri-sendiri. Oleh karena itu, dibalik kenyataan yang tampak, terdengar dan teraba, terdapat ilusi-ilusi. Biasanya, ilusi itu mampu muncul lebih nyata, sehingga mampu mengubah pandangan, bahkan menjungkir-balikkan nilai-nilai (Soemanto, 2004:2). Hal yang diungkapkan oleh Bakdi ini sesungguhnya gayut dengan konsep simulacrum atau simulacra yang ditawarkan Baudrilard. Terminologi simulacrum yang dipopulerkan oleh Jean Baudrilard, seorang teoritisi media kontemporer, akan menjadi salah satu cara alternatif dalam upaya memahami cerpen-cerpen Seno tersebut. Biasanya, terminologi simulacrum ini dipakai untuk menyebut realitas yang dibawa oleh media massa, termasuk televisi. Sudut pandang ini menawarkan berbagai kemungkinan menarik dalam melihat sebuah karya sastra. Argumen penting Baudrillard dalam Simulation (1983) adalah konsepnya mengenai realitas yang tidak lagi tampak, tetapi lebih pada penampakannya (appearance) (Baudrillard: 1983). Oleh karena itu, pengetahuan sosial bisa dikatakan tidak didasarkan lagi pada realitas (atau kehadiran) dari apa yang nyata. Menurutnya, kini, fungsi tanda pada posmodern adalah pada upayanya dalam menyembunyikan fakta bahwa realitas yang tidak lagi tinggal bersama kita. Selanjutnya, disebutkan, bahwa dalam tatanan puncak, kebenaran sejati dalam sebuah tanda posmodern adalah tidak adanya realitas di luar tanda atau di luar simulasi (Irawanto, 2003). Simulacrum sendiri acap kali oleh teoritikus disejajarkan dengan aliran posmodermisme. Sebagai tambahan pemahaman ide Baudrillard, berikut ini digambarkan pola gagasan Baudrillard dalam meradikalisasikan dunia simulasi melalui patafisika sistem-sistem, yang mempercayai bahwa tautologilah yang ‘benar’ secara sempurna (Aziz, 2001:24). Berikut ini adalah gambaran dari gagasan tersebut. mode lebih cantik daripada cantik simulasi lebih benar daripada yang benar pornografi lebih seks daripada seks bujukan lebih keliru daripada keliru terorisme lebih ganas daripada ganas obesitas lebih gemuk daripada gemuk katastropi lebih peristiwa daripada peristiwa kegirangan lebih gembira daripada gembira hipertelia lebih final daripada final hiperrealitas lebih nyata daripada nyata Dalam media kotemporer, yakni televisi, simulacra yang diungkapkan oleh Baudrillard itu tanpa disadari sesungguhnya sangat mudah terlihat oleh para pemirsa di sajian televisi. Mozaik citra yang berkelebat dalam video klip, film, infotaiment, dan berita menyuguhkan simulacrum kekerasan, kriminalitas, seksualitas, dalam bentuk hiperrealitas, fantasi lebih nyata, yang jauh lebih brutal atau lebih porno, dari yang mampu dibayangkan oleh penonton. Demikian juga dalam tayangan iklan, telenovela, sinetron, dsb, semuanya mampu membentuk simulasi yang “lebih nyata” bagi para pemirsanya (bdk Irawanto, 2003). Suguhan simulacrum ini sesunngguhya secara umum juga dijumpai dalam teks sastra. Dalam hal ini, teks tentu saja telah digeneralisir menembus batas-batasnya. Dengan demikian, segala sesuatu dapat menjelma sebagai teks. Selanjutnya, dalam pandangan Baudrillard sastra senantiasa dihadapkan pada situasi baru yang menyajikan citraan-citraan yang berkelebat dan sekilas. Lebih jauh mengenai konsepnya ini dapat ditarik dari gagasannya tentang tanda yang termuat dalam Critique of Political Economy of the Sign (1981). Dalam tulisannya itu, ia berusaha mereduksi konsep petanda dan penanda dalam konsep Marx, khususnya mengenai fetishisme komoditi (dalam Capital volume I). Dua argumen Baudrillard yang mengkritisi pandangan Marx, adalah pendapatnya tentang matinya petanda (the death of the signified) dan ‘permainan penanda’ (the play of the signifier). Pada tingkat tertentu, hal tersebut merupakan gambaran tentang perkembangan seni (termasuk sastra) dan kebudayaan kotemporer pada umumnya. Menurutnya, nilai seni dan komoditi tidak lagi berkaitan dengan nilai guna seni dan komoditi itu sendiri, melainkan dengan permainan tanda dan kode-kodenya, yakni, pencipptaan citra-citra yang melimpah ruah sebagai ‘tanda’, dalam rangka menandai ‘diferensi’ dan menciptakan efek humoristik. Gagasan Baudrilard ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran Heidegger tentang konsepnya bahwa ‘dunia sebagai citraan’ dan ideologi seni posmodernisme sebagai ‘ideologi permainan dan kelucuan’ dan permainan tanda kode-kodenya (bdk Piliang, 1999). 2. Jagat Simulacrum dalam Cerpen Saksi Mata Kumpulan cerpen Saksi Mata bisa menjadi contoh yang menarik mengenai simulacrum ini. Dalam cerpen Saksi Mata, misalnya, dikisahkan seseorang yang menjadi saksi mata sebuah tragedi pembantaian hadir di ruang pengadilan tanpa mata. Sang tokoh tersebut kehilangan matanya karena dicungkil dengan sendok oleh sekelompok orang berpakaian ninja. Konon, matanya akan dibuat tengkleng oleh si penculik. Oleh karena si tokoh masih mampu bersaksi meski tidak bermata lagi, maka, pada akhirnya, suatu malam ia bermimpi lidahnya di cabut. Pada kesempatan terakhir itu, organ lidahnya digambarkan dicabut oleh sekelompok orang dengan memakai catut. Dalam cerpen yang polifonik tersebut jelas tergambar situasi politik yang menekan di Indonesia pada saat cerpen itu di tulis. Kesaksian dan pengalaman batin Seno sebagai seorang jurnalis atas kebrutalan politik yang ditemukan saat meliput dilapangan, telah membangun construct tertentu dalam menyajikan citraan-citraan liar dalam cerpennya. Reciprocal relations antara dirinya sebagai jurnalis yang kebebasannya terpasung dalam mengungkapkan ‘kebenaran kasunyatan’, seolah-olah tertumpahkan dalam hiruk pikuk simulacra yang ternyata ‘lebih benar daripada yang benar’ dan ‘lebih nyata daripada yang nyata’ dalam Saksi Mata. Citraan pertama yang ditemui pembaca dalam pembuka cerpen ini adalah sekuen suasana ruang pengadilan yang gaduh akibat kedatangan tokoh saksi mata yang datang tanpa mata. Tokoh itu hadir untuk memberikan kesaksian atas pembantaian masal yang dilakukan penguasa militer. Penokohan sang Saksi Mata —tapi tak bermata – jelas merupakan upaya permainan penanda (the play of the signifier) pengarangnya terhadap konsep “saksi mata” yang selama ini ada dalam konstruksi makna kata tersebut dalam masyarakat kita. Penokohan ini tidak hanya dimaksudkan pengarang sebagai upaya menciptakan efek humoristik seperti diungkapkan Baudrilard, tapi juga semacam ironi yang satiristik. Berikut ini adalah contoh citraan peristiwa saat mata saksi mata dicongkel oleh ‘ninja’yang yang yang digambarkan melalui isi dialog antara si tokoh utama pada hakim. “Saudara saksi mata” “Saya Pak” “Dimanakah mata saudara?” “Diambil orang Pak” “Diambil?” “Saya Pak” “Maksudnya dioperasi?” “Bukan Pak, diambil pakai sendok.” “Haa? Pakai sendok? Kenapa?” “Saya tidak tahu kenapa Pak, katanya mau dibikin tengkleng.” (SM:3) Matinya petanda (the death of the signified) dan ‘permainan penanda’ (the play of the signifier) sekaligus upaya menghadirkan efek humoristik jelas tergambar pada dialog tersebut. Kata tengkleng yang dalam konsep masyarakat Solo dipahami sebagai sup tulang kambing—yang juga kadang-kadang menyediakan kaki, telinga, lidah, dan mata kambing sebagai hidangan—tidak hanya menjadi permainan tanda oleh pengarang, bahkan telah dialihkodekan menjadi semacam ancaman teror kanibal, tindakan brutal, dan sadis pada si tokoh utama cerpen SM.. Di lain pihak, dialog itu sendiri terkesan mengandung humor yang memancing tawa pembacanya. ( Sebagai bahan pembanding, contoh citraan semacam ini juga didapati dalam tayangan berita televisi beberapa tahun lalu, ketika tersangka Sumanto melakukan rekonstruksi adegan memakan organ mayat. Pada saat berita itu ditayangkan, paha mayat diganti dengan batang kayu yang dilapisi dengan semacam juadah. Dalam kelebatan simulasi berupa rekronstruksi itu, Sumanto digambarkan bersikap sangat santai saat menyayat “juadah mayat” dan memakannya. Orang-orang yang melihat rekonstruksi, termasuk polisi, terlihat tersenyum, bahkan tertawa. Sementara itu, Sumanto melakukan aksinya tanpa perasaan bersalah sama sekali—pen). Adapun dalam cerpen Seno tersebut, digambarkan bahwa si tokoh Saksi Mata juga menceritakan pengalamannya yang mengerikan dan sadis tersebut dengan ekspresi santai, tanpa emosi, bahkan, dicitrakan tanpa merasa sakit sama sekali, meskipun darah terus-menerus mengucur dari matanya hingga membasahi pakaiannya dan lantai pengadilan. Selanjutnya, citraan hiperrealitas itu sesungguhnya juga tergambar pada hampir keseluruhan isi cerita dan dipertegas dalam bagian tengah dan akhir cerita. Dalam cerpen tersebut secara tersurat disebutkan bahwa si tokoh saksi mata tidak lagi mampu membedakan kejadian nyata dan tidak nyata dalam hidupnya. Segala peristiwa yang dialami dan dirasakan secara fisik dan ‘nyata’ oleh tokoh, ternyata kejadiannya hanya ada dalam mimpi si tokoh, seperti pada kutipan dialog berikut. “Lho ini bisa dibuktikan pak, banyak saksi mata yang tahu kalau sepanjang malam saya cuma tidur Pak, selama tidur tidak ada orang yang mengganggu saya Pak.” “Jadi terjadinya pasti di dalam mimpi ya?” “Saya Pak” “Tapi waktu terbangun mata saudara sudah tidak ada?” “Betul Pak. Itu yang saya bingung.Kejadiannya di dalam mimpi tapi waktu bangun kok ternyata betul-betul ya?” (SM:6) Pada bagian akhir cerita, simulacrum berupa hiperrealitas secara ekspilisit kembali dituliskan oleh pengarang. Citraan sekuen berupa klimaks cerpen ini menggambarkan tentang keadaan si tokoh utama yang masih sempat mendoakan untuk kebahagiaan semua orang, sebelum ia tidur. Ketertindasan ternyata tidak menghalangi si tokoh untuk berprasangka baik pada semua orang, termasuk para penyiksa brutal yang telah menyebabkan kebutaannya. Bagian ini merupakan simulasi tentang ironi sebuah kesalehan, ketegaran, kenaifan, dan kesabaran tanpa batas dari golongan wong cilik atas penindasan penguasa. Tragisnya, keluguan, kejujuran, dan keberaniannya dalam bersaksi di pengadilan, harus dibayar mahal olehnya. Dalam citraan ini digambarkan, ninja dengan brutal mengambil lidahnya—alat yang telah dipakainya untuk menyampaikan kebenaran—dalam mimpinya. Ketika hari sudah menjadi malam, Saksi mata yang sudah tidak bermata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdoa agar kehidupan di dunia yang fana ini baik-baik saja adanya, agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang berbahagia. Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam ninja mencabut lidahnya—kali ini menggunakan catut (SM:9) Citraan tentang peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh Saksi Mata seperti kutipan di atas jelas menggambarkan hilangnya batas antara kejadian nyata dan mimpi oleh si tokoh secara transendental, dan dirasakan oleh para tokoh lain dalam cerpen itu sebagai kejadian yang sangat tidak masuk akal. Kelebatan simulasi dalam teks dan ilusi yang dialami oleh tokoh utama cerpen itu sesungguhnya mengingatkan kita pada kejadian empirik dalam kehidupan sosial politik pada masa itu. Hilangnya seseorang secara misterius karena keterlibatannya dalam kegiatan politik; atau seseorang yang dianggap terlalu vokal dalam mengemukakan kritik terhadap penguasa orde baru; maupun seseorang yang dianggap telah menyaksikan aksi kekerasan militer terhadap rakyat, merupakan peristiwa nyata yang mengepung Seno sebagai jurnalis pada saat itu. Kegelisahannya sebagai jurnalis karena ketidakmampuannya menyampaikan kebenaran, membuatnya mendapatkan jalan ekspresi “kebenaran” melalui simulacrum, yakni simulasi atas realitas yang terjadi pada masa itu. Dengan demikian, citraan yang muncul terlihat lebih nyata (hiperrealis) dan lebih menggigit . Berbagai peristiwa kekerasan politik yang terjadi di tanah air yang tidak terungkapkan dalam media massa,dan hanya menjadi ‘gosip politik’ semasa orde baru, muncul dalam citraan yang lebih nyata, dan seolah ‘tampak’, ‘terdengar’ dan ‘teraba’. “Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?” “Saya Pak” “Saudara masih ingat bagaimana mereka menembak dengan serabutan dan orang-orang tumbang seperti pohon pisang ditebang?” “Saya Pak” “Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang, dan mereka yang setengah mati ditusuk dengan pisau sampai mati?” “Saya Pak” (SM:7) Jagat Simulacrum yang ditawarkan Baudrilard memang tidak pernah menawarkan pemaknaan teks, baik itu teks dalam tayangan media massa, utamanya televisi, maupun dalam seni, termasuk teks sastra. Makna akhirnya tidak menjadi penting, karena bukan lagi sebagai tujuan utama dalam penjelajahan sebuah teks. Dengan demikian, makna bukan lagi sebuah keotentikan yang harus dicari karena yang lebih penting adalah bagaimana sebuah citraan itu muncul sebagai simulacrum dan permainan kode (Piliang, 1999). Untuk itu, makna cerpen Saksi Mata, seperti kata Baudrilard dan Heidegger, tidak perlu terlalu serius diperdebatkan oleh pembacanya. Seperti dikatakan Heidegger, yang diperlukan sebenarnya adalah ‘kemabukan’ dan ekstase dalam membaca teks (Piliang, 1999). Oleh karena itu, sikap pembaca dalam menjelajahi penggalan teks dibawah ini yang penuh citraan miris pun harus dilandasi sebuah kesadaran bahwa semua tanda kodenya sangat mungkin dimainkan karena terdiri atas ‘simulasi yang memabukkan’. Darah masih mengalir perlahan-lahan tetapi terus menerus sepanjang jalan raya sampai kota itu banjir darah. Darah membasahi segenap pelosok kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai tiada lagi tempat yang tiada menjadi merah karena darah. Namun ajaib tiada seorang pun melihatnya.(SM:9). ***** DAFTAR PUSTAKA Ajidarma, Seno Gumira. 1994. Saksi Mata. Yogyakarta: Bentang -----------------------------.1989. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentang. Aziz, M. Imam. 1999. Galaksi Simulacra Jean Baudrilard. Yogyakarta: LkiS Budi Irawanto. 2003. ”Sastra dan Simulacra”. Dalam Sastra Interdisipliner: Menyandingkan sastra dan disiplin ilmu Sosial. Arief Rokhman (Ed) Yogyakarta: Qalam Baudrilard, Jean.1983. Simulation. New York: Semiotexte. Herry Lavin. 1973. “Literature as an Institution” . Dalam Sosiology of the Literature and Drama. Piliang, Yasraf Amir. 2001. Hiperrealitas Kebudayaan. Yogyakarta:LKIS. Soemanto, Bakdi. 2004. “Beberapa Lakon Teater pada Masa Resah: Sebuah Refleksi pada Abad Nuklir di Inggris dan Amerika
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template