Headlines News :
Home » » MEMBONGKAR MITOS CAPRES MILITER

MEMBONGKAR MITOS CAPRES MILITER

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 02.06

Dalam demokrasi tidak selalu nilai kuantitatif

yang diperhitungkan; nilai kualitatif dapat pula

menentukan. (Bung Hatta, 1956)

 

Menarik mencermati komentar pengamat politik Dr. Ikrar Nusa Bhakti seputar tampilnya calon presiden (capres) dengan latar belakang militer. Dikatakan, tidak ada jaminan masuknya capres militer dalam politik akan melahirkan pemerintahan yang efektif, stabil dan kondusif bagi perkembangan demokrasi. Apalagi militer di Indonesia, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, tidak memiliki referensi pemerintahan kecuali pemerintahan militer pada masa Orde Baru. Paling tidak, pola pikir dan cara pandang untuk menyelesaikan persoalan bangsa  tidak akan jauh dari isu pertahanan dan keamanan. Ikrar malah meragukan,  apakah pemerintahan militer itu lebih stabil dibanding sipil. (Kompas, 29/4/2004).

Saya mengamini apa yang dikatakan pengamat politik dari LIPI ini. Bahkan perlu ditambahkan, kesimpulan kepemimpinan militer lebih efektif, stabil dan kondusif dibandingkan kepemimpinan sipil adalah mitos belaka.  Tidak ada argumen kuat baik secara “teoretis” maupun empiris untuk mendukung kesimpulan tersebut. Seperti dikatakan Munarman, dari YLBHI, militer Indonesia termasuk militer pretorian, tidak profesional, dan punya intens politik yang sangat tinggi. Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan Samuel P. Huntington dengan fenomena militer pretorian di negara-negara berkembang (Huntington, 2003). Karena itu membandingkan fenomena capres berlatar belakang militer di Indonesia saat ini dengan Dwight D Eisenhower, pensiunan jenderal yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat ke-34 (1953-1961), jelas tidak kena. 

Konteks politik Indonesia dan demokrasi AS, sekalipun tahun  1950-an, jelas berbeda sekali. Di AS, selain militernya profesional, sistem dan pranata demokrasi di negeri itu juga sudah sangat mapan, kontrol sipil terhadap militer sangat kuat. Di samping itu, rakyat Amerika mempunyai pengalaman berdemokrasi yang sangat panjang, sehingga kekhawatiran munculnya militerisme kecil.  Sementara Indonesia kini sedang mengalami masa transisi ke demokrasi. Kita baru saja terlepas dari cengkeraman panjang rezim militer. Pelembagaan demokrasi belum mapan, meskipun ada ikhtiar untuk menegakkan supremasi sipil sebagai bagian inheren demokrasi. Di sisi lain tingkat pendidikan rakyat masih rendah. Di sinilah kekhawatiran muncul, apakah militer mampu menciptakan pemerintahan efektif dan stabil dalam kerangka demokrasi. Mengelola pemerintahan yang menjunjung supremasi sipil berbeda 180 derajat dengan pola kepemimpinan militer yang top down. 

Kalau hasil-hasil penelitian menunjukkan masyarakat dewasa ini menilai kepemimpinan militer lebih efektif, stabil dan kondusif dibandingkan kepemimpinan sipil, hal itu harus dipahami dalam konteks psikologi politik masyarakat yang kecewa dengan kondisi masa kini. Dalam kondisi transisi, kecenderungan masyarakat untuk cepat putus asa pada keadaan masa kini bukan hal aneh. Masa kini dianggap lebih buruk daripada masa silam. Namun, dari segi pendidikan politik rakyat, persepsi umum yang monolitik seperti itu tidak mencerdaskan, bahkan justru dapat membuat bangsa ini kembali terperosok ke lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan rezim militer Orde Baru dalam menjalankan roda pemerintahan, akan kembali diulangi, walaupun dalam kemasan frase canggih: pemerintahan efektif, stabil dan kondusif.

Di samping itu, berdasarkan pengalaman berdemokrasi yang dimulai sejak tahun 1998/1999, efektifitas kepemimpinan militer atau berlatar belakang militer pun belum terbukti secara empiris dalam mengurus masyarakat politik. Untuk hal ini semua komponen bangsa harus berterus terang. Beberapa jenderal purnawirawan yang kemudian mendirikan dan memimpin partai politik, yang menurut Juan Linz dan Alfred Stepan (2001)  sebagai contoh bentuk masyarakat politik,  terbukti tidak mendapatkan dukungan signifikan. Pada Pemilu 1999, Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang dipimpin dua mantan petinggi militer,  Jenderal (Purn) Edi Sudrajat dan Jenderal (Purn) Try Sutrisno, gagal mencapai electoral threshold sebanyak 2 persen. Pada Pemilu 2004, satu lagi partai politik yang dipimpin jenderal purnawirawan, yakni Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), juga gagal mencapai electoral threshold. Padahal di belakang partai pimpinan Jenderal (Purn) R. Hartono itu, ada Soeharto, mantan presiden dan jenderal purnawirawan berbintang lima.

  Fakta itu sebenarnya membalikkan opini yang mengatakan kepemimpinan sipil lemah atau gagal dalam menjalankan agenda reformasi. Dari lima besar partai politik hasil Pemilu 1999, yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PKB, dan PAN, semuanya dipimpin tokoh-tokoh yang berlatar belakang sipil. Begitupun lima partai besar hasil (sementara) Pemilu 2004, semuanya juga dipimpin oleh mereka yang berlatar belakang sipil. Hanya Partai Demokrat (berada di urutan kelima) yang relatif berhasil, karena  “menjual” nama pensiunan jenderal, tetapi perolehan suara itu harus dipahami dalam konteks “mitologi SBY”, bukan karena proses politik yang “normal”.

    Serbuan opini yang menyudutkan kepemimpinan sipil belakangan ini jelas tidak fair, karena proses transisi yang dialami Indonesia bukanlah perkara mudah. Rezim masa lalu tidak hanya menghancurkan kekuatan sipil, tapi juga membawa kerusakan parah di pelbagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak gampang dipulihkan oleh pemerintahan sipil dalam waktu singkat.

Dengan demikian, kesimpulan bahwa kepemimpinan dengan latar belakang militer sangat dibutuhkan karena kepemimpinan sipil lemah atau gagal, selain a-historis dan tidak empiris, tapi juga tidak fair. Meskipun demokratis (karena pendapat banyak orang), opini yang terkesan meremehkan kepemimpinan sipil itu perlu dikoreksi, karena membahayakan masa depan supremasi sipil.

Pada tahun 1950-an, Bung Hatta pernah mengatakan, dalam demokrasi, tidak selalu nilai kuantitatif  yang diperhitungkan; nilai kualitatif dapat pula menentukan. Pendapat publik (berdasarkan polling maupun yang tercermin dari hasil pemilu) yang mengatakan pemerintahan yang dipimpin militer atau berlatarbelakang militer  lebih efektif, stabil, dan kondusif tetap harus dihormati, tetapi ketika negara dalam keadaan krisis seperti sekarang, pendapat minoritas intelektual yang jujur dan kualitatif juga perlu dipertimbangkan.

 Opini yang berkembang bahwa kepemimpinan sipil lemah tanpa alasan-alasan yang meyakinkan justru mengandung bahaya, seolah-olah hanya militerlah yang mampu memimpin negeri ini. Kalau opini ini terus dikobarkan, jelas menjadi ancaman serius bagi agenda demokrasi ke depan.  Entah ada kaitan langsung atau tidak, serbuan opini publik semacam itu membuat kepercayaan diri para pemimpin sipil menjadi berkurang. Keinginan sejumlah capres sipil seperti Megawati, Amien Rais dan Akbar Tandjung untuk menggandeng cawapres dari kalangan militer menunjukkan ketidakpercayaan diri pemimpin sipil. Kondisi ini sangat ironis. Setelah kekuatan sipil terpuruk selama puluhan tahun, kepemimpinan sipil yang mulai tumbuh sejak era reformasi kembali dibuat layu sebelum berkembang.

  Harapan yang terlalu tinggi terhadap kepemimpinan sipil di era reformasi memang wajar, ditinjau dari segi pragmatisme publik yang mendambakan kondisi aman dan tertib, tetapi munculnya kekecewaan tersebut pun harus ditanggapi dengan kritis dan serius. Lagi pula, secara teoritis sebenarnya tidak ada masalah dengan capres berlatarbelakang militer untuk memimpin pemerintahan sipil. Pada dasarnya mereka sudah berstatus sipil, memiliki hak dan kewajiban sama dengan warga negara sipil lainnya.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template