Headlines News :
Home » » Peran Rasul & Para Imam

Peran Rasul & Para Imam

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 08.38

Firman Allah :

" Telah terdapat pada kalian seorang Rasul Allah yang padanya terdapat suri tauladan " (QS. ) "

Kajian ini tidak seputar dalil-dalil atau bukti-bukti nubuwwah, Nabi Muhammad SAWW, ataupun bukti wilayah Ali as. hingga Ajjallahu Farajahu Syarif al-Muntadhorul Mahdi as. Dengahmelihat sisi-sisi tugas dan peran kenabian dan imamah – kajian ini dibuat. Hal ini didasarkan telah banyak tulisan dan guru-guru yang mengajarkan bukti-bukti seperti ini. Dengan mendekati peran dan tugas-tugas seperti ini, diharapkan menjadi kesinambungan terhadap kajian-kajian kita disini. Para ulama yang ingin melukiskan kepribadian maksum ini dengan berbagai upaya, tidak membuahkan hasil yang memadai. Hal ini jelas sebagaimana telah diuraikan dalam kajian Ibrah.

Jauh hari Rasul bersabda :

" Wahai Ali tiada yang mengetahui engkau kecuali Allah dan Aku, dan tiada yang mengetahui Allah selain aku dan engkau " (hadist Syarif)

Dengan demikian tidak mungkin melukiskan pribadi-pribadi ma’sum ini dalam satu dua makalah, untuk menggambarkan pribadi yang utuh tentang beliau saww, boleh dikatakan mustahil. Walau demikian, bukan berarti seorang lari dan meninggalkan upaya pengenalan terhadap pribadi saww. Sejauh upaya itu adalah baik untuk terus dicapai. Agar tetap ada perhatian tentang ketauladanan Rasul ini.

Alasan lain, kenapa tidak mengambil kajian bukti-bukti dalil kenabian dan imamah - selain ruang yang sempit juga sudah menjadi kajian yang lebih detail oleh para ustadz-ustadz di Indonesia. Kajian ini untuk sekedar memfokukskan perhatian-perhatian yang dianggap penting pada tujuan praktis, karena hgal tersebut cukup sulit untuk berkata seluruh kategori misi-misi Raulil "Adham dan tugas-tugas imamah ini.

Namun demikian seperti diungkap di muka, sejauh hal tersebut adalah baik, tentu kajian detail masih diperlukan dalam diskusi-diskusi tersendiri.

Rasul sebagai Penyampai Risalah dan Hukum Allah

Keadilan Ilahi yang memberikan ikhtiara pada diri manusia yang mendudukkan kehormatan pada diri manusia dengan ikhtiarnya. Ikhtiar tersebut dijelaskan pada fungsi dan tempatnya, dalil-dalil aqli atau naqli tentang taqliddd-mukhtad dan ijtihad membuktikan hal ini. Disini ikhtiar manusia tidak digunakan untuk memutuskan hukum. Studi ini tidak memperpanjang persoalan ini karena banyak penjelas yang lebih layak menyampaikannya dan juga kesempatan.

Selaku penyampai hukum-hukum Allah – Rasulullah saww yang bersikap demikian pertama kali, dimana Rasul tidak pernah melakukan kompromi – atau bermusyawarah. Rasul menyampaikan dan kemudian mengajarkan seluruhnya kepada al-Imam Ali as. Dalam hal ini, Rasulpun harus ditauladani oleh ummat setianya. Dididiknya orang-orang yang juga menyampaikan tata cara hukum ini dan kemudian diutus keluar daerah. Karena itu orang yang hidup di masa Rasulullah saww dan tidak pernah bertatap muka dengan Rasulullah saww seperti Uways al-Karani. Mereka mendapatkan ajaran Islam dari guru-guru mereka yang diutus Rasulullah melalui Ali as.

Hal ini menarik untuk diulas lebih jauh, karena di masa Imam ma’sum pun – apa yang telah dilakukan Rasul dalam memberi pelajaran hukum Allah dilakukan oleh para Imam. Sehingga tidak heran, jika di masa Imam-pun muncul praktek-praktek ijtihad yang berseiring dengan Ma’sum. Kondisi satu masa menuju ke masa lainnya –persoalan (objek hukum) menjadi sedemikian berkembang, hukum-hukum Allah terasa diperlukan, dimasa itu para Imam Ma’sum yang memberi penjelasan.

Secara dhohir seakan Imam menyampaikan sesuatu yang tidak didengan orang di masa Rasul. Hal ini disebabkan hukum Allah saat itu belum muncul obyeknya, bukan beraarti kemudian hukum tersebut tidak ada atau belum ada – tetapi satu persatu telah diajarkan oleh Imam Ali as. Sebagai contoh akan hal hukum ini, soal perbank-an, dimasa Rasul tidak ada bank, bukan berarti kemudian hukum Allah tentang bank tidak ada, melainkan ditangguhkan penyampainnya pada ummat setelah diajarkannya pada Imam Ali as. Agar tidak muncul di kemudian hari pena’wil-pena’wil liar maka allah tidak pernah mengosongkan hujjah-Nya.

Jelasnya, selain sejalan dengan sejarah hukum-hukum Allah tetap dan ada pada Rasulullah dan Imam Ma’sum. Hal I ni didasarkan telah banyak tulisan dan guru-guru yanag mengajarkan. Selain hal tersebut merupakan bukti-bukti kema’suman para Imam yang akan menjelaskan hukum-hukum Allah SWT yang belum muncul objeknya di masa Rasul. Juga mereka sebagai penjaga yang dengan demikian Hujjah allah lestari sampai dengan hari kiamat.

Firman Allah :

" Kami yang menurunkan Al-Qur’an dan Kami yang akan menjaganya " (QS. )

Imam Ali as. dan para Imam keturunan Ali as. inilah yang dimaksud sebagai penjaga risalah / hukum-hukum Allah SWT. Ketika pintu kerasulan tertutup maka pintu kepemimpinan Allah tidak terputus dengan wujudnya para Imam ma’sum ini.

Dengan demikian dapat disimpulkan – hukum Allah meliputi setiap keadaan yang kemunculannya (bada’) melalui para Imam ma’sum.

Tauladan

Cara mentauladani beliau saww dalam tugas penyampaian hukum Allah, menuntut kejujuran dengan menyampaikan hukum atas syang diketahui bukan mengada-adakannya – bukan dengan cara musyawarah seperti ijma’ dan qiyas seperti yang dilakukan kaum asy’ari. Mereka yang tidak jelas terhadap hukum-hukum Islam – tidak dibenarkan untuk menyampaikan hal ini kecuali menanyakan dan memperoleh kejelasan tentangnya, melalui orang-orang yang telah dikriteriakan agama yang kelak akan disampaikan dalam materi pengantar pemahaman Islam.

Tidak dengan bertanya keanapa- alasan dan dalilnya. Kecuali bagi pengkaji untuk melatih akal dalam studi menyimpulkan dan bukan untuk diamalkan.

Rasul sebagai Qodi’

Rasul sebagai Qodi’, tampak ketika beliau saww didatangi dua kelompok yang bersengketa – masing-masing mengajukan saksi-saksi. Rasul, walau mengetahui yang benar dan yang salah dalam hal tersebut, tetapi Rasulullah saww senantiasa mengacu pada bukti-bukti yang diajukan saksi tersebut, jika tidak demikian atau dengan Rasul memberitahukan dan menyibak yang benar dari yang bersalah tanpa mengacu pada saksi-saksi tersebut, niscaya orang-orang awam dan para ahli sejarah akan sulit memahgami dan mentauladani rasulullah saww. Hal ini yang membuahkan hikmah terhadap hukum Allah yang bersifat dhohir. Jika tidak – akan sama yang terjadi di masa Aabdus Sholeh (Nabi Khidir ) yang membunuh anak kecil di hadapan Nabi Musa as. Praktek demikian selain tidak mendidik juga sulit bagi akal manapun untuk mengetahui hukum Islam bertujuan mendidik ummat manusia. Hal mana ketetapan itu beliau tetapkan dengan membuktikan dihadapan ummatnya-agar ummat ini jelas dan Rasul tetap dapat ditauladani.

Contoh menarik hal ini adalah Imam Ali as. walau dalam diri beliau as. mengetahuinya sepenuhnya tentang rencana pembunuhan terhadap dirinya oleh Abdurrahman Ibnu Muljam l.a., namun Imam tidak bertindak mendahului sebelum Ibnu Muljam l.a bertindak lebih dahulu, baru kemudian Imam Ali as. menetapkan balasannya. Hal sama yang dilakukan oleh Nabi Allah Muhammad saww serta para Imam Ma’sum lainnya.

Tauladan

Bagaimana kemudian dengan orang-orang, yang senantiasa menghukum atau menilai saudaranya tanpa bukti-bukti yang jelas, tanpa kesaksian yang jelas. Jika ketauladanan Rasul dan Imam Ma’sum ada pada muslimin niscaya akan menghindari sikap demikian. Selayaknyalah melalui bukti-bukti itu memberikan penilaian selaku qodi’) dalam diri kita untuk wilayah jiwa adalah akal pikiran. Hal yang menuntut keadilan dan kebersihan dari fanatisme ashobiyah yang menyimpangkan dan keluar dari ketauladanan para ma’sum. Hingga munculnya sikap berprasangka baik terhadap saudaranya sendiri menjadi ciri pengikut para Imam as.

Rasul sebagai Pemandu Ummah

Selain penyampai hukum-hukum Allah dan menjadi Qodi’, Rasul memiliki tugas berat, yaitu tugas membimbing ummat dilakukan Nabi dengan cara bermusyawarah, bimbingan untuk memutuskan suatu hal bersama-sama mereka. Walau Rasul sudah mengetahui keputusan apa yang baik dan bijak, namun beliau saww tetap mengajak pengikut-pengikutnya bermusyawarah.

Ketika perang khondak meletus, Nabi bersama kaum muslimin mengajak untuk bermusyawarah tentang apa yang harus dilakukan sebelum tibanya pasukan ahzab (gabungan antara kaum qurays dan yahudi). Walau nabi sendiri mengetahuai cara yang tepat untuk itu, maun membiarkan kreativitas berfikir hidup di kalangan muslimin. Akhirnya Salman Al-Farizi yang memunculkan pandanganya tentang memasang parit di sekeliling Madinah. Pandangan Salman diterima dan muslimin bersama-sama menggali parit sebelum tiba pasukan lawan yang akan mengepung Madinah saat itu. Sikap nabi yang demikian sebenarnya hendak memandu ummat Islam sekaligus memberikan tauladan cara bermusyawarah.

Dengan demikian tauladan musyawarah yang telah dicontohkan oleh Rasul dapat ditauladani. Musyawarah disini pada hakekatnya bukan musyawarah melainkan bimbingan sebab datang dari seorang yang memiliki ilmu kepada yang tidak mengetahuinya. Karena pengertian musyawarah adalah upaya mencari sesuatu dengan dua orang atau lebih atas apa yang belum diketahuinya. Hal ini hanya terdapat pada orang-orang yang tidak ma’sum.

Karena Rasul senantiasa menghidupkan studi-studi keislaman di tengah-tengah ummat Beliau – menyeru terus untuk bermusyawarah demi menggapai hakekat kebenaran. Beliau tidak terburu-buru memberitahukan semua yang beliau ketahui, namun menunggu pertanyaan dan terkadang beliau saww melemparkan persoalan untuk kemudian sedikit demi sedikit membimbing ummatnya pada makrifat yang rendah menuju yang lebih tinggi.

Hal yang sama dengan para Imam – kedudukan mereka sebagaimana Rasulullah saww hanya tidak disebut sebagai nabi- mereka menyampaikan hukum-hukum Allah yang diajarkan Rasul- menjadi qodi’ di tengah masyarakat dan membimbing ummat dengan cara Rasulnya. Bila dalam tuntunan musyawarah tersebut, nabi senantiasa mendahulukan kesimpulan dan tata cara yang tepat bagi mereka. Selama hal itu tidak menyalahi hukum Islam – Rasul hanya memberi isyarat-isyarat semata dan membiarkan ummat ini menyimpulkan apa yang terbaik bagi mereka. Rasul membuat mereka gembira dalam mencapai analisanya.

Tauladan

Jika Rasul yang paling berpengetahuan bersikap demikian, menunjukkan agar mereka yang setia pada beliau senantiasa mentauladani beliau saww lewat cara-cara bermusyawarah, terlebih kita bukan ma’sum. Karenanya, harus diketahui dalam hal apa musyawarah itu dilakukan .Seperti dalam mewujudkan keterpaduan berbagai bidang disiplin yang masing-masing mewujudkan dengan cara dalam satu kerangka – muslimin dapat luwes dan bergerak cepat serta berkembang Semoga.

Tugas Regenerasi

Rasul mengetahui akan ada di tengah ummatnya yang akan menjadi penggantinya lewat cara bermusyawarah. Tanpa mereka sadari hal itu tidak layak dalam kepemimpinan – namun dalam upaya membatalkan pemikiran tersebut melakukan cara-cara demonstratif berfikir. Seperti yang terjadi dalam perang Khondak sendiri. Dengan menawqarkan pada muslimin tentang siapa yang akan menghadapi "Umar bin Wood" hingga tiga kali. Nabi tahu tidak ada yang layak kecuali Ali, namun Nabi melemparkan kesempatan ini pada muslimin. Sikap demikian juga merupakan tanggung jawab Nabi dalam melakukan aliha generasi sepeninggal beliau saww nantinya.

Tauladan

Bagaimana dengan Imam Khomeini Q.s. belum pernah terjadi di masa hidup beliau Q.s. hidup mendudukkan siapapun di atas kursi bersama-sama dengan orang lain kecuali pada Sayyed Ali Khamane’i Sayyidil Qo’id. Hal yang sama bagi setiap muslim harus sejak dini menyiapkan generasi pergenerasi dalam perwujudan Islam secara terpadu. Sehingga tidak terputus kerja-kerja ummat Islam dan menjadikan ummat Islam masa silam, sekarang dan akan datang memiliki satu sejarah perlawanan terhadap thogut – bukan terpisah-pisah sebagaimana telah dijelaskan dalam kajian ukhuwwah Islamiyyah – Ibrah dan Falsafah Syahadah.

Tugas lain seperti sebagai da’i juga banyak dibuktikan. Dalam hal ini yang dilanjutkan oleh para Imam ma’sum as. yang juga merupakan tauladan bagi para paengikut setia mereka.

Perkembangan Sejarah

Dimuka sudah diungkapkan, bahwa hukum Allah tidak berubah sepanjang sejarah. Namun cara penyampaian hukum Allah ini menunggu obyeknya. Rasul menyampaikan hukum-hukum Allah ini tidak sekedar yang berkenaan dengan permasalahan / kebutuhan ummat di masa beliau saww. Sehingga tidak menyampaikannya pada seluruh muslimin. Namun demikian hukum-hukum Allah ini seluruhnya telah disampaikan pada Imam Ali as. Kemudian berkembang yang menuntut jawaban hukum yang tidak tampak di masa Rasul, dapat merujuk pada Imam ali as. yang berwenang menyampaikan hal ini. Sepeninggal beliau as. oleh Al-Hasan as. –al-Husain as. hingga Al-Mahdi as.

Perkembangan permasalahan zaman menuntut jawaban hukum-hukum allah ini tidak bergeser dengan hukum-hukum pemikiran yang tidak tampak di masa Rasul atau diada-adakan dikemudian hari, tetapi merupakan relevansi obyek hukum yang baru muncul (bada’) ketika ummat merasakan keperluannya. Demikian pula Qodi’ yang dilakukan oleh para ma’sum dan sikap-sikap ma’sum dalam meneruskan bimbingan Rasul terhadap ummat.

Yang menarik dari pembahasan ini, dimasa para Imampun muncul para mujtahid yang dilegitimasi oleh ma’sum. Mereka ditugaskan untuk menyampaikan hukum Allah – sebagian menjadi qodi’ dan sebagian membimbing ummat sdalam musyawarah mereka. Hingga ada di zaman itu ma’sumin yang hidup sezaman namun tidak pernah bertemu dengan para Imam. Mereka bertemu dengan utusan-utusan Imam di masa itu, karena alasan geografis – wilayah yang cukup jauh. Dengan cara seperti itu mereka tetap dapat berhubungan dengan para Imam Ma’sum melalui wakil-wakil yang ditunjuk oleh Imam as. Sehingga selain seluruh wilayah geografis dunia Islam sampai, Hujjah Allah juga tidak terputus pada setiap generasinya selalu berkesinambungan.

Masa Al-Mahdi as.

Hingga lahir orang yang dijanjikan Allah sebagai hujjah-Nya yang terakhir dari keturunan Fatimah cucu Al-Husain as. yaitu Al-Mahdi as. Masa beliaupun demikian pula sama dengan para Imam sebelumnya. Sebelum ghoibahnya Al-Mahdi as. menunjuk empat orang wakilnya dan diwajibkannya ketaatan kepadanya sebesar ketaatan kepada beliau a.j.f.

Wakil-wakil beliau as. sebagaimana utusan-utusan para Imam sebelumnya yang berwenang menjalankan tugas beliau a.j.f. Tentang wewenangnya dimasa ghoibahnya –sebesar wewenang Al-Mahdi a.j.f. hanya pada masanya terbatas dan gugur dengan kehadiran al-Mahdi a.j.f (kajian detail tentang ini dikajian kemudian). Hal yang diharapkan dapat menghantarkan pengertian-pengertian Wali Faqih pada kajian-kajian berikutnya.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template