Headlines News :
Home » » Hidayah dalam Al Quran

Hidayah dalam Al Quran

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 08.38

Muqadimah

Jika diperhatikan dengan teliti ayat-ayat Al Quran kita akan dapati bahwa Allah SWT. Mencipta kejadian untuk wujud yang dinamakan insan.

"Allah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit, lalu di keluarkan darinya buah-buahan untuk rezeki kamu, dan ditundukkan untuk kamu kapal supaya kamu dapat belayar dilautan dengan perintahNya dan ditundukkan untuk kamu sungai-sungai. Dan ditundukkan untuk kamu matahari dan bulan yang beredar, serta ditundukkan untuk kamu malam dan siang" (Ibrahim 32)

 

Segala kurniaan ini bukanlah satu pemberian sia-sia dan darinya manusia dituntut dengan tanggungjawab. Insan adalah wujud yang memiliki dua sisi. Sisi haiwan dan sisi malaikat. Ia boleh menjadi lebih teruk dari haiwan dan ia juga boleh jadi lebih baik dari malaikat.

 

Insan diciptakan bukan dalam keadaan sia-sia serta memiliki tujuan sebagaimana yang diterangkan dalam hadis Qudsi yang masyhur "Wahai putera Adam, Aku mencipta setiap sesuatu karena mu dan Aku mencipta mu karena Ku". Dari sini kita dapat memahamai bahwa ciptaan insan memiliki tujuan dan hadaf.

Al Quran juga ada menjelaskan hal ini.

"Tidak Aku ciptakan jin dan insan kecuali untuk beribadah" (Az Za’riat. 57)

 

Di sini jelas bahwa tujuan dari ciptaan insan adalah untuk beribadah, cuma persoalannya sekarang ini, apakah ia merupakan tujuan akhir atau ia merupakan perantaraan kepada tujuan akhir yang lain?

Pada peringkat selanjutnya setelah seseorang itu menjadi seorang yang abid, Allah SWT. Memerintahkannya untuk mencapai maqam yakin.

 

"Ibadahlah kepada tuhan mu hingga datang kepada mu yakin" ( Al An’am. 75)

Di sini jelas tujuan akhir insan adalah untuk sampai ke maqam yakin. Rentetan dari apa yang di atas akan timbul beberapa persoalan yang lain.

Apakah insan dapat menentukan apakah kesempurnaannya. Kedua apakah jalan yang paling hampir untuk mendapatkan kesempurnaan tersebut. Katakan, insan adakalanya hanya dapat menentukan sebahagian dari kesempurnaannya tidak bagi hal yang lain. Di sini peranannya syariat dan menerangkan apakah misdaq dari kesempurnaan, yang mana ia bukan harta, bukan pangkat dan bukan pada dunia tetapi ia adalah yakin kepada Allah SWT. Dan kembali kepadaNya serta insan boleh taqarub (dekat) kepadanya.

 

Selanjutnya syariah juga akan menunjukkan jalan yang paling hampir untuk untuk taqarub Ilahi. Ini adalah apa yang difirmankan ;

"Tunjukkan kami jalan yang lurus"`

 

Dengan ini, sepanjang wujudnya insan dari awalnya hingga ahkirnya kemanusiaan, memerlukan bantuan Ilahi ini. Di sini terletak perannya para nabi dan risalah dalam menuntun umat ke arah kesempurnaan. Dan dengan segala LutfNya ia meletakkan atas diriNya rahmat.

 

"Ia telah menetapkan atas diriNya Rahmat" (Al An’am 12)

"RahmatKu mencakupi atas segala sesuatu" (Al Ah’raf 157)

Maka segala penentuaan atas segala perkara atas alam ini, yang perlu dilakukan dan yang tidak boleh terletak atas Allh SWT.

 

Bentuk hidayah dalam Al Quran

 

Jika perhatikan dalam Al Quran, hidayah yang pertama yang di kurniakan kepada manusia adalah hidayah fitrah yang tidak berubah dan tidak akan berganti. Ia merupakan sunnah dari sunnah Ilahi.

 

“Maka luruskanlah wajahmu ke arah agama yang lurus, agama yang Allah jadikannya untuk manusia yang sesuai dengannya, tiada pertukaran pada ciptaan Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya"

(Ar Rum. 30)

"Kamu tidak bakal mendapatkan pada sunnah Allah perubahan"

(Al Ahzab 62)

"Kamu tidak bakal mendapatkan pada sunnah Allah pemindahan"

(Al Fathir 43)

 

Masalah utama hidayah ini adalah ia tidak menerangkan apa kesempurnaan yang dituntut oleh manusia dan tidak menerangkan jalan untuk mencapainya. Ia hanya memberikan insan sifat suka kepada kesempurnaan dan berusaha untuk mendapatkannya.

 

Di sini datangnya keperluan Insan kepada syariah samawi. Ia menerangkan kepada manusia apa yang manusia perlu lakukan dan apa yang tidak perlu. Hidayah ini di panggil dengan hidayah tasyrie. Ia adalah tugas para Nabi dan Rasul yang diutus sebagai pemberi khabar gembira dan ancaman. ( ) khusus ancaman karena manusia akan lebih berusaha apabila ada ancaman.

"Tiada kau kecuali pemberi peringatan" (Al Fathir 23)

Ini adalah hidayah yang kedua selepas hidayah fitrah yang dikemban tugasnya oleh para Nabi.

 

Hidayah yang ketiga yang diisyarahkan oleh Al Quran, dipanggil sebagai hidayah taqwini. Para ulamak seringkali menyebutkan bahwa hidayah itu ada dua, iaitu menunjukkan jalan dan menyampaikan ke arah tujuan.

Sebagai contoh, jika anda bertanya kepada seseorang tentang satu tempat, ada orang akan menunjukkan jalan tempat tersebut dan ada pula yang menghantar anda terus ketempat tersebut. Yang pertama itu hidayah tasyrei dan kedua hidayah taqwini.

 

Tugas pengemban hidayah ini berbeza dengan hidayah tasyrei yang dipikul oleh para Nabi. Pengemban hidayah ini adalah maqam Imam. Adakalanya seorang Nabi juga adalah seorang Imam seperti Nabi Ibrahim as. (Al Baqarah 124) dan ada juga Nabi yang bukan Imam dan Imam yang bukan Nabi. Di sini timbulnya perbahasan Imamah.

Yang jelasnya selagi insan itu wujud di atas muka bumi ini, ia akan terus memerlukan hidayah-hidayah ini.

 

Batas Tugas Hidayah Tasyrei

 

Jika kita melihat di dalam Al Quran, kita akan dapati terdapat batas dalam tugas hidayah tasyrei. Ia hanya menyampaikan sahaja bukan mengiring ke arah tujuan.

 

"Rasul-Rasul memberi khabar gembira dan takut supaya tiada alasan bagi manusia terhadap sesudah (diutus) para Rasul"

(An Nissa 165)

"Sesungguhnya kau adalah pembawa khabar takut"

(Ar Ra’adh 7)

"Boleh jadi kau membinasakan dirimu sendiri karena mereka tidak mahu beriman"

(As syua’ra 3)

 

Ayat ini menunjukkan bahwa tugas rasul adalah menyampaikan sahaja tidak perlu Rasul bersusah payah hingga mereka beriman. Tugas Rasul hanyalah menyampaikan sahaja, jika mereka mahu menerima maka mereka beriman, jika tidak mereka ingkar.

Hidayah ini adalah hidayah yang umum berbanding hidayah taqwini, karena ia merangkumi semua insan dan jin dan boleh terjadi pembangkangan dan penolakan. Ia khusus apabila dibandingkan dengan hidayah fitrah karena hidayah ini merangkumi seluruh makhluk.

 

Hidayah Taqwini dalam Al Quran

Hidayah ini adalah hidayah yang khusus, kembali kepada hidayah yang dibawakan oleh para Imam yang bakal kita bahaskan.

Al Quran secara jelas menunjukkan bahwa tugas Imam adalah untuk memberi hidayah.

 

"Kami lantik mereka (rasul) menjadi Imam untuk memberi hidayah dengan urusan kami ketika mereka bersabar dan yakin dengan tanda-tanda kami"

(As Sajadah 24)

 

Para rasul yang dilantik menjadi Imam mendapat misi baru, lain dengan misi ketika mereka pada maqam Rasul, iaitu menyampaikan risalah. Di sini mereka diperintahkan untuk memberi hidayah.

Antara Rasul yang dilantik menjadi Imam adalah nabi Ibrahim as.

"Sesungguhnya Aku melantikmu untuk menjadi Imam kepada manusia" (Al Baqarah 124)

 

Dari ayat 24 dari Surah Sajadah syarat pertama untuk menjadi Imam adalah sabar. Dalam surah Al Baqarah ayat 124, Nabi Ibrahim pertamanya di uji oleh Allah SWT dan apabila ia sukses dari ujian ini maka ia dilantik menjadi Imam. Ar Rasul SAWA. Adalah Rasul yang termulia dan ujian untuknya lebih hebat dari Rasul-Rasul yang lain tetapi balasan dari segala kekejaman yang ia dapatkan ia berdoa supaya Allah mengampuni kaumnya karena mereka tidak mengetahui. Dan di sini Ar Rasul juga merupakan seorang Imam.

 

Syarat kedua adalah yakin dengan tanda-tanda Allah sebagaimana dalam surah sajadah ayat24. Di sini menunjukkan bahwa dengan hanya sabar atas ujian tidak cukup untuk menjadikan seseorang itu menjadi Imam.

Ia perlu juga memiliki ilmu yakin. Dalam surah Al An’am ayat 75, Nabi Ibrahim as. Ditunjukkan malakutnya langit dan bumi untuk menjadi hamba Allah yang yakin.

"Bagitulah bagaimana kami menunjukan Ibrahim malakut langit dan bumi supaya menjadi dikalangan yang yakin"

 

Imam ini juga perlu memiliki tahap keyakinan tertinggi dari tahap-tahap yakin.

 

"Jika kalian memiliki ilmu yakin pasti kalian akan melihat jahanam lalu melihatnya dengan ainul yakin"

(At Takhasur 5-7)

"Sesungguhnya inilah ia haqul yakin"

(Al Waqi a’ 95)

 

Oleh itu Imam adalah orang yang bukan saja yang mengetahui akan hakikat sesuatu tetapi ia juga mengetahui kesan dari sesuatu. Ini juga adalah satu peringkat dari peringkat maksum.

Dari surah As Sajadah boleh difahami bahwa hidayah yang dibawa oleh Imam adalah hidayah dengan urusan Allah ‘Al Amr’. Al Amr ini adalah sebagaimana yang termaktub dalam surah Yasin ayat 83 dan dan Al Qamar ayat 50.

"Hanya urusanNya jika ia menginginkan sesuatu Ia mengatakan jadi maka akan terjadi"

"Tiada urusan kami kecuali sekali, sesekelip mata"

 

Penerusan Maqam Imamah

 

Telah disebut di atas bahwa selagi insan wujud di atas muka bumi ini selagi itu insan memerlukan hidayah. Hidayah syarei berterusan dengan kekalnya syariat Ar Rasul. Perbahasannya kini apakah hidayah taqwini yang dipikul oleh maqam Imam berterusan atau tidak.

 

Dalam surah Baqarah ayat 124, ketika Allah SWT. Mengangkat Nabi Ibrahim menjadi Imam, Nabi Ibrahim memohon supaya zuriahnya juga diangkat menjadi Imam sebagaimananya. Allah SWT. Mengkabulkan permintaannya dengan syarat maqam Imamah itu tidak akan diberikan kepada zuriah Ibrahim yang berlaku zalim.

 

Maqam Imamah yang dikurniakan kepada zuriah Ibrahim as. adalah sebagaimana Nabi Ibrahim as. Jika dia diuji dan sabar atas ujian tersebut, maka zuriahnya juga akan diuji untuk sampai ke maqam Imamah. Dan Nabi Ibrahim memiliki ilmu yakin sebagai syarat untuk mendapatkan maqam Imam, maka zuriahnya juga yang menjadi Imam akan mendapatkan maqam tersebut. Tugas Nabi Ibrahim as. sebagai Imam adalah untuk memberi hidayah maka zuriahnya yang menjadi Imam juga tugasnya memberi hidayah takwini. Dengan ini maqam Imamah berterusan melalui zuriah Ibrahim as.

 

Persoalannya sekarang ini, apakah selepas Ar Rasul, maqam ini berterusan atau tidak? Dari ayat 7 dari surah Ar Ra’adh, boleh difahami bahwa maqam Imam ini berterusan selepas Ar Rasul.

"Sesungguhnya kau pemberi peringatan dan pada setiap kaum ada yang memberi hidayah"

Telah dikatakan bahwa tugas pemberi hidayah adalah tugas Imam dan selagi insan masih wujud selagi itu mereka memerlukan hidayah. Hidayah tasyrie berterus dengan berterusannya risalah, tetapi hidayah taqwini memerlukan Imam untuk mengembannya. Oleh itu selepas Ar Rasul maqam ini berterusan. Sudah tentu pengakatan seseorang menjadi Imam adalah urusan Allah bukan urusan manusia, karena Imam memberi hidayah atas urusan Allah.

 

Kenapa dipanggil Hidayah Takwini?

 

Sebagaimana yang disebut di atas tugas Rasul adalah manyampaikan wahyu atau dengan kata lain menunjukkan jalan. Insan boleh menerima dan beriman kepadanya atau menolak dan ingkar. Manakala tugas Imam pula adalah mengiring dan meyampaikan insan kearah tujuan. Dengan ini mereka yang mengikuti hidayah ini tidak akan sama sekali tersesat atau tidak akan bakal ada peyimpangan. Sebab itulah ia dipanggil takwini karena tidak wujud peyimpangan bagi mereka yang sudah mengikuti hidayah ini sebagaimana hukum takwini yang tidak ada peyimpangan di dalamnya.

Dengan ini dapat difahamkan bahwa insan dalam untuk mencapai maqam yakin ia perlu untuk mengikuti para Imam, jika tidak ia akan tersesat dan tidak akan mencapai tujuan penciptaannya.

 

Kemaksuman Para Imam AS

 

Imam Itu Maksum

Ketika Tuhannya menguji Ibrahim dengan beberapa kalimat maka ia telah menyelesaikannya . Allah berfirman sesungguhnya Aku menjadikan kau

Imam untuk manusia. Ibrahim berkata: juga dari keturunanku. Allah berfirman "janjiKu tidak termasuk mereka yang zalim."(Al-Baqarah: 124)

 

Sebagaimana yang telah dibahaskan bahwa tugas hidayah taqwini ini dipikul oleh Imam. Dari ayat di atas juga dapat difahami bahwa Imam itu maksum. Sudah tentu yang dimaksudkan dengan Imam disini bukan senonim dengan erti nabi. Ini karena Ibrahim Al Khalil ketika diangkat menjadi Imam ia adalah Nabi dan Rasul. Ia juga bukan berarti kepimpinan karena kepimpinan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dengan kenabian dan kerasulan. Setiap nabi dan rasul yang diutus pasti akan menjadi pemimpin untuk kaumnya.

 

Yang dimaksudkan dengan Imam disini adalah sebagaimana yang telah dibahaskan sebelum ini iaitu ‘ mengantar pada tujuan’.

Disini juga tidak boleh dinafikan bahwa kepimpinan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari Imam.

 

Setelah Ibrahim a.s diangkat menjadi Imam, Nabi Ibrahim a.s. juga meminta keseluruhan zuriatnya menjadi Imam sebagaimana dirinya.

Permintaannya tidak diterima keseluruhannya oleh Allah. Hanya sebahagian akan diangkat menjadi Imam. Yang zalim dikecualikan.

Jelas disini hanya zuriat Nabi Ibrahim a.s. yang tidak zalim sahaja akan diangkat menjadi Imam. Ini membuktikan bahwa Imam itu secara mutlak maksum, untuk menjelaskan hal ini perlu diteliti penerangan yang digunakan oleh Sheikh Thabrasi dalam Tafsir Al Bayan dan Allama’ Thabatabaie.

1. Penerangan Majama Al Bayan

Apabila Allah berfirman ‘ janji tidak meliputi yang zalim’ perlu difahami siapa itu yang zalim. Ayat Al-Quran mengatakan bahwa contoh yang paling nyata itu adalah musyrik.

"Sesungguhnya syirik itu kezaliman yang amat besar."

(Luqman :13)

 

Dari ayat ini jelas yang zalim itu bukan yang musyrik tetapi syirik itu adalah salah satu yang zalim. Ini berarti selain dari syirik ada juga zalim yang lain cuma bukan zalim yang amat besar. Ayat di atas bukan bermaksud syirik itu sama erti dengan zalim tetapi salah satu misdaq (eksensi) dari zalim. Tetapi sekarang bagaimana untuk membuktikan bahwa maksiat itu juga zalim atau dengan kata lain maksiat selain dari syirik kepada Allah itu juga adalah dari eksensi zalim. Al-Quran menerangkan bahwa punca setiap maksiat adalah syirik dan setiap ketaatan berpunca dari tauhid. Jika tauhid benar maka tiada syirik padanya dan juga tiada zalim dan berarti juga tiada maksiat.

 

Persoalannya sekarang ini bagaimana untuk membuktikan bahwa setiap maksiat itu sebenarnya adalah syirik.

Setiap kali Allah memerintahkan insan sesuatu perkara, insan ini akan mentaatiNya atau mengingkariNya.

Jika ia mengingkariNya berarti ia mengikut hawa nafsunya. Setiap kali insan ini mengikuti nafsunya berarti ia mengambil nafsunya sebagai tuhannya. Ini berarti ia memiliki tuhan lain iaitu hawa nafsunya. Ini berarti ia telah syirik kepada Allah. Jika tidak syirik berarti ia telah mentaati perintah Allah.

Dari sini dapat difahami bahwa setiap maksiat berpunca dari syirik dan setiap syirik itu adalah dari eksensi kezaliman. Oleh itu sesiapa yang bermaksiat kepada Allah sebelum atau selepas baligh, bertambah atau tidak, tidak akan mencapai maqam Imam sebagaimana janji Allah:

"..tidak akan termasuk dalam janjiKu orang yang zalim." 

Oleh itu terbukti bahwa Imam adalah yang maksum dari segala maksiat.

 

2. Maksum (Pendekatan Allamah Thabatabaie)

Allamah Thabatabaie dalam Tafsir Mizan mengatakan insan dari satu segi jika dibahagikan dengan pembahagian akal, ia boleh dibahagikan kepada 4 kumpulan.

a) Yang zalim dari awal umur hingga akhir

b) Yang zalim dari awal dan tidak pada akhir

c) Yang mukmin pada awal umurnya tetapi zalim pada akhirnya

d) Yang mukmin pada awal umurnya dan berterusan hingga akhirnya

 

Kembali kepada doa Ibrahim a.s. Akal tidak dapat menerima Ibrahim a.s. seorang nabi dari ulil azmi akan meminta golongan pertama dan ketiga untuk menjadi Imam. Karena kalau kita lihat dalam surah At-Taubah ayat 14 bagaimana beliau berlepas tangan dari musuh-musuh Allah.

Kini hanya tinggal 2 bahagian iaitu bahagian 2 dan 4, iaitu yang awal umurnya zalim dan akhirnya mukmin yang mukmin sepanjang hidupnya. Golongan yang kedua juga terkeluar dari doa Nabi Ibrahim a.s. karena ia juga zalim dan tidak sesuai dengan Imamah. Oleh itu maqam Imam ini hanya untuk yang mukmin sepanjang hayatnya.

Apa Itu Maksum?

Yang dimaksudkan dengan maksum disini adalah peringkat dari peringkat-peringkat ilmu, makrifah dan yakin. Dan dengannya insan akan menjaga perbuatannya dari bermaksiat kepada Allah s.w.t. Dengan ini yang menghalang dari melakukan dosa adalah ilmu. Al-Quran dalam menerangkan ciri-ciri Imam menyebut 2 ciri. Ciri pertama iaitu penghalang seseorang untuk mencapai maqam Imam ialah zalim. Ciri kedua adalah ciri positif "ketika mereka bersabar dan mereka yakin dengan tanda-tanda Kami". Yakin ini yang memberi insan potensi untuk bersabar dan kekuatan untuk menghadapi kesusahan.

 

Perbahasan Tentang Ilmu

Allah s.w.t. dalam surah An-Nahl ayat 78 berfirman:

"Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu, sedang kamu tiada mengetahui suatu apapun, dan Dia adakan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati, mudah-mudahan kamu berterima kasih kepadaNya."

Ilmu ini adalah ilmu yang dipanggil sebagai ilmu husuli ( ) iaitu ilmu yang menghikayatkan kenyataan luaran. Setiap insan berupaya memiliki ilmu ini tidak kira ia fasik, munafik, mukmin atau adil. Ilmu ini adalah ilmu yang Allah samarataka di kalangan manusia. Tinggal mereka berusaha untuk mendapatkannya. Sebagai contoh ilmu feqah, falsafah, matematik, kedoktoran dan sebagainya adalah ilmu yang boleh dipelajari oleh insan tanpa ada syarat ketaqwaan.

Di dalam Al-Quran ada mengisyarahkan satu lagi bentuk ilmu yang tidak akan di capai oleh insan kecuali dengan ketaqwaan. Insan yang tidak bertaqwa tidak akan diberikan ilmu dan makrifah ini.

Sebagaimana firman Allah Taala :

"Bertaqwalah kalian kepada Allah, Allah akan mengajar kamu." (Al-Baqarah:282)

Ini menunjukan bahwa ilmu dan makrifah ini bergantung kepada syarat ketaqwaan. Di ayat yang lain Allah berfirman:

"Jika kamu bertaqwa kepada Allah , Ia akan memberi kamu Furqan ( yang dapat membezakan haq dan batil, benar dan salah."(Al-Anfal:29)

Ini termasuk dari rezeki-rezeki yang tidak tersangkakan sebagaimana firman Allah:

"Barangsiapa yang takut kepada Allah, maka Allah akan mengadakan baginya tempat keluar (dari kesulitan)." (Ath-Thalaaq: 2)

Jika yang dimaksudkan disini dari rezeki, bukan hal-hal bersifat material karena orang kafir dan fasik juga mendapatkan rezeki tersebut melimpah-limpah.

 

Ilmu Yakin

Ilmu yang disyaratkan ketaqwaan untuk mendapatkan ia adalah ilmu yakin. Yakin ini adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Rasulullah yang mashyur yang memiliki kelebihan yang luar biasa.

"Iman diatas Islam dengan satu peringkat dan taqwa diatas iman dengan satu peringkat dan yakin di atas taqwa dengan satu peringkat dan tidak dibahagikan dikalangan insan yang lebih sedikit dari yakin."

Ilmu yakin yang dibicarakan ini yang merupakan ciri-ciri luaran tidak akan dicapai oleh insan kecuali ia dapat melihat malakut langit dan bumi.

"Begitulah Kami memperlihatkan Ibrahim malakut langit dan bumi supaya menjadi dikalangan yang yakin." (Al-An’aam: 75)

Dan diantara ayat diatas dengan firman Allah:

"Kami jadikan mereka iman untuk memberi hidayah dengan urusan Kami ketika mereka bersabar dan yakin dengan tanda-tanda kami."(As-Sajadah: 24)

Jelas menunjukkan dengan ilmu husuli tidak cukup menjadikan seorang itu imam dan tidak cukup dengan ilmu yang berpunca dari taqwa tetapi ia mesti sampai ke maqam yakin dalam ilmu. Dalam untuk mendapat yakin ini dengan terlebih dahulu dapat melihat malakutnya langit dan bumi.

Jelas Imam dengan memiliki ilmu yakin dan sabar serta dapat melihat malakut langit dan bumi berarti ia memiliki maqam kemaksuman. Dan tiada jalan untuk melakukan maksiat.

 

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template