Headlines News :
Home » » ALAM, NEOLIBERALISME DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

ALAM, NEOLIBERALISME DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 02.02

 

Sepanjang sejarah, pemikiran kebijakan tetang hubungan manusia dengan alam terlihat tidak mampu untuk menghindar baik dari pusaran neo-liberalisme ataupun upaya untuk menutupi bahayanya pembangunan berkelanjutan. Di satu pihak, yaitu penganut pasar bebas memuji secara terang-terangan subordinasinya beberapa aspek di dunia pada kepemilikan pribadi, produksi komoditas, dan pendapatan keuntungan secara cepat; tetapi di lain pihak yaitu para pengkritik dalam waktu sangat pendek telah memperhitungkan pencarian jalan keluar untuk melanjutkan proses yang sama dalam waktu yang tidak terbatas. Apa pilihan kita?

 

Neoliberalisme

Neo-liberalisme adalah variasi dari liberalisme klasik di abad 19 ketika  Inggris dan imperialisme lainnya menggunakan ideologi kompetisi pasar dan perdagangan bebas untuk menyetujui kapitalisme di negara mereka sendiri dan negeri jajahan mereka di seluruh dunia. Pemberontakan di negeri-negeri Utara oleh buruh industri dan para pengangguran di tahun 1930-1940an dan di negeri-negeri Selatan  di tahun 1940-1950an dalam perjuangan anti kolonial untuk mengakhiri liberalisme klasik dan kolonialisme pada umumnya. Akan tetapi usaha-usaha ini menggunakan ide aliran keynesian, yaitu digunakannya manajemen pemerintah pada upah dan tawar-menawar bersama (collective bargaining) sebagai subsidi pada industri untuk mendukung pertumbuhan produktivitas dan ide welfare state dengan tidak diakuinya upah dan campuran isue antara pemberontakan dan pembangunan untuk untuk melawan koloni baru.

 

Dalam waktu kurang dari 30 tahun, lingkaran kerja internasional dari buruh, perempuan, mahasiswa, petani dan pro-lingkungan memberontak pada tahun 1960-an dan 1970-an mengakhiri Keynesian dan digantikan oleh Neo-liberalisme. Buruh memperlambat pertumbuhan produktivitas dan menaikkan upah dan keuntungan, hal ini telah memutuskan kerja yang semata-mata mengejar  produktivitas dan keuntungan pada akhir perang dunia ke II. Perempuan berjalan ke depan menolak kekuasaan patriarkhi di dalam rumah dan berjuang untuk mendapatkan akses dan pendapatan serta hak menentukan nasib sendiri. Mahasiswa, seringkali mencontoh sikap ibu mereka, mengubah kewenangan di sekolah dan di pemerintah dengan menuntut hak-hak untuk menyokong kepentingan mereka sendiri dan tidak dikirimkannya mereka ke perang imperialis. Petani berjuang untuk menjaga dan meng-klaim kembali kepemilikan tanah mereka dan mencegah dipekerjakan paksa dengan upah rendah, resiko kerja yang tinggi di kota yang terasing. Kelompok pecinta lingkungan mengubah definisi kapitalis dan eksploitasi alam sebagai obyek/lainnya/sumber alam dan mencari yang baru dan menciptakan hubungan yang lebih harmonis dengan semua elemen di seluruh dunia yang memiliki kewajaran dan secara tetap dibangun kembali.

 

Setelah diserang dari berbagai sisi, maka pada akhirnya struktur dari Keynesian jatuh. Dalam perspective sejarah, Neo-liberalisme dapat dilihat sebagai response terakhir dari kapitalis pada kekuatan rakyat untuk menghancurkan bentuk eksploitasi sebelumnya dan mengagendakan sendiri perubahan sosial. Neo-liberalisme muncul dan dikenal  meluas seperti yang terjadi di Amerika Latin ketika krisis hutang luar negeri meledak di tahun 1982 dimana Mexico mengumumkan tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya atas hutang LN-nya. Tampak dengan naiknya bunga pinjaman (dikemudikan oleh American Federal Reserve Board's Campaign against global inflation----lembaga yg dibentuk utk kampanye melawan inflasi global, seperti atas upah), runtuhnya produksi dunia dan perdagangan membuat tidakmungkin naiknya nilai mata uang asing dan Mexico dan negara-negara lain terancam kegagalan atas pinjaman luar negerinya.

 

Dalam  responnya, IMF dan bank dunia melihat pada unsur kepemimpinan,  menuntut adanya penggantian kebijakan berorientasi pada pasar di mana negara sebelumnya menerapkannya dan kemudian menggantinya dengan pendekatan pembangunan sebagai bagian dari persyaratan jaminan hutang. Pemerintah local apakah dengan penghargaan atau sakit yang tersembunyi -gembira dan menyepakatinya. Kebijakan ini mencampur apa yang telah diimplementasikan di negara-negara penghutang akan tetapi berbeda sedikit dengan inti dari orientasi secara umum dari kebijakan kapitalis di manapun di dunia ini di mana term ''neo-liberalisme'' dapat melayani cukup baik sebagai gambaran umum sekarang ini.  Seperti beberapa penjahat Neo-liberalisme telah mempunyai banyak nama lain atau alias: Reaganomics, Thatcherism, supply-side economics, monetarism, new classical economics, shock therapy dan structural adjustment. Persoalannya bukan pada alias tapi para kapitalis pembuat kebijakan  dan pembelanya dalam periode ini sangat antusias untuk mengikutsertakan kerakusan dan keuntungan dan memutarbalikan pada rakyat pekerja dan miskin. Mereka adalah pro bisnis, pro keuntungan, anti upah, dan anti kebijakan berpihak pada buruh dan mulai bicara sebagai ''perang kelas baru''. Kelakuan mereka mengingatkan kepada kelakuan yang memprovokasi pengaduan kemarahan dewi asmara sebagai pengganti rakyat, dalam Kamus Lusiads :

 

Sepertinya mereka bertugas, dulunya untuk menyalurkannya pada rakyat miskin, Cinta Tuhan dan mendermakan kepada semua umat manusia, Dulu mereka dalam cinta.Kekuatan dan kekayaan membuat mereka tiada menunjukkan keadilan dan integritas. Benar bagi mereka berarti tirani yang jelek, Kekerasan, kekerasan tanpa tujuan. Mereka membuat hukum untuk kepentingan raja dan diijinkan untuk diselewengkan pada rakyat.

(camoes)

 

Dalam semua samarannya, Neo-liberalisme sebagai ideology ataupun strategi. Ideologi dari neo-liberalisme adalah pemujaan pasar dan subordinasinya semua kehidupan pada tuntutannya, termasuk pada pemerintah, para individu dan alam. Neo-liberalisme sebagai strategi meliputi swastanisasi (privatisasi), pemotongan bantuan makanan dan perumahan, melipatgandakan penjara, perayaan hukuman mati, memecah belah serikat buruh, memagari tanah, upah rendah, keuntungan lebih tinggi, terorisme keuangan, menggantikan orientasi ekspor-dengan pembangunan impor, mobilitas kapital bebas, memecah belah imigran, menonjolkan rasisme, anti gerakan feminis, mengintensif-kan perang intesitas terhadap petani, dan mempercepat komodifikasi alam atas nama kebebasan, efisiensi dan keuntungan. Seharusnya kebijakan tidak membuat marah tidak hanya dewi asmara, tetapi semua orang laki-laki dan perempuan yang percaya institusi social seharusnya diperluas untuk kesejahteraan semua masyarakat dan bumi untuk semua bukan untuk kekuasaan dan kesejahteraan beberapa orang saja.

 

Pembangunan Berkelanjutan.

Sebagai sebuah ideology, pembangunan berkelanjutan sebenarnya menuntut segala sesuatunya untuk memenuhi tendensi pembangunan pemilik kapital dan menjadikannya sebagai komoditi yang bisa dijual dan mendatangkan keuntungan. Banyak pendukung pembangunan berkelanjutan mempunyai alasan-alasan dalam tradisi barat yang melihat manusia sebagai pelayan alam dan bertanggungjawab untuk merawatnya.

 

''aku tidak pernah merawat domba-domba itu,

tetapi seolah-olah aku telah mengawasinya,

jiwaku seperti gembala,

tahu kemana angin dan matahari,

dan musim berganti,

untuk mengikutinya dan mendengarkannya''

(pessoa 4)

 

Penghancuran dan penebangan hutan, misalnya, telah dipilih jenis-jenis pohon tertentu. Idenya secara umum dari pencabutan dan penyadapan itu adalah untuk mengaturnya tiada putusnya. Perspektif memotong secara melintang untuk pemenuhan Neoliberal dengan pasar melawan institusi pembangunan lain dengan mendahulukan kerangka kerja hasrat daripada tekhnik-tekhnik khusus. Semua metode ''berkelanjutan'' terbuka untuk didiskusikan. Secara tidak menguntungkan, berfokus pada sifat (sustainable) sebagai pengganti benda (pambangunan) pendukung pembangunan berkelanjutan telah meninggalkan dan membuka peralatan-peralatan. Meskipun diskusi sudah dibuka sejak awal, pejabat menyetujui pembangunan berkelanjutan sebagai permulaan dari krisis hutang yang mana kadang-kadang melayani kebijakan neoliberal yang menyakitkan. Komisi Brundtland telah dikenalkan 1983 kira-kira 1 tahun setelah Pemerintah Mexico menyatakan diri bangkrut.

 

Pertimbangan dan laporan akhir ''Our Common Future'' (1987) telah memberikan pembangunan berkelanjutan sebuah ''stempel persetujuan tingkat tinggi'' pada manajer pembangunan di dunia. Pembangunan berkelanjutan mengkritik secara tak langsung ''pendekatan tak berkelanjutan'' pda pembangunan yang telah terbukti rentan atas perbedaan pengartian sehingga mampu berintegrasi dalam orientasi kebijakan dari kebanyakan pendukung neoliberalisme, missal World Bank. Dalam laporan Brundlant, pembangunan berkelanjutan meluas secara cepat sebagai kerangka kerja baru dalam berbisnis. Ada beberapa perlawanan dari penganut pasar bebas yang mengangkat nama Hayek, yang mencela kegagalan laporan untuk menuntut hak-hak kepemilikan pribadi dan sangat jauh dari apa yang disebut konsep pembangunan berkelanjutan sebagai penghalusan dari ''sosialisme lingkungan''. Tetapi di seluruh dunia, konsep ini diterima dengan positif.

 

Di pertemuan bumi di Rio 1992, diskusi tentang pembangunan berkelanjutan berkembang dengan cepat dan membawanya ke pasar kapitalisme. Satu tahun sebelum pertemuan Bumi itu, International Chamber of Commerce telah membuat piagam bisnis untuk mengujicobakan pembangunan berkelanjutan dengan jelas. Jim MacNeill, sekretaris dari Komisi Brundtland dan penulis utama laporan dan penulis kedua ''Beyond Interdependence'' : Hubungan dari dunia ekonomi dan ekologi bumi yang telah dipublikasikan dalam KTT.

 

Kemudian, salah satu dari penulis, Christopher Flavin menulis: ''Tantangannya  adalah menyetujui kebijakan yang mempertemukan ekonomi dan lingkungan, mengarahkan kembali desakan pasar untuk berdampak juga pada tujuan lingkungan. Paling tidak mensejajarkan ekonomi dan lingkungan, paling tidak mengkritik hakekat ekonomi, penulis ini mencari  kesatuan pandangan dan pikiran bahwa tidak ada alternatief untuk bekerja dalam system.  Ketika UN mendirikan Komisi Pembangunan Berkelanjutan dalam KTT tersebut, dan kemudian Presiden USA mendirikan juga Dewan Pembangunan Berkelanjutan, UU mereka juga diasumsikan dari permulaan bahwa solusi pada kelanjutannya akan ditemukan dalam konteks bisnis multinasional dan pasar. Dalam kata-katanya, Trilateral Commission menyatakan bahwa Ekonomi dan Ekologi dapat dipertemukan.

 

Dalam model Neoliberal yang baik, peran pemerintah pada umumnya digambarkan dalam literature Pembangunan Berkelanjutan sebagai pengganti dan pelengkap  dari peran utama para bisnis seperti kelompok perusahaan sebagai Dewan Bisnis untuk Pembangunan Berkelanjutan yang telah didirikan oleh para pengusaha dengan penasihat dari Sekretaris Jenderal PBB ketika berlangsung KTT Bumi. Pemerintah-pemerintah, dewan-dewan dalam laporan bersamanya menyatakan harus menciptakan kerangka kerja dalam bisnis yang dapat menghasilkan teknologi, inovasi, dan proses demi pembangunan berkelanjutan. Pimpinan-pimpinan bisnis melihat ke depan untuk memperbaiki kondisi, antara lain pemerintah mulai melakukan deregulasi pasar, swastanisasi perusahaan, dan menstabilkan kondisi pokok perekonomian.

 

Perlawanan atas Neoliberalism dan Pembangunan Berkelanjutan.

Sebagai hasil dari kerugian secara sistematik dari kebijakan neoliberal di Amerika Latin adalah krisis hutang internasional, dampaknya pada manusia, hutan, sungai, laut dan atmosfir telah diteliti secara luas dan dikritik secara intensif. Ketidakcocokan yang dramatis antara prinsip-prinsip yang telah diumumkan dan pada kenyataannya, antara hukum yang pro lingkungan dan tidak adanya penegakan hukumnya, benar-benar secara jelas telah dikesampingkan. Pemerintah yang telah berjanji untuk menjaga sumber alam, pada satu sisi sebagai perusahaan negara dan kerjasama multinasional merampas bumi dan permukaannya dan meninggalkannya dengan sampah beracun. Cagar alam untuk agraria yang berkelanjutan secara praktek mereka telah menghilangkan petani  dari tanahnya dan berkolaborasi dengan raja obat-obatan, polisi  dan bank-bank di utara telah mendirikan industri eksport terbesar: narkotik salah satu bukti yang menghubungkan semuanya dengan atribut kebutuhan yang berkelanjutan dan keuntungan. Semuanya secara bersama-sama menyatakan bahwa kepentingan untuk melestarikan laut dan udara sangatlah penting sementara itu menarik keuntungan dari mengambil ikan secara berlebihan, pembuangan sampah beracun di tanah dan laut, pembakaran dan produksi ozone pembunuh gas yang tak pernah berhenti.

 

Ketamakan dari kebijakan para Neoliberal apakah itu di Amerika Latin atau di manapun telah memprovokasi perlawanan yang lebih luas. Usaha untuk memadamkan keliaran pada sumber alam telah diperangi oleh pejuang lingkungan. Usaha untuk menswastanisasikan tanah komunal dan mendesakkan hak kepemilikan perusahaan pada warisan budaya mereka dan ilmu pengetahuan lingkungan telah juga diperangi oleh petani dan masyarakat adat di manapun. Usaha untuk meminta masyarakat pada sampah beracun yang diproduksi oleh Neoliberal yang secara social tak bertanggungjawab telah pula dilawan oleh Ogoni Blacks, Texas Red-Necks, dan European Greens. Dari masyarakat adat Zapatista yang muncul di Mexico Selatan dengan perjuangan anti sampah nuklir yang telah dimobilisir di Jerman, telah meluas, berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain. Banyak yang telah mengakui bahwa Neoliberalisme sebagai ketamakan yang berputar, uang panas, pandangan yang sempit dan kekerasan yang brutal yang mengancam dan menghancurkan  semuanya yang datang dalam pencapaiannya.

 

 

Pelajaran ini selama sama: ''bertindak seperti  kamu tahu apa yang kamu sedang lakukan''. Ini aksioma yang mendasar dari kekuatan politik di bawah Neoliberalisme. Guru mereka telah mengatakannya pada mereka. Dan mereka bertanya kepadanya, ''apakah Neoliberalisme itu?''. Guru mereka tidak merespon tetapi saya dapat menarik kesimpulan dari ekspresi dia yang kebingungan, matanya yang merah, air liur yang menetes dari bibirnya, dan bukti pada sol sepatu kanannya, bahwa guru itu tidak mengatakan yang sebenarnya pada mereka tentang kebenaran dari Neoliberalisme. Seperti yang saya telah katakan, Neoliberalisme adalah teori yang kacau balau dari kekacauan ekonomi, kebodohan penguasa dari kebodohan social, dan bencana besar manajemen politik dari bencana alam'' (Don Durito of the Lacandon, 1995).

 

 

Dalam reaksinya untuk mengerti bahayanya Neoliberalisme, banyak yang secara keras mengamankan pelabuhan untuk mencegah badai pada bagian sisi kanan tiangnya (ini kiasan, aku juga tak paham). Tetapi laki-lakinya Odysseus menemukan alternatif dari ketakutan mereka dapat dilihat secara tidak jelas sedikit demi sedikit sama dengan bahayanya sebelumnya yang mencolok. Sesungguhnya, perusahaan-perusahaan di dunia telah berpindah secara cepat di akhir 1980-an dan awal 90-an untuk menyetujui pembangunan berkelanjutan sebagai panji mereka, monster dalam kabut telah menumbuhkan kepala baru yang menimbulkan ketakutan  dan berkecepatan.

 

Untungnya dengan waktu, studi dan pengalaman dari outlines Scylla telah dirasakan dan digoreskan, pembajakan dari issue lingkungan oleh bisnis dan perencana negara telah dianalisis dan peringatan pencegahan telah disebarluaskan. Salah satu pencegahan atau satu set pencegahan adalah kerja kelompok Hijau Jerman, Wolfgang Sachs,  editor dari Development Dictionary (1992, Kamus Pembangunan), dan Global Ecology: A New Arena of Political Conflict (1993, Global Ekologi: sebuah arena baru dari konflik politik). Dalam kalimatnya sendiri, Sachs telah menemukan ko-optasi dari pembangunan berkelanjutan dalam sebuah ideology yang mensupport sebuah rasional baru bagi menejemen lingkungan dan mendesakkan kembali peran dari para ahli pada kebutuhan grassroots. Dalam ''Kamus Pembangunan'' Sachs telah mengumpulkan variasi dari peringatan dalam bentuk essay dari berbagai bagian seluruh dunia, beberapa di Utara-Selatan. Di antara mereka dapat ditemukan essay oleh Serge Latouche dari Perancis yang menulis ''Faut-il Refuse le Developpment? (1986) dan La Planete des Naufrages (1991), Vandana Shiva dari India, penulis dari Staying Alive: Women, Ecology, and Development (1989), Ivan Illich pendiri CIDOC di Cuernavaca, Mexico dan Gustavo Esteva dari Mexico (dengan Madhu Suri Prakash dari India) penulis buku yang akan terbit: Grassroots Postmodernism: Human Rights, the Individual self and the Global Economy (1997?). Semua penulis ini tidak hanya mengelaborasikan kritik dari pembangunan berkelanjutan tetapi menjauhkan spekulasi utopis atau retorika ideology, telah mencari alternatif keberadaan peta pada grassroots.

 

Inti dari kritik ini adalah perpindahan fokus dari kata sifat ke kata benda, dari berkelanjutan ke pembangunan.  Dekade yang hilang di amerika latin yang dihasilkan dari response neoliberalisme terhadap krisis utang membangkitkan banyak kritik thd neoliberalisme.  Tetapi karena terlalu sering memfokuskan thd tdk  kompatibilitas neoliberalisme berevolusi dengan kesinambunagan,  kritik2 tersebut hanya sebatas kritik dan kehilangan substansinya; pembangunan itu sendiri.  Pergantian fokus pembangunan telah menggunung sampai pada serangan secara keseluruhan thd ekonomi dan hegemoni modern atas ekonomi seluruh kehidupan sosial.  Dengan tema ini , pengarang mengambil kritik sosial dari karl marx melalui karl polanyi ke variasi yang luas dari kritik marxist dan non-marxist thd kapitalisme.  Di antaranya adalah. Ivan Illich yang mungkin merupakan figur sentral sebagaimana dia, dalam caranya yang idiosyncratic, memperluas kritik marxist thd komodifikasi dari manufaktur ke jasa (sekolah, pengobatan, pekerjaan rumah) dengan lebih memilih bahasa Polanyi dari pada Marx, contohnya, apakah kritik dari kapitalisme adalah industrialisme (beberapa tahun ke belakang) atau ekonomi (belakangan ini) dan kemungkinan pembaruan didiskusikan dalam istilah lokal atau subsisten, daripada komunisme atau polarisasi sendiri.  Meski berbeda, kesamaannya banyak dan cenderung ke ke bahasa baru  saat bangunnya apresiasi soviet thd marxisme sebagai ideologi dominasi dan eksploitasi mudah untuk dimenerti.

 

Dasar kritik sangat jelas :  tidak ada bentuk pembangunan, berkelanjutan atau tidak, sesuai dengan alam atau tidak secara keseluruhan, termasuk manusia di dalamnya.

 

Ekonomi, sebagaimana kapitalis, adalah suatu problem dan bukan bagian dari solusi.  Menyerahkan perlindungan alam kepada bisnis berarti menyerahkan pada mereka yang telah dengan sistematis merusaknya selama berabad-abad.  Perbaikan yang telah rusak dan menghindarinya di masa depan harus diserahkan pada mereka yang beranggapan bahwa alam adalah lebih dari sekedar sebagai sumber yang dapat dieksploitasi secara terus-menerus.  Perlawanan intelektual ini banyak didiskusikan d luar mainstream.  Diskusi hanya marginal penganjur pembangunan berkelanjutan dan hanya mendapat sedikit perhatian akhir-akhir ini,  dan hanya sebagai hasil dari penolakan yang lebih dramatik.  .

 

Pemberontakan Zapatista di mexico selatan.

Masyarakat Corn menyerang balik.

Sejak meletus ke kalangna publik 1 januari 1994, Pemberontakan Zapatista di Chiapas telah menjadi event dunia.  Angkatan perang lokal dengan kedok dengan lebih banyak senapan kayu dari pada yang sebenarnya, dan dengan kehormatan lebih dalam jumlah mereka yang sedikit dibanding seluruh pemerintahan dan angkatan darat mexico yang korup secara keseluruhan, Zapatista telah menemukan cara untuk mengekspresikan harapan dan aspirasi kaum buruh tani Chiapas yang telah menyentuh hati dan membakar imaginasi seluruh mexico dan dunia.  Dalam bahasa yang sederhana, mengakar di kehidupan dan budaya masyarakat sehari-hari, komunitas Zapatista dan tulisan-tulisan telah menunjukkan kritik thd neoliberalisme yang sedang terfokus di Mexico yang telah menyebar dengan korban dan musuhnya ke kedua belahan dunia.   Pada saat yang bersamaan juru bicara mereka Subcomandante Marcos menyimpulakn dari beberapa sumber visi alternativ yang sama yang telah dikenal luas meski kebanyakan penduduk lokal dan pertanian.

 

Melawan reformasi neoliberalisme, Zapatista membuka realitas brutal:  penguasaan akhir DPR Mexico, ekspoitasi yang mendalam, meningkatnya penderitaan akibat kurang gizi, kurangnya sarana kesehatan, kerusuhan tiap hari dan pembunuhan kultural thd kaum asli.  Melawan impian pemerintah Mexico yang neoliberalisme tentang perahu Mexico yang kompetitif mengarungi lautan pasar bebas secara energetik yang dikapteni ekonom didikan Harvard, Zapatista menunjukkan mimpi buruk.  Kapal itu, mereka menunjuknya, bukan petualangan bebas tetapi kapal budak tukang dayungnya dirantai ke dayung mereka dan kaptennya kalau tidak korup ya tidak dapat dipercaya.  Mantan presiden Carlos Salinas da presiden yang sekarang Ernesto Zedillo bukan Jason atau Odysseus melainkan Ahabs gila yang telah membawa negeri mereka ke kehancuran.

 

Menghadapi kegilaan seperti itu, Zapatista menuntut kontrol demokratik langsung thd hidup mereka sendiri dan menganjurkan yang lainnya dalam masyarakat sosial untutk menuntut hal yang sama.  Melawan penekanan terhadap kebutuhan suku asli akan pembangunan Mexico, yang secara dinamik telah dikebawahkan dalam pasar global (seperti kebijaksanaan global kapitalis dalam periode ini), menganjurkan hubungan dan kerjasama yang horizontal dalam otonomi thd komunitas asli, wanita,  dan bioregion.  Tanpa pastoralis, meski mereka aslinya agraris, bervisi tidak ada penghapusan   industri dan teknologi modern yang dapat dirubah ke kebaikan, tetapi menawarkan pengaturan kembali prioritas sosial  secara fundamental dan pembebasan  dari segala mandat pembangunan.

 

Pada waktu yang sama, mereka menolak dimasukkan dalam apa yang disebut Marcos jebakan cermin, dalam ilusi tentang perbedaan yang kalau dilihat dari dekat tidak lain cuma membalikkan bayangan cermin.  Hal yang paling penting dari cermin ini adalah masalah politik : partai politik oposisi yang tetap merupakan gigi-gigi integral dari mesin politik represif dan lebih luas lagi sebagai bayangan cermin kapitalis, membedakan hanya dalam pola-pola kepemilikan dan tanggung jawab magerial distribusi di antara sektor-sektor swasta dan publik,  tapi pada intinya  tak berbeda dengan nemesis yang seharusnya.  Perspektip seperti itu hampir menjamin kekebalan dari rayuan pembangunan yang berkelanjutan.

 

Juli 1994 Pemberontakan Zapatista telah mengubah pembangunan berkelanjutan menjadi isu keamanan nasional di Amerika Serikat.  Tidak hanya departemen pertahanan membantu pemerintah Mexico dengan nasehat dan material untuk peralatan perang intensitas rendah, tapi juga senator Timothy Wirth berpidato di depan National Press Club dimana dia menganjurkan pembangunan berkelanjutan dapat memberi kerangka kebijaksanaan buta mengganti perang dingin yang telah usai.  Dia memberi salah satu contoh, adalah Chiapas dimana sumber konflik, menurutnya, terletak pada pemberontakannya.  Sayangnya kontribusi konkret pemerintah Amerika thd pembangunan neoliberalisme berkelanjutan di Mexico adalah dalam bentuk pengapalan peralatan perang (seperti helikopter) untuk represi politik dan uang dalam jumlah besar ($50 milyar) untuk nomboki spekulator yang panik (dalam krisi Peso desember 1994).  Bagi kebanyakan masyarakat bawah yang telah mendengar atau membaca pesan Zapatista ke seluruh dunia, di internet atau terjemahan lokal, potret realita dan visi alternatif  nampak seperti udara segar.  Ribuan telah menyambutnya dengan antusias.  Negara demi negara (hampir 50) mereka telah memobilisasi perlawanan thd represi Mexico, thd Zapatista dan suku asli dan mererka telah memasuki diskusi dan dialog dengan analisa dan proposal Zapatista.   Luasnya pengaruh ini sukar untuk diukur karena begitu menyebar luas.   Menjadi lebih mudah dan impresif ketika Zapatista mengeluarkan issu di bulan Januari 1996 tentang seruan kepada masyarakat sosial untuk dialog global tentang neoliberalisme dan alternatif-alternatifnya.  Mereka menganjurkan serangkaian pertemuan benua yang diadakan musim semi 1996 dan pertemuan antar benua di musim panas tahun tersebut.  Mereka mengeluarkan panggilan tersebut dengan harap-harap cemas dan sedikit harapan.  Siapalah mereka itu, mau menguncang dunia?  Mereka begitu terkejut ketika panggilan itu dijawab dengan antusias.  Pertemuan benua kenyataannya diadakan pada musim semi dan menarik ribuan militan masyarakat (di Eropa bertemu di Berlin).  Pertemuan antar benua pada musim panas menarik lebih dari 3 ribu partisipan dari 42 negara dan 5 benua . Tidak seperti pertemuan internasional yang diadakan oleh kelompok bisnis, negara atau akademis, seperti Rio 1992, pertemuan ini tidak ada pendanaan institusionalnya, tidak ada fasilitas konferensi berteknologi  tinggi dan tidak ada janji untuk  dibayar (tidak juga keuntungan atau publikasi) kecuali kesempatan untuk mempercepat usaha membangun dunia baru.

 

Dalam seminggu interaksi yang intensif, dalam hujan dan lumpur di desa-desa di belantara Chiapanecan, ribuan orang ini berdiskusi  tentang relevansi global dari kritik Zapatista mengenai neoliberalisme dan memulai diskusi tentang alternatif-alternatif suatu diskusi yang dalam pembangunan berkelanjutan sering dibuat dan dikritik. Perbedaan perspektif dan analisa banyak dan diharapkan. Yang tak terduga adalah konsensus luar biasa bahwa problem sebenarnya, yang mana neoliberalisme manifestasinya sekarang, adalah kapitalisme.  Gustavo Estefa dan beberapa kontributor lain  pada Development Dictionary disebutkan di atas yang menghadiri pertemuan antar benua dan kritik-kritik mereka tentang anti ekonomi pembangunan, mendapatkan simpati atau bergema.  Tetapi secara lebih jauh, obyek sentral dari kritik adalah

kapitalisme, bukan kapitalis jenis ini atau itu, hanya kapitalisme.  Yang juga menjadi nampak menonjol adalah bahwa bahkan di antara politikus yang hadir, di antara mereka yang mungkin mengharapkan membangkitkan lagi visi lama sosialisme dan komunisme, diskursus dan contoh Zapatista untuk mencari alternatif-alternatif dalam komunitas konkret membayangi tendensi-tendensi lama dan menimbulkan imaginasi baru.  Sejak minggu-minggu pertama kemunculan Zapatista, perjuangan mereka terutama dalam politik dari pada militer dan kemenangan mereka telah berlipat ganda.   Dikepung oleh ribuan pasukan Mexico dan secara konstan di jadikan sasaran peralatan perang intensitas rendah, Zapatista berulang kali mengejutkan dan membingungkan  pejabat-pejabat pemerintah Mexico.  Mereka menghidupkan kembali, dengan cara mereka, Cerita Maya kuno tentang kalahnya Xibalbans oleh 2 anak laki-laki, Hunahpu dan Xbalanque,  di Popol Vuh.  Dalam cerita itu Xibalban digambarkan seperti pemerintah Mexico :

 

Mereka pembuat musuh, majikan serigala,

Mereka ahli dalam maksud-maksud tersembunyi juga,

Mereka hitam dan putih, majikan kebodohan,

Pandai menipu.

 

Seperti 2 anak laki-laki itu, Zapatista telah menang dari mereka yang lebih kuat tidak melalui kekuatan senjata tapi hanya dengan angan-angan, hanya melalui transformasi diri sendiri.  Imaginasi dan kreativitas mereka dalam berjuang telah melegenda.

 

Banyak orang yang telah membaca Odyssey, ketika sampai halaman dimana Odyssey harus memilih antara Charibdis dan Scylla, bertanya pada diri mereka sendiri pertanyaan yang sudah jelas itu :  mengapa ia tidak berlayar ke sembarang tempat lain dari pada Selat Medina dan menghindari 2 pilihan buruk?  Mengapa menuruti kata-kata Circe yang tidak feasible?  Dia mungkin telah menjadi dewi, tapi pada saat itu Odysseys seharusnya telah belajar memilih.  (Apakah itu Circe [kapitalis] yang telah mengubah cantiknya Scylla [respek thd alam] Glaucus [ekologis] menjadi monster [pembangunan berkelanjutan?).  Dari seluruh tradisi mitologi yang berbeda-beda di Mesoamerika, Zapatista telah menghindari kesalahan Odysseus.  Mereka melihat ke sisi lain, tidak ke atas minta nasehat ke kaum tani (AntonioTua) dan bahkan kumbang (Don Durito) dan mereka telah berpikir ulang tentang banyak hal, termasuk hubungan antara manusia dengan dunia sekitarnya.

 

Dalam mitologi Maya sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari pria dan wanita di pertanian, alam bukan satu kesatuan tapi gabungan dari bagian-bagian.  Milpa dari mana mereka menarik inti sari makanan dan minuman dari bumi dan langit  dan komida dimana mereka menikmatinya,  menghubungkan mereka dengan

seluruh kosmos.

Dalam beberapa cara, visi mereka diekspresikan dengan puisi yang digemakan oleh Fernando Pessoa abad 20 :

 

Aku melihat alam itu tidak ada.

Alam itu tidak ada,

Ada gunung-gunung, lembah-lembah, dataran,

Ada pepohonan, bunga-bunga, rerumputan,

Ada sungai dan bebatuan,

Tapi kesemuanya itu bukan milik siapa-siapa,

Bahwa hubungan yang nyata dan benar adalah penyakit dari ide kita,

Alam terpecah-pecah tanpa keseluruhan,

Inilah mungkin misteri yang mereka ceritakan.

(Caeiro/Pessoa)

 

Zapatista adalah revolusioneris, bukan ekologis, jelas bukan environmentalis, tapi mereka telah belajar bahwa tidak akan ada harmoni dalam kosmos alamiah tanpa timbal balik dari pemisahan mereka dari bumi dan peletakkan kesehatan mereka sendiri di tanah, hutan dan sungai itu.   Orang-orang komunitas Zapatista bukanlah masyarakat pengumpul pemburu, mereka bukan masyarakat yang hidup di hutan dan ketika angkatan darat Mexico memaksa mereka melarikan diri ke hutan belantara dan pegunungan, mereka sangat menderita.  Mereka adalah orang-orang yang bekerja dengan tanah, agriculturis, bahkan ketika mereka pergi ke kota untuk sekedar kerja untuk mendapatkan upah karena pilihan-pilihan lain telah dicuri dari mereka.  Dalam diskursus publik mereka, Zapatista telah menekankan pokok-pokok akar budaya mereka tapi mereka tidak memegangnya sebagai pegangan universal buat orang lain untuk mengikuti atau sesuai dengan mereka.  Mereka menyusunya bukan sebagai suatu cara, tapi sebagai satu jalan, suatu alternatif untuk apa yang mereka sebut sebagai satu-satunya pilihan.  Dan dengan seperti itu, mereka seperti suku asli lainnya dalam tahun-tahun belakangan ini telah menggugah orang lain, bahkan masyarakat kota, untuk memalingkan muka dari bayangan cermin ke sesuatu yang nyata, daripada ke alternatif yang hanya ilusi.  Dari sudut pandang saya, salah satu yang menarik tentang pikiran dan politik Zapatista adalah penekanan tentang keaneka ragaman, tentang kekuasaan badan-badan kolektif dan bermacam-macam jalan atau cara untuk mencapai masa depan.

 

Dua kesalahan besar dalam tradisi revolusioner barat adalah obsesi totalisasi dan ide bahwa sistem harus mengikuti sistem.  Meski kaum revolusioner menolak usaha-usaha imperial kapitalis untuk mneyerap dunia dan menyebarkan hegemoni universal, mereka masih berpikiran tentang kesatuan dan counter hegemoni.  Banyak kaum Marxist yang percaya karena sietem kapitalis bersatu ada setelah feodalisme, maka harus ada sistem sosialis (atau komunis) untuk menggantiakn kapitalisme.  Sambil meneriakkan merusaknya kesatuan kapitalis, banyak kelompok radikal lingkungan berpikiran bio-sistem, Gaia secara keseluruhan.  Menggunakan metafora Marcos tentang cermin, konsep tersebut, bahkan dalam bentuk dialektik intelektual atau pengagungan spiritual, tidak pernah lepas dari pengulangan-pengulangan cermin masa lalu dimana  yang terbaik yang pernah anda dapat adalah kebalikannya (seperti kepemilikan publik sebagai ganti swasta, Mother Nature sebagai ganti God the Father) tetapi tidak ada pembebasan masyarakat manusia dari kerangka kerja hegemoni tunggal untuk organisasi kehidupan, tidak ada pembeasan manusia atau alam keseluruhan dari penekanan nilai-nilai tunggal (uang atau buruh).  Melihat bahwa cermin dapat disingkirkan dan pembaruan yang dibentuk menghubungkan zapatista buat yang terbaik dari pikiran kontemporer barat, buat tradisi philosophi anti dialetikal tertentu, diterimanya perbedaan dalam feminisme kontemporer, buat kaum otonomis Marxist dan buat eksplorasi ekologis yang paling menarik.

 

Implikasi cara berpikir seperti ini paling tidak ada dua : mengenali bahwa kita dapat menolak kerangka kerja ekonomi yang secara normal tidak mampu (kapitalisme) berati kita bebas melihat alternatif yang lebih detail, dan kedua, bebas dari pencarian alternatif komprehensif tunggal, kita dapat melakukan pendekatan yang lebih fenomenal dan eksperimental untuk mempelajari dan berpartispasi dalam mennentukan alternatif.  Tidak seperti Odysseus, kita dapat berterima kasih pada Circe dengan manis untuk "daging bakar dan anggur merah"-nya dan pergi ke arah matahari terbenam atas pilihan kita sendiri.  Apakah kita berlayar mencari Pulau Cintanta Camoes atau mengikuti Odyseus ke Lisabon atau pergi ke perairan yang sama sekali tidak di ketahui, kita benar-benar bebas memilih.  Bahkan kita dapat, seperti Antonio Tua, sekedar mengayuh kano di tengah suatu danau di pegunungan yang sepi, di bawah bulan purnama, merokok dan bercerita tentang cerita lama biar orang lain tertawa dan mengambil manfaatnya.

 

Kesimpulan.

Kita harus menemukan cara untuk menghubungkan pendekatan-pendekatan alternatif baru yang muncul untuk mendefinisikan kembali dan mengorganisasi pertumbuhan  dan distribusi kemakmuran dan dan membentuk hubungan baru diantara manusia dan antara mereka dengan seluruh alam raya dengan cara yang dapat berhunungan atau aksi yang komplemen.  Terdapat banyak eksperiman yang sedang berjalan di seluruh dunia yang pengalaman dan kreativitasnya bisa  dibagi bersama.  Ini bukan berarti menyatunya sosialisme atau bentuk lain dari pasca ekonomi kapitalis, tapi lebih pada pembentukan kerjasama interkoneksi  diantara proyek-proyek yang berbeda.  Atau tidak juga berarti memutuskan atau memecah sosialisme.  Ini lebih berarti pada meletakkan bersama suatu mosaik dari pendekatan-pendekatan alternatif yang saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan kita dan memuaskan keinginan kita.  Ini berarti menemukan politik baru yang menerima perbedaan tapi menyediakan proses-proses interaksi  yang meminimalkan antagonisme.

 

Harry Cleaver

Austin, Texas

April, 1997

 

 

 

 

 

Penyebab Krisis Ekonomi Internasional

Allen Myers

 

Pada awal tahun 1997, terdapat indikasi bahwa berkembangan cepat tanah milik di Thailand (property boom) akan mengarah untuk jaman meleset. Pada bulan Maret tahun tersebut Pemerintahnya mengumumkan bahwa mereka akan membayar $3.9 milyar untuk hutang tanah yang tidak bisa akan dikembalikan oleh lembaga keuangan, tapi janji ini tidak akan jadi. Direktur IMF Michel Camdessus ketika ini berkata "saya tidak melihat sesuatu alasan bahwa krisis ini akan menjalar".

 

Pada awal bulan Mei, para pejabat tinggi di Jepang yang khawatir tentang harga Yen yang massa itu turun, memberi indikasi kecil bahwa mereka mungkin akan menaikan tingkat bunga di Jepang. Ini juga tidak terjadi tapi, para investor internasional langsung mulai menjual mata uang (currencies) Asia Timur Selatan, dimana hal ini mendorong harga mata uang dan juga harga saham(stock)melemah.

 

Pada pertengahan bulan Mei banyak Baht Thailand dijual oleh spekulator-spekulator. Satu minggu setelahnya, pengusaha keuangan yang terbesar di Thailand menjadi bangkrut. Pada bulan Juni tanggal 19 menteri pertama bilang "kami tidak akan pernah membolehkan harga Thai baht diturunkan". Pada tanggal 30 ia kembali mengulang pengumuman ini secara nasional lewat televisi. Dua hari setelahnya Bank Thailand mengumumkan bahwa kurs Baht mulai mengambang (float) dan mengajak IMF untuk memberi "bantuan teknis". Pengumuman itu menyebabkan harga Thai Baht turun 15-20% - inilah awal dari "Krisis Asia".

 

Segera setelah Baht Thailand melemah, mata uang negara-negara lain diserang oleh spekulasi, ini terjadi di Malasia, Indonesia dan Filipina. Tak lama kemudian, krisis tersebut menjalar ke Korea Selatan, yang menyebabkan peringkat negara itu turun dari ekonomi yang kesebelas terbesar di dunia menjadi ekonomi yang keduapuluh selama beberapa hari. Di dalam negara negara ini semua pasar saham mengikuti jatuhnya mata uang. Bank Dunia (biasa tidak pesimistis tentang akibat masalah ekonomi dunia terhadap dunia ketiga)

berkata tentang Asia Timur:

 

… itu sudah jelas bahwa bagi puluhan juta orang hidup akan menjadi lebih susah dalam beberapa tahun ke depan…

 

Kedalaman krisisnya menentukan kehilangan potensi kemanusiaan yang lama. Ada banyak Anak yang keluar dari sekolah. Di Indonesia sebagai contoh para pegawai negeri memberitakan bahwa jumlahnya anak yang ikut sekolah sudah turun dari 78% ke 54%. Krisis ini menyebabkan sejumlah besar keluarga cerai, mendorong gadis perempuan untuk menjadi pelacur dan membuat kekurangan yang mengancam hidup untuk kaum tua miskin.

 

Antara 1975 dan 1995, jumlah rakyat miskin di Asia Timur kira-kira menurun menjadi setengah. Garis kemiskinan ekstrem adalah jelas rendah sekali itu bawah US 1 dollar perhari, tetapi ini jelas kemajuan bagi puluhan juta orang. Akan tetapi kebanyakan kemajuan ini mungkin akan dihapuskan. Statistik ini berarti deprivasi yang benar untuk rakyat tersebut. Di Indonesia harga antibiotik naik dua kali lipat antara bulan Oktober 97 sampai Mars 98, harga makanan naik 50% antara bulan Juni dan Mars.

 

Antara wilayah Asia Timur jumlah pengusaha yang tidak diketahui telah sampai menjadi de fakto bangkrut. Pengusaha tersebut tidak mungkin akan bisa mendapat cukup mata uang yang lokal untuk membayar kembali pinjaman yang meminjam dengan dolar US atau Yen. Perkiraan yang paling optimis untuk Asia adalah resesi keras selama beberapa tahun lagi.

 

Stanley Fischer satu penjabat tinggi IMF berulang kali mengatakan bahwa masalah di Ekonomi Asia adalah karena "permasalahan lokal” (“home grow causes”) - maksudnya; kroni kapitalisme dan korupsi. Tapi sebelum dan sampai September 1997  IMF terus memberi pujian kepada rezim rezim itu karena "sukses" ekonomik mereka. Sukses ini menurut IMF adalah karena deregulasi keuangan (financial deregulation) yaitu Pelaksanaan kebijakan-kebijakan IMF.

 

IMF mendeklarasikan bahwa solusi untuk penyelesaian krisis ini adalah pelaksanaan lebih banyak kebijakan yang sama seperti diperintah IMF sampai pas krisis. Kebanyakan orang berpikir kebijakan itu adalah penyebaban krisis.

 

Untuk Pemberian milyaran dolar paket “penyelamatan” IMF menuntut pergantian kebijakan oleh pemerintah-pemerintah tersebut. Salah satu bahwa pemerintah harus mengembalikan utang LN yang dilakukan oleh sektor swasta yang tidak mampu mengembalikan sendiri. Kedua memperkecil permintaan (demand)dalam negeri dengan menaikkan tingkat bunga (interest rates) dan membikin kelebihan anggaran belanja pemerintah (budget surplus). Yang terakhir "reformasi" kestrukturan yaitu mencabut batasan pemerintah terhadap pasar "bebas".

 

Paket2 "penyelamatan" (rescue packages) yang digunakan oleh IMF untuk memperbaiki perekonomian yang terperosok ke dalam krisis tidak sukses. Apa lagi kebijakan IMF memperdalam krisisnya. Karena Pemerintahan dalam negara ini harus mengembalikan hutang ini punya akibat jelek. Para bank asing tidak harus memundurkan (postpone) pembayaran kembali dari hutang. Karena hutang ini harus dikembalikan dalam dolar atau yen, sektor swasta ataupun pemerintah harus menjual banyak mata uang lokal untuk dapat dolar atau yen agar dapat melakukan pembayaran kembali pada bank internasional. Ini berakibat nilai mata uang lokal menurun lagi. Juga karena uang tersebut dipakai untuk pembayaran kembali di luar negeri, ekonomi domestik diperkecil karena permintaan (demand) turun. Ini menyebabkan investasi kapital ditarik ke luar negri (capital flight) karena kapitalnya tidak bisa menguntung lagi dalam kondisi tersebut.

 

Para pejabat tinggi dan ahli ekonomi Bank Dunia dan IMF tidak lebih bodoh dari pada penjabat yang ada di dalam sesuatu pemerintahan kapitalis. Rekomendasi kebijakan mereka biasa diumumkan dalam prinsip-prinsip yang luas yang menurut dugaan akan membantu masyarakat dunia. Tapi dalam kenyataannya kebijakan tersebut membela kepentingan imperialisme, terutama kepentingan negara imperialist paling berkuasa seperti Amerika Serikat.

 

Propaganda IMF bahwa krisis ini adalah karena "permasalahan lokal" menjadi luntur ketika "Krisis Asia" menjalar ke Rusia kemudian Amerika Latin. Kemudian beberapa minggu setelah pemerintah Rusia tidak dapat melunasi hutang ke bank-bank Barat, Wall Street - "tempat yang tidak mungkin ada KKN" - tersedot di dalam krisis juga.

 

Pada bulan September 1998 dana federal Amerika (US federal reserve) harus mengumpulkan paket kebijakan untuk menyelamatkan lembaga keuangan swasta dengan nama Long Term Capital Management, dimana pengusaha yang terlalu besar dibolehkan untuk menjadi bangkrut. Ahli Ekonomi AS, Paul Krugman,

berkata "orang orang di Federal Reserve cemas (frightened). Mereka pikir mereka berjalan di atas landasan (ground) yang solid kemudian tiba-tiba menemukan diri mereka berjalan di atas landasan yang labil di atas jurang yang dalam".

 

Apa yang ada di belakang kejadian yang dramatis ini? Hal pertama yang perlu diingat, bahwa kejadian-kejadian tersebut telah menjadi berita utama media massa - kejatuhan (crash) yang tiba- tiba dari sebuah perusahaan atau bank, atau sebuah variatip mata uang adalah simpton dari krisis tapi bukan krisis itu sendiri. Jika dunia selamat dalam waktu enum atau duabelas bulan lagi tanpa kejatuhan mata uang yang besar lagi - itu bukan berarti krisis sudah selesai. Paul Krugman menjelaskan ini dalam Pidato tentang ekonomi Asia: "tahap krisis yang akut mungkin sedang selasai - tahun depan hasil akan meningkat dan kita mungkin lihat bahwa terjadi pertumbuhan ekonomi - tapi pertumbuhan sedikit bukan menyelesaikan krisisnya. Krisis panas mungkin selasai tapi krisis dingin akan mulai."

 

Ini tidak berarti saya setuju dengan perkiraan Paul Krugman bahwa "krisis panas" akan berakhir di Asia atau disesuatu tempat lain. Saya hanya mau menjelaskan bahwa ada masalah yang fundamental di ekonomi kapitalis dunia, dan bahwa masalah ini bisa menampak dengan secara variatip - salah satunya adalah krisis mendadak seperti tahun lalu.

 

Krisis Lama

 

Yang pertama "Krisis Asia" adalah indikasi tentang dimulainya krisis putaran kelebihan produksi (resesi) di ekonomi dunia seperti yang ada pada tahun 1974-75, 80-83, 90-93. IMF memperkirakan (dalam World Economic Outlook diterbitkan pada bulan Oktober 1997) bahwa selama 1998 pertumbuhan ekonomi di dunia (real GDP growth) hanya sampai 2%. Outlook juga menulis bahwa tidak mungkin ada perbaikan serius pada tahun 1999, dan risiko sudah meningkat bahwa resesi ini akan menjadi lebih dalam, luas dan lama".

 

Krisis putaran berkelebihan ini terjadi di dalam krisis yang lebih lama, krisis persetubuhan kapitalis (capitalist relations) seluruh dunia, yang mulai dengan resesi pada tahun 1974-75. Ini era lama dengan stagnasi relatif ekonomi, dengan bertumbuhan lambat selama kecenderungan untuk naik (upturns). Walaupun selalu kecenderungan untuk menurun (downturns) adalah lebih dalam dan lebih lama daripada yang sebelumnya.

 

Satu ukuran stagnasi relatif yang lama ini adalah melambatnya pengembangan produktivitas kerja (labour productivity). Pertumbuhan produktivitas kerja di AS untuk 25 tahun yang lalu adalah rata rata 1% per tahun, untuk 25 tahun sebelumnya rata rata 2% tumbuhan.  "Revolusi Komputer" tidak membuat peningkatan produktivitas kerja: teknology tidak dapat merubah situasinya sendiri tanpa kondisi sosial dan ekonomi.

 

Indikasi lain bahwa resesi-resesi massa ini makin dalam adalah statistik ekonomi dunia. Antara 1970-95 rata rata pertumbuhan ekonomi (GDP growth) sebesar 3.5%. Selama tahun-tahun dasawarsa 70-an ada 8 tahun dengan bertumbuhan atas rata-rata tersebut dan 2 di bawah, selama dasawarsa 80-an ada 5 di atas, 4 di bawah dan satu sama dengan rata-rata, dasawarsa 90an akan menjadi 6 tahun di bawah dan 4 tahun hanya sedikit di atas rata-ratanya.

 

Debat dalam kolompok marxis tentang penyebab krisis ekonomi idak selalu berguna, khususnya jika perdebatan itu dimaksudkan untuk mencari peyebab tunggal dari krisis. Kapitalisme adalah sistem yang terintegrasikan bukan kumpulan roman terpencil (issolated features). Interaksi antara semua roman menentukan kecenderungan untuk naik dan turun (booms and busts) dalam sistemnya.

 

Krisis adalah hasil dari semua kontradiksi kapitalisme dan secara semua kontradiksi itu saling menginteraksi. Karena itu tidak ada dua krisis yang persis sama walaupun krisis-krisis tersebut punya banyak roman atau sifat yang sama.

 

Biasa krisis yang putaran menimbul secara bedaannya terlalu  jauh antara nilai dan harga: selama period boom, karena harga dan untung selalu naik maka semua kapitalis bisa mengambil untung bahkan (even) kapitalis yang paling tidak efisien. Lama kelamaan lama karena banyak orang yang mencoba mengambil untung,  terjadi kenaikan permintaan (demand) sehingga mengakibatkan harga ikut naik sehingga keuntungan pun bertambah tinggi. Selama proses ini tingkat harga produk rata-rata semakin naik sampai di atas tingkat nilai rata-rata.  Berarti kapitalis yang tidak efisien bisa boros tenaga kerja sosial (social labour).

 

Tapi akhirnya perbedaan antara nilai dan harga menjadi terlalu besar, tiba tiba kelas kapitalis tidak bisa lagi mengumpul (realise) ongkos produksi plus untung biasa. Depresi/resesi adalah solusi untuk kontradiksi yang paling segera, karena itu menyebabkan nilai dan harga menjadi normal - ini terjadi dengan cara membangkrutkan atau pengambilalihan (take over) bisnis para pengusaha yang paling tidak efisien - yaitu destruksi kapital.

 

Persoalannya bagi kelas Kapitalis adalah bahwa kontradiksi-kontradiksi kapitalisme makin besar selama masih hidup dalam sistem kapitalisme: jadi itu perlu lebih dan lebih banyak menganggu sosial supaya menemukan solusi (walaupun sementara) untuk kontradiksinya. Sampai tahun 1930-an krisisnya membutuhkan waktu 15 tahun depresi, fasisme dan perang untuk menyiapkan kondisis baik untuk kecenderungan naik (boom) ekonomi. Boom itu hampir tidak sampai 25 tahun baru krisis persetubunan kapitalis menabrak lagi.

 

----- (Editnya susah buaaaaanget) ----

 

 

 

Kalau kita hanya melihat ekonomi, kapitalisme butuh kehapusan kapital yang besar untuk membolehkan suku untung (rate of profit) naik baru. Namun persoalannya kalau ekonominya menjadi lebih bersifat monopolistik itu lebih susah membangkrut pengusaha sebagai destruksi kapital yang dibutuhkan. Ini karena pengusaha pyang bersifat monopolistik adalah lebih mampu untuk hidup selama krisis. Juga pengusaha besar punya kekuasaan politik sehingga mereka bisa menuntut bantuan pemerintah. Kita lihat  hanya satu contoh, chaebol chaebol di Korea Selatan. Chaebol salah satu faktor yang memulai krisis karena mereka meminjam terlalu banyak uang. Walaupun sejak mula krisis chaebol chaebol meningkat dominasi ekonomi. Beberapa bulan lalu perbandingan utang per milik (dept to asset ratio) sampai lebih dari 800% berarti mereka punya utang delapan kali besar daripada miliknya. Tapi siapa mau menutupi mereka?

 

"Karena semua orang tahu chaebol tidak akan menjadi bangkrut, lima chaebol yang terbesar sudah mendapat uang investasi dengan mudah tahun ini. Mereka mendapat 3.2 tryliun Wan dalam sembilan bulan yang awalnya, lima kali besar dari jumlah tahun lalu. Juga mereka mengeluarkan surat obligasi yang senilai 27 tryliun, tiga per semperempat antara semua mengeluarkan surat obligasi baru."

 

Proses politik ini menganggu destruksi kapital yang biasa.

Batasan Politik

 

Ini menegaskan pendapatnya bahwa krisisnya tidak cuma "ekonomik". Kapital mendominasi semua aspek hidup sosial maka dampaknya krisis adalah dimerasakan di semua tempat: dengan secara destruksi lingkungan, rasisme, sexisme, kejahatan, alienasi dan lain lain.

 

Meskipun banyak kegagalan dalam gerakan sosial pada tahun 1960an kelas kapitalis masih benci era itu karena itu memunculkan potensi untuk krisis yang dalam legitimasi bourgeoise. Ketidakmampuan sistem untuk memperbaiki, atau memelahirkan kwalitas hidup berhasil radikalisasi yang luas. Kegagalan sistem tidak hanya termasuk isyu upah tapi kwalitas hidup seperti kebebasan dari diskriminasi rasis dan sexis, kerja yang tidak mengasingkan dan penuh dengan arti, kemungkinan dua-duaannya kebutuhan pribadi dan merasa komunitas. Meskipun kegagalannya radikalisasinya itu memperhatikan borjuis bahwa legitimasinya adalah mudah pecah. Apa lagi radikalisasi 1960an terjadi selama era boom yang setelah perang dunia kedua.

 

Selama era stagnasi yang ada sekarang, batasan politik bagi borjuis adalah lebih penting. Ini membatasan pilihan ekonomik yang ada bagi borjuis. Misalnya tidak ada pemerintah negara imperialis yang membolehkan penganguran dengan tingkat terlalu tinggi. Salah-satu pemerintah imperialis yang teragresip, Thatcher akhirnya perubah secaranya meskipun semua retorik dengan artinya lawan. Di Australia pemerintah Howard telah maju secara perhatian ini pas Howard menyerangan upah dan jaminan sosial itu meskipun tidak ada perlawanan dari gerakan kerja.

 

Selama waktu suku untung yang rendah dan lambat tumbuhan produksi, kapital kelebi-lebihan biasa menjadi kapital spekulasi karena itu tidak bisa menemukan investasi dalam produksi. Atau itu menjadi Kapital untuk pinjam dan kapital untuk pinjam adalah agak spekulativ kususnya kalau meminjam ke dunia ketiga dan negara negara yang bekas sosialis karena kemunginan besar bahwa kapital itu tidak akan kembali. Bertambah kwantitas kapital untuk meminjamin juga menyebabkan pemerintah melaksanakan kebijakan uang yang ketat (tight money policy) untuk membatasi inflasi, yang kalau terjadi akan menurunkan nilai (devaluate) uang pinjam tersebut. Melaksanakan kebijakan uang yang ketat berakibat pemerintah terbatas dan tidak bisa  melaksanakan kebijakan yang lawan stagnasi.

 

Stagnasi Di Jepang

 

Batasan ekonomis dan politis bagi kaum kapitalis dan pemerintah mereka tersebut membuat situasi kelebihan produksi seluruh dunia dan kompetisi ekstrim yang sangat keras untuk dominasi pasar. Selama dasawarsa 1990 kapital AS telah mengonsolidasikan posisinya negara kapitalis paling kuat, AS bisa mengonsolidasi seperti ini karena itu telah lebih efectip menyeranan tingkat upah kelas kerja. Pada tahun 1997 upah per jam yang benar (real wages) untuk buruh yang kerja dalam sektor produksi adalah sama dengan tingkat upah pada tahun 1965 di AS.  Faktor lagi untuk sukses AS adalah menurunkan nilai dolar 40 sampai 60% kebandingan yen dan mark.

 

Kecenderungan untuk naik yang dibikin oleh pertumbuhan ekspor (export lead boom) di AS adalah lawan ekonomi Jepang yang mengalami stagnasi sejak tahun 1990 ketika pertumbuhan tanah dan bangunan jaman meleset (collapse of the land bubble). Sampai tahun 1995 ekonomi Jepang hampir jaman meleset, tapi AS membolehkan dengan enggan (reluctance) meningkat kurs (value) dolar dan potongan kurs yen; ini membuat meningkat ekspor dari Jepang. Walaupun itu juga satu faktor yang membuat krisis di Asia Timor tahun lalu, karena ada ekonomi ekonomi Asia Timor dengan mata uang yang dilampirkan dengan dolar AS, jadi ekonomi ekonomi itu mulai hilang pasar ekspor ke kompetitor Jepang. Jepang sedang resesi yang paling dalam sejak perang dunia kedua. Statistik Penganguran negeri Jepang menjadi 4,1% pada bulan Juli 1998 itu tingkat tinggi sekali bagi negara yang dulu dikatakan “negara dengan pekerjaan selama hidup.” Tingkat bunga sekarang ini adalah 0,25%, berarti pemerintah tidak akan dapat mengganti tingkat bunga untuk memanipulasikan ekonomi. Meskipun dengan tingkat bunga paling dasar konsumen konsumen Jepang masih simpan banyak pendapatan antara total.

 

Jepang adalah contoh yang paling jelas tentang maslah kapitalis terdepan di era sekarang ini. Selama hampir satu dasawarsa pas stagnasi yang hampir termasuk resesi, pejabat pemerintah coba memberhentikan kebangkrutan pengusaha pengusaha yang tidak efisien tapi berkuasa dalam politik. Selama in bank bank Jepang sudah kumpul sekitar $1 tryliun termasuk pinjaman jelek

(bad dept).

 

Ketika kita mendengar statistik seperti itu reaksi kita mungkin memikir bahwa bankir bankir Jepang adalah kentir semua. Apakah orang harus bersifat kentir kalau dia meminjami $1 tryliun kepada orang orang Yang tidak bisa mengembalikan? Sebenarnya Kapitalis keuangan Jepang tidak kentir, mereka berkelakuan dengan secara paling rasionil di dalam sistem yang tidak rasionil sekali. Tugas mereka adalah meminjami uang, jadi mereka bisa melakukan apa lagi dengan uang itu. Uangnya dihilangkan lebih cepat kalua mereka menginvestasikan dalam produksi. Sering kali mereka meminjami kepada sekutu business yang akrab atau meminjami diri. Juga selalu ada kemunginan bahwa pemerintahnya akan menyelemat mereka dengan pembayaran pinjaman jelek.

 

Sekarang Pemerintah Jepang telah membayar $67 tryliun pinjaman jelek (bad loans), kebanyakan jumlah itu dikumpul dengan secara pengeluarkan surat obligasi (bond issue) berarti pemerintahnya meminjam uangnya. Sejak sekarang sampai pada bulan mars tahun 2000 pemerintah akan mengeluarkan surat obligasi sekurs $45 tryliun yaitu $4 tryliun lebih pendapatan pajak. Penulis business Australia kata "kita tidak lihat perbandingan seperti itu setelah Republik Weimar" . Siapa bilang kapitalis kapitalis tidak punya kemerasaan

sejarah?

 

Republik Weimar meminjam untuk membayar pekerjaan pemerintah dan dan mengembalikan uang dituntutan oleh Pejanjian Versailles setelah perang dunia kedua. Pemerintah Jepang meminjam hanya untuk dikasih kepada bank bank swasta.

 

Ada beberapa bank Jepang yang tidak mungkin akan bisa menjadi menguntungkan lagi. Ada kemungkinannya bahwa pemerintah akan menasionalisasikan bank bank swasta, yaitu menasionalisasikan ruginya supaya pembayar pajak gagal dua kali; pertama membayar bank bank yang sudah bangkrut, kedua membayar semua pinjaman jelek. Sosialisasi kegagalan seperti ini tidak cuma terjadi di Jepang; kita akan lihat itu agak banyak, mungkin sering dipanggil secara "radikal" atau "kiri" untuk memperbaiki ekonomi.

 

Meskipun paket menyelamatkan (rescue package) dari pemerintah, bank bank Jepang terus-menerus menarik pinjaman dan membatas pinjaman baru. Terutama meraka memperkecil utang dan investasi luar negeri, itu faktor yang mungkin menjalarankan masalah utang (credit crunch) Jepang kepada luar negri.

 

Boom Amerika

 

Kapitalisme AS mengalami kesembuhan untung selama dasawarsa 90 karena meningkat daya saing (competativeness) ekspor dan penurunan upah benar (real wages) seperti ditulis di atas. Pada tahun 1997 AS mengalami awalnya meningkat pertumbuhan domestik karena sukses ekspornya.

 

Kalua puturan yang "biasa" meningkat pertumbuhan domestik itu adalah indikasi awalnya kecenderunan untuk naik. Namun pertumbuhan itu terjadi dalam kondisi ekonomi dunia yang barangkali adalah berarah ke resesi, ekonomi dunia yang berrugi selama AS bertumbuh sejak 8 tahun lalu. Jadi ekspor AS akan turun dan impor naik karena resesi di sebagian besar Asia dan berhubungan perubahan mata uang. Defisit keuangan ekonomi sekarang (current account deficit - CAD) adalah hampir 3% antara total kurs produksi domestik (gross domestic product) dan akan barangkali meningkat lagi selama pertumbuhan meneruskan secepatnya. Itu alasan administrasi Clinton telah mendorong dengan secara politik kepada pemerintah Jepang untuk penurunkan kelebihan dagang (trade surplus) Jepang.

 

Basis untuk boom Amerika selama delepan tahun tidak hanya bahwa kelas borjuis telah sukses dengan serangan kondisi rakyat AS dan kompetitor kompetitor internasional, basis untuk boom itu juga boom spekulative di pasar saham (stock market) AS.

 

Ada dua secara untuk ambil untung dari saham. Satu ada membeli helai saham dari pengusaha yang menguntungkan dan dua kali setahun keuntungan saham (dividend) adalah diberi ke pemilik. Biasa harga helai saham adalah tinggi kalua kemunginan tinggi bahwa pengusaha akan ambil banyak untung.

 

Secara yang kedua adalah beli helai saham dari pengusaha dan harga helai saham akan naik sehingga itu bisa dijual untuk harga lebih mahal daripada harga pembelian yaiyu untung. Ini dipanggil sekulasi, atau kalua orang punya informasi yang jarang ada tentang alasan alasan harga mungkin akan naik, kalua begitu itu dipanggil dagangan orang dalam (insider trading). Spekulasi punya banyak roman yang sama dengan bermain di kasino tapi itu juga punya berbedaannya yang penting. Dalam kasino rintangan adalah bagus bagi kasino bukan pemain. Kalua orang bermain cukup lama mereka pasti menjadi bangkrut. Kalua spekulasi pasar saham rintangan adalah lebih bagus bagi pemain kususnya pemain yang besar. Ini punya beberapa alasan.

 

Pertama sebagian besar helai saham punya kurs yang benar karena pengusaha punya aset aset. Ini bukan jaminan bahwa harga helai saham akan naik tapi itu jaminan bahwa helai saham tidak turun sampai kosong (kalau pengusaha tidak menjadi bangkrut).

 

Kedua pasar saham punya sifat yang lama di kapitalisme yaitu eksploitasi. Pengusaha mengunakan pekerja untuk membuat lebih banyak kors daripada upah diberi kepada mereka ini bikin untung yang menjadi keuntungan saham dan aset pengusaha. Kalau exploitasi meningkat harga saham biasa meningkat juga.

 

Ketiga spekulasi mendukung diri - kalau banyak orang ingin melakukan spekulasi banyak saham dibeli ini sendiri menyebabkan harga saham naik. Proses ini mungkin mendorong orang dengan banyak uang meniru spekulasi jadi harga didoromg untuk naik lagi.

 

Faktor yang terarkhir tapi masih penting adalah bahwa pemerintah pemerintah membuat kondisi bagus bagi spekulator yang besar. Pemerintah mengintervensikan terus untuk menentukan spekulator besar tidak kalah; pemerintah berganti tingkat bunga, menaikan atau menurunkan mata uang, menyelamat pengusaha besar dari kebangkrutan, dan memberi banyak sedekah.

 

Dengan deregulasi mata uang di seluruh dunia dan berubahan politik dan teknologi, kapital uang (money kapital) adalah lebih bebas sekarnag untuk bergerak. Ini menyebabkan spekulasi penjalaran selama dasawarsa ini. Orang yang ingin judi dengan rintangan yang lebih bagus daripada kasino sudah punya banyak pilihan, tukar-menukar "swaps", "futures" atau cara lain untuk bermain spekulasi. Sebagian gerakan uang internasional adalah panting untuk dagangan atau ekonomi seperti pinjaman: pengusaha yang meminjam dari luar negeri untuk keselamatan harus punya _______________(currency futures contract) jadi jaminan bahwa kurs penukaran mata uang ada sama ketika meminjam dan mengembalikan uang. Kebanyakan peminjam di negara negara Asia yang sedang krisis tidak melakukan itu.

 

Dagang internasional dengan ____________ (derivatives) adalah sekitar 25

kali gerakan kapital international dan dagang dengan mata uang adalah 90

kali besar dagangan harta benda dan pelayanan internasional.

 

Spekulasi dengan _________(financial derivatives) tidak punya rintangan sebagus spekulasi pasar saham. Ada faktor faktor kelembagaan (ditulis di atas) yang mendorong harga saham untuk naik walaupun tidak ada faktor faktor seperti itu yang mendorong (misalnya) tingkat bunga untuk naik atau turun di Bangladesh misalnya atau untuk spesifik kors penukaran antara rupi India dan lira Italy.

 

Berkembang spekulasi dengan secara ini punya beberapa alasan atau faktor. Satu itu sangat muda bagi para penjehat untuk ikut spekulasi semacam ini. Sebagian _____________ (financial derivatives) yang ada di awal didiri kusus untuk melewati batasan legal yang memberhentikan pegawai negeri atau eksekutip pengusaha melakukan spekulasi dengan misalnya kors penukaran mata uang. Beberapa tahun lalu pegawai pemerintah Orange State County di AS yang bertugas untuk mengontrol dana menghilangkan dolar milyaran spekulasi dengan derivativ yang didiri khusus untuk itu. Tapi itu sulit kita merasa sedih kepada penduduk Orange State County karena Daerah itu barangkali punya paling banyak paling reaksionair paling milyader orang di dunia.

 

Juga spekulasi dengan uang dimiliki oleh orang lain adalah cukup muda dan biasa legal. Misalnya kalau anda adalah eksekutip pengusaha dan anda perkiraan dengan sukses tenteng (misalnya) harga yang akan terjadi untuk katun (cotton futures) di liberia, kalau perkiraan benar itu alasan yang bagus untuk membayar uang jata kepdada diri. Kalua tahun depan perkiraannya salah anda tetap punya gaji dan juga uang jata dari tahun sebelumnya.

 

Atau kalau anda adalah hedge fund seperti Long Term Capital Management anda bisa meminjam sebagian besar uang yang dipakai untuk spekulasi. Kalua spekulasi sukses anda menjadi salah satu sangat kaya "ahli keuangan" kalau anda gagal secara cukup besar pemerintah akan kumpul uang untuk menyelamat anda karena mereka takut bahwa kalua anda jatuh mungkin pengusaha lain jatuh juga.

 

Tapi alasan yang besar mengapa ada banyak uang masuk spekulasi adalah krisis kelebihan produksi/kelebihan kapasitas. Ada terlalu banyak kapital yang tidak bisa menemukan investasi lain.

 

Selama kebanyakan waktu pas dasawarsa 90 AS mengalaman boom spekulative. Selama sedikit lebih enam tahun antara terahkir 91 sampai awalnya 98 rata rata kors saham AS (dow jones) rangkap tiga; walaupun untung industri AS tidak sampai tiga kali lipat atau sampai dekat itu.

 

Boom spekulative itu telah mendorong uang belanja konsumen. Ini disebut "efek kekayaan", ini cara ahli ekonomi mengekspresikan ide yang pandai bahwa kalua orang orang berfikir mereka adalah kaya mungkin mereka uang belanja lebih banyak. Di AS tingkatnya kemilikan helai saham adalah agak tinggi. Bukan hanya kaum kaya yang milik tapi ada banyak buruh dan pekerja juga. Terutama dana pensiun buruh atau pekerja yang diinvestasi di saham spekulative, mungkin terlihat sangat banyak kalua tidak ada kejatuhan spekulative.

 

Akibat efek kekayaan konsumen AS telah uang belanja banyak. Sebenarnya

simpanan rumah rata rata (average household savings) ada sekarang ini

negative, berarti keluarga rata rata sedang uang belanja lebih daripada pendapatannya. Kalau semua ini tersebut mendengar seperti firdaus pembodoh, itu karena itu benar. Kalua anda punya helai saham dan korsnya rangkap tiga atau rangkap empat itu belum benar kalau anda belem menjual saham untuk harga yang baru. Kalau belum jual untungnya adalah hanya untung potensi karena kors bisa jatuh sesuatu waktu. Jadi anda lebih pintar kalau jangan uang belanja dengan untungnya sebelum anda pegang untung itu di dalam tangan. Kalau semua orang menjual pas waktu yang sama mungkin uang anda dihilangkan.

 

Tambahan lagi, kalau anda sudah menjual helai saham dan ambil untung itu bukan meninbul produksi yang baru dalam ekonomi, itu hanya berarti investasi spekulasi orang lain sudah menjadi lehih spekulatip dan punya bahaya lebih dari investasi anda.

 

Pada bulan Agustus 98 Pasar saham AS terlihat seperti itu sudah jatuh. Selama satu bulan Dow Jones turun 15%. Kerugian kertas atau potensi (paper loss) telah 2,3 trillion, sekitar sebesar kors produksi Australia selama 6 atau 7 tahun. Tapi dengan bantuan dari dana federal AS (US federal reserve) dengan secara penurunan tingkat bunga, kejatuhannya yang sangat menakutkan menjadi hanya cenderung untuk turun sementara (correction). Sejak masa itu Dow Jones sudah naik lagi sampai tingkatnya hampir sama dengan sebelumnya. Harga saham masih jauh di atas korsnya yang benar.

 

Lapangan teknologi informasi adalah sangat spekulative. Contoh tangal satu Desember 98 korannya Sydney Morning Herald memberitakan bahwa pengusaha home page host di New York masuk pasar saham dua minggu lalu dengan harga $9 per satu helai saham, setelah hari pertama harganya sudah naik sampai $63,50, juga EarthWeb - penerbit teknis online yang ada di Los Angeles mulai di pasar saham dengan harga $13 dan sampai hari pertama dengan harga $67.

 

Toko Buku yang online namanya Amazon Books belum pernah ambil untung tapi satu helai saham punya harga $289 berarti itu punya kapitalisasi pasar (market capitalisation) atau harga sebesar %15.2 milyar. Harga helai saham naik 19% selama satu hari setalah analis Wall Street perkiraan harga helai sahamnya sampai $400 pada tahun 2000. Ingat ini pengusaha yang belum pernah ambil $1 untung. Analis itu mengprediksikan karena perkiraan bahwa Amazon Books bisa ambil untung $10 per helai saham "dalam 5 tahun". Dengan harga helai saham $400 untungnya 2.5%. Itu bukan untung sebesar itu mulai dari sekarang tapi setelah stagnasi lagi.

 

Yang jelas intervensi oleh dana federal (federal reserve) untuk mendukung boom spekulasi ini hanya menunda kedatangan realitas dan meningkat bahaya kejatuhan yang serius. Ekonomi AS sedang boom karena penduduk uang belanja lebih dari pendapatan tapi produksi pabrik sekarang adalah sekitar 80%, jumlahnya yang biasa untuk resesi.

 

Ini indikasi kelebihan kapasitas yang ada di ekonomi dunia. Ada contoh lagi dari Australian Financial Review tangal 12-13 desember 98: Micron Technology adalah adalah pengusaha memory chips untuk komputer. Mereka tiga tahun lalu menjual memory chip yang satu megabit dengan harga $3,75, sekarang itu dijual untuk $0,16. Ketua Micron tentang keturunan harga kata "ini bukan sebab keturunan _______(demand) yang setiap tahun meningkat tapi itu karena ada terlalu banyak kapasitas di pasar". Helai saham Micron selama sebulan yang lalu rangkap dua, mungkin spekulator mengirakan pengusaha kompetitor kompetitor Asia akan bangkrut.

 

Hanya ada satu reaksi dari pemerintah AS tentang bahaya bahwa boom spekulatif mungkin segera jatuh, itu coba memperbesar spekulasi lagi ini biasa dengan secara menurunkan tingkat bunga. Setelah Dana Federal

menurunkan tingkat bunga pada tanggal 15 Oktober, Bulletin mengutip satu pemagang New York yang memuji Orang ketua dana Federal AS Alan Greenspan karena dia "sangat ahli, Ketiga pasar sudah mulai cenderung untuk naik dia mendorong pasar untuk naik lebih cepat lagi."

 

Robert Zielinski, orang yang kerja untuk pengusaha Leman Brothers menjelaskan situasinya begini;

 

"kita sudah sampai di massa aneh dengan Pemerintah Amerika sedang penyelamatan _________ (hedge funds), harga saham untuk_____________ (broking houses) adalah setengah harga lalu dan huntang jelek adalah sedang meningkatkan. Ini seperti sifat ekonomi setelah cenderung untuk naik sudah habis. Ekonomi Us sekarang mirip ekonomi Jepang pada tahun 1990, perubahannya besar sudah mulai."

 

Tantangan Europe

 

Karena mengdominasi dolar AS dalam ekonomi dunia itu AS bisa punya defisit keuangan pemerintah (budget deficit) dengan relatip muda dari pada negara lain. Ini berarti uang tabungan di seluruh dunia adalah dipinjam dan digunakan untuk membayar boom konsumer domestik di AS.

 

Posisi istimewa ini akan ditantangan dengan "Euro" yaitu mata uang baru yang digunakan oleh 11 anggotta persatuan negara Europa.

 

Euro adalah kebijakan yang paling baru dari EMU Persatuan Uang dan Ekonomi (Economic and Monetary Union) yaitu pengusahaan lama untuk bentuk pasar yang bisa tantangan pasar AS. Kelas Borjuis di Europa jelas merasa bahwa mereka butuh menurunkan tingkat upah untuk kelas proletar tapi itu susah dengan proletar di Europa yang lebih militant. Kita bisa ukur sukses atau ketidak-adaan dengan proyek EMU kalua kita lihat jika itu akan mulai melakukan peranan sama dengan dolar AS sebagai Pendominasi internasional.

 

Euro dikatakan sebagai mata uang stabil, tapi sebenarnya mata uang yang persatuan dan yang stabil adalah dua hal lain, Euro mungkin atau mungkin tidak akan menjadi stabil. Kelas Kapitalis dan pemerintahnya sudah lama tahu bahwa mata uang yang terlalu stabil membuat masalah ketika pemerintah ingin berubah nilai mata uang untuk menguntungkan kelas kapitalist nasional. Kelas kelas borjuise nasional di Europa tidak mungkin akan buang hak mereka untuk memanipulasi nilai mata uang.

 

Ini muncul dengan masalah2 bentuk Euro. Rencananya Euro sudah terjadi pada tahun 97 bukan 99 pas melaksanakan mulai terjadi. Akan tetapi resesi di awal dasawarsa 90 membuat hampir semua negara Europa barat tidak mengambil perduli tentang standar ekonomi yang harus dicapaikan oleh negara yang masuk Euro (convergance criteria). Yaitu mereka sudah membuat janji dan harus putus dana yang pemerintah membayar untuk rakyat. Jadi Euro telah penunda dua tahun. Sampai tahun 99 masih ada banyak negara yang hanya masuk standar dengan memakai akuntansi yang tidak jujur karena mereka takut bahwa kelas proletar perjuangan kalau mereka putus jaminin social dan upah. Ini berarti kelas borjuis di Europa masih harus akan menyerbu rakyat Europa baru Euro mampu menjadi kompetatip dengan dolar AS.

Seandainya Euro akan menjadi senjata yang bisa dipakai untuk melawan kompetisi dan untuk buat pertumbuhan ekonomi massa resesi atau untuk melamakan massa cenderung untuk naik yaitu memanipulasi putaran ekonomi itu berarti siapa yang mengontrol Euro akan memanipulasi ekonomi untuk menguntungkan kelas kapitalis dari negara mereka. Sebelum Euro ada, mata uang Europa berantai lewat alat kurs penukaran mata uang. System itu biasa didominasi oleh mata uang dari ekonomi yang paling kuat yaitu Jerman. Situasi ini membuat kelas Kapitalis Prancis marah karena tingkat bunga terlalu tinggi bagi kapital Prancis. Euro akan dikontrol oleh Bank Pusat Europa yang punya pengurus dengan para direktur dari bank bank dari semua negara yang ikut. Kita bisa memprediksikan bahwa pertemuan Bank itu tidak mungkin akan hanya rama tama.

 

Yang akan terjadi adalah konflik tentang tingkat bunga, juga pengusahaan negara2 yang ikut Euro tapi mencoba menghindari standar (convergance criteria) yang mereka sudah berjanji untuk ikut serta. Kontradiksi ini hanya bisa menemukan solusi ketika kompetisi antara negara2 adalah menghapuskan, walaupun Kelas2 Kapitalis di Europa masih jauh dari target itu.

 

Kebutuhan untuk kompramis antar kelas2 kapitalis yang tetap kompetatip berarti kebutuhan untuk diskusi di dalam pertemuan yang tertutup.

 

EMU juga senjata anti rakyat. Langsung mogok tahun lalu oleh sopir truk Prancis anggota pengurus EU Neil Kinnock (bekas ketua Partai Buruh Inggris) berkata bahwa "perdagangan bebas" antara Eropa, butuh polisi untuk menghapuskan barisan penjaga para pemogok jika mogok tersebut mengancam perdagangan bebas dalam persatuan Europa.  Ini merupakan indikasi propaganda para burjois di Europa pada masa depan yaitu upah tinggi, jam kerja pendek dan jaminan sosial, semua harus dihapuskan untuk membela "stabilitas Euro".

 

Situasi Muda Menguap Ekstrem

 

 

Gambar dunia adalah gambar dengan kemungkinan besar muda menguap extrem. Rentetan baru dengan jumlah ekonomi nasional, keruntuhan bisa dimulai dengan terjadinya penurunan besar nilai mata uang satu negara di dunia ketiga seperti Brazil atau Cina, atau kebangkrutan / penurunan nilai dengan misalnya suatu usaha besar di Cina. Kita tidak bisa memprediksikan tentang kejadian yang persis tapi kontradiksi2 yang menyebabkan krisis ini tetap ada dan dan masih hangat.

 

Dari perspektip kapital, faktor yang paling penting untuk membuat solusi ekonomi adalah bahwa itu dibayar oleh kelas proletar dan miskin. Ini ada perspektip Bank Dunia untuk ekonomi:

 

Pertumbuhan produksi internasional diprediksikan memlambat antara 3,2% pada tahun 97 sampai 1,8% pada tahun 98 dengan hanya sedikit kesembuhan pada tahun 99 ke 1,9%. Pertumbuhan dibatas, tapi masih kuat di benua Eropa dan ekonomi AS yang semakin lambat tapi masih cukup baik, sehingga itu tidak harus merosot dengan cepat, ini adalah faktor yang positip. Ekonomi2 Asia Timor dan Japan diharapkan perubahan dari resesi dalam yang tahun lalu sampai pada stabilisasi pada tahun 99, jadi ekonomi itu tidak akan membuat ekonomi dunia ke arah resesi sebaik tahun lalu. Dalam skenario yang optimis pertumbuhan negara2 berkembang adalah diharapkan menurun sampai setengah tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 97 = 4,8% menjadi 2% di tahun 98. Keturunan pertumbuhan ekonomi yang kedua paling buruk selama 30 tahun lalu dan hanya mulai membaik sedikit pada tahun 99. Dalam ukuran rata rata tiap orang pertumbuhan ekonomi di negara2 berkembang adalah diperkirakan menurun sampai 0,4% selama tahun 98, jauh di bawah tingkat di negara2 industri 1,4% yaitu Brazil, Indonesia, Rusia dan 33 negara negara lain, yang memperoleh

42% antara total kurs produksi domestik di dunia berkembang dan lebih dari ¼ penduduknya. Negara2 itu kemungkinan besar mengalami pertumbuhan negatip tahun ini. Jumlah negara yang mengalami pertumbuhan negatip meningkat, daripada jumlah negara yang mengalami pertumbuhan negatip pada waktu 21 tahun lalu…

 

Masih ada kemungkinan serius bahwa ekonomi dunia itu jatuh dalam resesi lagi tahun depan dan pertumbuhan sedikit yang dijelaskan di laporan, optimis ini tidak akan terjadi. Kemungkinan ini mempunyai basis beberapa faktor; resesi di Jepang mungkin masih akan turun lagi, kepercayaan kepada pasar kapital internasional sudah hilang yang berakibat tertutup lama jalur kapital swasta ke negara2 berkembang (kususnya Amerika Latin) dan juga cenderung untuk turun di ___________________ (equity market) sebesar 20-30% yang membatasi pertumbuhan di AS dan Eropa.

 

Kalau kita lihat perspektip yang paling optimis, dan perspektip Bank Dunia tersebut adalah salah satu perspektip yang optimis, kemungkinan untuk massa depan adalah meningkatnya kemiskinan dunia ketiga. Krisis ini sudah mengindikasikan bahwa kapitalisme tidak bisa mengembangkan negara2 dunia ketiga.

 

Aliran kapital yang dikatakan mau membuat kembangan sebenarnya membuat tidak stabil dan hutan. Antara tahun 96 dan 97, 5 negara denpan masalah masalahnya paling para di Asia mengalaman aliran kapital keluar negara negara itu (reverse capital flows) sebesar 11% total kurs produksi domestik (GDP) mereka berlima.  Lebih serius lagi adalah dana cadangan mata uang asing (foreign exchange reserves) yang diboros belih mata uang domestik dalam pengusahaan oleh pemerintah2 untuk menjaga nilai mata uang mereka dari spekulator asing. Selama cuma beberapa bulan 100 milyar $AS 100 milyar dari dana cadangan mata uang asing dimilik pemerintah negara2 itu perubahan dan menjadi kekayaan penguasaha keuangan dari negara2 imperialist.  Pada akhir tahun 97 total hutang swasta dan negara di Korea Selatan, Malasia dan Tailand sebesar 225% total kurs produksi domestik mereka. Di Indonesia itu 190%.  Ini negara2 yang yang telah sering kali dikatakan adalah contoh untuk negara2 dunia ketiga.

 

Ditambah lagi imperialisme sedang menggunakan krisis untuk menghapuskan kompetitor kompetitornya di dunia ketiga dengan mengunakan IMF sebagai alatnya. Di Tailand sebagian paket IMF "menyelamatkan" 56 bank dan institusi keuangan yang sudah tertutup, dan di Korea selatan pernah ada 15 000 kasus kebangkrutan selama tahun 98.

 

Usaha besar imperialis juga sering membeli Usaha di Asia yang akan mempunyai keuntungan di masa depan, mereka membeli dengan harga murah karena kurs penukaran mata uang di waktu krisis sekarang ini membuat harga murah bagi imparialisme. IMF sedang mendorong Chaebol Chaebol di Korea Selatan untuk membuat "aliansi stategis" dengan usaha imperialis. Kalau terjadi "aliansi" itu membuat Cheabol yang bergantung kepada kapital imperialis. kami tidak tahu kalau ada statistik2 tentang pengambilan alih pada usaha usaha di Asia tapi ada statistik tentang proses pengambilan alih di Rusia, di sana kapital imperialis membeli aset aset Rusia senilai $AS 500 milyar sejak tahun 92.

 

Kebangkrutan kapital dunia ketiga bisa tolong meningkat suku untung (rate of profit)rata rata di dunia dan karena perang dingin sudah selasai imperialisme tidak perlu lagi berdiri contoh2 "tiger" ekonomi2 untuk lawan "communist" kecontoh-contohan Uni Sovyet dan Cina. Imperialism akan lebih menggunakan secara keras untuk mengontrol jajahan2 setengah (semi colonies) - seperti perang yang dimulai oleh imperialisme di Iraq.

 

Akan tetapi meningkat exploitasi di dunia ketiga tidak cukup untuk mencapai solusi krisis untuk imperialisme. Ini juga massa dengan kompetisi antara negara2 imperialis dengan secara lebih hebat itu punya beberapa cara.

 

Satu jawab untuk krisis kelebihan kapasitas adalah meningkatkan monopolisasi: dengan secara menghapuskan kompetitor2 yang ada di dunia ketiga dan juga lewat pengambilan alih dan fusi. Kapital produktip dan kapital keuangan dua-duanya sudah punya keranjingan untuk fusi karena mereka lihat bahwa besarnya adalah roman paling efektip untuk hidup sampai selesaikan krisis.

 

Peraturan Ekonomi Lagi?

 

Kompetisi yang sudah lebih para antara kapital imperialis itu butuh kapital tersebut menjadi bertanggung pada negara aslinya. Biasa negara2 itu harus menggunakan seluru sumber sumber penghasilan negara untuk menindas tingkat upah supaya kapital tersebut adalah lebih kompetatif kebandingan kapital asin. Bantuan oleh negara juga bisa musuk intervensi pada ekonomi secara lagsung. Kita harus mengerti ini dengan jelas karena ini topik yang penuh dengan perangkap politik bagi seseorang yang belum jelas.

 

Ideologi atau propaganda politik neo-liberalisme menegaskan bahwa itu menurunkan kwantitas intervensi negara dalam ekonomi. Ini adalah bohong total. Kususnya dalam negara negara imperialist persent antara total kurs produksi domestik(GDP) semakin besar sampai sekarang. Pas era Margaret Thatcher selasai di Ingeris pajak yang diambil pemerintah itu lebih banyak persent GDP daripada pas Thatcher menjadi Pertama Menteri.

 

Tugas neo-liberalisme yang benar adalah ganti secara intervensi negara: meningkat bantuan untuk kapital dan menghapus bantuan sosial untuk rakyat. Elemen elemen bantuan sosial ini adalah biasa dipikirkan sama dengan Keynesienism, tapi sebenarnya elemen elemen tersebut bukan hasil dari teori seorang itu hasil dari perjuangan gerakan pekerjaan terhadap kapitalisme yang lemah setelah perang dunia kedua. Sekarang kapitalist kapitalist berrencana untuk mengambil lagi hasil perjuangan rakyat tersebut.

 

Gerakan Reformisme biasa perlakukan semua variatip intervensi negara seperti itu sama saja. Ini membantu kelas kapitalis bikin kebingungan tentang dukungang negara untuk kapital dengan dukangan sosial.

 

Bagian Partai Buruh Australia (ALP) dan kelombok kelombok lain meningkat kebingunan ini. Mereka memberita tentang keadaan dua variatip kapitalis. Yang satu kata mereka adalah penjahat, tamak spekulator kapitalist itu biasa termasuk bank. Yang lagi katanya adalah bagus produktip kapitalist yang bisa dipercayai untuk mengijinkan bantuan sosial dari negara lagi jika kita bisa mengontrol penjahatan dan pemborosan para kapitalis yang spekulator tersebut.

 

Pertama Menteri Prancis yang “sosialist” adalah salah satu contoh, dia menjelaskan “kapitalisme adalah musuh diri, krisis krisis yang kita telah melihat mengajar kita tiga hal. Satu kapitalisme masih tidak stabil, dua – ekonominya adalah politis dan tiga – ekonomi dunia butuh regulasi.”  Seperti biasa sosial demokrasi lihat peranan diri adalah penyelamatan kapitalisme dari kontradiksi kapitalisme.

 

Robert Wade dan Frank Veneroso tambah lagi “Sistem Bretton Woods setelah perang (dunia kedua) yang mengunnakan regulasi mata uang, dan capital accounts yang tertutup adalah teratur dan sadar tanggapan dari krisis krisis itu (pada tahun 20an dan 30an) dan itu jadi, kita menikmati 25 tahun dengan sukses ekonomi.”

 

Bersikap optomis kaiya ini berlupa bahwa sistem Bretton Woods itu dibuang karena itu tidak sesuai dengan kebutuhan ekonomi kapitalis yang berganti-gantian. Itu juga melebih-lebihkan yang “kita” dapat dari sistemnya. Pas terakhir massa “sukses” tersebut 60% rakat asia masih hipud di bahwa garis kemiskinan ekstrim. Dalam negara yang paling beruntung – Amerika Serikat – era ini selasai dengan kerusuhan di daerah daerah miskin kota dan mengetahui oleh pemerintah bahwa tingkat kemiskinan yang ada ada masalah serius dan tidak bisa diterima.

 

Akan tetapi kita akan bisa mendengar ide ide yang mirip ini muncul dari faksi kiri di ALP. Mereka akan pernah mengatakan bahwa kapitalisme Australia itu jalan dengan lebih baik bagi kariawan dan buruh pas ada lebih banyak bea pemasukan (tariff) atau bahwa beberapa rencanaan industri (industry plans) bisa mengembalikan bantuan sosial seperti dulu.

 

Serentetan artikel di koran Partai Kommunis Australia – Guardian memperingatan tentang “bagian kapital yang paling bersifat parasit dan spekulatif (yang di dalam “Negara industrialisasi baru”) adalah sedang bertumbuh satu setengah kali cepat kebandingan ekonomi ekonomi kapital itu sudah masuk.

 

Guardian memperingatkan:

 

“Perkembangan pasar keuangan internasional dan saling bertanggung ekonomik bermaksud bahwa tidak ada tempat di dunia yang bisa melarikan diri dari eksploitasi oleh spekulator spekulator terseut. Itu kalau pemerintah-pemerintahan tidak akan mengontrol pemasukan dan pengeluarkan kapital, melarang spekulasi dengan mata uang dan melarang mengekspor untung oleh modal besar (kapital) yang dimilik asing.

 

CPA tidak mengerti keadaan yang dasar; selama 100 tahun “kapitalisme yang bersifat parisit” adalah dua hal yang sama. Tidak ada kapitalisme dengan bersifat berbeda. Kata “Katipalis yang produktip” adalah hanya secara cepat untuk menyebut kapitalis yang punya pabrik bukan yang punya uang spekulasi.

 

Produktip Kapital adalah sebersifat parasit kapitalist spekulatip. Apa lagi dalam kenyataanya kapitalist spekulatip dan “produktip” sering kali adalah korperasi atau orang yang sama.

 

Tentu saja sebagai orang sosialist kita tidak setujuh dengan kebebasan kapital. Kita menolak ‘hak’ kapital untuk perintah ke masyarakat kondisi untuk operasinya, jadi kita senang kalau rencana seperti Multilateral Agreement on Investment (MAI) dikalahkan sekalipun hanya sementara. Kita setujuh dengan banyak variatip terbatasan buat kapital. Kita tidak setujuh dengan privatisasi karena itu memberi tempat yang lebih besar untuk operasi kapital.

 

Yang kita menolak dengan paling keras adalah kebebasan kapital untuk mengeksploitasikan tenaga kerja (labour). Itu kebebasan kapital yang paling dasar, sampai kehapusan itu semua kebebasan kapital lain akan muncul sekali kali. Sekarang ini krisis ekonomi yang makin dalam semakin menghilangkan kepercayaan pada ideologis neo-liberalisme. Barangkali sebagian kelas borjeosi akan bisa terima kebijakan yang sedikit mirip Keynesianisme dulu, tapi tidak ada bourjoisi national yang melaksanakan kebijakan ekspansi kalau itu tidak harus melakukan itu karena kebijakan tersebut pas massa kelebihan kapasitas menguntungkan kompetitor asin oleh meningkat impor asin.

 

Berbicara tentang regulasi lagi adalah hanya berbicara saja. Tapi kalau berbicara menjadi serious, itu tidak mampu menyelasaikan krisis kapitalisme. Kontradiksi kapitalisme tidak bisa dihapuskan satu per satu, tapi hanya dengan penjatuhan kapitalisme.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Imperialism

 

 

Imperialism is the policy or action by which one country controls another country or territory.  Most such control is achieved by military means to gain economic and political advantages.  Such a policy is also called expansionism.  An expansionist state that obtains overseas territories follows a policy usually called colonialism (see COLONIALISM).  An imperialist government may wish to gain new markets for its exports, plus sources of inexpensive labour and raw materials.  A far-flung empire may satisfy a nation's desire for military advantage or recognition as a world power.

 

The rise and decline of vast empires--such as those of Persia, Rome, Byzantium, Britain (now the United Kingdom), and Nazi Germany--form some of the outlines of world history.  Imperialism has been the driving force behind most wars, territorial expansion, and cultural exchange.

 

History.  First Sargon of Akkad and then the Egyptians, Assyrians, Babylonians, and Persians established large empires from more than 2,000 to more than 4,000 years ago in the Middle East.  By the beginning of the Christian era, the Romans had created a vast empire from Asia Minor to what is now France and Britain.  The western part of the empire collapsed in the A.D. 400's, but the eastern section, called the Byzantine Empire, survived until 1453.  The Byzantine Empire fell to the Ottomans, who created a powerful empire that included parts of the Middle East, southeastern Europe, and northern Africa (see BYZANTINE EMPIRE; OTTOMAN EMPIRE).  The western part of the Roman Empire was revived in name only as the Holy Roman Empire.  It ruled much of central Europe from 962 to 1802 (see HOLY ROMAN EMPIRE).  The Mongols, an Asian people, built the largest land empire in history in the 1200's.  It extended from Southeast Asia to eastern Europe.

 

The new European nations of the 1400's and 1500's acquired colonial possessions as they spread Christianity and searched for markets and raw materials.  For example, Portugal established a seagoing empire along the shores of the Indian Ocean and coasts of Southeast Asia.  Spain established colonies in what is now Latin America and the southern United States.  By the early 1700's, the British, French, and Dutch had colonized much of eastern North America.  The Dutch gained control of the East Indies (now Indonesia), and the British began their rule of India.  By the mid-1800's, many colonies in the New World had overthrown foreign rule.  But Britain and other European powers maintained "informal empires" without actual governmental control.  They did so by controlling the trade policies of some former Spanish colonies and by establishing new trade relations with African and Asian nations.

 

The late 1800's are often called the Age of Imperialism.  During this period, Belgium, France, Germany, Italy, Portugal, Spain, and the United Kingdom divided up nearly all of Africa.  European nations also took over large sections of Southeast Asia and many islands in the South Pacific.  Spain surrendered Guam, Puerto Rico, and the Philippines to the United States after losing the Spanish-American War (1898).  The determined pursuit of colonies and foreign trade by the major European powers strained international relations.  This tension was one of the causes of World War I, which began in 1914 (see WORLD WAR I [Competition for colonies]).

 

During the 1930's, Germany, under the rule of Adolf Hitler, began a programme of expansion in Europe.  Germany gained territory both by negotiation and by armed seizure.  In Asia, Japan annexed Manchuria and

waged war against China.  For a brief period during World War II (1939-1945), Japan had an enormous empire in the Pacific, and Germany controlled much of Europe and North Africa.  Germany and Japan were defeated in 1945 and lost their foreign territories.

 

Large-scale colonialism ended in the 1950's and early 1960's.  European nations that were recovering from World War II had neither the money nor the will to continue the rule of colonies thousands of kilometres away.  In addition, the people of many colonies demanded and won independence.  Today, a few scattered territories, mostly islands in the Caribbean Sea and Pacific Ocean, are all that remain.  However, some world powers still give economic and military assistance to former colonies.  Some critics call this aid a form of imperialism.  They say it can lead to indirect control of a nation's politics and economy.

 

Motives.  Many theories attempt to explain the motives for imperialism.  One of the best-known theories focuses on economic profit as the chief reason for a nation to seek foreign territories.  Other reasons include cheap land, valuable natural resources, and investment opportunities for surplus capital.

 

Military strategy is another important motive for imperialistic activity.  Since ancient times, nations have absorbed territory near their borders to protect themselves from foreign attack.  Such territory serves as a buffer zone.

 

Imperialism can also be encouraged by patriotism, religion, and a sense of cultural and racial superiority.  During the late 1800's, a strong feeling of nationalism swept most European countries.  Many people believed their nation's greatness depended on the size of its territory.  They encouraged expansion and the planting of their nation's flag on foreign soil.  In addition, many Europeans considered the peoples of Africa and Asia to be racially inferior.  The lack of industrial development in these lands reinforced this prejudice.  Many expansionists thought they had a God-given mission to take new territory and to spread Christianity and their culture.

 

                    ----  end of article  ----

 

 

THE POLITICS AND ECONOMICS OF GLOBALISATION

by David Yaffe

First published in Fight Racism! Fight Imperialism! No. 137

 

Globalisation is an ideological term. It encompasses the frenetic international expansion of capital - an expansion which has had devastating consequences for the majority of humanity. The debate around it, however, has tended to obscure rather than clarify our understanding of the forces at work. In his second article on this subject DAVID YAFFE looks at the politics and economics of globalisation.[1]Among those whose primary concern is for a more competitive and efficiently functioning national capitalist economy, there are diametrically opposite positions concerning the reality of globalisation. The neo-liberal right strongly approves of globalisation and the limited effectiveness of national government intervention. `A more globalised economy is in many ways a more efficient one' forcing governments to be more careful in handling their economies (The Economist 23 December 1995 - 5 January 1996). The removal of market constraints - free trade and deregulated labour and capital markets - is seen as the only way to increased growth, balanced trade and lower unemployment. At the other pole, with the old social democratic Keynesian strategy no longer viable, former social democrats, concerned to retain some progressive role for a reforming capitalist government, have argued that much talk about globalisation is exaggerated. The notion that there is `one global, borderless, stateless market' is a myth. `This global economy needs superintending and policing. Governments can and should co-ordinate their policies to manage it' (Will Hutton The Guardian 17 June 1995).This polarisation is mirrored on the socialist left. On the one side, we are told that there has been an epochal shift in capitalism in which new technology has substantially (irreversibly?) increased the power of capital over labour, fragmenting and even destroying working class organisations, and creating global market forces beyond national government control. Not to recognise these developments `freezes us in modes and forms of struggle which are effete and ineffectual'A Sivanandan). On the other side, globalisation is seen as `an ideological mystification' which `serves as an excuse for the most complete defeatism and for the abandonment of any kind of anti-capitalist project.' And that, while not denying the impact of new technologies and the destructive effects of deregulation, mass unemployment and growing poverty, we need to look elsewhere for an explanation of the long-term structural crisis of capitalism than in simplistic formulas about `globalisation' (Ellen Meiksins Wood).[2]

 

Globalisation and national governments

The policies of national governments in capitalist countries are mainly determined by two important dynamics: the first is the state of the national process of capital accumulation and its relative international strength; the second is the balance of class forces both nationally and internationally. It is of little surprise that the concept of `globalisation' is being discussed; (1) during a period of stagnating national capital accumulation as excess capital is aggressively exported or deployed speculatively on the stock markets of the world to stave off a profits collapse and (2) following a dramatic shift in the balance of class forces nationally and internationally in favour of capital after the successful counterattack against labour in the 1980s, an attack which highlighted the weakness of working class and socialist forces world-wide.Tony Blair, the new British Labour Prime Minister, was simply giving expression to these realities when he told a conference of Rupert Murdoch's News Corporation in 1995:`What is called globalisation is changing the nature of the nation state as power becomes more diffuse and borders more porous. Technological change is reducing the power and capacity of government to control its domestic economy free from external influence' (Financial Times 20 March 1996).

 

In effect he is reassuring the dominant sections of British capital with a very strong international presence, that, with domestic capital accumulation stagnating, he will not stand in the way of British capital even if this is at the expense of millions of people in Britain confronting drastic cuts in state welfare and growing impoverishment. On no other basis, given the balance of class forces, could he lead a capitalist government in present day Britain.

 

The neo-liberal Financial Times journalist Martin Wolf reaches similar conclusions about the limited role of national governments in a global economy but plays down the impact of `globalisation':`When people write off the end of national economic sovereignty, it is an historically brief era that they lament. It ended not so much under the assault of an external force, the global market, but of an internal one, perceived failure. Governments were bad at much of what they were doing...Globalisation reinforced the limits already imposed by domestic constraints' (Financial Times 18 September 1995).

 

Wolf's attack on the economic role of government again gives ideological expression to the changed needs of capital in today's circumstances. His explanation differs from Blair - they speak to a different constituency - but inevitably they reach the same class standpoint.

 

The `historically brief era' of state intervention in the capitalist economy after 1945 was the product of unique historical circumstances. First, inter-imperialist rivalry between the major capitalist powers since the beginning of the century had ended, temporarily, with the dominance of US imperialism over the capitalist world economy. This allowed the US economy, facing limited competition, to develop at the expense of other national capitals. Through Marshall Aid and export of capital, the US laid the basis for increasing control of world markets for US capital and a faster rate of capital accumulation at high rates of profit. Britain, with its access to the markets and resources of the British Empire and with little competition from its European rivals, followed in its wake. Second, a change in the balance of class forces in favour of the working class had occurred internationally after the devastation of depression, fascism and two world wars, a change reinforced by the standing of the Soviet Union and the spread of socialist revolutions and independence movements after the war.

 

The restoration of capital accumulation after the war was achieved, therefore, at a political cost to capital. The balance of class forces necessitated this. But it was a cost that, initially in the victorious nations and, later, in the rebuilt European economies, capital could afford. State intervention in the capitalist economy, state welfare and military spending, in these unique circumstances, underpinned the most rapid accumulation of capital ever. But the fundamental contradictions within the capital accumulation process remained. When the rate of profit began to fall and inter-imperialist rivalries re-emerged at beginning of the 1970s, capital accumulation began to stagnate in most capitalist countries. The rising consumption institutionalised in state welfare became a barrier to the further accumulation of capital as high inflation accompanied stagnation in the major capitalist nations. State spending and state welfare had to be cut back. In Britain the first steps were taken by a Labour government a few years before Thatcher came into power. Capital went on the offensive and succeeded in changing the balance of class forces nationally and internationally but the problems within the capital accumulation process remained. State intervention was neither responsible for the post war boom nor the cause of the later stagnation. It was the particular circumstances of the capital accumulation process nationally and internationally which underlay both. Keynesianism and neo-liberalism are no more than ideological reflections of the changing requirements of capital in the two periods.The growing stagnation in the capital accumulation process and the re-emergence of inter-imperialist rivalries were the result of an overaccumulation of capital - insufficient surplus value to secure both the normal profitable expansion of productive capital and to finance the growing state sector together with a rapidly expanding unproductive private sector. The huge increase in the export of capital, the growing monopolisation of capital through mergers, acquisitions and privatisations, the unprecedented autonomy of the financial system from real production alongside the cuts in state welfare, downsizing and outsourcing, mass unemployment and rapidly growing inequality, in short, globalisation, was capital's response.

 

Globalisation, therefore only reinforces the limits imposed by domestic constraints on national government intervention because both result from a stagnating capital accumulation. This is the context in which we can examine the differing class positions on globalisation.

 

Globalisation and class interest

Martin Wolf quite brazenly represents the dominant ruling class interests. As a spokesperson for large capital, he is an unashamed apologist for neo-liberalism. In a recent glowing tribute to globalisation, dismissing all evidence to the contrary, he maintains it has been a force for prosperity in much of the world. `Globalisation is the great economic event of our era. It defines what governments can - and should do... Technology makes globalisation feasible. Liberalisation is responsible for it happening.' He celebrates its success. From 1970 to 1997 the number of countries removing exchange controls on goods and services increased from 35 to 137. A year ago, more constrained, in an article `The global economy myth' (Financial Times 13 February 1996)[3], he argued that much of the talk about globalisation was exaggerated and governments on their own or together could do a great deal. Today he has no such reservations. In his latest article `Global opportunities' he tells us that governments have learned the lessons of experience and have chosen or been forced to open their economies. Running with the tide, he now argues that, on balance, globalisation has gone further than ever before (Financial Times 6 May 1997).

 

New Labour stands for the same ruling class interests. In the run up to the General Election Blair was forever stressing how Labour would accommodate multinational business. Immediately after the election he appointed Sir David Simon, chairman of British Petroleum, as a Minister of Trade and European Competitiveness. BP is accused of collaborating with military death squads in Columbia. Simon will be made a life peer. Almost the first act of the new government was to hand over control of interest rate policy to that bastion of neo-liberalism, the Bank of England. Nevertheless Blair cannot, as Wolf is able to do, conflate the `can' and `should' of government policy in relation to a global economy. For Blair is reliant to some degree on the middle class constituency which elected him to power. He will have to reassure the middle classes, as real economic developments threaten their security, that he will do what he can within the constraints imposed by the global economy (`external influence'). He is acceptable to the ruling class because, unlike the discredited and divided Tories, Labour is in a better position, as economic conditions deteriorate, to prevent an alliance against capitalism developing between the poor working class and sections of the middle classes threatened with proletarianisation.

 

Hutton, generally regarded as ideologue for the New Labour Party, deals with the question of globalisation from a different class standpoint. He articulates the fear of the middle classes at what might occur if the New Right (neo-liberal) agenda succeeds. `If there are no real economic and political choices... the way is open for the return of totalitarian parties of the right and left.' He fears the consequences of social breakdown. Hence his concern to play down the impact of globalisation, arguing that governments can co-ordinate their policies to manage it, to prevent the extreme consequences of an unrestrained market and to create a less degenerate capitalism.

 

The relative prosperity in Britain during the post-war boom gave rise to new privileged sections of the working class - a new middle class. This layer of predominantly educated, salaried, white collar workers grew with the expansion of the state and services sector and, in the more recent period, with the information technology revolution. Sustaining its privileges is the key to social stability in all the major capitalist nations and playing to its prejudices is the necessary condition for political parties to be elected to power. As long as there were sufficient profits from production at home and trade and investment abroad, both to give an adequate return to capital, and to finance state welfare and the growing unproductive private sector, then the social democratic consensus of the post war years could be maintained. It was possible to guarantee the relatively privileged conditions of higher paid workers and the middle classes while sustaining adequate living standards for the mass of the working class.

 

In the new conditions of capital stagnation and growing inter-imperialist rivalries in the middle of the 1970s, this consensus began to break down. The 1974-79 Labour government set monetary targets and cut state spending. The low-paid state sector workers fought back and the `winter of discontent', 1978/9, drove the higher paid skilled workers and the middle classes into the arms of the Tory Party. Thatcher embraced this new constituency and, as Hutton says, `the liberal professions, affluent council house tenants, homeowners, all benefited from her tax cuts, credit boom and privatisation programme.' The price was growing inequality as state welfare was cut and millions of working class people were driven into poverty to pay for Thatcher's programme. The privileges of the middle classes could only be preserved at the expense of ever increasing numbers of impoverished working class people. In spite of the revenues from North Sea Oil, productive investment stagnated in Britain, and record amounts of capital were invested abroad. Britain was rapidly becoming a rentier state.With the failure of Thatcher's economic policies at the end of the 1980s and with poverty and inequality rapidly accelerating, inroads began to be made into the standard of living of sections of the middle classes. It is the potentially explosive consequences of this development that drives Hutton. He offers his alternative to `globalisation', to an unrestrained and deregulated capitalism. First, he says, we must alter the way the British financial system works - essentially from seeking high, liquid, short-term gains, irrespective of location, to giving a long-term commitment to regenerating the productive base of the British economy - a process which, he says, requires a political revolution to take power away from the entrenched `conservative hegemony'. Britain has to be transformed into a high investment, high growth economy. Second, a coalition supporting social welfare has to be rebuilt. For this to happen the middle classes must opt in, rather than opt out into the privatised provision of the neo-liberal agenda. The middle classes, he argues, can be given `a vested interest in the entire system' by `incorporating inequality into the public domain'. A core system for the mass of the working class with the middle classes able to buy in the extra quality services they require - in short `nationalising inequality' within the state system.

 

However, if the degeneration of capitalism into a parasitic and rentier form is now a necessary trend emerging in all the mature capitalist nations, Hutton's response to globalisation - what I have called the political economy of the new middle class - is both idealist and reactionary.[4]can now understand the significance of Sivanandan's standpoint. Living in a country where knowledge, culture and politics are dominated by the concerns and prejudices of middle class people; in which the poor and oppressed working class are outside the political process and ignored by the official labour movement; and where social relations seem frozen, repetitive and unchanging, it could appear that an epochal shift has occurred in capitalism and that the socialist project, at least as it is traditionally understood, has to be buried. We note Sivanandan's warning not to underestimate the dangers posed by the so-called `culture of postmodernism', in a society where `"knowledge workers" who run the Information Society, who are in the engine room of power, have become collaborators in power'. But we respond as materialists. History has not ended. And globalisation, if it is anything, is a sign of the crisis of capitalism, of increasing instability, of rapidly changing circumstances in a world of obscene and growing inequality. Social relations are not fixed. The conditions which spawned a new middle class and turned it into a bedrock of social stability in the imperialist nations after the war have ended. Today it is those privileged conditions which are being threatened. Hutton, at least, recognises this - hence his terrible fear of a return to the extremes of class conflict that ominated the 1930s. Sivanandan is far too preoccupied with the ideological posturing of a small elite of academics and opinion formers caught up with globalisation and beneficiaries of it.

 

Ellen Meiksins Wood develops a number of crucial points in her reply to Sivanandan. Firstly, more giant corporations with a global reach, and more international organisations serving the interests of capital, in no way imply a unified international capitalist class. The `global' market ensures the `internationalisation of competition' - a contradictory process. On the one hand it does mean new forms of capitalist integration and co-operation across national boundaries but on the other hand, it also means active competition between national and regional capitalists. `So the "global" economy if anything may mean less and not more capitalist unity.' The overall consequence of `globalisation' far from integrating capital is at

least as likely to produce disintegration.

 

Secondly, the proposition that there is an inverse relation between the internationalisation of the economy and the power of the state fails to acknowledge that `globalisation' presupposes the state. `The nation-state is the main conduit through which national (or indeed multinational) capital is inserted into the global market.' Transnational capital may be more effective than the old-style military imperialism in penetrating every corner of the world but it accomplishes this, in the main, through the medium of local capital and local states. It may well, ultimately, rely on the military power of the last remaining `super-power' to sustain the sovereignty of the market. Further, it depends on such local political jurisdictions to maintain the conditions of economic stability and labour discipline which are the conditions for profitable investment. And finally, new kinds of inter-imperialist rivalry will emerge in which the nation state is still the principal agent.

 

From this she advances her most important political point: the nation state is still the terrain of (class) struggle. `If the state is the channel through which capital moves in the "globalised" economy, then it is equally the means by which an anti-capitalist force could sever capital's lifeline.'

 

These arguments go a great deal of the way to undermining Sivanandan's position. But there is something lacking. It is perhaps best highlighted in the undue weight Wood gives to the ideological impact of the concept of globalisation as it is commonly understood. `It is the heaviest albatross around the neck of the left today'. `In the current conception of globalisation, left joins right in accepting that "There Is No Alternative" - not just to capitalism, but... to a more or less (the right goes for more, the left somewhat less) ruthlessly "flexible" capitalism.' She goes on to say that if their conception of globalisation were an accurate reflection of what was happening in the world today her ideological objections wouldn't count for much and we would have to accept that the socialist project is dead.

 

This is all very true but something more is surely needed. Ideas only become a material force when taken up by the masses. The ideological struggle is of political importance when it falls on fertile ground. In periods when the poor and impoverished working class are outside the political process, the politics of the left, in the main, reflect their class position in capitalist society - as part of the privileged working class or educated white collar and professional workers who form the backbone of the new middle class. The recomposition of the working class as a fighting force against capitalism has to be the product of developments within capitalism itself, it will not be the result of ideological combat alone. This process is already taking place as capitalist governments deregulate labour, attack state welfare, undermine the democratic right to protest and workers' rights to organise, attempt to divide the working class through racism and sexism, and destroy the environment. The ideological struggle has to be combined with the political organisation and defence of those sections of the working class under attack and fighting back.

 

We need to show how developments within capitalism are making this possible. That is why a great deal more is required from the analysis of the latest stage of capitalism to finally lay to rest the ghost of globalisation.The reality of globalisationIt is important not to underestimate the significance of globalisation. It might well be an 'ideological mystification' in the hands of a Martin Wolf or some intellectuals and academics on the political left, but its impact on the economic and political lives of the vast majority of humanity is of great political consequence. To say, as I have argued in my earlier article on globalisation, that 'far from it being new it is a return to those unstable features of capitalism which characterised imperialism before the First World War' is not to dismiss its importance but, on the contrary, to highlight it. It is beginning to create the very conditions which produced those dramatic shocks to the international capitalist economy and which led to the revolutionary developments in the first decades of the twentieth century. So what then are the crucial components of globalisation which suggest these developments?

 

Multinational companies (MNCs)are the principle vehicle of imperialism's drive to redivide the world according to economic power. In 1995 Foreign Direct Investment (FDI) outflows increased by a massive 38 per cent to $317bn, with a record $100bn going to Third World countries. That investment is concentrated in three competing power blocs, the 'Triad' of the European Union, Japan and the United States and their regional cluster of countries. 76 per cent of the investment in Third World countries (1993-5) went to only 10 countries.Five imperialist countries, United States, UK, Germany, Japan and France were responsible for almost two-thirds of the total outflows in 1995. The United States ($96bn), UK ($38bn) and Germany ($35bn) all exported record amounts.[5]

 

Most MNCs are nationally based, controlled by national shareholders, and trade and invest multinationally with a large majority of sales and assets in their home country. A recent study showed 70 - 75 per cent value added by multinational companies was produced in the home country. They are highly concentrated. Only 100 MNCs, 0.3 per cent of the total, all from imperialist countries, own one-third ($1.4 trillion) of the total FDI investment stock. The process of concentration continues internationally through mergers and acquisitions. Cross border mergers and acquisitions doubled between 1988 and 1995 to $225bn.

 

Globalisation is devastating the lives of millions of people. Even the World Bank admits that in the case of the ex-Soviet bloc 'transition has relegated an entire generation to economic idleness.' Output in Russia fell by 40 per cent between 1990 -1995 and between 16 and 30 per cent in the other countries. Growth has been falling over the last 15 years in about 100 countries, with almost a third of the world's people, dramatically reducing the incomes of 1.6bn people. The declines are unprecedented, exceeding in duration and sometimes in depth the Great Depression of the 1930s. One billion people, 30 per cent of the world's workforce, are either jobless or unemployed. Even in the imperialist countries 100m people live below the poverty line, 30m are unemployed and more than 5m are homeless.[6]

 

The world is becoming more unstable. $1,230bn a day flows through the foreign exchange markets. Third World Debt, at a record $1,940bn, continues to increase despite massive debt repayment. A formidable $55 trillion is gambled on the world's derivatives market. All the major banks are large players. Barclays, for example, has liabilities of £922bn, more than 80 times its capital base. A crash in the stockmarket will leave them facing huge losses. Growth in world trade halved last year because of a sharp deterioration in the performance of the so-called Asian 'tigers'. The conflict in Zaire has started a new scramble for Africa as inter-imperialist rivalry intensifies. Finally, inequality between rich and poor countries and between rich and poor in all countries has reached unprecedented levels and is still growing.

 

These are not the conditions of an unchanging world. They are one's where the socialist message can once again take root. Throughout the world, from workers in Korea to guerrillas in Mexico, from public sector workers in France to landless peasants in Brazil, people are fighting for change. In Britain new alliances are being built with environmental campaigners taking to the streets to defend dockers in Liverpool. Globalisation is a long-term structural crisis of capitalism.

 

It is laying the ground for turning what Ellen Meiksins Wood calls 'various fragments of opposition' to capitalism into conscious class struggle.

 

Notes

1. See `Globalisation: a redivision of the world by imperialism' in Fight Racism! Fight Imperialism! 131 June/July 1996.

2. These positions appear in `Capitalism, globalisation, and epochal shifts: an exchange' in Monthly Review Vol 48 No 9 pp19-32. That diametrically opposed positions on the significance of globalisation are held by writers throughout the political spectrum from `right' to `left' only adds to the confusion.

3. This was a favourable review of a book by Paul Hirst and Grahame Thompson Globalisation in Question Polity Press 1996. Material from this book is used in my earlier article on globalisation. They hold a similar position to that of Hutton above, arguing that `nation states, and forms of international regulation created and sustained by nation states, still have a fundamental role in providing governance of the economy (p185).'

4. Quotes from Hutton are from his book The State We're In Jonathan Cape 1995.

For my review of this book see `The political economy of the new middle class' in Fight Racism! Fight Imperialism! 124 April/May 1995.5. See World Investment Report (WIR) UN 1996 for information. Other figures are taken from my earlier article or earlier WIR reports.

6. Figures from The World Development Report OUP 1996 and The Human Development Report OUP 1996.

 

 

 

GLOBALISATION

A Redivision of the World by Imperialism

 

Globalisation is the latest fashionable term used to describe the all pervasive forces of a rampant capitalism. It suggests a new stage of capitalism in which multinational companies and financial institutions, attached to no particular nation state, move their capital around the world in search of the highest returns, and in so doing create a truly global market and global capital. In fact, as DAVID YAFFE argues in this article, the degree of internationalisation of capital is only now approaching those levels existing before 1914. And far from being new, we are seeing a return to those unstable features of capitalism which characterised imperialism before the first world war.

 

The strongest supporters of the globalisation standpoint are the neoliberal right. A recent convert to their free market orthodoxy it is said in order to save itself from the chop (The Guardian 20 May 1996) has been the United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), an organisation set up 32 years ago to provide reports on trade and development from the perspective of developing countries. Its recent World Investment Report 1995 (WIR 1995) reads like an eulogy on globalisation.

 

"Enabled by increasingly liberal policy frameworks, made possible by technological advances, and driven by competition, globalisation more and more shapes today's world economy. Foreign direct investment (FDI) by transnational corporations (TNCs) now plays a major role in linking many national economies, building an integrated international production system the productive core of the globalizing world economy” (WIR 1995 p xix).However its own report produces a wealth of statistical material which shows a very different picture emerging.

 

Transnational or multinational?

Throughout its report UNCTAD uses the term transnational companies. In fact

transnational companies are relatively rare. Most companies are nationally

based, are controlled by national shareholders, and trade and invest

multinationally with the large majority of their sales and assets in their

home country.

A recent study of the world's 100 largest companies taken from the Fortune

Global list showed that in 1993 only 18 companies maintained the majority of

assets abroad. The internationalisation of shares was even more restricted.

2.1% of the board members of the top 500 US companies were foreign nationals

with only 5 of the top 30 US companies listed having a foreigner on their

boards. All the companies seemed to have benefited from industrial and trade

policies of their own countries and at least 20 would not have survived if

they had not been saved in some way by their governments ( Financial Times 5

January 1996, The Economist 24 June 1995).

UNCTAD's own index of transnationality based on shares of foreign assets,

foreign sales and foreign employment shows 40 of top 100 multinational

companies in 1993 have more than half of their activities abroad, with the

average for the whole group at 41 per cent, falling to 34 per cent for US

Multinationals, which comprise nearly onethird of the total. Even these

figures are misleading as Nestle, which tops the list with 92 per cent,

limits nonSwiss voting rights to 3 per cent of the total. In addition most

research and development (R&D) takes place in the home country. For US

multinationals, the share of R&D performed by majority owned foreign

affiliates was only 12 per cent in 1992 (WIR 1995 pp xxvi-xxx, and Wade

p19).

Finally a recent study by Hirst and Thompson (H&T), based on company data

for 500 MNCs in 1987 and 5000 MNCs in 1992-3, assessed the relative

importance for MNCs of home and foreign sales and assets of particular

countries, mainly US, UK, Germany and Japan. They found that between 70 and

75 per cent of MNC value added was produced in the home nation. They

conclude that international businesses remain heavily 'nationally embedded'

and continue to be MNCs rather than TNCs (H&T pp 76-98). However, that

international companies are nationally based and trade and invest

multinationally tells us little about the overall strategic importance of

the 25 30 per cent activity conducted abroad a point that we shall return to

below.

An integrated production system?

Foreign direct investment is linking many national economies but, but far

from this leading to an 'integrated production system', it is reinforcing

the economic domination of the vast majority of the world by a small number

of imperialist countries. Multinational companies have become the principle

vehicle of imperialism's drive to redivide the world according to economic

power.

Since 1983 FDI has grown five times faster than trade and ten times faster

than world output (The Economist 24 June 1995). This process is being

reinforced with recession and stagnation continuing to afflict the major

imperialist economies. From 1991 to 1993, worldwide FDI stocks grew about

twice as fast as worldwide exports and three times as fast as world GDP.

MNCs FDI in 1995 was estimated at $230bn, producing a worldwide FDI stock of

$2,600bn (1995) with worldwide sales of foreign affiliates at $5,200bn

(1992) and up to $7,000bn, if subcontracting, franchising and licensing are

taken into account.

Investment stocks and flows, inwards and outwards, are concentrated in the

imperialist countries and particularly in the competing power blocs, the

'Triad' of the European Union, Japan and the United States and their

regional cluster of countries (see FRFI 111 p7). 70 per cent of the outflows

from the imperialist countries (60-65 per cent of total world flows) comes

from only five countries, France, Germany, Japan, UK and US. Continual

repositioning has taken place among them and in the recent period the US has

reasserted its lead accounting for one quarter of the world's stock and

onefifth of world flows (see Tables 1 and 2).

The relative change in the balance of economic power since the end of the

postwar boom is highlighted by US share of the world outward stock of FDI

falling from 52.0 per cent in 1971 to 25.6 per cent in 1994, while Japan's

share rose from 2.7 per cent to 11.7 per cent. The European Union is the

dominant imperialist bloc and Britain, a rapidly declining industrial power,

still retains a formidable imperialist presence.

Table 1: Outflows of FDI from five major imperialist powers 1982-1994

        1989    1992    1994    1982-1986       1987-1991

Country (outflows $ bn)                 % share in world total

France  20      31      23      5       11

Germany 18      16      21      10      10

Japan   44      17      18      13      18

UK      35      19      25      18      14

USA     26      39      46      19      13

 

Table 2 Shares in total FDI stock 1971-1994 (%)

Country 1971    1980    1990    1994

France  5.8     4.6     6.6     7.7

Germany 4.4     8.4     9.1     8.6

Japan   2.7     3.8     12.1    11.7

UK      14.5    15.6    13.8    11.8

USA     52.0    42.8    26.1    25.6

(Data from WIR 1995 and Multinational Corporations in World Development,

United Nations, NY 1973)

Over the last 10 years FDI outflows from Third World countries have more

than doubled growing from 5 per cent of world FDI outflows in 1980-84 to 10

per cent in 1990-94, reaching 15 per cent in 1994. However this does not

represent a significant step towards a more integrated system since most of

the capital flow comes from a small number of the socalled newly

industrialising countries (NICs), mainly in Asia, with Hong Kong alone

contributing 64 per cent of the total. Hong Kong outflows seriously distort

the overall figures. A lot of the other outward investment results from

companies in NICs forced by rising wages to move labourintensive FDI to

lower wage countries in the same region. Of real significance is the fact

that only 6 per cent of FDI outward stock is accounted for by Third World

countries. It is a great deal lower than their share of exports in world

exports, and GDP in world GDP, at 23 per cent and 21 per cent respectively.

The recession which hit most imperialist countries in 199092 and the

stagnant economic growth of the following years, while reducing overall FDI

outflows from the imperialist nations, saw a much greater share of them go

into the Third World, and, in particular, China. FDI inflows into Third

World countries increased from $35bn (17 per cent of the total) in 1990 to

$84bn (37 per cent) in 1994, and is estimated to reach $90bn in 1995, nearly

40 per cent of total FDI outflows (Table 3).

The flows into the Third World were however very concentrated. 79 per cent

of FDI inflows into Third World countries in 1993 went to only ten countries

including China. With nearly $28bn, China was the second largest recipient

of FDI (after the United States) taking 37 per cent of the total going to

Third World countries. FDI outward stock was likewise highly concentrated

with 67 per cent of Third World stock in just ten countries in 1993. Asia

accounted for 70 per cent of total flows into Third World countries in 1994.

Latin America and the Caribbean received 24 per cent with two countries,

Mexico and Venezuela, accounting for 71 per cent of the region FDI inflows.

On the other hand FDI into Africa has declined from 11 per cent of Third

World inflows in 1986-90 to 6 per cent in 1991-93 and to 4 per cent in 1994.

Finally privatisation was the main reason for the $6.3bn flows into the

exsocialist countries of central and eastern Europe in 1994, turning former

domestic companies into foreign affiliates of multinational companies.

 

Table 3: Inflows and Outflows of FDI 1982 1994

        1990    1992    1994    1982-86 1987-91 1994

Country Group   ($ billion)                     (% share in total)

Imperialist:

Inflows 176     111     135     70      82      60

Outflows        226     171     189     94      94      85

Third World:

Inflows 35      55      84      30      18      37

Outflows        17      19      33      6       6       15

(Discrepancies between outflows and inflows are due to data collection

problems)

Our argument can be further substantiated by looking at FDI in terms of its

distribution among the worlds population. The Triad countries comprising 14

per cent of the world's population attracted some 75 per cent of FDI flows.

If we add to this the population of the ten highest recipients of FDI in the

Third World, then 43 per cent of the world's population received 91.5 per

cent of FDI between 1981-91. This includes all of China with a population of

1.2bn. If we only include China's population in the coastal regions where

most FDI is concentrated then only 28 per cent of the world's population

receive 91.5 per cent of FDI. On this basis between 57 and 72 per cent of

the world's population receive only 8.5 per cent of total world FDI (H&T

p67-68). This is hardly a picture of an integrated production system but one

that is highly concentrated and very unequal.

Highly concentrated and very unequal

'...a fall in the rate of profit connected with accumulation necessarily

calls forth the competitive struggle. Compensation of a fall in the rate of

profit by a rise in the mass of profits applies only to the total social

capital and to the big, firmly placed capitalists.' (K Marx)

UNCTAD's support for countries opening up their economies to FDI shows quite

brazenly its neoliberal sympathies:

'In today's increasingly open and competitive global economic environment,

the performance of countries best measured in terms of per capita income (as

a proxy measure for welfare) and growth depends significantly on the links

they establish with the world economy'.

Unusually, we are provided with a definition of a competitiveness as the

ability of firms 'to survive and grow while obtaining their ultimate

objective of maximising profits' (WIR p x-xvii,p150) which helps to explain

today's increasingly unequal and monopolistic global environment.

Growing competition for profits creates an inexorable tendency towards

monopolisation as it is only the 'big firmly placed' companies which can

survive in a world where capital accumulation is stagnating. Growing

monopolisation of markets for goods, investment, technology and raw

materials, through mergers, acquisitions and FDI, are the result of

multinational companies relentless search for ever greater profits to

compensate for a general fall in the rate of profit. This creates a very

different 'global environment' than that promoted by the UNCTAD report.

We have already showed how FDI by predominantly nationally based

multinational companies is concentrated within a number of competing power

blocs. It is also controlled by a small number of multinational companies

within those blocs. There are in the region of 40,000 multinational

companies having some 250,000 foreign affiliates. However the largest 100

multinational corporations (excluding those in banking and finance) had an

estimated $3.7 trillion worth of global assets with $1.3 trillion outside

their respective home countries. This accounted for a third of the combined

FDI stock of their countries of origin. The world's 500 largest industrial

corporations employ 0.05 per cent of the world's population and control 25

per cent of the world's economic output; and a mere one per cent of all

multinationals own half the global stock of FDI. Twothirds of world trade is

controlled by multinational companies with half of this trade, or $1.3

trillion exports, intrafirm trade between multinational companies and their

affiliates. In the case of US multinationals, $4 out of $5 received for

goods and services sold abroad by US multinationals are actually earned from

goods and services produced by their foreign affiliates or sold to them.

The concentration for a certain range of products is even greater. In the

case of consumer durables the top five firms control nearly 70 per cent of

the world market in their industry. In automotive, airline, aerospace,

electrical components, electrical and electronics and steel industries, five

firms control more than 50 per cent of output. In oil, personal computer and

media industries the top five firms have more than 40 per cent of sales (K

p223). The total sales by foreign affiliates of 23 multinational companies

accounted for 80 per cent of the total world sales in electronics. 70-80 per

cent of global R&D expenditure and 80-90 per cent of technology payments are

within MNC systems. Far from this presenting a picture of an 'open and

competitive' environment we have one that is increasingly controlled and

increasingly monopolistic.

The same principles which lead to the concentration of capital in the hands

of a few large corporation determine the extent and direction of FDI. The

forces of monopoly consolidate at a global level. Most FDI going into the

imperialist nations is 'ownershipswitching' for mergers, acquisitions and

privatisations as opposed to new establishment or 'greenfield' investment.

In the case of FDI going into the United States in 1993, 90 per cent in

value was for acquisitions of existing companies. For US outward FDI the

ratio of the number (data on values are not available) of new establishments

to acquisitions was 0.96 in other imperialist countries compared to 1.8 in

Third World countries.

In a classic piece of understatement UNCTAD informs us 'FDI is not a panacea

to break from the vicious circle of underdevelopment' in the Third World.

That is certainly true. For the strategic importance for MNCs lies in its

ability to generate adequate profits through the access it provides to

essential markets and productive resources throughout the world.

MNCs FDI inflows to Third World countries accounted for only 7 per cent of

Third World domestic investment in 1993. As we have discussed earlier, it is

mainly is concentrated in only 10 countries. These countries have an average

GDP per capita of $6,610 and come into the top sector of middle income

countries. MNCs are looking for high, guaranteed profits, relatively large

domestic markets or easy access to such markets, good social and industrial

infrastructure, a skilled workforce at low cost, political and economic

stability, open economies and easy repatriation of profits. Africa, for

example, is now of limited importance, in spite of high rates of return,

because of widespread poverty and political and economic instability. Not

surprisingly, FDI in Africa is concentrated in countries with important raw

materials, particularly oil.

Official rates of return to US FDI in Third World countries in 1993 at 16.8

per cent were nearly twice the level in imperialist countries at 8.7 per

cent. The rate of return in the primary sector in Africa was a massive 28.8

per cent. Actual rates in Third World countries are probably even higher

once transfer pricing and other tax avoidance devices are taken into

account.

MNCs use Third World countries as a low cost, profitable location for

exportoriented industries. In the late 1980s and early 1990s the share of

foreign affiliates in exports were as high as 57 per cent in Malaysia (all

industries), 91 per cent in Singapore (nonoil manufacturing). In 1990, 44

per cent of total manufactured exports in Brazil and 58 per cent in Mexico

were by foreign affiliates of MNCs.

The trend is accelerating for many MNCs to move manufacturing and services

industries out of high labour cost countries to ever cheaper ones in the

Third World as competition for markets and demands on profits from

shareholders intensifies. Morgan Crucible, the UK speciality materials

group, is typical. It is shifting production to low wage economies in

Eastern Europe and Asia. Average labour costs are $1.50 an hour in eastern

Europe compared to $26 an hour in Germany. At its new Shanghai plant workers

were paid $1 a day compared with $31 an hour in Japan. It was doing this

despite a 20 per cent increase in profits. Similarly British Polythene

industries (BPI), Europe's largest polythene film producer, reported an

increase of pretax profits from £8.61m to £11.5m. It closed its plant in the

Midlands where workers were paid £15,000 a year, to move to China where

workers are paid $1,000 (£670) a year. BPI chairman said that: 'We had to go

there or see our business disappear' (Financial Times 12 September 1995).

Such trends will reinforce and extend existing inequalities in all countries

concerned.

UNCTAD ignores such realities when in promoting FDI, it highlights the rapid

increase of inflows into India as a result of its governments recent

neoliberal economic policies. 'By the turn of the century it is estimated

that India's middle class will include over 9.4m households earning over

$9,000 per annum.' This is in a country with a population of over 800m

people, the vast majority of whom live in dire poverty. Similarly Asia is

seen as an area with a growing and potentially high spending middle class.

If present day growth rates continue, 'the middle class in Asia could top

700m by the year 2010, having $9 trillion spending power 50 per cent more

than the size of the US economy today.' This in an area where 180m urban

dwellers and 690m rural people lack safe drinking water and access to proper

sanitation and overall 675m people live in absolute poverty.

Finally, FDI inflows into the Third World have been used by imperialist

countries to export environmentally polluting industries and factories.

Japan, in what UNCTAD refers to as 'housecleaning' its domestic industrial

structure, has financed and constructed a copper smelting plant run by PASAR

in the Philippines. Gas and water emissions from the plant contain high

concentrations of boron, arsenic, heavy metals, and sulphur compounds that

have contaminated water supplies, reduced fishing and rice yields, damaged

forests and increased the occurrence of respiratory diseases among local

residents (K p31). It is not just the low wages $1.64 an hour compared to an

average $16.17 in the United States which make the Mexican maquiladora zones

attractive to MNCs but also their loose environmental regulations. Studies

have shown evidence of massive toxic dumping polluting rivers, groundwater

and soils and causing severe health problems among workers and deformities

among babies born to young women working in the zone. The workers are housed

in dwellings in shanty towns that stretch for miles with no sewer systems

and mostly without running water (K p131-2).

The spectre of 1914

The rapid internationalisation of capital since the mid-1970s has, to a

significant extent, brought the capitalist system closer to prefirst world

war conditions. The openness of capitalist economies today is no greater

than before 1914. The main players are the same but the balance of economic

power between them has changed. Merchandise trade (exports plus imports) as

a percentage of GDP is close to the levels of 1913 (Table 4). FDI stock has

been estimated at 9 per cent of world output in 1913 compared to 8.5 per

cent in 1991. But there are differences which in fact add to the growing

instability of the capitalist system.

 

Table 4: Ratio of exports plus imports to GDP at current market prices (%)

Country 1913    1950    1973    1994

France  30.9    21.4    29.2    34.2

Germany 36.1    20.1    35.3    39.3

Japan   30.1    16.4    18.2    14.6

UK      47.2    37.1    37.6    41.8

US      11.2    6.9     10.8    17.8

(Taken from Financial Times 18 September 1995)

$1,230bn a day flows through the foreign exchange system as financial

institutions and multinational corporations hedge, gamble and speculate on

the movement of national currencies. The financial system has now an

unprecedented autonomy from real production and represents an everpresent

threat to economic stability as it rapidly redistributes 'success and

failure' throughout the system. Third World debt at a record $1,714bn in

1994, continues to grow despite massive debt repayments which bleed those

countries dry. Labour migration is far more restricted than in before the

first world war leaving whole populations imprisoned in untenable social

conditions. Inequalities between rich and poor countries and between the

rich and poor in all countries have reached unprecedented levels and are

still growing.

The fundamental shift in the international balance of economic power has

removed the dollar as the anchor of the capitalist system. Nothing exists to

replace it. Neither Japan nor an increasingly fractious European Union are

in a position to take over the United States global role. Inter-imperialist

rivalries are growing and trade wars are being constantly threatened. Far

from being a beacon of capitalist progress 'globalisation' is a sign of

economic decay and increasing instability in a world of obscene and growing

inequality.

 

 

Bibliography

WIR 95: World Investment Report 1995: Transnational Corporations and

Competitiveness, United Nations, New York and Geneva, 1995. Most of the

statistics are taken from this and earlier reports unless otherwise

indicated.

H&T: Paul Hirst and Grahame Thompson Globalisation in Question, Polity Press

1996.

K: David C Korten When Corporations Rule the World, Earthscan Publications

Ltd, London, 1995.

Wade: Globalization and its Limits: The Continuing Economic Importance of

Nations and Regions IDS, Sussex University, May 95.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template