Headlines News :
Home » » KARAKTERISTIK ANAK BERKESULITAN BELAJAR (LD) YANG MEMILIKI INTELIGENSI DI ATAS RATA-RATA

KARAKTERISTIK ANAK BERKESULITAN BELAJAR (LD) YANG MEMILIKI INTELIGENSI DI ATAS RATA-RATA

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 08.11

A B S T R A K

Diduga kuat bahwa pemahaman guru sekolah dasar terhadap karakteristik anak berkesulitan belajar kelompok learning disability (LD) masih sangat rendah. Akibatnya, mereka belum mendapatkan layanan bimbingan yang tepat sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya. Pada hal prevalensinya cukup tinggi dan banyak di antara mereka yang memiliki inteligensi di atas rata-rata.

Bagi kelompok anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, paduan antara sebab-sebab khusus yang dialami, yaitu disfungsi minimal dalam sistem syaraf pusat di otak, dan keunggulan potensi yang dimilikinya diduga kuat akan memunculkan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan kelompok anak LD yang lain maupun berkesulitan belajar pada umumnya.

Penelitian ini berupaya menemukan pemahaman khusus terhadap karakteristik kelompok siswa di atas, yaitu anak LD di SD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata (IQ 120 ke atas), melalui studi kasus terhadap mereka yang telah diidentifikasi oleh tim ahli di Yayasan PUSPPA Suryakanti Bandung, yaitu AM dengan IQ 129, HN dengan IQ 134 dan YN dengan IQ 135. Fokus penelitian diarahkan pada faktor dominan yang melatarbelakangi, karakteristik akademik (baca, tulis, dan hitung), serta masalah psikologis sosial yang dihadapi. Berdasarkan hasil temuan tersebut selanjutnya digunakan sebagai salah satu landasan untuk menyusun model alternatif layanan bimbingannya.


A. PENDAHULUAN

Salah satu kelompok kecil anak yang termasuk dalam kualifikasi learning problems atau learning difficulties adalah kelompok learning disabilities (LD), Specific Learning Diificulties (SLD) atau DMO. Kelompok anak ini bukan tidak mampu belajar tetapi mengalami kesulitan tertentu yang menjadikannya "tidak siap belajar" (Indria Laksmi Gumayanti, 1997).

Anak berkesulitan belajar (LD) adalah individu yang mengalami gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar, disfungsi sistem syarat pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalan-kegagalan yang nyata dalam pemahaman dan penggunaan pendengaran, berbicara, membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau keterampilan sosial. Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi, tetapi dapat muncul secara bersamaan.

Kelompok anak LD dicirikan dengan adanya gangguan-gangguan tertentu yang menyertainya. Menurut Cruickshank (1980) gangguan-gangguan tersebut adalah gangguan latar-figure, visual-motor, visual-perceptual, pendengaran, intersensory, berpikir konseptual dan abstrak, bahasa, sosio-emosional, body image, dan konsep diri. Sedangkan menurut Hammil dan Myers (1975) meliputi gangguan aktivitas motorik, persepsi, perhatian, emosionalitas, simbolisasi, dan ingatan. Sedangkan ditinjau dari aspek akademik, kebanyakan anak LD juga mengalami kegagalan yang nyata dalam penguasaan keterampilan dasar belajar, seperti dalam membaca, menulis dan atau berhitung.

LD dapat dialami oleh siapa saja, mulai dari yang terbelakang mental, rata-rata, sampai yang berinteligensi tinggi. Sejarah membuktikan bahwa tokoh-tokoh kaliber dunia seperti Thomas Alva Edison, Albert Einstein, Leonardo da Vinci, Winston Churcill, dan Nelson Rockefeller, awalnya juga dikenal sebagai penyandang LD (Osmon, 1979; Mulyono Abdurrahman, 1994). Secara teoretis prevalensi penyandang LD berkisar antara 3-10 persen dari populasi anak usia sekolah (Schwartz, 1984; Hallahan, 1985).

PUSPPA Surya Kanti adalah salah satu lembaga sosial yang secara intensif menangani anak LD usia sekolah dasar melalui pendekatan multidisipliner. Data di yayasan maupun di klinik psikologi dan bimbingan belajar yang ditangani tim ahli yayasan menunjukkan bahwa di antara klien yang telah diidentifikasi sebagai anak LD, banyak yang memiliki IQ di atas rata-rata bahkan jauh di atas rata-rata, dan saat ini masih berusia sekolah dasar.

Kemampuan intelektual dapat berpengaruh luas terhadap berbagai kemampuan manusia, terutama dalam prilaku belajarnya. Sementara itu Shwartz (1984) menegaskan bahwa dua masalah utama yang dihadapi anak LD adalah masalah akademik dan masalah pribadi-sosial. Berdasar ini diduga kuat bahwa paduan antara keunggulan intelektual yang dimiliki dan kesulitan belajar yang dihadapi dapat melahirkan karaktersitik sendiri yang berbeda dengan anak-anak LD pada umumnya.

Secara potensial, anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata adalah sumber daya manusia unggul bagi pembangunan bangsa dan negara. Karena itu seyogyanya mereka mendapat perhatian yang lebih serius dalam upaya mengatasinya. Namun demikian, dalam praktek pendidikan di lapangan, khususnya di sekolah dasar, sangat mungkin terjadi guru mengalami berbagai kesulitan dalam membantu siswanya yang termasuk LD.

Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan di sekolah dasar, guru merupakan ujung tombak dalam membantu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi para siswanya, termasuk permasalahan yang dihadapi anak LD yang memiliki kemampuan intelegensi di atas rata-rata. Berdasarkan permasalahan tersebut tampaknya diperlukan suatu model alternatif bimbingan yang dipandang efektif dan efisien dalam membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi mereka, baik masalah akademik maupun non akademis.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, melalui studi kasus terhadap 3 siswa sekolah dasar yang telah diidentifikasi oleh tim ahli di Yayasan PUSPPA Suryakanti memiliki (IQ 120 ke atas) dan telah ditetapkan sebagai penyandang berkesulitan belajar (LD), masing-masing adalah AM dengan IQ 129, HN dengan IQ 134 dan YN dengan IQ 135. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Sedangkan untuk kepentingan analisis data terutama digunakan analisis data silang.

C. TEMUAN PENELITIAN

Setelah melalui serangkaian kegiatan penelitian ditemukan beberapa hal menarik sebagai berikut:

1. Faktor dominan yang melatarbelakangi

Ditinjau dari aspek neurologis ada kecenderungan bahwa kesulitan belajar yang dialami oleh kasus dilatarbelakangi oleh aspek motorik, baik kasar maupun halus. Hal ini terbukti bahwa seluruh kasus mengalami problem dalam vestibulo proprioseption. Vestibulo propioseption berkaitan dengan aspek motorik kasar, terutama kemampuan keseimbangan badan atau vertikalisasi tubuh, sehingga memiliki batas toleransi minimal menjaga tubuhnya untuk tetap seimbang atau vertikal. Gejala yang sering ditampakkan pada penderita ini, tidak mampu berjalan pada garis lurus, tidak mampu berjalan pada papan keseimbangan, tidak mampu meloncat secara simetris, sering menabrak benda di depan atau sampingnya, tidak bisa diam, tidak mampu bertahan lama untuk duduk tegak atau berdiri, dan dalam melakukan aktivitas tertentu merasa lebih nyaman bila badan bertumpu pada suatu benda.

Masalah neurologis lain yang berkaitan dengan kemampuan motorik kasar adalah kemiskinan dalam persepsi tubuh dan kemiskinan dalam integrasi bilateral. Kemiskinan tersebut, cenderung mengakibatkan seseorang mengalami gangguan dalam persepsi ruang dan bergerak secara luwes. Misalnya kesulitan dalam memahami kanan-kiri, atas bawah, maju-mundur, dsb. Hal ini secara tidak langsung berakibat pada kekurangmampuan anak dalam diskriminasi huruf.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ketiga kasus mengalami masalah neurologis yang berkaitan dengan keterampilan motorik halus (fine motorik), seperti dyspraxia, tremor, sensory inetegrasi, dan problem refleks babynsky. Keterampilan motorik halus sangat diperlukan dalam keterampilan menulis. Hal ini terbukti bahwa ketiga kasus mengalami kegagalan dalam menulis secara akurat. Gangguan dalam aspek motorik, terutama yang disebabkan oleh problem dalam vestibulo proprioseption secara langsung atau tidak langsung dapat berakibat pada munculnya gangguan konsentrasi pada anak.

Dari data psikologis di atas juga terbukti bahwa kesulitan belajar yang dialami kasus juga bermuara pada adanya masalah atau gangguan dalam proses psikologis dasar, yaitu persepsi visual motor dan kurangnya konsentrasi. Gangguan dalam persepsi visual motor atau koordinasi mata tangan, dapat mengandung tiga makna sekaligus.

Pertama, mengindikasikan adanya gangguan dalam persepsi visual sehingga tidak mampu mengidentifikasi, membedakan, dan menginterpretasikan obyek secara akurat. Kedua, mengindikasikan adanya gangguan dalam aspek motorik halus, yaitu yang berkaitan dengan pengendalian dan keluwesan pergelangan tangan dan jari-jari tangan seperti yang dibutuhkan dalam menulis. Ketiga, gangguan dalam keduanya, yaitu dalam persepsi dan motorik sekaligus. Data psikologis juga menunjukkan bahwa kesulitan belajar yang dihadapi kasus, juga dilatarbelakangi oleh kurangnya konsentrasi atau gangguan konsentrasi.

Hal di atas menunjukkan bahwa faktor dominan yang melatarbelakangi kasus adalah gangguan dalam proses psikologis dasar dan motorik. Gangguan mana yang primer dan mana yang sekunder tampaknya sulit untuk dijawab secara tegas, tergantung pada masing-masing kasus dan gejala-gejala yang ditampilkan. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa: Pertama, gangguan dalam motorik halus secara langsung dapat berakibat pada kegagalan dalam menulis secara akurat. Kedua, gangguan dalam motorik kasar seperti pada gangguan vestibulo proprioseption, body perception, dan atau integrasi bilateral secara tidak langsung dapat berakibat pada munculnya gangguan konsentrasi dan persepsi, yang pada akhirnya dapat berdampak pada kegagalan dalam membaca, menulis, dan atau berhitung secara akurat. Ketiga, gangguan persepsi secara langsung dapat berakibat pada kegagalan-kegagalan dalam penguasaan atau belajar akademik, serta munculnya gangguan konsentrasi. Keempat, gangguan konsentrasi secara langsung atau tidak langsung dapat berakibat pada munculnya gangguan persepsi, serta kegagalan dalam penguasaan belajar akademik. Kelima, gangguan konsentrasi, persepsi, dan motorik merupakan gangguan yang dapat berdiri sendiri-sendiri, atau muncul sebagai rangkaian sebab akibat.

2. Permasalahan bidang akademik

Berdasar hasil analisis kasus, ditemukan bahwa secara akademik masing-masing memiliki dua ciri-ciri yang menonjol sekaligus. Pertama, ciri-ciri sebagai siswa yang memiliki keunggulan intelektual, dan kedua ciri-ciri sebagai siswa yang mengalami kegagalan dalam belajar akademik. Masing-masing kasus dikenal sebagai anak yang sebenarnya pandai, memiliki pengetahuan umum yang luas, mudah dalam menangkap pelajaran, dan cepat dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik yang diberikan, namun di sisi lain disamping dikenal memiliki kegagalan-kegagalan khusus dalam dalam membaca dan atau menulis, juga cenderung memiliki sikap-sikap belajar yang kurang mendukung upaya pencapaian prestasi yang baik. Seperti, malas, menyepelekan, cepat bosan, kurang memperhatikan pelajaran, semaunya, bahkan sikap penolakan. Akibatnya secara umum prestasinya rendah dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya.

Hal di atas mengandung makna bahwa akumulasi dari keunggulan intelektual dan gangguan-gangguan yang dihadapinya, secara nyata juga berpengaruh negatif terhadap munculnya sikap-sikap belajar yang kurang menguntungkan. Sehingga prestasi belajarnya rendah dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya.

Dari tiga kasus yang ditampilkan, sekalipun mereka memiliki latar belakang kondisi neurologis dan psikologis yang hampir mirip, tetapi kemampuan membacanya relatif bervariasi. Tergantung pada jenis dan kompleksitas gangguan yang dihadapi kasus. Secara umum dapat ditafsirkan bahwa kegagalan-kegagalan yang cenderung dialami adalah kekurangmampuan dalam keterampilan pengenalan kata, analaisis kata, dan pemahaman isi bacaan. Kekurang mampuan dalam pengenalan kata ditunjukkan dengan kegagalan dalam diskriminiasi huruf atau kata, dan konfigurasi. Dalam analisis kata ditunjukkan dengan kekurangcermatan dan kekurangtelitian dalam membaca, seperti ditunjukkan dengan kecenderungan menebak kata, meloncat, penggantian, penambahan, atau pengurangan huruf atau kata, serta pemahaman tanda baca. Kegagalan-kegagalan dalam membaca ini merupakan dampak dari adanya gangguan persepsi dan konsentrasi yang dialami kasus. Sedangkan dilihat dari sikapnya, ada kecenderungan ujung jari tangan mengikuti arah kata yang dibaca, kurang mampu memusatkan perhatian, tidak bisa diam, dan badan bertumpu pada benda tertentu.

Sedangkan kasus yang tidak memiliki problem dalam persepsi visual motor (LN) tidak mengalami kesulitan dalam diskriminasi huruf maupun kata, penambahan, pengurangan, atau penggantian huruf/kata. Sedangkan kegagalan kasus RS dalam membaca seperti menebak, meloncat, mengulang, atau dalam pemahaman bacaan kemungkinan besar disebabkan oleh gangguan dalam konsentrasinya. Dengan demikian gangguan-gangguan dalam proses psikologis dasar seperti gangguan persepsi dan konsentrasi secara langsung dapat berdampak pada kegagalan-kegagalan dalam membaca. Sedangkan gangguan motorik secara langsung dapat berdampak pada sikap membacanya, dan secara tidak langsung pada kemampuan dalam konsentrasi, yang pada akhirnya menimbulkan kegagalan dalam membaca, karena perhatian terhadap apa yang dibaca menjadi tidak selektif.

Perlu ditegaskan bahwa tidak semua anak LD mengalami kesulitan dalam membaca, tergantung pada faktor yang melatarbelakanginya. Ada kecenderungan pada anak yang berlatarbelakang gangguan motorik, tidak mengalami kesulitan dalam membaca, namun berpengaruh terhadap sikapnya dalam membaca.

Dalam hal menulis, gejala-gejala umum yang ditunjukkan adalah kekurangmampuan dalam keterampilan analisis bentuk huruf, struktural, dan keterbacaan. Kekurangterampilan dalam analisis bentuk huruf ditunjukkan dengan kegagalan dalam menuliskan bentuk-bentuk huruf tertentu secara sama dalam setiap kata. Dalam analisis struktural ditunjukkan dengan gejala penghilangan atau penggantian komponen huruf yang seharusnya ada dalam suatu kata. Sedangkan aspek keterbacaan ditunjukkan dengan gejala tulisan jelek, tidak beraturan, ketidakkonsistenan kualitas garis, bergerigi, terputus-putus, atau tersambung.

Terdapat kecenderungan pula bahwa anak LD dalam aktivitas menulis tangan disertai dengan sikap-sikap tertentu, yaitu kaku, cara memegang alat tulis kurang tepat (ke bawah dan kurang kuat), tarikan garis mengambang/semi, lamban, sulit dikendalikan, tersendat-sendat, dan sebentar-sebentar berhenti. Semua ini diduga kuat sebagai manifestasi dari gangguan-gangguan yang berkaitan dengan aspek motorik halus, termasuk dispraxia, gangguan refleks babynsky, dan tremor. Sedangkan kecenderungan badan dan atau kepala mengikuti arah tarikan garis dan bertumpu, merupakan dampak dari adanya gangguan dalam keseimbangan.

Berdasarkan analisis data silang di atas, gejala yang ditampilkan oleh anak LD dalam menulis dapat bervariasi, tergantung pada faktor yang melatarbelakanginya. Kesulitan menulis yang dilatarbelakangi oleh aspek motorik secara langsung berpengaruh terhadap keterampilan dalam analisis bentuk tulisan dan keterbacaan. Sedangkan yang dilatarbelakangi gangguan motorik dan persepsi, kesulitan juga dijumpai dalam keterampilan analisis struktural.

Penilitian ini tampaknya tidak dapat digunakan untuk menganalisis secara tajam dan obyektif karakteristik mereka dalam berhitung. Dikarenakan dari ketiga kasus yang diambil tidak secara khusus mengalami kesulitan dalam hal tersebut. Hal ini berkaitan dengan kesulitan peneliti untuk memperoleh kasus yang khusus mengalami kesulitan dalam berhitung.

Sekalipun demikian, dari kasus-kasus yang ditampilkan dapat ditafsirkan bahwa sekalipun dalam berhitung sudah menguasai konsep-konsep bilangan, lambang operasi hitung, dan teknik operasi hitung, namun cenderung mengalami kegagalan dalam penyelesaian soal-soal transformasi hitung, baik soal biasa maupun ceritera. Hal ini menunjukkan bahwa mereka cenderung kurang mampu menggunakan pendekatan jamak dalam penyelesaian suatu persoalan. Kecenderungan lain adalah ketidakmampuan menyelesaikan masalah yang menuntut konsentrasi tinggi. Hal ini terbukti dengan kecenderungan bahwa sekalipun mereka memahami konsep-konsep dasar hitungan, tetapi kemampuannya terebut hanya dapat dimanfaatkan pada awal mengerjakan soal hitungan, sedangkan soal-soal berikutnya cenderung asal mengerjakan.

3. Permasalahan psikologios dan sosial yang dihadapi

Secara psikologis masing-masing kasus memiliki kesenjangan yang cukup berarti antara kemampuan dalam aspek verbal dan performen seperti yang ditunjukkan dalam tes inteligensi. Bahkan kesenjangan tersebut dapat mencapai lebih dari 25 poin. Kasus AM dan LN membuktikan hal tersebut. Secara umum juga tampak bahwa kemampuan VIQ jauh lebih tinggi dari pada PIQ.

Dari ketiga kasus yang ditampilkan dapat pula ditafsirkan bahwa disamping memiliki keunggulan-keunggulan tertentu sebagai pengaruh dari keunggulan intelektualnya, namun secara umum juga dihadapkan pada berbagai masalah antara lain: (1) kurang mampu menyesuaikan diri; (2) hiperaktif, ditunjukkan dengan perilakunya yang tidak bisa diam, sulit diatur, dan kurang pengendalian diri; (3) kehidupan emosinya labil, ditunjukkan dengan kehidupan perasaannya yang cenderung sensitif, mudah tersinggung, emosional, dan mudah frustrasi; (4) Kurang matang dalam mengambil keputusan yang ditunjukkan dengan sikapnya yang ingin menang sendiri, terburu-buru, kurang perhitungan, dan tidak sabaran, (5) kurang mampu memusatkan perhatian dalam jangka waktu yang relatif lama, (6) sikap bertahan, ditunjukkan dengan kecenderungan untuk menolak dengan berbagai alasan, dan (7) suka menghayalkan sesuatu. Munculnya masalah-masalah diduga kuat merupakan manifestasi dari adanya kesenjangan yang cukup lebar antara potensi yang dimiliki dengan kemampuan nyatanya yang terbatas akibat adanya gangguan dalam proses psikologis dasar dan motorik.

Sedangkan secara sosial ada kecenderungan bahwa masing-masing kasus kurang memiliki keterampilan sosial yang diperlukan dalam menjalin relasi sosial yang memuaskan dengan ingkungannya. Hal di atas ditunjukkan dari ketiga kasus yang cenderung menarik diri dari pergaulan sosial, pendiam, dan sikap-sikapnya yang kurang kooperatif atau kooperatif terbatas.

D. PEMBAHASAN

1. Faktor dominan yang melatarbelakangi

Ditemukan bahwa terdapat satu atau lebih gangguan proses psikologis dasar dan motorik yang melatarbelakangi kesulitan belajar pada anak LD. Gangguan dalam proses psikologis dasar terutama gangguan persepsi dan konsentrasi, sedangkan gangguan dalam motorik adalah gangguan keseimbangan dan motorik halus, di samping gangguan persepsi tubuh dan lateralisasi. Gangguan-ganguan tersebut secara nyata dapat muncul sendiri-sendiri, bersamaan, atau sebagai rangkaian sebab akibat.

Munculnya gangguan-gangguan tersebut secara langsung menjadikan anak tidak mampu menguasai keterampilan-keterampilan prasyarat belajar akademik (preakademic skills), sehingga menghambat penguasaan keterampilan dasar belajar akademiknya (baca, tulis, dan atau hitung) secara baik.

Dalam belajar akademik, membaca misalnya, di samping dituntut penguasaan kemampuan fisik (gerak mata dan ketajaman penglihatan) juga dituntut penguasaan aktivitas mental yang baik, yaitu kemampuan dalam mengidentifikasi dan menginterpretasikan diskriminasi bentuk huruf dan urutan.

Munculnya gangguan persepsi menjadikan anak gagal dalam mengidentifikasi, membedakan, dan menginterpretasikan huruf atau kata yang dilihatnya. Munculnya gangguan konsentrasi, menjadikan ketidakmampuan anak dalam memusatkan perhatian (perhatian selektif) terhadap stimuli yang disajikan, sehingga menjadi informasi untuk diproses lebih lanjut. Pada hal menurut Ross (1976) perhatian selektif merupakan keterampilan dasar yang diperlukan dalam membaca, sebelum keterampilan scaning urutan, diskriminasi, pengkodean, dan pemahaman.

Sedangkan munculnya gangguan keseimbangan menjadikan keterbatasan dalam menjaga vertikalisasi tubuh sehingga cenderung tidak bisa diam. Kondisi ini secara langsung atau tidak langsung dapat berakibat pada gangguan ruang pandang. Gangguan ruang pandang, secara langsung berpengaruh terhadap keakuratan dalam mengidentifikasi, membedakan, dan menginterpretasikan obyek yang dilihat atau dibaca, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kemampuan persepsi, konsentrasi, maupun ingatannya.

Sedangkan gangguan motorik halus menjadikan anak tidak mampu keluwesan dalam kontrol gerak pergelangan tangan dan otot jari, sehingga secara langsung akan berpengaruh terhadap kemampuan menulisnya. Namun, kegagalan dalam menulis secara tidak langsung juga dapat menjadikan anak mengalami gangguan dalam konsentrasinya.

Kemampuan lateralisasi adalah kemampuan untuk mengenal arah, seperti kiri-kanan atau atas-bawah. Dalam membaca, munculnya gangguan lateralisasi, secara langsung akan berpengaruh terhadap kemampuan untuk membedakan bentuk huruf yang hampir sama, menentukan awal dan akhir kata, serta dalam membacanya sendiri. Sedangkan gangguan dalam persepsi tubuh, berarti ketidakmampuan dalam gambaran tubuh (body image) dan skema tubuh (body sceme). Dikarenakan anak belum mampu mengidentifikasi dan membedakan dengan baik bentuk, ukuran, dan letak anggota tubuhnya sendiri, maka cenderung sulit untuk mengenal hal-hal lain di luar dirinya, termasuk huruf.

Uraian di atas mengisyaratkan bahwa penanganan terhadap anak LD harus mampu menjangkau masalah-masalah mendasar yang dihadapi anak. Yaitu melalui latihan-latihan penguasaan keterampilan prasyarat akademik. Penanganan yang langsung pada masalah akademik, melalui pengajaran remedial diyakini kurang memberikan hasil yang memuaskan, bahkan diduga kuat dapat memperparah kesulitan belajar yang dialaminya.

Mengingat kompleksitas masalah aau gangguan yang dihadapi anak, penanganan juga perlu melibatkan ahli lain melalui tim multidisipliner. Dikarenakan banyak masalah-masalah yang penanganannya memerlukan keahlian khusus di luar kemampuan dan kewenangan guru, baik sebagai pengajar maupun sebagai pembim bing. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara simultan atau berdasar skala prioritas sesuai dengan kebutuhan anak.

2. Karakteristik akademik

Ditemukan bahwa kemiripan kondisi psikologis (gangguan persepsi dan konsentrasi) dan kondisi neurologis (gangguan keseimbangan dan motorik halus) dapat melahirkan perbedaan dalam karakteristik akademik, dan sebaliknya kemiripan karakateristik akademik yang ditampilkan kasus dapat disebabkan oleh kondisi neurologis dan psikologis yang berbeda.

Temuan di atas mengisyaratkan bahwa karakteristik akademik yang ditampilkan anak LD sifatnya khas untuk masing-masing anak, tergantung pada berbagai faktor yang mengitarinya. Untuk itu dalam membantu mengatasi kesulitan belajarnya, perlu dilakukan secara individual (kasuistik) melalui studi yang mendalam pada anak itu sendiri secara individual. Untuk kepentingan ini diperlukan suatu assesmen yang mendalam dan komprehensif, sehingga diperoleh informasi yang obyektif, akurat, dan menyeluruh tentang individu itu sendiri dan lingkungan, untuk dijadikan dasar dalam perencanaan program treatmen. Kekhasan karakteristik akademik anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, juga tampak bahwa anak memiliki dua karakteristik sekaligus, yaitu karakteristik sebagai anak yang memiliki keunggulan intelektual dan karakteristik sebagai anak yang mengalami kesulitan dalam belajar. Sehingga yang ditampilkan adalah akumulasi dari kedua karakteristik tersebut. Karakteristik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a.     Mudah menangkap pelajaran, petunjuk, atau instruksi yang diberikan, tetapi cenderung malas melakukan aktivitas belajar, mudah bosan, meremehkan, bahkan penolakan.

b.    Memiliki pengetahuan yang luas, tetapi cenderung kurang mampu melakukan tugas-tugas akademik secara akurat dan memuaskan.

c.     Dikenal sebagai siswa yang cukup pandai, tetapi mengalami kesulitan dalam satu atau lebih bidang akademik dan tidak mampu memanfaatkan kepandaiannya tersebut untuk mencapai prestasi akademik tinggi.

Pemilikan karakteristik mudah menangkap pelajaran, berpengetahuan luas, dan dikenal sebagai siswa pandai, diduga kuat muncul sebagai pengaruh dari keunggulan intelektualnya. Keunggulan intelektual secara langsung akan memberikan berbagai kemudahan dalam belajar. Sedangkan pemilikan sikap negatif dalam belajar, seperti malas dan sebagainya diduga kuat muncul sebagai dampak negatif dari keungulan intelektualnya dan atau dampak dari kesulitan belajarnya. Karena itu diduga kuat pula bahwa sikap belajar yang negatif dan ketidakmampuan dalam belajar akademik tertentu, dapat saja muncul pada anak-anak kelompok LD yang lain, yaitu yang memiliki inteligensi rata-rata ataupun di bawah rata-rata.

Temuan di atas mengisyaratkan bahwa dalam membantu mengatasi kesulitan belajar pada anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, tidak dapat menggunakan pendekatan yang sama dengan pada mereka yang memiliki inteligensi rata-rata ataupun di bawah rata-rata. Dikarenakan perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan keunggulan intelektualnya, baik untuk kepentingan treatmennya itu sendiri maupun penyaluran atau pengembangannya.

Dalam membaca, secara umum ditemukan bahwa anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata adalah sebagai berikut:

a.     Dapat membaca dengan cepat, kecuali ada hambatan dalam alat artikulasinya, namun cenderung kurang teliti dan cermat sehingga sering dijumpai kegagalan dalam satu atau lebih keterampilan membaca serta menebak kata.

b.    Cenderung malas membaca, tetapi mampu memanfaatkan saluran lain untuk menggali informasi yang lebih banyak.

Temuan penelitian di atas, menunjukkan bahwa kegagalan membaca yang dialami anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata dapat terjadi pada aspek keterampilan pengenalan kata, analisis kata, dan atau pemahaman isi bacaan. Tergantung pada jenis dan kompleksitas gangguan yang dimilikinya. Kegagalan dalam pengenalan kata, yang dicirikan dengan ketidakmampuan dalam diskriminasi huruf yang hampir sama merupakan gejala khusus pada mereka yang memiliki problem dalam persepsi.

Secara umum kegagalan di atas dicirikan dengan munculnya gejala penggantian, penambahan, pengurangan huruf atau kata, dan menebak kata. Munculnya gejala ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kemampuannya dalam memahami isi bacaan dan sikapnya dalam membaca. Namun, perlu ditegaskan bahwa kegagalan-kegagalan membaca dan sikap-sikap tertentu di atas dapat saja muncul pada anak berkesulitan belajar kelompok lain, di luar yang memiliki inteligensi di atas rata-rata.

Di sisi lain, secara khusus keunggulan intelektual yang dimiliki anak ternyata juga memunculkan ciri-ciri tersendiri, yaitu dapat membaca dengan cepat. Kecepatan dalam membaca inilah yang diduga kuat sebagai karakteristik khusus pada mereka yang memiliki inteligensi di atas rata-rata.

Dalam hal menulis, kesulitan yang dihadapi cukup bervariasi tergantung pada faktor yang melatarbelakanginya. Gejala menulis yang dilatarbelakangi oleh aspek motorik halus cenderung gagal dalam diskriminasi huruf dan aspek keterbacaan. Sedangkan yang disertai dengan gangguan persepsi, juga mengalami kegagalan dalam analisis struktural. Gejala-gejala umum yang sering ditemukan adalah pengulangan, penggantian, penambahan, dan pengurangan huruf atau kata, tulisan jelek sulit dibaca.

Di samping itu mereka mampu menulis dengan cepat, kecuali disertai dengan tremor pada otot jari. Namun, dilakukan dengan tarikan yang asal, tak terkendali, terburu-buru, kurang konsentrasi, bahkan penolakan.

Bervariasinya kemampuan menulis di atas, sangat mungkin terjadi mengingat kemampuan menulis tidak semata-mata ditentukan oleh keterampilan dan keluwesan dalam gerak pergelangan tangan dan kontrol otot jari, tetapi juga terkait dengan persepsi, konsentrasi, koordinasi mata tangan, ingatan, perabaan, kinestetik, posisi tubuh (propioception), posisi kertas, cara memegang alat tulis, kemampuan bahasa, dan sebagainya. Dilihat dari segi proses, semua itu harus diorganisasikan, sehingga tampil daam tulisan yang baik. Gangguan dalam satu atau lebih aspek di atas, cenderung berpengaruh terhadap kualitas proses menulis, sehingga hasil atau produknya juga beragam.

Satu hal diduga kuat cukup membedakan antara mereka yang memiliki keunggulan intelektual dan tidak, adalah kenyataan bahwa mereka dapat melakukan aktivitas menulis dengan cepat, walaupun kurang cermat dan teliti.

Dalam berhitung ditemukan bahwa sekalipun anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata sudah menguasai konsep-konsep dasar bilangan, lambang operasi bilangan, hitungan, dan operasi hitung, namun cenderung gagal dalam soal-soal operasi hitung yang berbentuk transformasi, serta ketidakmampuan untuk mengerjakan soal-soal berhitung tersebut dalam waktu yang relatif lama.

Sebenarnya, temuan di atas kurang mampu memberikan gambaran yang akurat dan representatif tentang karakteristik mereka dalam berhitung. Namun demikian, temuan di atas cukup memberikan gambaran bahwa sekalipun memiliki keunggulan intelektual, namun ada kecenderungan kurang memiliki fleksibilitas dalam berpikir dalam menghadapi persoalan yang dihadapi, mampu menguasai dengan baik suatu pendekatan tertentu tetapi bingung ketika harus menyelesaikan melalui pendekatan lain.

3. Karakteristik psikologis dan sosial

Ditemukan bahwa karakteristik psikologis anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata cukup bervariasi. Namun, ditemukan beberapa kecenderungan menarik, yaitu:

a.     Memiliki kesenjangan yang cukup signifikan antara skor tes kemampuan verbal dan performennya.

b.    Memiliki daya tangkap yang bagus, tetapi cenderung hiperaktif dan kurang mampu menyeuaikan diri.

c.     Memiliki daya imaginatif yang tinggi, tetapi cenderung emosional.

d.    Mampu mengambil keputusan dengan cepat, tetapi cenderung kurang disertai pertimbangan yang matang, terburu-buru, semaunya.

e.     Lebih cepat dalam belajar dan mengerjakan suatu persoalan, tetapi cenderung malas dan memiliki toleransi yang rendah terhadap frustrasi.

f.     Lebih percaya diri, tetapi cenderung meremehkan dan menolak tugas-tugas yang diberikan dengan berbagai alasan.

Temuan penelitian di atas juga menunjukkan bahwa secara psikologis anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata di samping memiliki ciri-ciri tertentu sebagai pengaruh dari keunggulan intelektualnya, juga memiliki ciri-ciri negatif tertentu sebagai pengaruh tidak langsung dari kesulitan belajarnya atau sebagai dampak negatif dari keunggulan intelektualnya.

Menarik untuk dibahas adalah kecenderungan bahwa anak memiliki kemampuan imaginatif tinggi, yang ditunjukkan gejala suka menghayal. Perilaku sering menghayal ini dimiliki oleh anak di samping karena secara potensial mendukung, juga tidak menuntut keterampilan aktivitas belajar tertentu, sehingga anak memiliki kebebasan dan keleluasaan mengekspresikan pikirannya tanpa dihambat oleh ketidakmampuannya dalam membaca, menulis, ataupun berhitung.

Ditemukan bahwa secara sosial anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata memiliki karakteristik yang cukup bervariasi. Tergantung dari berbagai faktor yang mengitarinya, terutama lingkungan keluarga. Namun, terdapat kecenderungan bahwa mereka kurang kooperatif, pendiam, dan menarik diri dari lingkungan.

Munculnya kecenderungan tersebut, diduga kuat di samping karena pengaruh-pengaruh dari keunggulan intelektualnya juga karena pengaruh dari kegagalan-kegagalan dalam belajar akademiknya.

Berdasarkan keseluruhan pembahasan di atas, dapat ditafsirkan bahwa anak LD yang memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata adalah sumber daya manusia yang potensial, namun karena gangguan-gangguan yang dialamiya menjadikan fungsi kognitif, afektif, intuitif, dan psikomotornya menjadi terhambat. Sehingga tidak mampu mengaktualisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Karena itu, sudah saatnya para tenaga profesional kependidikan, khususnya pedagog, guru dan petugas bimbingan memperhatikan lebih serius masalah di atas untuk dicarikan solusinya secara tepat dan akurat. Sehingga mereka mampu mengaktualisasikan potensinya secara optimal dan memberikan sumbangan yang berharga bagi kemajuan bangsa dan negara.

Pendidikan di tingkat sekolah dasar merupakan dasar bagi keberhasilan pada tingkat pendidikan selanjutnya. Karena itu penanganan anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata di sekolah dasar, perlu dirancang dan dilaksanakan secara sistematis sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya melalui model layanan bimbingan tertentu, yang mampu mengakses keunggulan potensi dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi anak LD tersebut.

E. KESIMPULAN

1.     Kondisi neurologis (gangguan motorik) dan psikologis (gangguan persepsi dan atau konsentrasi) merupakan faktor dominan yang melatarbelakangi munculnya kegagalan dalam penguasaan keterampilan dasar belajar akademik pada siswa LD sekolah dasar yang memiliki inteligensi di atas rata-rata. Akibat kondisi tersebut anak kurang mampu menguasai keterampilan prasayat belajar akademik (preacademic skills) yang dibutuhkan. Kondisi tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri atau muncul sebagai rangkaian sebab akibat.

2.     Kemiripan kondisi neurologis dan psikologis pada anak LD yang memiliki iteligensi di atas rata-rata dapat melahirkan perbedaan dalam karakteristik akademik, psikologis, maupun sosialnya, dan sebaliknya. Sifatnya khas untuk masing-masing individu, namun cenderung tampil dalam dua karakteristik sekaligus, yaitu sebagai anak yang memiliki keunggulan intelektual dan sebagai anak yang berkesulitan belajar.

3.     Secara akademik dikenal sebagai siswa yang pandai, mudah menangkap pelajaran, dan berpengetahuan luas, namun cenderung malas, mudah bosan, suka meremehkan, tidak bisa diam, dan memiliki kesulitan dalam satu atau lebih bidang akademik, sehingga menghambat pencapaian prestasi tinggi.

4.     Dapat membaca dengan cepat, namun sering dijumpai kegagalan dalam satu atau lebih keterampilan dalam pengenalan kata, analisis kata, dan pemahaman isi bacaan, serta kurang mampu memusatkan perhatian pada bacaan. Gejala umum yang sering menyertai adalah gagal dalam diskriminasi huruf atau kata, konfigurasi, penambahan, pengurangan, penggantian, dan cenderung menebak kata.

5.     Dapat menulis dengan cepat, namun sering gagal dalam satu atau lebih keterampilan alam diskriminasi huruf, analisis struktural, dan aspek keterbacaan. Gejala umum yang sering menyertai adalah pengulangan, penambahan, dan pengurangan huruf atau kata, tulisan jelek - sulit dibaca, tarikan asal tak terkendali, terburu-buru, malas, dan sering berhenti.

6.     Dalam berhitung mampu menguasai konsep dasar bilangan dan konsep hitungan dengan baik, tetapi cenderung gagal dalam soal-soal operasi hitung yang berbentuk transformasi, termasuk soal ceritera. Mampu mengerjakan dengan baik pada tahap awal, tetapi kurang pada tahap selanjutnya.

7.     Secara psikologis memiliki kesenjangan yang cukup signifikan antara skor tes kemampuan verbal dan performen, memiliki daya tangkap bagus, imajinatif tinggi, cepat dalam menyelesaikan persoalan, tetapi cenderung hiperaktif, emosional, terburu-buru kurang pertimbangan, malas, mudah frustrasi, serta menolak dengan berbagai alasan.

8.     Secara sosial cenderung kurang mampu menjalin relasi sosial yang memuaskan dengan lingkungannya, yang ditandai dengan gejala kurang kooperatif, pendiam, dan menarik diri.

F. REKOMENDASI

Kekhasan karakteristik anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, mengisyaratkan bahwa dalam pelaksanaan bimbingan perlu dilakukan melalui studi yang mendalam secara individual. Untuk itu perlu dilakukan assesmen secara obyektif, akurat, mendalam, dan komprehensif sehingga diperoleh pemahaman yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya terhadap berbagai permasalahan, keterbatasan, hambatan, kekurangan, ketidakmampuan, maupun keunggulan-keunggulan tertentu yang dimilikinya, untuk dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan program bimbingan yang tepat sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.

Pemahaman terhadap keunggulan anak, di samping penting untuk dimanfaatkan dalam upaya mengatasi masalahnya, juga dalam rangka mengembangkan keunggulannya tersebut, sehingga mereka mampu berprestasi tinggi sesuai potensi yang dimilikinya.

Hasil pengamatan di lapangan tentang layanan bimbingan pada anak LD sekolah dasar yang memiliki di atas rata-rata, menunjukkan bahwa para guru masih belum mampu menjalankan fungsi dan peranannya sebagai pembimbing secara maksimal, belum mampu menyentuh persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi anak, serta belum secara aktif melakukan konsultasi dan koordinasi dengan ahli lain yang terkait dengan permasalahan anak.

Secara teoretis, pelaksanaan bimbingan terhadap anak LD, termasuk yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, seyogyanya dimulai dengan pemahaman karakteristik anak, familier dengan instrumen-instrumen assesmen yang digunakan untuk menentukan jenis dan tingkat kesulitan belajar anak dalam rangka pemahaman dan mengkomunikasikan pada tim ahli tentang masalah belajar anak, melakukan koordinasi dengan tim ahli (guru kelas, psikolog sekolah, tenaga medis, dan ahli terapi lain) yang menangani anak, melakukan konseling dan konsultasi dengan orang tua dalam rangka meningkatkan pemahaman dan memfasilitasi perkembangan anak, melaksanakan konseling pada anak sesuai dengan keunikan masalah yang dihadapinya, dan melakukan konseling dan konsultasi dengan personel sekolah dalam rangka peningkatan pemahaman mereka terhadap masalah belajar, sosial, dan tingkah laku anak (Rudolph, 1978, dalam Thompson dan Rudolph, 1983).

Sementara itu Kavanagh dan Truss (1988) menegaskan bahwa penanganan anak LD di sekolah hanya akan efektif bila dibarengi dengan penangan khusus di klinik-klinik. Khusus bagi mereka yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, perlu dirumuskan suatu program khusus sesuai dengan potensinya. Sebab, dalam membantu mengatasi masalahnya tidak cukup dengan pendekatan yang digunakan untuk mereka yang memiliki inteligensi rata-rata atau di bawah rata-rata. Sedangkan Dunn dan Dunn (Milgram, 1991) mengaskan perlunya penyesuaian antara teknik konseling yang digunakan dengan gaya belajar anak, serta perlunya keterlibatan secara intensif dari orang tua dalam keseluruhan program bimbingan.

Uraian di atas, dapat ditafsirkan bahwa pelaksanaan bimbingan terhadap anak LD di sekolah dasar yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, hendaknya:

1.     Anak dijadikan sebagai unsur sentral yang harus diperhatikan dalam keselurhan program bimbingan.

2.     Dilakukan melalui tim multidisipliner dengan guru sebagai ujung tombak

3.     Dilakukan berdasarkan program khusus yang mampu mengakses kelebihan dan kekurangan anak, atau karakteristik dan kebutuhannya.

4.     Menempatkan kegiatan konseling sebagai inti dari keseluruhan program bimbingan, di samping pengajaran remedial.

Berangkat dari keseluruhan pemikiran di atas, maka layanan bimbingan yang dibutuhkan anak LD di sekolah dasar yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, adalah model layanan bimbingan yang mampu:

1.     Menempatkan penghargaan tinggi terhadap keunikan anak sebagai totalitas pribadi dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

2.     Menjangkau persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi anak.

3.     Menjamin terjadinya eskalasi kemampuan berpikir tingkat tinggi anak sesuai dengan keunggulan intelektualnya.

4.     Melibatkan ahli lain dalam suatu tim multidisipliner.

5.     Menempatkan layanan konseling sebagai inti dari keseluruhan program bimbingan.

6.     Menempatkan guru sebagai ujung tombak dari keseluruhan program bimbingan.

Untuk menjawab permasalah di atas, maka Model Bimbingan Berdiferensiasi yang ditawarkan, merupakan pilihan tepat dalam membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi anak LD di sekolah dasar yang memiliki inteligensi di atas rata-rata sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Cruickshank, W.M. (1980). Psychology of Exceptional Children and Youth. New York: Prentice Hall Inc.

Dwidjo Saputro. (1997). "Pemeriksaan Brain Electro Activity Mapping pada Gangguan Tingkah laku Anak". Makalah Seminar Pengkajian dan Tumbuh Kembang Anak, Yogyakarta.

Hallahan, D.P. et al. (1985). Introduction to Learning Disabilities. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Hallahan, D.P. dan Kauffman, J.M. (1978). Exceptional Children: Introduction to Special Education. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Indria Laksmi G. (1997). "Pengalaman Upaya Penanganan Anak dengan Gangguan Pemusatann Perhatian di PPPTA". Makalah Seminar Pengkajian dan Tumbuh Kembang Anak, Yogyakarta.

Johnson, J.C. dan Morasky, C.R. (1980). Learning Disabilities. Massacussetts: Alyn and bacon Inc.

Kavanagh, James F dan Ross E. Truss. (1988). Learning Disabilities: Proccedings of the National Conference. Parkton-Maryland: York Press Inc.

Kirk, S.A. dan Gallagher, J.J. (1986). Educating Exdeptional Children. Boston: Houston Mifflinn Company.

Lawson, J.S. dan Inglis, J. (1985). "Learning Disabilities and Intelligence Test Result: A Based Model on Prinncipal Component Analysis of The WISC-R". British Journal of Psychology. London: The British Psychology Society.

Lerner, Janet. (1989). Learning Disabilities: Theories, diagnosis, and Teaching Strategies. Boston: Hougton Mifflin Company.

McLoughlin, J.A. dann Lewis, R.B. (1986). Assesing Special Students. Ohio: Merril Publishing Company

Milgram, M. Roberta. (1991). Counseling Gifted and Telented Children: A Guide for Teachers, Counselors, and Paretns. New York: Ablex Publishing Corporation.

Mulyono Abdurrahman. (1996). Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti PPPG.

Myers, P.I. dan Hammil, D.D. (1976). Methods for Learning Disorder. Canada: Johnn Willey and Sons, Inc.

Ross, Alon O. (1976). Psychological Aspects of Learning Disabilities and Reading Disorders. New York: McGraw-Hill Book Company.

Schwartz, Lita L. (1984). Exceptional Students in the Mainstreaming. Belmont-California: Wadsworth Inc.

Somanntri, T. Sutjihati. (1996). Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Dirjen Dikti PTA.

Thomson, C. L. dan Rudolph, L. B. (1983). Counseling Children. California: Brooks/Cok Publishing Company.

Zaenal A. dan Sunardi. (1996). Pendidikan Anak Berbakat Penyandang Ketunaan. Jakarta: Dirjen Dikti PPTA

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template