Headlines News :
Home » » MITOS, IDEOLOGI, DAN ILMU

MITOS, IDEOLOGI, DAN ILMU

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 02.14

Bagian Pertama

Knowledge is Power (Michel Foucault) Sejarah kesadaran keagamaan umat Islam Indonesia ini sudah pernah saya kemukakan pada 1985. Pada tahun itu periodisasi sejarah kesadaran keagamaan umat yang mutakhir ke dalam Periode Ilmu masih merupakan intuisi dan prediksi sejarawan berdasarkan kesadaran tentang waktu, proses, perkembangan, dan perubahan. Kata Marc Bloch, sejarah adalah a science of human evolution. Sekarang, ada alasan kuat untuk mengemukakannya kembali. Pada 2001 ini periode mutakhir itu sudah menjadi kenyataan: Periode Ilmu sudah dicapai. Pencapaian Periode Ilmu itu disebabkan oleh mobilitas sosial secara individual, perkembangan sejarah umat Islam Indonesia sendiri, dan karena hubungan internasional umat melalui penerbitan serta hubungan institusional.

Artikel ini terpengaruh oleh Hukum Tiga Tingkatan yang di antaranya dipakai oleh Auguste Comte (1798-1857) untuk mendefini
sikan bahwa evolusi pemikiran manusia itu mengalami tiga ting kat, yaitu teologis, metafisis, dan positif. Karenanya, kita pun akan membagi tingkat itu menjadi tiga, yaitu mitos, ideologi, dan ilmu. Kita akan menghubungkan mitos dengan petani, ideologi dengan kaum terpelajar, dan ilmu dengan kelompok profesional. Ketika umat Islam mengalami mobilitas sosial, berubahlah alam pikirannya. Mobilitas sosial pasti disertai mobilitas kultural, cepat atau lambat.

Periode Mitos

Periode ini berlangsung sebelum dan pada abad ke-19 serta awal abad ke-20. Bahkan, tanda-tanda periode ini masih akan ditemukan sisa-sisanya selama masih ada petani. Mitos adalah 'suatu konsep tentang kenyataan yang mengandaikan bahwa dunia pengalaman kita sehari-hari ini terus-menerus disusupi oleh kekuatan-kekuatan yang keramat', demikian kata Berger dan Luck mann. Mitos adalah juga salah satu bentuk kebudayaan, yang menurut Ernst Cassirer adalah agama, filsafat, seni, ilmu, mitos, sejarah, dan bahasa. Dalam sejarah Indonesia mitos jauh lebih tua umurnya daripada sejarah. Cerita dan tokoh wayang adalah mitos murni, sedangkan kisah dan tokoh para wali adalah mitos bercampur sejarah. Hikayat, tambo, dan babad berisi mitos. Bahkan, buku Sejarah Melayu juga berisi mitos itu, sekalipun memakai nama 'sejarah'. Tidak seperti sejarah yang berdasar kebenaran fakta, kisah dalam mitos juga berdasar fakta tetapi selalu disamarkan.

Di Indonesia ada mitos lama, ada mitos baru, dan ada mitos kontemporer. Mitos lama itu yang kebanyakan berupa legitimasi, seperti misalnya 'raja-raja adalah turunan para nabi dan dewa', 'raja adalah titisan dewa', 'raja mendapat pulung kerajaan', dan 'raja mempunyai wahyu nurbuwat yang memberi hak memerintah. Ada lagi mitos yang mengungkapkan pandangan hidup, seperti misalnya ruwatan untuk wong sukerta (orang kotor), raksasa makan bulan waktu gerhana, larangan dan sanksi, dan bermacam keharusan.

Penjajah menambah mitos tentang 'pribumi yang malas', 'pribumi dapat hidup dengan sebenggol (dua setengah sen), dan 'pribumi yang suka memberontak'. Mitos baru yang biasanya berupa mitos politik, seperti misalnya 'Belanda dikalahkan jago kate bersenja ta tebu wulung', 'Jepang memerintah seumur jagung', 'Noyogenggong
dan Sabdopalon akan kembali setelah 500 tahun menghilang', 'gemah ripah loh jinawi karto raharjo', 'Indonesia dijajah 350 tahun',
'Indonesia Raya', '6000 tahun Sang Merah Putih', 'Pancasila Sakti', 'Sang Saka yang keramat', dan 'pemimpin itu selalu benar'. Mitos kontemporer kebanyakan bersifat komersial, seperti 'keperkasaan pria', 'ramuan Madura', 'kelangsingan tubuh', 'hotel berbintang', 'kebugaran tubuh', 'kualitas ekspor', 'sepak bola', dan 'tinju dunia'. Kita lihat bahwa komersialisasi mitos kontemporer itu kebanyakan terjadi setelah ada budaya massa. Dari macam-macam mitos, akan jelas bahwa mitos bukan khas milik petani, dan bukan milik satu kebudayaan saja. Namun ada yang sama di antara mitos-mitos itu. Mitos-mitos itu menurut George Sorel sebagaimana dituturkan kembali oleh Ben Halpern adalah di antar anya bersifat irasional.

Di masa lalu petani selalu tertekan, selalu ada di lapis terbawah dalam hierarki kekuasaan, baik kekuasaan pribumi maupun Belanda. Maka petani secara irasional mengharapkan datangnya Ratu Adil alias Imam Mahdi alias Herucakra yang akan membebaskan mereka dan menjadikan mereka hidup dalam tatanan dunia yang lebih baik. Maka, di bawah ini akan diberikan tiga contoh gerakan sosial berdasar mitos. Satu tentang Ratu Adil abad ke-19, satu dari pergantian abad ke-20, satu lagi dari awal abad ke-20.

Pada 1871 ada gerakan Ratu Adil dipimpin oleh Achmad Ngisa di Banyumas. Ia meramalkan bahwa Pangeran Erucakra akan datang,
lengkap dengan tentaranya berupa hantu, lelembut, dan binatang
beracun. Erucakara akan memimpin perlawanan terhadap pemerintahan asing, mengusir orang-orang asing dari negeri ini, dan memperbo lehkan mereka kembali dengan syarat masuk Islam dan membatasi diri dalam perdagangan. Setelah orang asing terusir, akan muncul tiga orang raja; satu dari Majapahit, satu dari Pejajaran, dan satu lagi dari Kalisalak (Pekalongan). Pada 1904 ada Peristiwa Kasan Mukmin di Sidoharjo. Ia mengaku dirinya sebagai Imam Mahdi.

Ia seorang pengikut tarekat Naqsyabandiyah, tidak mempunyai langgar sendiri, tetapi mengajarkan ngelmu-nya secara rahasia. Murid-muridnya percaya bahwa ia sanggup menghadapi musuhnya sendirian, sebab mempunyai keris yang dapat berputar-putar di udara. Pengikut-pengikutnya dengan senang ikut pemberontakan karena dijanjikan surga. Ia memimpin dzikir dan membagikan air zamzam sebelum berperang pada 27 Mei 1904, bertepatan dengan hari Garebeg Mulud. Akibat dari perang itu 40 orang meninggal, 20 luka-luka, dan 83 ditawan. Pada 1920 terdapat gerakan Imam Mahdi di Gombong yang dipimpin oleh Raden Mashadi alias Gusti Ahmad. Tetapi, ia dipenjarakan sebelum sempat melakukan perlawanan.

Periode mitos dapat dikatakan sudah berakhir menjelang abad ke-20. Namun, mitos-mitos masih ada sepanjang abad ke-20, bahkan
pada awal abad ke-21 ini sebagai kebudayaan yang ketinggalan zaman (cultural lag). Kerusuhan berupa penutupan jalan dengan penebangan pohon-pohon di tepinya, pengrusakan sarana-sarana pendidikan dan ibadah, dan pembakaran kantor sebuah partai yang terjadi pada Mei 2001 di Jawa Timur menunjukkan bahwa sekalipun periode mitos sudah berakhir, tetapi mitos-mitos masih hidup. Setidaknya ada dua ciri mitos yang muncul, yaitu irasionalitas dan adanya pemujaan terhadap Ratu Adil. Mitos itu dilengkapi dengan pasukan berani mati, olah kanuragan, dan pimpinan keaga maan.

Kata orang pandai, tidak ada yang tidak berubah di bawah
kolong langit kecuali perubahan itu sendiri. Maka, perubahan-
perubahan akan terus terjadi. Petani akan jadi farmer, artinya
petani yang berkebudayaan kolektif akan menjadi petani yang
berkebudayaan individual, petani jadi petani-pengusaha. Petani
yang semula hanya anut grubjuk dan tidak berani berbeda dengan tetangganya sesama petani akan jadi petani yang mandiri. Tanda- tanda ke arah itu sudah sejak lama tampak. Banyak petani yang menanami tanahnya dengan hortikultura berbeda dengan petani lain yang menanam padi secara monokultur. Desa sosial akan jadi desa ekonomi, artinya desa-desa yang semula adalah suatu closed corpo rate community, desa tertutup, yang anggotanya memelihara satuan sosial desa dengan bermacam upacara, saling kenal, dan kerja sama, akan menjadi desa terbuka di mana anggota-anggotanya hanya melihat desa sebagai satuan administratif.

Dalam desa ekonomi sambatan dan gotong-royong hilang, karena jika dihitung-hitung lebih ekonomis mempekerjakan tenaga kerja upahan yang profesion al. Orang hidup di desa, tapi tidak lagi menjadi bagian desa, orang lebih sebagai bagian dari kelas, pekerjaan, dan hobinya. Agriculture menjadi agro-business, artinya petani yang semula menanam untuk konsumsi sendiri menjadi petani yang menanam untuk pasar. Ia menanam apa yang laku di pasar, yang menguntungkan, bukan menanam untuk cadangan makan keluarga. Untuk makan keluar ga, ia dapat membelinya di pasar. Dalam kondisi semacam itu sebenarnya mitos-mitos akan hilang, tetapi kesadaran lebih lamban perubahannya daripada perubahan fisik.


Periode Ideologi

Baru saja dikemukakan bahwa tidak ada yang tidak berubah dalam sejarah, kecuali perubahan itu sendiri. Tetapi supaya ada perubahan, sejarah perlu punya kekuatan sejarah. Kekuatan sejarah
itu dalam periode ideologi dan dalam periode ilmu yang terpent ing ialah adanya mobilitas sosial atau tepatnya mobilitas sosial ke atas (vertical social mobility), menyusul itu ialah adanya pribadi kreatif (creative personality) dan minoritas kreatif (creative minority) sebagai inisiatornya. Keduanyalah yang akan diikuti oleh massa.

Dalam periode ideologi ini terdapat perpindahan lokasi gerakan Islam, yaitu dari desa ke kota. Demikian pula kepemimpi nan sosialnya, dari seorang ulama ke orang biasa. Pada 1911 berdirilah di Laweyan, sebuah kecamatan di kota Solo yang menja di pusat perdagangan batik sehingga mengalami mobilitas sosial ke  atas, yaitu Sarekat Islam (SI). Gerakan itu tidak lagi dipimpin oleh elite desa (ulama, tokoh kharismatis, kiai) tetapi oleh elite kota (orang biasa, pedagang), Haji Samanhudi, seorang pribadi kreatif awam.

Adapun minoritas kreatifnya ialah Mas Marco, HM Bakrie, H Hizyam Zainie, dan sebagainya. Tetapi, perpindahan lokasi dan kepemimpinan sosial itu tidak serta-merta menjadi perubahan dalam alam pikiran umat. Masih ada sumpah, tetapi kalau dulu orang bersumpah setia hanya pada pemimpin, sekarang orang bersumpah setia pada organisasi dan pimpinan. Sumpah masih diperlukan, sebab pengikut SI adalah priyayi rendah, pedagang, dan petani yang bodoh. Perkembangan SI mengagumkan. Hanya dalam waktu setengah tahun telah terdaftar 20 ribu orang.

Cepatnya perkembangan SI itu disebabkan oleh empat hal,
yaitu SI mewakili wong cilik, SI adalah gerakan Ratu Adil, SI
mendapat restu dari Sunan, dan SI adalah organisasi Islam. SI sungguh mewakili wong cilik, karena sudah ada organisasi priyayi, yaitu Budi Utomo. SI dipersangkakan sebagai gerakan Ratu Adil, karena pengikutnya mempunyai harapan mileranistis. SI mendapat restu dari Sunan, karena puteranya, Pangeran Hangabehi, di kemu dian hari diangkat jadi Penasihat SI. Sebagai organisasi Islam, karena SI-lah organisasi pertama yang memakai nama Islam. Volun tary association Islam itu merupakan loncatan sejarah, karena sebelumnya semua gerakan Islam selalu bertumpu pada orang.

 

Selasa, 28 Agustus 2001

Bagian Kedua dari Tiga Tulisan

Rupanya kenyataan bahwa SI cepat berkembang membuat
berang pejabat kolonial. Pantas kalau pendirinya, Haji Samanhudi, mendapat cemooh dari pejabat Belanda. Dr Rinkes dari Kantoor voor Inlandsche Zaken menggambarkannya sebagai penjudi, suka bergaul dengan para wanita buruk, gonta-ganti isteri, dan seorang
pedagang merangkap sebagai rentenir yang 'awoke one morning and found himself famous' ('bangun suatu pagi, dan tiba-tiba sudah menjadi terkenal'). Tidak hanya dari pejabat Belanda, tetapi juga dari priyayi pribumi SI mendapat kecaman, kali ini mengenai penggunaan agama. Dr Radjiman, seorang tokoh Budi Utomo, menyangsikan bahwa agama dapat jadi perekat sebuah gerakan massa. Ia meramalkan bahwa SI hanya gerakan sementara dari haji, santri, dan orang-orang bodoh. Tentu, para pejabat Belanda dan para priyayi pribumi tidak tahu bahwa SI kemudian mengalami metamorfose.

Perubahan yang signifikan terjadi pada tahun 1914, ketika
kepemimpinan dipegang oleh Tjokroaminoto, pribadi kreatif yang lainnya, seorang elite terpelajar lulusan Osvia (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren, Sekolah Pendidikan Pegawai Bumiputera), sekolah yang sangat terhormat waktu itu. Pada tahun 1915 --tepatnya 26 Juli 1915, di Jagalan, Surakarta-- ia memberi bobot ideologis (kata 'ideologi' tidak pernah tercantum dalam organisasi Islam mana pun) pada gerakan SI. Katanya, ''de Islam is de godsdienst van de armen en de verdrukten,'' (Islam adalah agama bagi orang miskin dan orang tertindas). Sejak itu --kalau kita diminta menunjuk sebuah tanggal-- mulailah sungguh-sungguh kesa daran keagamaan umat berubah dari periode mitos ke periode ideologi.

Tetapi, apakah ideologi itu? Jorge Larrain dalam The Con
cept of Ideology
mengatakan bahwa ideologi 'merujuk pada sistem pendapat, nilai, dan pengetahuan yang berhubungan dengan kepentingan kelas tertentu yang cara berpikirnya mungkin berbeda-beda'. Dari definisi ini dapat diketahui dengan jelas perbedaan antara ideologi dan mitos. Ideologi jelas pertimbangannya (pendapat, nilai, pengetahuan) mengapa orang bergerak, sedangkan dalam mitos orang bergerak hanya ikut Sang Pemimpin, hanya dengan prasangka.

Perbedaan antara mitos dan ideologi sebagai gerakan sosial
ialah: dalam mitos orang tidak peduli dengan ada atau tidaknya fakta tetapi hanya mengikuti pendapat pemimpin, sedangkan dalam ideologi orang melihat fakta-fakta sosial dengan subjektivitas tanpa mempedulikan apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam mitos orang hanya menyesuaikan diri dengan kelompok, sedangkan dalam ideologi orang mempunyai kepentingan dan menyalurkannya secara kolektif. Dalam mitos orang mendasarkan diri tidak pada pertimbangan yang masuk akal tetapi pada emosi, sedangkan dalam ideologi orang sudah berpikir berdasar perhitungan-perhitungan. Mitos hanya meliputi wilayah yang kecil, sedangkan ideologi mencakup wilayah kerja yang luas, wilayah nasional. Dalam mitos orang bergerak tanpa tahu tujuannya dan hanya asal mencari tatanan yang lebih baik, sedangkan dalam ideologi tujuannya ialah membangun kembali masyarakat seperti yang diidamkan.

Sebelum kemerdekaan, adanya ideologi dalam kesadaran keagamaan umat Islam diwakili dengan baik oleh SI seperti di atas. Ideologi mereka yang tentu saja tidak tercantum dalam anggaran dasar adalah (1) anti-kolonialisme dan (2) anti-feodalisme, sebab kolonialisma dan feodalisme-lah yang dianggap bertanggung jawab atas kemiskinan dan ketertindasan umat.

Ideologi anti-kolonialisme SI tampak setidaknya dua kali --sekalipun kedua-duanya secara tidak terus terang. Pertama, meskipun SI-SI lokal dan pada mulanya para pemimpin, termasuk Tjokroaminoto, tidak setuju, tetapi

CSI dengan segan menerima militie plicht (wajib militer) pada 1915. Kedua, SI Solo mencoba mempermalukan otoritas Belanda dengan mendukung nasionalisme Jawa; pada tahun 1915 SI Solo ikut merayakan secara besar-besaran perkawinan ke-2 Pakubuwono X. Adapun sikap anti-feodalisme itu tampak di antaranya dalam upa
cara, bahasa, dan agama.

Dalam upacara-upacara SI akan mengguna
kan tambur dan bukan gamelan seperti layaknya priyayi. Dalam bahasa dengan bersemangat SI mendukung gerakan Jawa Dipo (bahasa Jawa ngoko tanpa tataran) yang bergerak dari Surabaya mulai 1918.

Dalam agama SI menuntut diadilinya penghina Nabi dari Solo yang pasti dari tradisi abangan (yang menyebut Nabi sedang mabuk waktu menerima wahyu) pada 1918 dengan membentuk Comite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad di SI-SI lokal. Penghina Nabi dari tradisi abangan itu tidak bisa diadili karena masih tergolong bangsawan yang ada di bawah yurisdiksi Sunan.

Marxisme mulai berpengaruh dalam perpolitikan Indonesia
sekitar Perang Dunia I. Penyebar Marxisme dengan tepat memilih SI Semarang untuk disusupi, sebab Semarang menyediakan SDM untuk tumbuhnya gagasan kesadaran kelas. Semarang adalah kota pelabuhan
dan stasiun kereta api. Sudah ada organisasi buruh kereta api.

Kaum buruh itu sudah mengalami proletarianisasi. SI Semarang yang ada di bawah Semaun pada 1916 berkembang dengan pesat. SI Semarang yang telah terpengaruh oleh Marxisme itu menjadi penentang CSI dalam taktik melawan kolonialisme; CSI kompromistis dan SI Semarang radikal.

Pada tahun 1920 Semaun menjadi Ketua PKI (Perserikatan Komunis di India) tanpa melepas keanggotaan SI. Pada 1923 ada 'SI-Merah' dan ada 'SI-Putih' yang menunjukkan bahwa SI telah pecah menjadi SI kiri dan SI kanan.

Akan tetapi, dalam kongres tahun 1923 itu juga SI menerapkan disiplin partai untuk menghabisi pengaruh 'SI-Merah'. 'SI-Merah' kemudian menjadi Sarekat Rakyat dan akhirnya melebur ke dalam PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam tahun 1924. Dengan meleburnya Sarekat Rakyat ke dalam PKI, maka lengkaplah sudah perangkat organisasi kesadaran kelas. PKI berhadapan dengan SI, Marxisme dengan Pan-Islamisme. Pertentangan antara kesadaran kelas dan kesadaran keagamaan itu terus dibawa ke sesudah kemerdekaan.

Wakil dari periode ideologi setelah kemerdekaan yang paling
vokal ialah Masjumi. Sebagai pewaris dari SI, Masjumi selalu
mencetak kembali buku Tjokroaminoto, Socialisme Islam (1924) berkali-kali. Rekonstruksi sejarah mengenai ideologi ini semata-
mata berdasar apa yang dikerjakan, tidak bedasarkan apa yang
tercantum dalam asas.

Ideologi Masjumi ialah (1) anti-komunis, (2) negara demokrasi (yang sering dipersangkakan sebagai negara Islam), dan (3) anti-diktatorisme. Sebagai kekuatan anti-komunis lewat Hisbullah-Sabilillah Masjumi aktif dalam penumpasan pemberontakan komunis pada 1948. Sejak itu sampai membubarkan diri pada 1960 Masjumi jadi musuh PKI dengan isu 'Negara Islam' yang dibeli oleh orang luar dan umat Islam sendiri. Sebagai demokrat ia ikut dalam demokrasi parlementer, kabinet, pemilu, dan Konstituante. Sebagai anti-diktatorisme Masjumi yang melihat tanda-tanda itu dalam Demokrasi Terpimpin dan pada 1957 mencoba menolaknya, tetapi justru peran politiknya yang berakhir. Pada 1960 Masjumi menyatakan diri bubar.

Praktis tidak ada partai politik Islam di masa Orde Baru,
bahkan sebelum deideologisasi partai dan ormas secara resmi berlaku pada 1985. Sesudah Reformasi pada 1998 memang ada partai-partai lama dan baru dengan ideologi Islam, seperti PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PBB (Partai Bulan Bintang), dan PK (Partai Keadilan). Tetapi, belum jelas benar apa arti ideologi itu bagi mereka, masih bersifat formal.

 

Periode Ilmu

Mobilitas sosial vertikal yang mendatangkan kekayaan berkat
perdagangan, bagi umat Islam selain melahirkan ideologi, juga mempersiapkan Islam memasuki periode ilmu. Keduanya mempunyai perbedaan dan persamaan. Perbedaannya ialah lahirnya ideologi pada awal abad ke-20 sangat cepat evolusinya, periode ilmu evolusinya memerlukan waktu yang jauh lebih lama, yaitu sekitar 75 tahunan. Persamaannya ialah periode ideologi didahului dengan mitos, periode ilmu juga ada pendahulunya. Periode ilmu yang merupakan proses ambil-alih ilmu-ilmu modern, didahului dengan proses ambil-alih substansi dan metodenya, sebelum pada akhirnya ia diberi substansi keislaman. Apakah beda antara ideologi dan ilmu? Keterangan di bawah ini akan membuat keduanya jelas. Mengenai fakta ideologi meli
hatnya secara subjektif, sedangkan ilmu melihatnya secara objektif.

Barangkali sebuah contoh konkret akan memperjelas perbedaan ini. Pada tahun-tahun 1960-an PKI melihat fakta secara subjektif dengan tidak memasukkan Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia, organisasi Cina perantauan) sebagai borjuasi, hanya karena PKI berkepentingan dengan dana mereka.

Padahal, jelas-jelas Baperki adalah borjuasi tulen. Mengenai analisis, ideologi akan melihatnya berdasar norma organisasi, sedangkan ilmu melihatnya sesuai dengan fakta di lapangan. Lagi-lagi kita contohkan bagaimana PKI melihat situasi. Di desa-desa di mana tuan tanah tidak ada, PKI terpaksa mengangkat lurah desa yang mempunyai tanah dan bengkok lebih lima hektar sebagai tuan tanah, karena demikianlah norma partainya.

Mengenai metode, struktural artinya ideologi menggunakan perangkat politik, sedangkan kultural artinya ilmu menggunakan kekuatan kebudayaan. Rekonstruksi total, artinya ideologi menghendaki supaya masyarakat berubah secara keseluruhan dan serempak. Rekonstruksi parsial, artinya ilmu hanya menghendaki perubahan yang terperinci dan satu per satu.

Sejarah munculnya periode ilmu itu demikian. KH Ahmad Dahlan adalah pribadi kreatif yang memulai gerakan Islam, Muhammadiyah, pada 1912 di kampung Kauman, Yogyakarta. Muhammadiyah mengadopsi ilmu-ilmu modern sepenuhnya dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, kepanduan, dan perkumpulan sepak bola.

Sekolah-sekolah Muhammadiyah menyebabkan dan mendorong adanya mobilitas sosial. Mula-mula mobilitas itu hanya melahirkan elite terpelajar yang terdiri dari guru, pegawai negeri, dan pegawai perusahaan, seperti pada umumnya sekolah-sekolah Belanda.

Namun, pada sekitar 1980-an mobilitas itu --sekalipun tidak selalu terkait dengan Muhammadiyah-- telah melahirkan elite baru, yaitu kaum profesional yang terdiri dari eksekutif, akademisi, pegawai tinggi, intelektual, dan sebagainya. Peristiwa yang merupakan hasil evolusi sosial yang panjang itu secara resmi ditandai dengan munculnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) pada 1990, organisasi Islam non-politik dan ormas non-sektarian. 

 

Rabu, 29 Agustus 2001

Bagian Ketiga (Habis)

Para ahli mengenai Indonesia, yang berpendidikan Barat
maupun berpendidikan Indonesia sendiri, gagal memahami perbedaan yang fundamental tentang kaum terpelajar dan kaum profesional dan menyebut kedua-duanya dengan nama yang sama, kelas menengah. SI, Muhammadiyah, Masyumi, dan ICMI dipersangkakan lahir dari kelas
yang sama. Kegagalan ini jelas sumbernya, yaitu literatur sosiologi yang berasal dari pengalaman masyarakat Barat.

Dalam masyarakat Barat tidak ada gelombang mobilitas so
sial. Amerika, misalnya, memang sejak mula adalah negeri kelas menengah. Orang-orang yang bersemboyan ''free labor, free soil'' menjelang Civil War adalah kelas menengah yang terdiri dari kaum industrialis. Mereka akan diuntungkan jika ada tenaga kerja bebas, bukan perbudakan seperti terjadi di Selatan. Di Perancis
sudah tersedia kaum bourgeoisie sejak Zaman Pertengahan. Mereka yang menjadi pendukung Absolutisme dan Revolusi 1789 adalah kelas menengah. Dalam masyarakat Indonesia ceritanya lain. Pemer
intah kolonial membatasi mobilitas sosial dengan memberi kualifi kasi tertentu pada orangtua calon siswa untuk memperoleh pendidi kan. Akibatnya, Gelombang Pertama mobilitas sosial hanya menghasilkan kaum terpelajar. Gelombang Kedua dari mobilitas sosiallah
yang melahirkan kaum profesional, dan itu terjadi setelah kemer dekaan.

Lahirnya periode ilmu itu sudah menjadi wacana pada 1960-an, namun baru pada 1990-an hal itu menjadi kenyataan. Selain ICMI, kaum profesional itu juga menghasilkan Periode Ilmu. Dalam periode ini apa yang oleh Muhammadiyah dulu substansi dan metodenya
diambil dari khazanah dunia modern, sekarang substansi itu sepenuhnya diganti dengan Islam. Ada gejala yang sama dari periode ini, yaitu perlunya Islam menjadi agama yang objektif (untuk siapa saja, tanpa memandang predikatnya; memandang sesuatu sebagai sebenarnya, tanpa dipengaruhi keyakinan pribadi). Adapun hasil periode ini dapat dilihat setidaknya dalam tiga bidang, yaitu ilmu ekonomi Islam dan aplikasinya, politik praktis, dan
pemikiran agama. Dan, yang sudah di ambang pintu ialah lahirnya psikologi Islam.

Sebagai teori, Ilmu Ekonomi Islam sudah lahir duluan, tetapi penerapannya mulai dengan adanya periode ilmu. Pada saat inilah umat menerapkan ekonomi Islam (ekonomi syariah) sebagai sebuah sistem yang netral dan objektif. Ada perbankan, ada sekolah, ada kursus, dan ada agribisnis. Dalam politik praktis juga demikian.

Objektivitas itu berupa adanya pengakuan akan pluralisme dalam agama, kebudayaan, bahasa, dan warna kulit. Politik dalam Periode Ilmu mempertemukan agama-agama dengan menunjukkan moralitasnya yang objektif. Dalam pemikiran agama, periode ini menghendaki supaya Islam juga semakin objektif ke luar dan ke dalam.

Penerapan ekonomi syariah dimulai dengan menggarap institusinya yang paling modern, yaitu perbankan. Perbankan Islam (bank syariah) dimulai pada 1992 oleh sejumlah minoritas kreatif di sekitar MUI (Majelis Ulama Indonesia) dengan berdirinya BMI (Bank Muamalat Indonesia). Sudah itu ada 18 bank Islam berdiri, dan
yang terakhir ialah Bank BNI Syariah pada 2001. BMI-lah yang paling banyak mempunyai cabang dan produk. BMI juga mendirikan BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah) dan BMT (Baitul Mal wa-Tamwil). Sekalipun Indonesia mengalami krisis ekonomi berkepanjangan dan banyak bank-bank umum gulung tikar, sebab mengalami
negative spread, kredit macet, dan tidak dapat memenuhi rasio kecukupan modal CAR (Capital Adequacy Ratio), namun bank-bank syariah tetap hidup. Pada bank-bank syariah tidak ada negative
spread (selisih negatif antara pengeluaran untuk bunga deposito dan penerimaan dari bunga kredit dan lain-lain), karena sistemnya adalah bagi hasil.

Adapun bagi hasil yang kebanyakan berlaku pada perbankan adalah al-musyarakah dan al-mudharabah. Al-musyarakah adalah
perjanjian antara dua pihak untuk usaha tertentu. Masing-masing pihak dalam al-musyarakah memberi kontribusi dana atau amal dengan kesepakatan bahwa risiko ditanggung bersama. Al-mudharabah adalah akad kerja sama, dengan pihak pertama menyediakan dana seratus persen, sedangkan pihak kedua --dalam hal ini ialah bank-- menjadi pengelola.

Selebihnya, sekolah-sekolah tinggi ekonomi syariah juga
bermunculan, baik yang berdiri sendiri maupun yang diikutkan program lain. Di Yogyakarta ada SEM (Syari'ah Economic and Management) Institute yang menawarkan Keuangan dan Perbankan Syariah, Akuntansi Syariah, dan Manajemen Syariah. Belum ada riset mengenai hal ini, sehingga keberadaan sekolah-sekolah lain belum
diketahui, termasuk kursus-kursus.

Selain itu, ada eksperimen perusahaan agribisnis di Sukabumi, Jawa Barat, yang menjalankan usaha berdasar syariah Islam (al-mudharabah). Sedemikian jauh usaha itu sangat menguntungkan, baik bagi investor, manajemen, petani, maupun buruh. Manajemen berha
sil menanggulangi masuknya pemodal besar dengan cara bermacam-macam.

Dalam politik praktis Periode Ilmu menghasilkan PAN (Partai
Amanat Nasional) yang berdiri pada 1998. Pribadi kreatif dan ketua pertamanya adalah M Amien Rais, mantan ketua PP Muhammadiyah. Minoritas kreatifnya banyak, sehingga tak adil menyebutnya satu per satu. Ada dua hal yang patut dicatat bagi perkembangan kesadaran keagamaan umat Islam, yaitu moralitas agama dan kemajemukan (Anggaran Dasar, Pasal 6, ''Identitas'', [''moralitas agama,
kemanusiaan, kemajemukan'']). Keduanya adalah ajaran agama yang dibuat sebagai gejala objektif. Moralitas agama berasal dari akhlqul karimah (moral yang baik) dan kemajemukan berasal dari ajaran tentang ta'aruf (saling memahami) serta rahmatan lil alamin (rahmat untuk dunia [semua orang]). Moralitas agama berarti bahwa agama Islam akan menyimpan wataknya yang subjektif untuk diri-sendiri dan kelompoknya, dan hanya memperlihatkan wataknya yang objektif itu kepada umum, sedangkan kemajemukan berarti bahwa Islam mengakui adanya pluralisme, dan yang sekaligus juga menjadi praktik politik.

Tetapi, PAN menghadapi kendala. Seorang saksi mata mengatakan bahwa Kongres I PAN, 10-13 Februari 2000 di Yogyakarta sangat mengejutkan banyak orang Islam. Pluralisme adalah gejala baru bagi mereka. Biasanya orang Islam hanya berkumpul bersama orang Islam, sekarang mereka harus berkumpul dengan orang Tionghoa,
Katolik, Kristen, Buddha, dan Hindu. Kongres itu dibuka tanpa Gema Wahyu Ilahi. Kemudian langsung Lagu Kebangsaan dan Hymne PAN. Lalu lagu-lagu mars, dinyanyikan oleh 'gadis-gadis SunSilk' tanpa kerudung. Ibu-ibu berkerudung rerasan, tampak terheran-heran, ''Lho, ini katanya partai Islam, lha kok begini!'' Mohon diketahui, itu juga partai Islam, partai Islam yang objektif, partai Islam yang dewasa.

Dalam pemikiran agama untuk pribadi yang sesuai sebagai
pemikir dan yang paling terprogram --tidak ad hoc-- dalam Periode Ilmu saya mencalonkan M Amin Abdullah dari IAIN Sunan Kalijaga.

Kata orang dia mampu menyihir pendengar-pendengarnya dan memberi inspirasi intelektual. Pada hemat saya programnya ada tiga, yaitu menjadikan agama sebagai gejala objektif, budaya agama yang mengikuti zaman, dan ilmu agama yang objektif dan kritis.

Pertama, ia ingin supaya Islam yang hanya subjektif, Islam yang spiritual, menjadi Islam yang objektif dengan menunjukkan moralitas keislaman ke luar. Hal itu seharusnya tidak mengherankan bagi pengikut Muhammadiyah, sebab sudah dikemukakan sejak
lama, yaitu dalam Suwara Muhammadiyah (No 2, Th 1915), bahwa akhlaq mahmudah (akhlak terpuji) harus menggantikan mistisisme, yang biasa menjadi praktik waktu itu. Kedua, ia ingin mereformulasi gerakan tajdid (pembaharuan Islam). Seperti diketahui
gerakan pembaharuan dalam Muhammadiyah sudah berumur 90 tahun, sehingga perlu terus-menerus direformulasikan, supaya ketertinggalan dalam interpretasi agama dan sosial-budaya tidak terjadi

Ketiga, ia ingin supaya ilmu-ilmu Islam semakin objektif dan kritis. Hal itu dia kerjakan dengan memperkenalkan hermeneutika (ilmu penafsiran, penafsir terlibat dalam tafsirannya, penulis tecermin dalam tulisannya) untuk menggantikan semiotika (ilmu tentang tanda, analisis menggunakan bahasa). Hasilnya mengagumkan: kritik atas tafsir, kritik atas kumpulan Hadits, dan kritik atas kitab kuning. Kebetulan selain ada pribadi yang sesuai, ada sejumlah orang yang mendirikan PSW (Pusat Studi Wanita) pada 1995 di IAIN Sunan Kalijaga yang mengurusi soal-soal jender dalam Islam. Lembaga itulah yang dapat menjadi tempat persemaian bagi program M Amin Abdullah yang ketiga.

Ada pertanyaan, setelah Periode Ilmu lalu periode apa? Jawabannya begini. Pertama, ilmu itu ada spesialisasinya. Karena itu nanti yang ada ialah perluasan bidang. Dalam hal Islam, sudah barang tentu hanya ilmu yang memungkinkan diberi substansi Islam.

Kedua, ilmu itu tidak pernah berhenti. Dalam buku The Structure of Scientific Revolution Thomas S Kuhn mengatakan bahwa setelah sebuah ilmu itu mapan ia menjadi normal science dan setelah
beberapa lama, lalu ada scientific revolution lalu timbullah paradigma baru. Paradigma baru suatu waktu jadi normal science, dan seterusnya tanpa henti.

Simpulan
Pertama, perkembangan kesadaran keagamaan umat Islam Indonesia tidak merupakan evolusi yang lurus, artinya yang kemudian tidak menggantikan yang lebih dulu, tetapi tumpang-tindih (overlapping). Kedua, tahapan terakhir masih di tangan pribadi dan minoritas yang kreatif, sebagaimana dahulu gerakan modernis menjadi minoritas di tengah-tengah umat tradisionalis. Ketiga, perkembangan kesadaran keagamaan umat ditentukan oleh mobilitas sosial, tidak oleh kekuasaan politik. Keempat, politik sama sekali tidak berperan.

Perkembangan kesadaran keagamaan terus
melaju dengan syarat ada mobilitas sosial, tidak dengan syarat ada kekuasaan. Baik dalam masa penjajahan Belanda, ketika umat dipinggirkan Orde Baru, ketika umat berada di atas angin waktu Habibie, maupun ketika politik selalu gonjang-ganjing seperti sekarang, sama saja keadaannya. Kelima, dalam Al-Mujadalah ayat
11 disebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang berilmu. Sebaliknya, tidak satu pun ayat menyebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang berkuasa.

Oleh karena itu umat Islam akan jaya berkat pengetahuan, bukan berkat kekuasaan. Itulah sebabnya artikel ini bersemboyan Knowledge is Power yang berasal dari Michel Foucault.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template