Headlines News :
Home » » NEGARA DAN REVOLUSI

NEGARA DAN REVOLUSI

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 02.16

“….Bertimbunnya interpretasi yang telah dilakukan atas Komune,dan keanekaragaman kepentingan yang tercermin (dalam bertimbunnya interpretasi) tersebut,menunjukkan bahwa Komune merupakan wadah politik yang benar-beanar fleksibel. Sementara semua bentuk pemerintahan sebelumnya,berhakekat repressif. Rahasia sejatinya terletak di sini : Komune pada hakekatnya merupakan sebuah pemerintahan klas buruh. Hasil dari perjuangan melawan klas penghisap/penindas. Wadah politik yang akahirnya ditemukan;yang menjadi pondasi bagi penuntasan pembebasan ketertindasan kaum buruh….”

 

“Selain di bawah syarat-syarat terakhir ini,Konstitusi Komunal ini akan merupakan sesuatu yang mustahil dan hanya merupakan ilusi belaka”

 

Para pemikir utopis menyibukkkan dirinya sendiri dengan melakukan “pencarian” atas sesuatu  wadah politik; yang akan menjadi pijakan bagi trasformasi sosialis atas masyarakat. Sedangkan para anarkis, mengesampingkan sama-sekali, persoalan tentang wadah politik. Sementara para oportunis Sosial Demokrasi masa kini, menerima wadah politik negara demokrasi parlementer borjuis. Mereka menerima wadah politik ini sebagai batas yang tidak boleh dilangkahi. Mereka membentur-benturkan kepalanya, menyembah di hadapan ‘model’ ini. Terlebih lagi, mereka mengutuk setiap usaha menyingkirkan model ini; sebagai anarkisme.

Marx melakukan deduksi atas keseluruhan sejarah sosialisme dan perjuangan politiknya. Ia menyimpulkan bahwa dari sejarah, proses keberadaannya; negara memang “digariskan” untuk melenyap. Bahwa bentuk transisi dari pelenyapannya (transisi dari negara menuju non negara),akan merupakan “proletariat yang diorganisasikan sebagai klas yang berkuasa”. Marx memang belum sempat melkukan penelusuran atas bentuk-bentuk politik dari tahapan/proses yang akan dijalani oleh Negara di masa yang akan datang (terutama proses peralihan dari negara menuju non-negara). Marx membatasi dirinya sendiri, untuk secara ketat mengkaji sejarah Prancis. Melakukan analisis terhadap sejarah Prancis dan menarik kesimpulan dari peristiwa-peristiwa yang dibentangkan oleh tahun 1851. Tepatnya, penyimpulan mengenai pergerakan material menuju penghancuran mesin negara borjuis.

Pergerakan revolusioner massa prletariat di Prancis memang kemudian meletus. Disamping kegagalan, singkatnya periode dan kelemahan-kelemahan pokok dari pergerakan ini, Marx mulai mempelajari dan menemukan fakta-fakta historis baru, yang (hanya) muncul karena pergerakan di atas.

Komune adalah bentuk yang “pada akhirnya ditemukan” oleh revolusi proletarian, yang merupakan pondasi bagi pemerdekaan ekonomi kaum buruh.

Komune adalah percobaan pertama dari revolusi proletarian untuk memukul hancur mesin negara borjuis. Dan merupakan wadah politik yang ‘pada akhirnya ditemukan”; sebagai pengganti dari mesin Negara yang telah dipukul hancur.

Kita akan mengkaji lebih lanjut dalam kasus revolusi Rusia di tahun 1905 dan 1917. Dan melihat revolusi tersebut sungguh pun di bawah kondisi dan syarat-syarat yang bebeda merupakan kelanjutan dari (apa yang telah dicapai) Komune; dan membenarkan analisis historis Marx yang brilian.

 

2. Perdebatan Dengan Kaum Anarkis

 

Perdebatan ini terjadi di tahun 1873. Ketika itu Marx dan Engels menyumbangkan artikel kepada terbitan sosialis di Italia. Tulisan ini menyerang Proudhon dan pengikut-pengikutnya, para “otonomis” atau “anti otoritarian”. Namun baru pada tahun 1913 artikel ini diterbitkan di Jerman, pada Neue Zeit.

“Jika perjuangan politik kaum buruh mencapai bentuk revolusionernya. Dan jika kaum buruh dalam rangka membela kepentingan klasnya menghancurkan perlawanan kaum borjuis, dengan jalan menegakkan kedikatatoran revolusioner (untuk menggantikan kediktatoran borjuis). Maka akan merupakan sebuah kesalahan fatal yang menyalahi prinsip: bila memberikan negara sebuah bentuk revolusioner  dan transisi kepada Negara. Karena yang harus dilakukan (menurut para anarkis) adalah meletakkan senjata untuk menghapuskan Negara.” Demikianlah Marx menulis, untuk memperolok-olok para anarkis, atas penolakan mereka untuk terlibat dalam politik…(Neue Zeit,Volume XXXII,1,1913-14,halaman 40).

Marx sama-sekali tidak menolak pandangan bahwa Negara akan melenyap ketika sudah tidak ada lagi klas-klas. Bahwa Negara akan menghilang ketika klas-klas telah ditiadakan. Tidak, sama sekali tidak ! Apa yang ditolak oleh Marx adalah pernyataan bahwa kaum buruh harus menolak menggunakan senjata (garis bawah, pent). Bahwa kaum buruh harus menolak penggunaan kekuasaan yang terorganisir, yakni Negara; yang harus diabdikan pada kepentingan “memporakporandakan perlawanan kaum borjuasi”. Adalah semata-mata melawan “penghapusan” semacam ini atas Negara, yang dihadapkan oleh Marx dalam menentang para anarkis!

Dalam rangka menghindari pembiasan, atau makna sejati dari penolakan Marx terhadap anarkisme, Marx sekali lagi menekankan tentang kebutuhan kaum proletar atas “bentuk revolusioner dan transisi” dari Negara. Kaum proletar hanya membutuhkan Negara untuk sementara saja (temporer). Kita tidak sama-sekali berbeda dengan kaum anarkis sebatas persolan tentang penghapusan negara  sebagai sebuah tujuan.  Aku lanjutkan, untuk mencapai tujuan ini; kita harus memanfaatkan instrumen-instrumen, sumber daya-sumber daya, dan metode kekuasaan Negara secara temporer. Dalam rangka menghadapi para penghisap/peniondas. Sebagaimana halnya sebuah kediktatoran temporer dari klas tertindas diperlukan, dalam rangka penghapusan klas-klas yang ada. Marx memilih cara yang paling tajam dan jernih dalam menyatakan persoalannya dengan kaum anarkis: setelah mencampakkan pasungan yang dibebankan para kapitalis, haruskah kaum buruh “meletakkan senjata mereka”. Atau sebaliknya, justru mempertahankan dan menggunakan senjata itu untuk memporakporandakan perlawanan para kapitalis ? Dan bagaimanakah penggunaan sistematis atas senjata (atau kekerasan) oleh klas buruh terhadap klas penindas dapat dilaksanakan; kalau bukan lewat sebuah “bentuk transisional” dari Negara?

Biarkan saja para Sosial Demokrat menanyakan pada diri mereka sendiri : Apakah memang itu cara mereka dalam menghadapi persoalan tentang Negara ketika berdebat dengan para anarkis ? Apakah demikian juga cara yang dipakai oleh representasi resmi partai-partai sosialis yang mengikuti Internasional Kedua ?

Engels menjelaskan gagasan yang sama dalam cara yang jauh lebih terperinci dan populer. Pertama-tama Engels memperolok-olok gagasan yang campur aduk dari para pengikut Proudhon,yang menyebut-nyebut  diri mereka “anti otoriter”;dengan menolak otoritas manapun,menolak semua sub-ordinasi,menolak semua (bentuk) kekuasaan. Ambil contoh sebuah pabrik,sebuah jalan kereta api,sebuah kapal laut—ujar Engels : Belum jelaskah bahwa tidak ada satupun penggunaan teknis atas perangkat-perangkat kompleks di atas (yang berbasiskan penggunaan teknologi dan melibatkan kerjasama dari banyak orang) dapat difungsikan secara konsekuen;tanpa penggunaan otoritas/kekuasaan dalam derajat tertentu ?

“..Ketika aku menghadapkan kaum anti otoritarian (yang paling fanatik) dengan argumen ini,satu-satunya jawaban yang dapat mereka berikan adalah sebagai berikut : Oh,memang benar. Namun masalahnya di sini bukan tentang otoritas. Yang kami berikan pada orang-orang yang mewakili kami adalah sebuah komisi ! Orang-orang itu (para anti otoritarian) mengira bahwa mereka dapat mengubah (hakekat) dari suatu hal dengan mengubah namanya…”[i]

 

Setelah menunjukkan bahwa otoritas dan otonomi adalah peristilahan yang relatif,bahwa lingkup dari apliksinya bervariasi,tergantung berbagai tahap dari perkembangan sosial. Sehingga akan merupakan sesuatu yang keliru,bila menempatkannya sebagai sesuatu yang absolut. Menimbang bahwa lingkup aplikasi dari teknologi dan produksi berskala besar-besaran tetap mengalami perkembangan. Kini Engels mengajak kita untuk melangkah—dari diskusi umum tentang otoritas—menuju pertanyaan tentang Negara.

“Para otnomis (pendukung otonomi)”,tulis Engels, “Berpendapat bahwa pengaturan sosial di masa yang akan datang,hanya kan memperkenankan keberadaan otoritas,sebatas diperlukan bagi kondisi-kondisi untuk produksi. Namun para otonomis—sambil dengan bersemangatnya memerangi istilah tersebut—membutakan mata mereka sendiri,terhadap semua fakta yang memungkinkan keberadaan otoritas itu sendiri”.

 

“Mengapakah para anti-otoritarian membatasi dirinya sendiri,dengan tidak melakukukan serangan atas sumber dari semua otoritas itu sendiri,yakni Negara ? Semua orang mengaku sebagai sosialis,sepakat bahwa Negara—dengan otoritas politiknya—akan menghilang sebagai hasil dari revolusi sosial. Negara, terutama pada fungsi-fungsi politiknya, akan kehilangan karakter politiknya.  Dan hanya kan merupakan fungsi-fungsi administratif,yang melakukan pengawasan atas berbagai kepentingan sosial. Namun para anti otoritarian menuntut ,bahwa Negara harus dihapuskan dengan “sekali pukul”—bahkan ketika hubungan-hubungan sosial (lama)—yang menjadi penghalang bagi keberadaannya,belum dihancurkan,mereka menuntut bahwa tindakan pertama yang harus dilakukan dalam sebuah revolusi sosial adalah penghapusan otoritas.”

 

“Pernahkanh orang-orang itu melihat sebuah revolusi ? Sebuah evolusi,tentunya,secara tak terhindarkan merupakan sesuatu yang sangat otoriter. Sebuah revolusi adalah sebuah aksi dimana suatu bagian dari penduduk (populasi) memaksakan kehendaknya atas bagian yang lainnya;dengan mesiu,senapan,sangkur bayonet,meriam-meriam. Dengan segala alat kekerasan yang paling kejam sekalipun. Dan pihak pemenang akan melangsungkan kekuasaannya,dengan semua alat teror yang dimiliki olehnya,dalam menghadapi kaum reaksioner/penentangnya. Dapatkah Komune Paris bertahan lebih dari satu hari,bila tidak menggunakan otoritas rakyat yan gdipersenjatai;menghadapi kaum borjuasi ? Tidak dapatkah kita—pada sisi lain—menyalahkan mereka,karena terlampau ragu-ragu/terbatas dalam menggunakan otoritasnya ? Karena hanya dua hal yang tersisa : Entah para anti-otoritarian tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakkan. Atau, mereka sebenarnya mengetahui,namun mereka dengan sadar mengkhianati perjuangan kaum proletar. Dalam kedua kemungkinan di atas mereka sebatas reaktif saja (halaman 39).[ii]

 

Argumen ini menyentuh pertanyaan-pertanyaan yang akan kita uji,berkenaan dengan hubungan antara politik dan ekonomi selama proses melenyapnya negara. (Bab selanjutnya akan membahas hal ini). Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah : tentang transformasi atas fungsi-fungsi publik dari Negara. Dari fungsi-fungsi politik menuju fungsi-fungsi sederhana atas administrasi. Pertanyaan selanjutnya adalah tentang “Negara politis” (“Political State”). Istilah terakhir ini, “Negara Politis” memang dapat menyebabkan kesalahpahaman;makna sebenarnya berhubungan dengan proses pelenyapan Negara. Tepatnya,berkenaan dengan tahapan tertentu dari proses pelenyapan Negara. Sebuah Negara yang berada dalam proses pelenyapannya,dapat juga disebut Negara Non-Politis/Non-Political State (garis bawah dari penterjemah).

Sekali lagi,hal terpenting dalam argumen Engels ini,adalah caranya dalam menegakkan bantahan-bantahannya terhadap kaum anarkis. Para pengikut Sosial Demokrat juga (yang mengklaim sebagai murid-murid Engels) telah mengajukan keberatan-keberatan—tentang topik ini—terhadap para anarkis;sebanyak ‘jutaan kali’ sejak tahun 1873. Namun mereka tidak mengajukan argumen-argumen tersebut,sebagaimana seharusnya seorang Marxis. Gagasan kaum anarkis tentang penghapusan Negara ternyata bercampur-aduk dan tidak memiliki karakter revolusioner,demikianlah tulis Engels. Tepatnya,para anarkis tersebut menolak memahami revolusi—dalam proses kemunculan maupun perkembangannya. Mereka juga menolak tugas-tugas  khusus yang dimandatkan oleh revolusi,yakni;otoritas,kekuasaan,kekerasan dan Negara.

Kritk-kritik umum atas anarkisme (yang dilakukan oleh para Sosial Demokrat masa kini) telah begitu terpuruk kedalam kedangkalan cara pandang orang-orang murtad. Seru mereka : “Kami mengakui Negara,sementara para anarkis tidak!” Sesungguhnyalah,kedangkalan pernyataan tersebut hanya akan mengasingkan mereka dari kaum buruh,yan sesungguhnya sanggup berpikir dan memiliki pandangan  yang revolusioner. Apa yang disampaikan oleh Engels berbeda. Engels menekankan bahwa  semua kaum sosialis mengakui bahwa Negara akan menghilang sebagai  hasil dari revolusi sosialis. Ia kemudian secara khusus mengupas pertanyaan tentang revolusi. Pertanyaan sama—yang seperti biasanya—dijauhi oleh para Sosial Demokrat. Meninggalkannya,untuk “ditangani sendiri” oleh para anarkis. Dan ketika menanggapi pertanyaan ini,Engel dengan tajam menanyakan : Tidakkah seharusnya Komune menggunakan secara lebih maksimal kekuasaan revolusioner atas Negara; dalam hal ini yakni,proletariat yang dipersenjatai dan diorganisasikan sebagai klas yang berkuasa ?

Para representasi resmi Sosial Demokrat biasanya menyingkirkan persoalan tugas-tugas konkrit proletariat dalam revolusi. Entah dengan senyuman sinis khas orang-orang murtad,atau paling sering,dengan menghindar secara pengecut : “Masa depan akan menunjukkkannya”. Dan untuk,para anarkis,mereka merasa dibenarkan untuk menuding bahwa para Sosial Demokrat telah gagal;terutama dalam tugasnya untuk memberikan pendidikan revolusioner bagi kaum buruh. Kini kita akan melihat bagaimana Engels menarik kesimpulan dan pengalaman revolusi proletarian yang terbaru. Tepat dalam kerangka pembuatan kajian yang paling konkrit,tentang apa yang harus dikerjakan oleh proletariat—dan dengan cara apa—sehubungan dengan persoalan tentang bank-bank dan Negara.

 

 

 

BAB V

BASIS EKONOMI BAGI PELENYAPAN NEGARA

 

Marx mengulas pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan tema di atas secara lengkap dalam tulisannya. Kritik Atas Program Gotha/Critique of the Gotha Programme (surat kepada Brache,5 Mei 1875,yang tidak dipublikasikan sampai tahun 1891,ketika akhirnya dicetak pada Neue Zeit,Vol.IX,1,yang kemudian akan menjadi edisi khusus untuk versi Rusia).

 

1.      Pengajuan Pertanyaan Oleh Marx

 

Sebuah pembacaan—yang terburu-buru atas tulisan Marx (Surat Marx kepada Bracke tanggal 5 Mei 1875) dengan tulisan Engels (surat Engels kepada Bebel tanggal 28 Maret 1875) akan berakibat sangat fatal. Dalam kedua tulisan tersebut akan terlihat bahwa Marx nampak lebih ‘menjagokan Negara” ketimbang Engels. Lebih jauh lagi,akan nampak juga bahwa perbedaan cara pandang di antara kedua penulis tersebut—mengenai persoalan Negara—benar-benar tak terjembatani. Namun benarkah demikian ?

Dalam surat di atas,Engels menyarankan pada Bebel agar menghentikan segal ocehan dan pembicaraan perihal Negara. Dan selanjutnya,semua perkataan “Negara” agar tidak dicantumkan dalam program. Engels bahkan menyatkan bahwa Komune sudah bukan lagi merupakan Negara. Sebagaimana dipahami oleh sementara orang. Namun di pihak lain,Marx dalam surat tersebut di atas justru melakukan kupasan tentang Negara. Marx bebicara tentang “Negara masa depan di dalam  masyarakat komunis”,yang berarti, Marx melihat akan kebutuhan Negara,bahkan di bawah Komunisme.

Namun ternyata kesimpulan di atas salah. Pengkajian yang lebih cermat atas pandangan Marx maupun Engels tentang Negara dan proses pelenyapannya membuktikan hal ini. Ternyata hakekat dari cara pandang Marx maupun Engels mengenai Negara adalah sama. Bahwa penekanan Marx akan arti penting Negara,yang dimaksudkannya, adalah Negara yang berada dalam proses pelenyapannya. Perbedaan yang nyata antara Marx dan Engels adalah dikarenakan  mereka menangani tema-tema yang berbeda dan (dengan demikian) mereka mengejar tujuan yang berbeda juga. Engels berusaha menunjukkan pada Bebel—secara ringkas dan tajam—kekeliruan-kekeliruan fatal  yang terdapat dalam anggapan-anggapan tentang  Negara (yang antara lain disebabkan oleh Lassale). Marx—dalam kesempatan yang sama—hanya menyinggung sepintas tema yang sedang digarap oleh Engels. Hal ini dimungkinkan, karena Marx sedang mencurahkan perhatian mengenai tema yang lain;yakni mengenai perkembangan masyarakat Komunis.

Keseluruhan teori yang dibangun oleh Marx tidak lain merupakan penerapan teori perkembangan kapitalisme. Terutama pengembangan teori atas kapitalisme modern,tajam dan matang! Sesungguhnyalah,Marx dihadapkan pada persoalan penerapan atas teorinya. Persoalan tentang bagaimana menerapkan teorinya—sekaligus—baik bagi keruntuhan kapitalisme yang akan menjelang;maupun bagi perkembangan masa depan Komunisme di masa yang akan datang.

Kalau begitu,berbasiskan fakta apakah,pertanayaan tentang  perkembangan selanjutnya dari komunisme di masa yang akan datang;harus ditangani ?

Jawabannya adalah : Berbasiskan fakta bahwa Komunisme memiliki asa-usul dari rahim kapitalisme. Bahwa Komunisme berkembang secara historis kapitalisme. Bahwa ia merupakan buah dari aksi daya kekuatan sosial  yang dikandung oleh kapitalisme. Tidak ada sebercak jejakpun dalam bagian dari kerja Marx membangun teorinya—yang dapat dikategorikan sebagai utopia. Tidak juga bahwa Marx sempat melakukan kerja spekulatif yang tak terketahui (baca: dapat dipahami dan diuji secara ilmiah). Marx menghadapi persoalan tentang Komunisme dengan cara yang sangat ketat ilmiah. Marx menghadapi persoalan tersebut sebagaimana halnya seorang ahli biologi,melakukan pengujian/penelitian terhadap varietas biologi tertentu. Melakukan observasi,pengamatan yang teliti atas asal-usulnya,proses perkembangan,pembiakannya;maupun perubahan yang akan dialaminya ketika melakukan interaksi dengan unsur-unsur lain.

Untuk lebih jelasnya Marx mulai dengan menyingkirkan ke samping,keruwetan yang diakibatkan oleh Program Gotha. Terutama perihal hubungan antara Negara dan Masyarakat, Marx menulis :

“Masyarakat masa kini adalah masyarakat kapitalis. Masyarakat ini terdapat dalam semua negeri beradab. Negeri-negeri—yang kurang ataupun lebih—terpengaruh oleh sisa-sisa warisan abad pertengahan. Negeri-negeri—yang dikarenakan perkembangan historis tertentu—menjadi lebih ataupun kurang maju. Pada sisi lain, ‘Negara masa kini’ berubah mengikuti perubahan garis tapal batas negeri. Sehingga proses perubahan tapal batas suatu negeri bisa terjadi berulang kali, dalam kurun sejarah yang berbeeda pula. Demikian juga proses yang berbeda-beda terjadi pula atas berbagai negeri. Sebagai ilustrasi proses yang terjadi di kekaisaran Prusia-Jerman berbeda dengan yang terjadi di negeri Swiss. Demikian pula yang terjadi di Inggris berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat. Dengan demikian ‘Negara masa Kini’ tidak lain daripada sebuah fiksi belaka.”

“Betapapaun,negara-negara yang berbeda dari berbagai negeriyang memiliki peradaban berbeda;disamping segala keaneka ragaman bentuk yang berbeda,memiliki sebuah persamaan. Yakni bahwa Negara-negara tersebut berbasiskan masyarakat borjuis modern,dengan tingkat perkembangan kapitalistik yang berbeda-beda. Karena itu kita dapat temukan karakteristik esensial yang berlaku secara umum. Tepat di titik inilah kita dimungkinkan untuk berbicara tentang ‘Negara masa kini’—yang dihadapkan dengan—masa depan negara itu sendiri,yang akan lenyap,mati”

“Sebuah pertanyaan mencuat : Perubahan macam apakah yang akan dijalani Negara dalam sebuah masyarakat komunis ? Dengan lain perkataan,fungsi-fungsi sosial apakah yang masih akan tetap dipertahankan;yang dapat dipersamakan dengan fungsi Negara masa kini ? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab tuntas secara ilmiah. Dengan demikian kita tidak perlu melakukan loncatan dari satu kesimpulan ke kesimpulan yang lain;dengan sekedar merangkai-rangkaikan kombinasi atas kata-kata Negara dan Rakyat.”[iii]

 

Marx melancarkan kritik yang pedas atas semua perbincangan yang keliru mengenai “Negara Rakyat” (“People State”). Marx kemudian melanjutkan dengan mengeluarkan peringatan keras : Siapapun yang mencoba mencari jawaban ilmiah atas perbincangan diatas, haruslah melengkapi dirinya dengan data ilmiah yang ditegakan secara ketat!.

Ada sebuah fakta yang telah begitu dingkari, diabaikan atau bahkan tak kunjung dipahami oleh para oportunis dan kaum utopian masa kini, yang begitu gentar dengan revolusi sosial. Sebuah fakta yang telah ditegakan lewat proses perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan (sebagai suatu keseluruhan). Yaitu ---bahwa secara historis---harus ada satu tahapan khusus, suatu fase tertentu, yang merupakan transisi dari kapitalisme menuju komunisme.

 

2.      Transisi dari Kapitalisme menuju Komunisme

Marx Melanjutkan :

“Diantara masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis---terbentang sebuah periode transformasi revolusioner---dari suatu bentuk masyarakat, menuju bentuk masyarakat yang lain. Sehubungan dengan hal ini terdapat juga sebuah periode transisi (peralihan) politik. Dalam pada ini negara tidak lain daripada sebuah kediktatoran proletariat yang revolusioner.”

 

Marx mendasarkan kesimpulannya pada suatu analisis atau peran yang dimainkan oleh proletariat dalam masyarakat kapitalis modern. Juga didukung oleh data-data yang terkait dengan perkembangan masyarakat Kapitalis. Dan ditambah dengan fakta tentang kepenyingan antagonistik yang tak terdamaikan antara klas proletar dan borjuis.

Sebelumnya, pertanyaan diatas diajukan sebagai berikut : untuk mencapai pembebasannya,  proletariat harus menumbangkan borjuasi. Memenangkan kekuasaan politik dan menegakkan kediktatoran revolusionernya.

Sekarang, pertanyaan tersebut harus diajukan dengan cara yang berbeda. Transisi dari masyarakat kapitalis—yang sedang bergerak maju menuju komunisme—menuju masyarakat komunis;adalah tidak mungkin tanpa periode transisi politik. Oleh karena itu,dalam periode ini Negara hanya dapat menjadi sebuah kediktatoran proletariat yang revolusioner. Kalau begitu pertanyaannya adalah : Apakah hubungan antara kediktatoran proletariat dan demokrasi ?

Kita telah melihat bahwa Manifesto Komunis telah meletakkan dua buah konsep—sekaligus—secara beriringan : “menegakkan kaum proletar ke posisi sebagai klas yang berkuasa” dan “memenangkan pertarungan untuk demokrasi”. Berdasarkan hal-hal yang telah kita kupas sebelumnya,terbukalah peluang untuk menentukan secara lebih akurat;bagaimana demokrasi mengalami perubahan—dalam transisi—dari kapitalisme menuju komunisme.

Dalam masyarakat kapitalis—di bawah syarat-syarat bahwa pembangunan masyarakatnya dilakukan dalam kondisi kondusif—kita akan menemukan bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang umum/lazim. Namun sebagai apapun demokrasi yang dikungkung dalam batasan-batasan yang dikendalikan oleh penghisapan kapitalis. Sehingga sebagai konsekuensinya,dalam prakteknya kita akan menemukan sebuah demokrasi bagi golongan minoritas;demokrasi bagi klas-klas yang berhak milik,bagi mereka yang kaya saja. Hakekat kebebasan dalam masyarakat kapitalis,tidak jauh berbeda dengan yang terdapat dalam republik-republik Yunani kuno;yakni,kebebasan dari pemilik budak. Di bawah kondisi yang berlangsung dalam penghisapan kapitalis,ditemukanlah fakta-fakta berikut ini. Para budak upahan modern (baca: kaum buruh-pent),sedemikian terpuruk oleh kebutuhan dan kemiskinan. Sedemikian rupa sehingga “para budak upahan modern tidak dapat disibukkan dengan (agenda) demokrasi”, “tidak dapat mengurus hal ikhwal yang berkenaan dengan politik”. Dengan demikian di bawah kondisi yang nampaknya normal dan damai;mayoritas populasi dikebiri dari partisipasi dan kehidupan politik.

Ketepatan pernyataan ini paling jelas terlihat dalam pengalaman Jerman. Hal ini dibuktikan dengan begitu lamanya legalitas konstitusional dipertahankan. Kurang lebih selama setengah abad,dari tahun 1871-1914. Selama periode inilah kaum Sosial Demokrat dimungkinkan melakukan pencapaian,dengan “memanfaatkan legalitas”. Suatu pencapaian yang melampaui negeri-negeri lainnya,dengan melakukan pengorganisiran atas kaum buruh ke dalam partai politik. Dalam porsi yang lebih besar daripada negeri manapun di dunia ini.

Sejauh ini berapa besarkah jumlah budak-budak upahan—yang aktif dan sadar secara politis—yang tercatat dalam masyarakat kapitalis ? Satu juta anggota Partai Sosial Demokrat dari keseleuruhan 15 juta orang pekerja ! Tiga juta diantaranya diorganisir dalam serikat-serikat buruh—sekali lagi—di antara 15 juta pekerja !!

Demokrasi bagi minoritas yang tak penting,demokrasi bagi kaum kaya. Inilah hakekat demokrasi dalam masyarakat kapitalis. Bila kita melihat secara lebih cermat ke dalam anatomi instrumen demokrasi kapitalis, kita akan menemukan hal-hal sebagai berikut ini. Dimana-mana kita akan menemukan rincian –rincian detail tentang pengaturan “hak-hak politik warga negara”. Pengaturan atas syarat-syarat penghunian/pembelian tempat tinggal,pembatasan hak-hak bagi kaum perempuan,syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk duduk dalam lembaga perwakilan,halangan-halangan yang harus dihadapi dalam menjalankan hak berserikat,sensor atas berita-berita oleh para pemilik perusahaan penerbitan,dsbnya (baca: fasilitas-fasilitas publik tidak disediakan/tidak diperuntukkan  bagi “si miskin”). Dalam masyarakat kapitalis kita hanya melihat –pembatasan demi pembatasan—diberlakukan atas nama demokrasi. Berbagai pembatasan,pengecualian,halangan,diskriminasi,kendala-kendala yang dinyatakan di atas;nampaknya sepele. Memang nampak sepele,khususnya di mata orang-orang yang tidak pernah mengenal kekurangan atas kebutuhan sehari-hari. Juga nampaknya sepele bagi mereka  yang tak pernah melakukan kontak langsung dengan klas-klas tertindas,dalam keseharian hidup mereka yang sangat berat (sembilan dari sepuluh,atau bahkan 99 dari 100 wartawan,maupun politisi-politisi borjuis  masuk dalam kategori ini). Sehingga walau nampak sebagai hal sepele/kecil,namun bila ditotal—secara keseluruhan—maka pembatasan di atas: menyingkirkan,bahkan mencampakkan kaum miskin dari kehidupan politik,dari haknya untuk berpartisipasi aktif dalam demokrasi.

Marx berhasil mencabut keluar esensi yang tersembunyi di balik selubung demokrasi kapitalis;ketika dia menganalisis pengalaman Komune Paris. Marx menyatakan, “kaum tertindas diperkenankan untuk melakukan pemilihan atas representasi-representasi tertentu dari klas penindas yang akan mewakili (represent) dan menindas (repress) mereka di parlemen!”.

Karakter demokrasi kapitalis—di tingkat permukaan memang tampak bagus—namun munafik,diam-diam menjerat dan mencampakkan kaum miskin dan yang tertindas ke dalam jurang kehancuran. Itulah sebabnya pembangunan ke arah kemajuan dan pemerataan,pembangunan menuju demokrasi sepenuh-penuhnya—sebagaimana diyakini  oleh para cendekiawan liberal maupun kaum oportunis borjuis kecil—tidak pernah kunjung terwujud secara nyata. Tidak ! Pembangunan ke arah kemajuan sejati,yakni pembangunan menuju komunisme  tidak bisa ditegakkan melalui jalan lain,selain kediktatoran proletariat. Karena klas-klas penghisap tidak akan pernah dengan sukarela membuka jalan bagi kita. Karena reaksi dan serangan balik dari klas pemilik modal (yang merasa terancam kepentingannya),hanya bisa diantisipasi dan dipatahkan melaui kediktatoran proletariat.

Sebuah kediktatoran proletariat adalah organisasi van guard bagi kaum tertindas sebagai klas yang berkuasa. Organisasi yang bertujuan untuk menyingkirkan para penindas tersebut,tidak dapat dihasilkan semata-mata dari pengembangan demokrasi. Dengan ditegakkannya demokrasi yang sejati,secara simultan : untuk pertama kalinya demokrasi menjadi demokrasi bagi kaum miskin. Demokrasi bagi rakyat dan bukan sekedar demokrasi semu bagi si kaya. Kediktatoran proletariat menekankan sejumlah pembatasan bagi kebebasan para penindas/para penghisap, para kapitalis. Kita memang harus mengganyang mereka,dalam rangka memerdekakan umat manusia dari perbudakan upah. Reaksi dan perlawanan haruslah diremukkan dengan kekuatan. Ini penting untuk dituntaskan,karena tidak akan ada ruang yang tersedia bagi kebebasan dan demokrasi selama masih ada penindasan dan kekerasan.

Engels menegaskan hal diatas dalam suratnya kepada Bebel. Engels menyatakan sesuatu yang kiranya tidak akan dilupakan oleh para pembaca. Tulis Engels, “Proletariat membutuhkan negara tidak bagi kebebasan belaka, namun pertama-tama dalam rangka menyingkirkan musuh-musuhnya, segera setelah proletariat berhasil merebut ruang untuk membicarakan (agenda) kebebasan, negara tidak akan diperlukan lagi.”[1]

Perubahan akan dialami olehdemokrasi selama masa transisi dari kapitalisme menuju komunisme. Penyingkiran dengan kekerasan atas para penghisap, penindas rakyat, menjadi suatu keharusan dalam rangka menciptakan prakondisi bagi demokrasi sejati.

Hanya didalam masyarakat komunis, ketika perlawanan para kapitalis telah sepenuh-penuhnya diremukan, ketika para kapitalis itu sendiri sudah lenyap, ketika sudah tidak ada klas-klas lagi (yang artinya, sudah tidak ada lagi pembeda-pembeda diantara anggota masyarakat, sehubungan dengan pemilikan sosial atas alat produksi). Hanya dibawah syarat-syarat tersebutlah, baru kemudian  “Negara…tiadak ada lagi”, dan “terbukalah ruang bagi pembicaraan tentang kebebasan”. Hanya dibawah syarat-syarat yang sama pula, sebuah demokrasi yang sejati akan dapat diwujudkan, sebuah demokrasi tanpa diskriminasi. Dan bahkan---setelah itu---demokrasi itu sendiripun akan melenyap!. Berkenaan dengan fakta  bahwa setelah terbebaskan dari kungkungan “perbudakan’ kapitalis, dari kekejian, dari absurditas, dari teror berkepanjangan penindasan kapitalis, secara bertahap rakyat akan terbiasa dengan hubungan sosial yang baru. Rakyat akan mempunyai kesempatan untuk mengadopsi norma-norma dasar bagi interaksi sosial, yang telah diketahui selama berabad-abad, bahkan telah disampaikan ulang selama ribuan tahun dalam semua text book standar tentang kebenaran umum (Maxim). Rakyat akan menjadi terbiasauntuk memperlakukan norma-norma diatas tanpa paksaan, tanpa tindakan sepihak, tanpa sub-ordinasi, tanpa aparatus pemaksaan khusus yang bernama negara.

Penggunaan ungkapan “negara yang melenyap’ tidaklah dilontarkan secra sembarangan. Ungkapan tersebut sekaligus menunjukan hakekat yang spontan dan gradual (bertahap) atas proses yang akan berlangsung. Bahwa dalam kondisi dimana penyebab/pemicu terjadinya kemarahan sosial, protes-protes, kegeraman, bahkan revolusi yang berakar pada ketidakadilan sudah dikikis habis…maka tidak akan dibutuhkan lagi wahana bagi penindasan. Dengan demikian rakyat akan dengan mudah membiasakan diri, melakukan interaksi yang bebas dari penindasan.

Sekarang jelaslah bahwa dalam masyarakat kapitalis kita hanya akan menemukan demokrasi yang palsu, demokrasi yang hanya dibatasi hanya untuk minoritas segelintir orang kaya. Kediktatoran proletariat, yang merupakan periode transisi menuju komunisme---pertama tama, akan menciptakan demokrasi rakyat---bagi mayoritas (bersamaan dengan penyingkir—hancuran minoritas yang menindas). Hanya komunisme yang sanggup menyediakan syarat-syarat bagi tegaknya sebuah demokrasi sejati. Dengan ditunaikannyatugas yang harus diemban oleh demokrasi sejati, maka secara berangsur-angsur keberadaannyapun tidak dibutuhkanlagi. Dan pada waktunya demokrasi inipun akan melenyap pula.

Dibawah kapitalisme kita menemukan negara sebagai mesin khusus yang diperuntukan bagi penindasan suatu klas terhadap klas yang lainnya. Secara ringkas, penindasan minoritas terhadap mayoritas. Suatu penindasan yang sistematis, hanya dapat diantisipasi dan disingkirkan dengan cara yang sama. Usaha penyingkiran tersebut---secara tak terhindarkan---memang akan mengundang banjir darah. Namun dengan jalan itu pulalah, umat manusia bisa mengarungi, melampaui proses penindasan sistematis (yang telah berlangsung ribuan tahun lamanya), sejak masa perbudakan, perhambaan sampai buruh upahan.

Lebih lamjut lagi---dalam masa transisi dari kapitalisme menuju komunisme---penindasan masih diperlukan. Namun penindasan hanya diperuntukan bagi yang pantas menerimanya, yakni bagi klas penghisap-penindas. “Negara---sebagai sebuah aparatus khusus, sebuah mesin khusus yang diperuntukan bagi penindasan---memang masih diperlukan, namun “negara” ini hanya berhakikat sebagai negara transisional (negara peralihan). Ia tidak akan lagi menjadi negara dalam pengertian yang berlaku sekarang. Sekali lagi, bila kita timbang-timbang “biayanya’ maka penindasan terhadap klas penghisap-penindas hanya akan merupakan tugas yang alamiah dan tidak seberapa berat….dibandingkan dengan jejak-jejak kejam yang penuh lumuran darah, yang telah ditinggalkan oleh klas penghisap-penindas. Pada dasarnya klas penindas tidak akan sanggup menindas rakyat, tanpa bantuan mesin khusus yang kompleks, untuk memenuhi kepentingan mereka. Namun rakyat sanggup menindas klas penghisap-penindas, dengan sebuah “mesin” yang sangat sederhana. Bahkan sampai tanpa mesin sama sekali---tanpa aparatus khusus---hanya dengan menggunakan organisasi rakyat yang dipersenjatai (sebagaiman halnya soviet-soviet klas pekerja dengan deputi-deputi tentaranya)

Terakhir, hanya komunisme yang secara mutlak membuat keberadaan negara tidak diperlukan lagi. Karena pada akhirnya, tidak ada seorangpun yang perlu ditindas sehingga klas-klas akan menghilang. Kita bukanlah kaum utopian. Kita tidak menyangkal peluang terjadinya ekses-ekses yang tak terhindarkan akibat kekeliruan individual. Kita juga tidak menafikan, kebutuhan untuk menghindari ekses-ekses tersebut. Betapapun--- secara prinsip---tidak ada aparatus khusus bagi penindasan, yang kita perlukan. Tugas-tugas ini dapat dikerjakan sendiri oleh rakyat yang dipersenjatai. Tugas ini sesederhana dan sealamiah contoh berikut ini. Sebagaimana halnya tugas seorang anggota masyarakat beradab untuk campur tangan ketika melihat terjadinya baku hantam yang tidak fair (tidak seimbang) ditengah-tengah kerumunan, atau dengan contoh yang sama, ketika ia melihat pelecehan atas seorang perempuan, oleh beberapa pemuda pemogoran (bajingan). Berikutnya kita mengetahui bahwa akar dari ekses-ekses mendasar dalam masyarakat---yang meliputi pelanggaran dan pengebirian aturan-aturan dalam interaksi sosial---adalah penghisapan atas rakyat 9hal inilah yang bertanggungjawab atas terjadinya kelaparan, kemiskinan, kebodohan dll). Dengan penyingkiran atas biang keladinya, ekses-eksesnya dengan sendirinya akan mulai melenyap. Kita memang belum tahu seberapa cepat proses tersebut akan berlangsung. Tapi kita telah membuktikan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang tak terelakan.

Tanpa membangun utopia-utopia baru---Marx telah meletakan batu penjuru---sebagai patokan untuk menetapkan apa yang dapat diketahui hari ini, berkenaan dengan hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Dengan tepat Marx dapat menunjuk perbedaan-perbedaan antara fase-fase (level/tahapan) yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah dari masyarakat komunis.

 

3.      Fase pertama/ Awal masyarakat Komunis

Dalam Kritik atas Program Gotha (Critique of The Gotha Program) Marx secara rinci mengupas kekeliruan gagasan Lassale. Terutama perihal gagasan bahwa—di bawah sosialisme—para pekerja akan menerima imbalan penuh atas hasil/produk kerjanya secara utuh atau menerimanya dengan “tanpa dipotong/dikurangi”. Dalam kritik atas Gotha ini, Marx juga menunjukkan bahwa  dari keseluruhan  kerja sosial masyarakat harus dapat dikumpulkan sebuah dana cadangan. Dana yang akan diperuntukkan bagi perluasan produksi; dana yang juga akan dipakai untuk menggantikan aus/”menyusutnya” mesin-mesin. Kemudian dari sarana-sarana konsumsi harus dapat dikumpulkan dana bagi pengeluaran-pengeluaran, seperti iuran sekolah,ongkos pengobatan di rumah sakit,dana pensiun bagi orang-orang tua/jompo,dll.

Dibandingkan ungkapan Lassale yang terlampau kabur,abstrak dan tersamar—(misal, “produk utuh dari hasil kerja bagi para pekerja”)—Marx membuat prediksi secara cermat tentang bagaimana seharusnya masyarakat sosialis urusan-urusannya. Marx melanjutkan dengan membuat analisis konkret tentang kondisi-kondisi kehidupan masyarakat—ketika kapitalisme sudah tidak ada lagi—dengan menyatakan :

 

“Yang perlu kita analisis di sini (dalam menganalisis program partai pekerja)…..Bukanlah tentang sebuah masyarakat komunis,sebagaimana ia muncul dari masyarakat kapitalis. Dengan demikian dari berbagai aspek—secara ekonomis,moral dan intelektual—masih menyisakan jejak-jejak bekas kelahirannya,dari rahim masyarakat lama yang mengandungnya”.

Sebuah masyarakat yang baru saja meluncur,keluar hidup-hidup dari kandungan masyarakat lama. Sebuah masyarakat yang masih menyisakan jejak-jejak kelahiran dari kapitalisme. Keseluruhan hal inilah yang ditunjuk oleh Marx sebagai masyarakat komunis tahap “pertama”, ataupun masyarakat komunis pada tahap yang masih awal (garis bawah penerjemah).

Alat-alat produksi tidak lagi menjadi milik individu/perorangan. Alat-alat produksi ini akan menjadi milik bersama seluruh masyarakat. Tiap anggota masyarakat telah melaksanakan sebuah bagian dari kerja sosial—yang perlu ditanggulangi bersama-sama—akan menerima bagiannya. Anggota masyarakat ini akan menerima secarik sertifikat,sebagai bukti bahwa ia telah memberikan sumbangan/kontribusi berupa kerja, bagi masyarakat. Dengan sertifikat ini,ia akan menerima sejumlah produk yang setara dengan besarnya usaha/kerja (dari loket-loket pelayanan publik,bagi pengambilan produk/bahan-bahan konsumsi). Perlu ditambahkan,bahwa sejumlah tertentu dari hasil kerja—tiap anggota masyarakat—dialokasikan bagi dana (cadangan) sosial. Dengan demikian tiap anggota masyarakat menerima imbalan yang setara,dengan yang telah diberikannya kepada masyarakat.

Di sini terlihat betapa praktek “persamaan dan kesetaraan” benar-benar dijunjung tinggi.

Lassalle mengira bahwa pandangan tentang tatanan sosial seperti di atas sebagai sosialisme. Lassalle melanjutkan dengan menyatkan bahwa iatelah menemukan “distribusi yang berkesetaraan”, bahwa inilah yang dimaksud dengan “hak yang sama atas tiap produk/hasil kerja yang sama juga”. Lassalle ternyata membuat kekeliruan dengan “memukul rata” pandangan tentang sosialisme. Marx kemudian mengupas kekeliruan Lassalle;dan memperlihatkan bahwa yang dimaksud oleh Lassalle baru sampai pada tahap pertama masyarakat komunis.

Karenanya, persamaan hak, dalam hal ini—menurut Marx—memang masih mengingatkan akan konsepsi “hukum borjuis”. Sebagaimana halnya seluruh hukum yang berlaku sejauh ini,mendalilkan adanya persamaan. Semua hukum dipandang sebagai penerapan dari ukuran-ukuran yang sama bagi semua orang tanpa “pandang bulu”. Padahal dalam kenyataannya ukuran-ukuran yang sama tersebut diterapkan bagi orang-orang yang berbeda. Itulah sebabnya mengapa ‘persamaan hak’ justru merupakan sebuah ketidakadilan.

Rakyat tidaklah terdiri dari orang-orang yang sama dan sebangun. Ada yang kuat,ada yang lemah. Ada yang telah berkeluarga,ada yang belum. Dengan demikian ada yang memiliki lebih banyak tanggungan (misal punya banyak anak,dll), dan ada yang tidak,demikian seterusnya. Kesimpulan yang ditulis Marx :

“Dengan bobot pelaksanaan kerja yang sama, dan dengan pembgian yang sama atas dana konsumsi sosial….dalam prakteknya kita menemukan bahwa seseorang dimungkinkan menjadi lebih kaya daripada yang lainnya….Untuk menghindari cacat-cacat tersembunyi ini, (jargon-jargon) persamaan hak seharusnya justru diabdikan sebagai hak bagi mereka yang tidak sama.”

 

Oleh karena itu,fase pertama komunisme memang belum dapat menyediakan keadilan dn kesetaraan : perbedaan-perbedaan dan pembedaan-pembedaan yang tidak adil dalam tingkat kesejahteraan akan tetap berlangsung. Namun—setidak-tidaknya—eksploitasi segelintir manusia atas manusia-manusia lainnya telah dapat diatasi. Karena pemilikan pribadi atas alat-alat produksi sudah tidak dimungkinkan lagi (misalnya,seperti pabrik-pabrik,mesin-mesin,tanah,dsb). Kita telah menyaksikan betapa kaburnya ungkapan-ungkapan Lassalle—yang khas borjuis kecil—tentang “persamaan” dan “keadilan”.

Dalam mematahkan ungkapan-ungkapan Lassalle di atas, Marx melakukan pembuktian;dengan membentangkan rangkaian alur perkembangan yang akan dijalani oleh masyarakat komunis.

Marx juga menunjukkan bahwa pada tahapan-tahapan awalnya,masyarakat komunis mengemban suatu tugas; tugas untuk terlebih dahulu menghapus “ketidakadilan” atas alat-alat produksi yang tadinya dimiliki oleh segelintir orang. Dengan demikian,menurut Marx—tahapan ini—belum akan tuntas menghapus ketidakadilan sepenuh-penuhnya. Suatu ketidakadilan yang masih mengidap dalam distribusi barang-barang konsumsi—“menurut besarnya jumlah kerja yang dilakukan”—(dan bukannya menurut kebutuhan masing-masing).

Para profesor borjuis maupun para ekonom vulgar lainnya (seperti halnya Tugan),secara bertubi-tubi menyalahkan kaum sosialis. Mereka mempersalahkan kaum sosialis,karena dianggap mengesampingkan ketimpangan rakyat;dan “memimpikan” terwujudnya kesamarataan. Kecaman dan celaan-celaan seperti itu hanya membuktikan betapa naifnya ideolog-ideolog kaum borjuis.

Marx bukan sekedar mengkaji dengan cermat ketidaksamaan maupun ketimpangan yang—secaara tak terhindarkan—terjadi dalam masyarakat. Marx juga telah memasukkan fakta berikut ini sebagai pertimbangan : Bahwa pengambilalihan semata—atas alat-alat produksi ke dalam pemilikan bersama seluruh masyarakat (yang biasa disebut sebagai sosialisme)—tidak dengan sendirinya menyingkirkan cacat hakiki yang melekat dalam “sistem hukum borjuis”. Keseluruhan hal ini akan tetap berlaku,selama produksi tetap diukur “menurut jumlah produk/hasil kerja yang dilaksanakannya”. Marx melanjutkan dengan menyatakan :

“Namun cacat-cacat (tersembunyi) ini tidak akan terhindarkan selama dalam tahap pertama komunisme. Dikarenakan kemeunculan cacat itu sendiri,bersamaan dengan rasa sedih berkepanjangan;yang timbul akibat kelahirannya dari kandungan masyarakat kapitalis. Hukum tidak akan dapat—berdiri sendiri—melampaui struktur ekonomi dari suatu masyarakat. Karena keberadaan hukum (dan perkembangan kulturalnya) justru berdiri,berbasiskan kondisi-kondisi struktur ekonomi masyarakat yang bersangkutan”.

 

Sehingga dalam fase pertama masyarakat komunis (yang biasanya disebut sebagai sosialisme), “hukum borjuis” tidak akan dapat dihapuskan secara total. Yang dihapuskannya hanya sebagian—yang terkait langsung dengan revolusi—dengan perubahan mendasar dalam hubungan pemilikan alat-alat produksi. “Hukum borjuis” mendefinisikan alat-alat produksi sebagai hak milik,yang dapat dimiliki secara perorangan. Sosialisme menjungkirbalikkannya—memasukkan alat-alat produksi kedalam pemilikan bersama (common property). Sejauh ini—dan hanya sejauh inilah—“hukum borjuis” dilenyapkan.

Betapapun hukum borjuis akan tetap bertahan selama keberadaannya memang masih dibutuhkan. Bertahan dalam kapasitasnya sebagai regulator (faktor penentu) dalam pendistribusian produk dan pemberian jatah kerja di antara anggota-anggota masyarakat. Prinsip sosialisme yang berbunyi, “Dia yang tidak bekerja,tidak pantas makan”,pada titik ini sudah terlaksana. Prinsip sosialisme lainnya, “sejumlah jatah produk yang seimbang,untuk mereka yang telah menyumbangkan sejumlah kerja yang setara pula”, namun ini semua belumlah merupakan komunisme. Karena (sistem) “hukum borjuis” yang mempunyai hakekat—memperlakukan individu-individu secara berbeda-beda—masih berlaku.

Hal ini merupakan “cacat” yang akan tetap melekat dalam fase pertama komunisme. sEhingga bila kita tidak ingin jatuh ke dalam utopisme……Kita tidak boleh berpikir,bahwa segera setelah penggulingan kapitalisme…. Rakyat dengan sendirinya akan dapat menata diri dalam masyarakat baru tanpa patokan/aturan hukum apapun. Di samping itu,harus dicamkan bahwa penghapusan kapitalisme tidak dengan sendirinya menciptakan prasyarat ekonomi bagi perubahan di atas.

Untuk itulah,masih dibutuhkan keberadaan Negara. Keberadaan Negara,terutama untuk menjalankan fungsi : pengamanan kepemilikan bersama atas alat-alat produksi. Juga—dalam tahapan ini—untuk memastikan dilaksanakannya persamaan dalam kerja maupun pendistribusian produk-produk.

Negara melenyap ketika tidak ada lagi kapitalis,tidak ada lagi klas-klas—dan sebagai konsekuensinya—tidak ada klas yang dapat ditindas.

Namun negara belum sepenuhnya melenyap,karena keberadaannya masih dibutuhkan untuk menjaga “hukum borjuis”. Menopang keberadaan “hukum borjuis” yang kita ketahui benar watak dan hakekatnya. Untuk melenyapkan Negara secara total,diperlukan keberadaan yang sejati dari Komunisme.

 

4.      Fase Lanjutan; Masyarakat Komunis Yang Lebih Maju

 

Marx menulis :

“Dalam fase lanjutan dari masyarakat komunis,syarat-syarat ini diatasi terlebih dahulu;….. setelah penundukan dan penaklukan individu-individu ke dalam pemmbagian kerja (division of labour) dapat dihapuskan… setelah dikotomi antara kerja mental (mental labour) di satu pihak,dengan kerja fisik (physical labour) di lain pihak,berhasil dilenyapkan…… setelah kerja tidak lagi menjadi sekedar keharusan,agar manusia dapat bertahan hidup;Ketika kerja telah menjadi kebutuhan utama—suatu kemuliaan—yang tidak dapat dipisahkan bagi manusia …… setelah segenap daya kekuatan produktif telah ditingkatkan sedemikian rupa…… ketika daya kekuatan produktif—secara bersamaan—telah meningkatkan taraf perkembangan kemanusiaan secara menyeluruh… dan ketika buah-buah kemakmuran dan kerjasama telah begitu melimpah ruah… hanya setelah syarat-syarat ini dilampaui,dan hanya setelah inilah… cakrawala yang sempit dan terbatas dari hukum borjuis dapat ditinggalkan,dapat dicampakkan sepenuh-penuhnya. Dari situ….masyarakat akan mengibar-ngibarkan panji-panji—yang berterakan—“dari tiap manusia,sesuai kemampuannya;bagi tiap manusia,sesuai dengan kebutuhannya!”.

            Baru sekaranglah kita dapat mengapresiasi peringatan Engels secara lebih profesional. Sekarang jelaslah bagi kita, betapa tepatnya kecaman tanpa ampun yang dilancarkan oleh Engels;terutama ketika ia memperolok-olokkan pencampuradukan ungkapan “kebebasan” dan “Negara”. Selama Negara masih ada, tidak ada tempat yang cukup untuk meletakkan kebebasan. Dengan demikian,ketika ada kebebasan,tidak akan ada lagi Negara.

            Basis ekonomi bagi pelenyapan Negara scara total,terletak pada pembangunan komunisme pada taraf setinggi-tingginya. Taraf yang dapat meleburkan dikotomi—yang memisahkan/mengasingkan—antara kerja mental dengan kerja fisik. Lebur dan lenyapnya dikotomi tersebut,menandakan kelenyapan salah satu sumber pokok ketimpangan dalam masyarakat modern. Suatu sumber pokok ketimpangan yang tak dapat diatasi,semata-mata dengan pengambilalihan alat-alat produksi ke dalam pemilikan umum;dengan merebutnya dari tangan para kapitalis.

            Pengambilalihan tersebut di atas membuka jalan bagi daya kekuatan produktif untuk berkembang sepenuh-penuhnya. Pada titik ini akan terlihat jelas bagi kita,betapa kapitalisme selama ini telah begitu menghambat/memasung perkembangan daya kekuatan produktif. Namun seberapa cepat proses ini akan terwujud. Berapa cepat proses ini akan mewujudkan syarat-syarat pencapaian masyarakat komunis tahap lanjutan—sebagaimana yang telah dikedepankan oleh Marx—kita belum tahu.

            Itulah sebabnya kita hanya akan membicarakan tentang keniscayaan melenyapnya Negara. Dan mengedepankan hakekat dari proses ini yang akan begitu berlarut-larut;karena sangat bergantung pada kecepatan perkembangan fase/tingkatan yang lebih tinggi (maju) dari komunisme. Persoalan tentang waktu yang dibutuhkan untuk mencapai proses tersebut—dan persoalan tentang bentuk-bentuk konkret dari pelenyapan Negara—masih merupakan pertanyaan yang terbuka untuk kita tanggapi. Karena sampai saat ini belum ada basis material untuk menjawab pertanyaan ini.

            Negara akan dapat benar-benar dilenyapkan ketika masyarakat menerima aturan hukum baru : “Bagi setiap orang sesuai dengan kemapuannya;bagisetiap orang sesuai dengan ketuhannya”. Ketika masyarakat telah berhasil menghayati aturan-aturan fundamental dalam interaksi sosial… ketika kerja telah menjadi begitu kreatif dan produktif; sehingga masyarakat dapat secara bebas menentukan—jenis maupun bidang kerja—sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Maka ketika itulah cakrawala sempit dan kerdil dari hukum borjuis akan dicampakkan. Sehingga tidak perlu ada lagi alasan untuk berbuat licik dan bersifat dengki…. Hanya karena orang yang satu bisa bekerja lebih sedikit daripada yang lainnya; ataupun seseorang mendapatkan lebih banyak upah daripada  yang lainnya. Dengan demikian masyarakat tidak perlu lagi mengadakan berbagai regulasi—untuk mengatur jalan dan jumlah distribusi produk-produk—karena tiap orang akan mengambil barang-barang/produk-produk “sesuai dengan kebutuhan masing-masing” secara bebas.

            Dari kacamata kaum borjuis, kesemua ini dianggap sebagai utopis semata. Dengan sinis kaum borjuis akan memperolok-olokkan semua ini tanpa mengkajinya terlebih dahulu. Mereka benar-benar tidak mau menerima kalau setiap orang diperkenankan secara leluasa—tanpa tekanan/tanpa paksaan sdikitpun—mendapatkan hak,menerima produk-produk konsumsi tanpa harus dituntut/dipaksa melakukan kerja;tanpa perlu diawasi/dikontrol oleh pihak majikan/mandor/pengawas. Para sarjana dan pemikir borjuis berkutat dengan kesimpulan bahwa ini semua hanya utopia belaka. mEreka berusaha menyakinkan kita semua,bahwa hanya kapitalisme saja yang betul-betul realistis dan dapt dipercaya.

            Kepicikan. Itulah kuncinya. Kepicikan,kesempitan dan keterbatasan cara pandang. Itulah semua, yang membatasi dan menghalangi kaum borjuis,untuk sanggup melihat indahnya cakrawala yang membentang di luar cakrawala yang terkungkung di bawah kapitalisme. Sekali lagi,kaum borjuis tetap berkutat pada kesimpulan mereka. Mereka berkutat,bahwa hanya mekanisme kerja dan bentuk pengawasan kerja konvensional yang berlaku saat ini saja (di bawah kapitalisme) yang akan tetap bertahan dan berlaku selama-lamanya !

            Camkan hal ini. Sampai dicapainya tahapan yang lebih maju dalam masyarakat komunis, kita akan tetap mengharapkan kontrol seketat mungkin dari masyarakat. Kita juga akan tetap memanfaatkan keberadaan Negara untuk melakukan pengawasan yang ketat atas patokan penerapan kerja,maupun porsi/jatah yang “adil” atas kebutuhan konsumsi. Namun semua kontrol dan pengawasan ini harus diarahkan—pertama-tama dan tertuma—terhadap pengambilalihan alat-alat produksi dari kapitalis. Dan pengambilalihan ini akan dilaksanakan oleh kaum buruh yang dipersenjatai,bukan oleh sekelompok birokrat Negara.

            Apa yang dapat ditangkap dari bantahan-bantahan para pemikir borjuis ? pembelaan egoistis yang dilakukan oleh para idolog borjuis (dan para pengikut-pengikutnya seperti Tseretelis,Chernovs,dll),berpangkal pada pencampuadukan mereka—atas agenda masa depan (tentang tahap lanjutan masyarakat komunis)—dengan agenda politik keseharian masa kini. Pada kenyataannya,ketika seorang profesor terpandang kaum borjuis,berbicara tentang apa yang disebutnya sebagai demagogi kaum Bolshevik… ketika ia berbicara tentang kemustahilan “memperkenalkan” sosialisme…. Sesungguhnya yang dimaksudkan olehnya adalah mengenai tahapan lanjutan masyarakat komunis. Problemnya adalah,orang-orang sekaliber ideolog-ideolog borjuis inipun;ternyata tidak sanggup memahami pembedaan tahapan-tahapan dalam masyarakat komunis. Problemnya lebih parah lagi ketika mereka berbicara tentang kemustahilan “memperkenalkan” sosialisme. Kita tidak pernah satu kalipun berpikir atau berbicara tentang memperkenalkan sosialisme,karena sosialisme memang tidak akan pernah dapat sekedar “diperkenalkan” !

            Di sini kita akan msuk pada pembahasan yang dilakukan oleh Engels. Tepatnya pemilahan yang dilakukan oleh Engels antara komunisme dengan sosialisme (yang sempat kita kutip dalam bab-bab sebleumnya). Pada kesempatan yang sama Engels juga mengkritk ketidaktepatan istilah “Sosial Demokrasi”. Secara politis,pembedaan—antara tahapan awal masyarakat komunis dengan tahapan lanjutannya—adalah benar-benar dahsyat. Namun adalah sangat naif,sangat menggelikan bila kaum borjuis hendak melakukan pembedaan saat ini juga—di bawah “kegelapan” dan keterbatasan syarat-syarat yang masih berlaku dalam kapitalisme—(baca: di bawah kepicikan dan keterbatasan mereka sendiri)

            Betapapun,pemilahan yang ilmiah atas sosialisme dan komunisme dapat diletakkan sebagai berikut. Apa yang biasa disebut sebagai sosialisme, diidentifikasi oleh Marx sebagai tahapan “awal” masyarakat komunis. Suatu tahapan yang masih mensyaratkan alat-alat produksi di bawah kepemilikan bersama (common property). Sumbangan penting Marx dalam hal ini—adalah konsistensinya. Konsistensi Marx dalam menerapkan teori perkembangan dialektika materialis,kesanggupannya menunjukkan komunisme sebagai sesuatu yang terlahir keluar dari rahim kapitalisme. Marx tidak pernah mencari-cari definisi. Marx juga tidak pernah terlarut dalam kebiasaan yang dilakukan oleh para pemikir skolastik—berdebat dan bertengkar tak habis-habisnya—tentang istilah,tentang kata-kata (misal,apakah ini,apakah itu ?). yang dilakukan oleh Marx adalah memberikan analisi tentang tahapan-tahapan kematangan ekonomi dalam komunisme.

            Dalam tahapan awalnya,komunisme belum lagi matang secara ekonomis,dan belum sepenuhnya terbebas dari bekas/peninggalan/tradisi kapitalisme. Adalah menarik untuk mencermati kenyataan bahwa dalam tahapan awalnya;komunisme masih mempertahankan “cakrawala sempit hukum borjuis”. Juga untuk mencermati konsekuensinya. Kebutuhan untuk mendistribusikan barang-barang konsumsi mensyaratkan keberadaan peraturan/hukum borjuis;hukum borjuis itu sendiri mensyaratkan keberadaan Negara. Mengapa demikian ? karena apalah artinya keberadaan hukum borjuis,tanpa ditopang oleh aparatus Negara yang sanggup memaksakan/memberlakukan dan mengontrol pelaksanaan hukum itu sendiri. Aku akan menggarisbawahi,bahwa di bawah komunisme,akan terbentang suatu masa. Suatu masa dimana bukan hukum borjuis akan tetap diberlakukan—bahkan Negara borjuis akan tetap berdiri—tanpa kehadiran/keberadaan kaum borjuis itu sendiri !

            Hal ini akan nampakseperti sebuah paradoks atau sebuah dialektika di tingkat pikiran. Sebagaimana yang sering dituduhkan oleh para pengkhianat Marxisme. Oleh orang-orang yang tidak mau dan tidak sanggup—merepotkan diri—untuk mempelajari Marxisme secara serius… oleh mereka yang terlampau tolol untuk menangkap bobot intisari Marxisme yang begitu simple namun mendalam. Namun, para musuh-musuh rakyat membuat bingung dirinya sendiri,dengan mencampuradukkan tahapan-tahapan dalam masyarakat komunis secara terpisah atau bahkan hendak mengujinya secara empiris belaka.

            Marx sendiri tidak pernah—secara iseng-iseng atau bahkan secara sewenang-wenang—menyelipkan “hukum borjuis” ke dalam komunisme. Yang dilakukan oleh Marx adalah menunjukkan secara akurat,secara konsisten—memperihatkan signifikansinya secara ekonomi-politk—bahwa keberadaan sisa-sisa hukum borjuis itu adalah konsekuensi yang tidak terhindarkan,dari sebuah masyarakat yang dilahirkan dari kandungan kapitalisme.

            Demokrasi adalah sesuatu yang penting bagi klas pekerja. Sesuatu yang penting bagi klas pekerja,dalam perjuangan pembebasannya dari cengkeraman para penghisap. Sehingga demokrasi bukanlah sesuatu yang dapat diloncati begitu saja. Karena ia merupakan satu dari tahapan langkah-langkah yang terbentang pada suatu jalan. Jalan terbnetang antara feodalisme dan kapitalisme;jalan yang juga terbentang antara kapitalisme dan komunisme.

            Demokrasi juga mensyaratkan kesetaraan (equality). Namun perlu dibedakan antara signifikansinya sebagai bagian dari perjuangan proletariat dan kesetaraan (sekedar) sebagai jargon. Cara membedakannya adalah dengan menguji tujuannya. Kesetaraan (equality) yang sejati adalah,yang mengabdikan dirinya sebagai sarana untuk penghapusan klas-klas. Namun kita tidak boleh terlena oleh demokrasi. Karena hakekat dari demokrasi itu sendiri,yang hanyalah kesetaraan formal. Sehingga setelah dicapainya kesetaraan dalam hubungan kepemilikan alat-alat produksi,oleh segenap anggota masyarakt…setelah dicapainya kesetaraan antara kerja dan upah….kita ditantang untuk memajukan kesetaraan,dari tingkat formal ke tingkat yang aktual. Yakni,dengan mengejawantahkan aturan baru, “dari tiap orang sesuai dengan kemampuannya,bagi tiap orang sesuai dengan kebutuhannya”. Sedangkan pertanyaan : Lewat berapa rangkaian tahap—persisnya—dengan alat ukur praktis apakah kita akan mengkalkulasi proses ini… kita belum tahu jawabannya. Dan kita tidak layak mengklaim telah mengetahuinya,sebelum tahapan itu sendiri berlangsung.

            Demokrasi dalah salah satu variasi dari bentuk Negara. Sebagaimana Negara pada umumnya,sebagai konsekuensinya—di satu pihak demokrasi merepresentasikan penggunaan kekerasan secara sistematis pada orang-oarang—di lain pihak, demokrasi menandakan pengakuan secara formal atas kesetaraan  bagi semua warga negara. Pengakuan atas hak yang sama untuk ikut mengatur dan menentukan struktur Negara. Pada gilirannya,semua hal ini akan bermuara pada sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa tahap tertentu dalam perkembangan demokrasi—mula-mula demokrasi akan membuka ruang bagi klas tertindas,untuk menyatukan diri. Menyediakan sarana melawan kapitalisme. Dan menyediakan syarat-syarat untuk menggantikan Negara borjuis dengan mesin Negara baru,yang jauh lebih demokratik (walau harus dicamkan,walau dalam bentuknya yang barupun,tetaplah sebuah Negara jua). Sebuah Negara yang dibentuk oleh klas buruh yang dipersenjatai.

            Di titik inilah ‘kuantitas meningkat menjadi kualitas”. Dengan demikian tingkat demokrasi di atas mensyaratkan,dilampauinya batas-batas keberadaan masyarakat borjuis;dan dimulainya reorganisasi sosialis. Ketika semua orang sungguh-sungguh didorong untuk mengambil bagian dalam pengaturan Negara;kapitalisme tidak akan dapat bertahan terlampau lama. Yang artinya perkembangan kapitalisme telah menyediakan prasyarat-prasyarat bagi penguburan dirinya sendiri. Prasyarat-prasyarat tersebut diantaranya : pemberantasan buta huruf,yang telah dituntaskan pada negara-negara kapitalis maju. Berikutnya adalah “pelatihan dan pendisiplinan”. Pemberian pelatihan maupun pendisiplinan bagi jutaaan pekerja—dalam derajat tertentu—telah berhasil memberikan pendidikan dan pengetahuan bagi kaum buruh. Baik mereka yang bekerja di pabrik-pabrik perniagaan ataupun jasa pengangkutan pos,dll.

            Setelah penggulingan kapitalisme,bebekal prakondisi-prakondisi di atas banyak hal yang harus dikerjakan. Yang terpenting diantaranya,yakni : pemberian ‘pekerjaan baru’ bagi para (mantan) pemodal dan birokrat. Para pemodal dan birokrat ini akan mendapatkan “pekerjaan baru”, diantaranya—dalam bidang produksi dan distribusi,atau melakukan tugas penghitungan hasil produksi,dll—sebagaimana layaknya buruh di pabrik. Dan sebaliknya fungsi pengawasan dan kontrol atas keseluruhan proses ini,justru dilakukan oleh kaum buruh yang dipersenjatai. (Persoalan tentang fungsi kontrol/pengawasan maupun perihal tata buku—yang akan dikerjakan oleh kaum buruh—jangan dicampuradukkan dengan para ahli dalam bidang-bidang ilmu eksakta seperti ahli fisika,ahli botanika,ahli biologi,bioteknologi,para insinyur maupaun para pakar nuklir,dsb. Para ilmuwan ini sudah bekerja dengan cukup baik di bawah kepentingan kapitalisme,namum mereka akan bekerja lebih baik lagi di bawah kontrol kaum buruh yang dipersenjatai).

            Agar fase awal dari masyarakat komunis dapat berjalan dengan mulus,ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian ekstra. Yakni fungsi kontrol dan ketatabukuan. Fungsi ini harus dipegang oleh klas buruh. Mengapa demikian ? Karena semua warga akan ditransformasikan (baca : diberikan “pekerjaan baru”),yakni menjadi pegawai semacam Negara. Semua warga menjadi pegawai dan pekerja sebuah “Negara Perusahaan” (baca: sebuah perusahaan tunggal yang sedemikian besarnya,perusahaan tunggal itu adalah Negara itu sendiri,pent.). kewajiban yang dituntut dari pegawai dan pekerja “baru” tersebut adalah—mereka hanya diminta untuk bekerja secara proposional—itu saja;dan sebagai imbalannya mereka akan menerima upah yang proporsional juga. Fungsi kontrol dan ketatabukuan telah begitu disederhanakan,dengan perkembangan kapitalisme. Sehingga diasumsikan bahwa tiap buruh dewasa yang bisa baca tulis akan sanggup mengerjakannya.

            Keseluruhan masyarakat akan menjadi sebuah pabrik “maha besar”,sebuah kantor “maha besar”,dengan kesetaraan dalam kerja dan upah. Mekanisme pendisiplinan yang demikian ketat (ala disiplin “pabrik”) ini, tidaklah dirancang secara sewenang-wenang ataupun kejam. Tidak. Mekanisme pendisiplinan ini berhubungan dengan tujuan kita. Sehingga keseluruhan mekanisme dan proses dalam pabrik “maha besar” ini;bertujuan untuk menjernihkan,memurnikan masyarakat—dari “cacat”dan “penyakit-penyakit bawaan” yang diidap—selama hidup di bawah kapitalisme. Tujuannya tidak lain untuk mempersiapkan masyarakat untuk dapat bergerak maju,menuju tahapan yang lebih tinggi.

            Ketika semua anggota masyarakat—atau setidaknya,mayoritas di antaranya—telah berhasil menata dan mengelola Negara secara mandiri,juga ketika masyarakat telah berhasil melakukan kontrol dan mendisiplinkan segelintir kaum pemodal/birokrat ataupun mereka yang masih suka memelihara kebiasaan-kebiasaan buruknya yang kapitalistis…Maka mulai dari sini,kebutuhan untuk melakukan pengaturan/penataan/pengelolaan—dalam berbagai jenisnya—justru mulai memudar. Perlahan-lahan pengaturan dalam berbagai bentuknya tersebut mulai tidak dibutuhkan lagi oleh masyarakat. Karena masyarakat telah siap untuk menata dirinya sendiri,tanpa perlu pengaturan dari ‘luar’. Maka pintu gerbang—dari fase awal menuju fase lanjutan dari masyarakat komunis—telah terbuka lebar….dan dengan demikian tuntaslah proses pelenyapan Negara.



[1]



 

 

 

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template