Headlines News :
Home » » Demokrasi, HAM dan Tragedi Mei 1998

Demokrasi, HAM dan Tragedi Mei 1998

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 02.04

Dalam khazanah ilmu politik kontemporer, era reformasi dewasa ini disebut juga masa-masa transisi dari otoriterianisme menuju demokrasi. Di samping masa transisi, Indonesia juga disebut-sebut sedang mengarah pada konsolidasi demokrasi. Itu dapat berarti, demokrasi itu sendiri belum mewujud sepenuhnya dalam realitas politik bangsa kita.

Harus diakui, bagi Indonesia tidak mudah melewati masa transisi. Begitu pun mengonsolidasikan demokrasi di negara yang baru saja melewati masa-masa panjang otoriterianisme, dari masa Orde Lama (1958-1965) dan Orde Baru (1966-1998). Bisa-bisa yang terjadi justru sebaliknya: memuncaknya kekecewaaan rakyat terhadap kondisi kekinian yang mereka anggap “buah” demokrasi dan reformasi. Munculnya apa yang disebut “virus SARS” (Sindrom Amat Rindu Soeharto), yang menganggap kehidupan di era Orde Baru lebih baik daripada masa reformasi, mewakili fenomena tersebut.

 Salah satu masalah pokok yang bisa menghambat konsolidasi demokrasi di tanah air adalah penegakan hukum yang masih mandek. Ada yang mengatakan demokrasi berjalan tetapi penegakan hukum gagal. Demokrasi (kedaulatan rakyat) tanpa nomokrasi (kedaulatan hukum). Orang kemudian mengasosiasikan, absennya penegakan hukum itu dengan tidak terselenggaranya pangadilan yang jujur dan bebas terhadap pelaku tindak pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan seterusnya. Kondisi itu tentu menyedihkan di tengah ikhtiar mewujudkan reformasi dan demokrasi yang lebih maju di negara kita. Perkembangan demokrasi ke depan akan sangat bergantung pada, salah satunya, sejauh mana komitmen pemerintah dan aparat berwenang di bidang hukum dalam penegakan hukum atas pelanggaran HAM di masa lalu maupun masa kini.

Salah satu contoh penyelesaian hukum yang belum tuntas terhadap pelanggaran HAM di era reformasi adalah Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 yang menewaskan 4 mahasiswa  Universitas Trisakti dan Kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang menewaskan ratusan orang di Jakarta menjelang kejatuhan Presiden Soeharto. Bagaimana pemerintah dan aparat penegak hukum menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM dalam Tragedi Mei 1998 itu akan menjadi bahan pengujian serius bagi agenda konsolidasi demokrasi ke depan, terlebih-lebih karena dewasa ini bangsa Indonesia sedang sibuk dalam perhelatan Pemilu 2004 untuk memilih anggota legislatif maupun presiden dan wakil presiden.

         
Demokrasi dan HAM

Hubungan antara masalah HAM dan demokrasi saling tergantung dan saling mendukung. Perlindungan terhadap HAM dan supremasi hukum paling baik dicapai melalui suatu komitmen pada prinsip-prinsip demokratis. Pelaksanaan HAM dan kebebasan-kebebasan sangat perlu agar demokrasi berjalan benar.

Kepercayaan hubungan erat antara demokrasi dan HAM bukanlah barang baru. Universal Declaration of Human Right dan International Convenant on Civil and Political Right mencantumkan sebuah dukungan pada pemerintahan demokratis. Di situ dijelaskan tentang  “kehendak rakyat harus dijadikan dasar kewenangan pemerintah”. Salah satu manifestasi aspirasi rakyat adalah dalam bentuk kehendak menegakkan hukum secara menyeluruh (Beetham, 2001).

Dari sudut teori konsolidasi demokrasi, masalah penegakan hukum dan HAM juga menjadi penting sekali. Menurut Juan J. Linz dan Alfred Stepan (2001), demokrasi terkonsolidasi jika memenuhi 5 syarat utama: pertama, harus diciptakan kondisi bagi berkembangnya masyarakat sipil (civil society) yang bebas dan aktif. Kedua, harus ada masyarakat politik yang otonom. Ketiga, di seluruh wilayah negara, semua tokoh politik utama, terutama pemerintah dan aparat negara, harus benar-benar tunduk pada aturan hukum yang melindungi kebebasan individu dan kehidupan bermasyarakat. Keempat, harus ada birokrasi negara yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah demokratis yang baru. Kelima, harus ada masyarakat ekonomi yang dilembagakan.

 Jika salah satu saja di antara kelima prasyarat itu tak terpenuhi oleh suatu negara, maka berarti demokrasi belum terkonsolidasi dengan baik di negara itu. Kepastian hukum dan terpenuhinya rasa keadilan masyarakat merupakan prasyarat penting dalam konsolidasi demokrasi.

 

Tragedi Mei 1998

Iklim keterbukaan yang muncul sejak tahun 1998, memungkinkan setiap orang yang selama ini merasa hak-hak asasinya terlanggar menuntut keadilan dan menyampaikan aspirasinya ke pelbagai lembaga yang berwenang. Tuntutan itu mengarah pada berbagai kasus, baik yang terjadi di era reformasi, transisi kekuasaan, dan bahkan masa Orde Baru.

 Salah satu pelanggaran HAM yang mencoreng wajah dunia hukum dan politik di negara kita sejak reformasi adalah Tragedi Trisakti yang pecah 12 Mei 1998 dan Kerusuhan 13-15 Mei 1998. Kalangan aktivis pro-demokrasi dan HAM, menilai  Tragedi Trisakti yang menewaskan 4 mahasiswa maupun Kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang menghanguskan ratusan jiwa termasuk dalam kategori pelanggaran HAM yang serius.

 Untuk kasus Trisakti, memang sudah ada pengadilan atas pelaku penembakan mahasiswa, tetapi siapa “otak” di belakang peristiwa itu belum juga terungkap. Sampai sekarang, tak satu pun petinggi militer dan aparat keamanan yang berwenang saat itu yang mengaku bertanggungjawab atas kematian empat mahasiswa. Seperti diketahui, saat Tragedi Trisakti berlangsung, yang menjabat Menhankam/PanglimaABRI adalah Jenderal TNI Wiranto sedang Pangkostrad adalah Letjen TNI Prabowo Subianto. Jenderal Wiranto, yang kini menjadi calon presiden Partai Golkar itu, mengatakan Tragedi Trisakti tak dapat dielakkan. Bahkan, menurutnya, jatuhnya empat korban mahasiswa sebagai ekses dari situasi kekacauan yang terjadi menjelang mundurnya Presiden Soeharto. Apakah sang jenderal tidak menganggap tewasnya empat mahasiswa Trisakti bukan sebentuk pelanggaran HAM? Di mana tanggungjawabnya sebagai petinggi di bidang keamanan saat itu? (Fadli Zon, 2004).

      Dalam konteks penegakan demokrasi, penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Di samping Tragedi Trisakti dan Kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang menyedihkan itu, masalah-masalah pelanggaran HAM berat seperti kasus Tanjung Priok 1984, kasus 27 Juli 1996, Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), pelanggaran HAM Timor Timur dan Aceh, jelas masalah yang mesti mendapatkan klarifikasi hukum yang jelas.

      Bagaimana mungkin konsolidasi demokrasi dapat dicapai di tanah air jika penegakan hukum atau pengadilan yang fair atas kasus-kasus pelanggaran HAM tidak diwujudkan. Padahal, itu pun baru salah satu prasyarat saja dari konsolidasi demokrasi. Masalahnya, beranikah bangsa ini melakukan penegakan hukum serius atas perwira tinggi militernya yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat? Tegakah kita sebagai bangsa menghukum tokoh yang dianggap pelanggar HAM?  Kalau pertanyaan ini belum bisa dijawab berarti harapan mewujudkan konsolidasi demokrasi di atas “masih jauh panggang dari api”. Wallahu’alam bissawab.

 

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template