Headlines News :
Home » » PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI

PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 02.19

Pendahuluan

           

Didalam menyongsong masa depan pada umumnya orang sependapat bahwa tidak ada sesuatu yang pasti. Para ahli dapat saja membuat berbagai ramalan atau prediksi namun akurasi dari ramalan atau prediksi tersebut tidak dijamin. Dalam keadaan yang sedemikian, sesuatu yang pasti adalah perubahan atau change itu sendiri. Perubahan terjadi secara terus-menerus dalam skala dan intensitas yang semakin meningkat. Khususnya dalam dua tiga dekade terakhir ini, perubahan tersebut telah terjadi dalam skala dan intensitas yang sangat tinggi. Pendorong utama dari perubahan ini adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan yang sangat pesat dalam pemahaman kita tentang dunia diterapkan dan dikembangkan secara cepat dan meluas dalam berbagai bidang seperti industri, pertanian, kedokteran dan jasa. Berbeda dengan masa sebelumnya, tingkat kecepatan yang membawa perubahan ini, menembus batas-batas nasional  (footloose). Dengan demikian, ilmu pengetahuan, teknologi dan pengetahuan manajerial cepat menyebar sehingga menambah jumlah bangsa yang memiliki kemampuan teknis untuk produksi dan rekayasa. Hal ini lebih dimungkinkan lagi oleh kemampuan teknis untuk produksi dan rekayasa. Hal ini lebih dimungkinkan lagi oleh kemampuan dan kecepatan komunikasi misalnya dalam bidang transportasi, satelit dan jaringan komputer. Oleh karena itu, cakupan dari berbagai kegiatan produksi termasuk penelitian, rekayasa, produksi dan pemasaran dalam banyak sektor industri telah berkembang menjadi global. Dengan demikian, kemampuan teknologi jauh lebih menyebar di kalangan negara-negara industri maupun di negara-negara yang sedang mengalami proses industrialisasi. Hal ini sekaligus mengakhiri peranan tunggal Amerika Serikat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Keunggulan teknologi dan industri Amerika Serikat sampai dengan permulaan dekade 1970-an menyebabkan arus teknologi berlangsung satu arah yakni dari Amerika Serikat ke negara lain di dunia. Akan tetapi sejak pertengahan dekade 1970-an pola tersebut telah berubah menjadi pola multi arah.

           

Sejalan dengan hal tersebut, telah terjadi pula perubahan pesat di bidang sosial budaya masyarakat. Kriteria mengenai pembangunan sosial yang sebelumnya bersifat lokal berkembang menjadi kriteria yang bersifat global. Pendidikan merupakan faktor utama yang menggerakkan perubahan yang terjadi tersebut. Dan dalam bidang pendidikan ukuran mengenai perkembangannya mengikuti standar internasional. Kecenderungan yang serupa terjadi pada bidang apresiasi budaya di mana terlihat kebangkitan kembali kesadaran akan seni dari berbagai anggota masyarakat di dunia (the art boom). Telah merupakan pembicaraan umum bahwa apa yang diuraikan di atas merupakan sebagian dari karakteristik era yang akan dihadapi di dalam abad mendatang yaitu era globalisasi. Dalam makalah ini, akan ditelaah mengenai kompleksitas era globalisasi ini dan peranan pendidikan didalamnya.

            

Globalisasi          

 

Perubahan yang terjadi dan melanda dunia setelah masa Pencerahan  (Aufklarung) lazim disebut modernisasi. Banyak definisi diberikan mengenai modernisasi ini. Sejak pertengahan abad ini, berbagai ahli telah mengartikan modernisasi sebagaimana terlihat dalam definisi berikut:

 

Modernization is a type of social change directed by a rational belief whereby new social roles and new inter relationship among roles emerge. Modernization refers to those social changes that generate institutions and organizations like those found in advanced industrial societies. (Feldman A.S. and Hurn C, ..., p....) The term "modern" has many denotations and carries a heavy weight of connotations. It is applied not only to men, but to nations, to political systems, to economies, to cities, to institutions such as schools and hospitals, to housings, to clothes, and to manners. (Inkeles, Smith & David H., 1974, p. 15) Sedangkan Anthony Giddens (1990), seorang pakar sosiologi modern,menyatakan bahwa: Modernity refers to modes of social life or organizations which emerged in Europe from about the twentirth century onwards and which subsequently became more or less worldwide in their influence.

 

Pada dasarnya definisi tersebut di atas menghubungkan modernisasi dengan suatu periode waktu dan dengan suatu lokasi geografis, dimana karakteristik utama dari proses ini tidak terungkap. Pada mulanya, terminologi ini muncul sebagai akibat upaya sekelompok ahli pembangunan di Amerika Serikat untuk mengembangkan suatu alternatif terhadap pendekatan Marxis mengenai pembangunan sosial. Dari sudut pandang sosiologi, teori modernisasi menjelaskan modernisasi dengan merujuk pada awal mula dari proses yang disebutkan Talcott Parsons sebagai differensiasi struktural. Ini adalah proses yang dapat didorong oleh berbagai cara, namun yang sangat mungkin disebabkan oleh perkembangan teknologi atau nilai-nilai. Sebagai akibat dari proses ini, lembaga/institusi berlipat ganda, struktur yang sederhana dari masyarakat tradisional ditransformasikan ke dalam struktur yang kompleks dari masyarakat modern, dan nilai-nilai berkembang menyerupai apa yang terdapat di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Dalam alur berpikir ini, maka modernisasi dapat dilihat baik sebagai proses maupun suatu keadaan. Dan lazimnya keadaan modern dilihat sebagai lawan dari keadaan tradisional. Pendekatan ini banyak mempengaruhi pendekatan pembangunan yang diterapkan oleh banyak negara, khususnya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dengan pendekatan tinggal landasnya.Kalau kita mencermati karakteristik masyarakat modern, maka nyatalah bahwa terdapat pula karakteristik tradisional di dalamnya, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian referensi waktu dan tempat tidaklah tepat untuk membedakan tradisional dan modern; yang sesuai ialah pemahaman secara kontekstual. Seperti disebutkan oleh Giddens (1996) bahwa setiap phase perubahan itu mempunyai hakikat yang khusus  (intrinsic nature). Selanjutnya Giddens mengatakan: "Obviously there are continuities between the traditional and the modern, and neither is cut of whole cloth; it is well known how misleading it can be to contrast these two in too gross a fashion". (1965, P.4).

 

Dalam alur pikir ini pulalah sehingga dalam perkembangan selanjutnya, khususnya menjelang akhir abad ke-20, muncul pendapat dari sekelompok ahli yang berbicara mengenai era pasca modernisasi atau Post-modernity (Jean-Francois Lyotard, 1985).Nampaknya, masalah utama yang menyebabkan berbagai perbedaan pendapat tentang perubahan sosial yang terjadi ini ialah karena kita peristiwa-peristiwa yang kita sendiri tidak sepenuhnya memahaminya. Dengan demikian, untuk memahami hal-hal ini tidak cukup dengan sekedar menciptakan terminologi baru seperti pasca modernisasi dan sebagainya, akan tetapi lebih tepat kalau kita menelaah kembali hakikat dari modernisasi itu sendiri.

 

Demikianlah dengan perubahan dalam kehidupan masyarakat yang berkembang dengan sangat pesat, maka muncullah pendapat bahwa era yang akan kita hadapi dalam abad mendatang adalah era globalisasi. Intinya adalah bahwa segala kegiatan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat berlangsung secara global. Dalam hubungan ini Robertson(1992) merumuskan globalization sebagai "... the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole". (Robertson, R., 1992, p.8).Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa globalisasi menyangkut munculnya sistem budaya global. Budaya global ini dibawa oleh berbagai perkembangan sosial, budaya dan teknologi (misalnya kehadiran sistem informasi melalui satelit dunia), kehadiran pola global mengenai konsumsi dan konsumerisme, pengembangan gaya hidup

kosmopolitan, munculnya olahraga global (seperti olimpiade, kompetisi sepakbola dunia dan lain-lain), penyebaran wisata dunia, menurunnya kedaulatan negara bangsa (nation state), perkembangan sistem militer global, pengenalan tentang krisis ekologi berskala dunia, perkembangan masalah gangguan kesehatan berskala dunia  (seperti AIDS), berperannya sistem politik dunia seperti PBB, gerakan politik dunia seperti Marxisme dan Kapitalisme, peningkatan kesadaran akan HAM, serta semakin intensifnya antar agama dunia. Intinya, globalisasi menyangkut kesadaran baru bahwa dunia adalah satu tempat tinggal. Globalisasi disebutkan pula sebagai "the concrete structuration of the world as a whole", yakni kesadaran yang berkembang pada tingkat global bahwa dunia adalah sebuah lingkungan yang dibangun secara berkelanjutan. Dengan demikian, globalisasi lebih dari sekedar sosiologi hubungan international. Juga berbeda dari teori sistem dunia (world system theory) yang menganalisis perkembangan dari kesaling tergantungan ekonomi global dan yang mengklaim bahwa budaya globalisme adalah sekedar konsekuensi dari globalisasi ekonomi. Juga perlu dihindari pemahaman globalisasi dari thesis awalnya yang mengatakan bahwa globalisasi adalah "convergence of nation states towards a unified and coherent form of industrial society". Teori yang mutakhir mengatakan globalisasi terdiri dari dua proses yang bertentangan yakni homogenisasi dan diferensiasi dan bahwa terdapat interaksi yang kompleks diantara lokalisme dan globalisme, dan bahwa terdapat gerakan yang kuat melawan proses globalisme. Argumentasi tersebut di atas penting untuk sosiologi tradisional yang terus memfokuskan diri pada nation state dibandingkan dengan fokus terhadap dunia sebagai suatu sistem masyarakat.           

 

Dalam ungkapan yang lain Kotter (1995) mengatakan: Globalization is the product of many forces, some of which are political (no major was since 1945), some of which are technological (faster and cheaper transportation and communication), and some of which are economic (mature firs seeking growth outside their national boundaries) (p. 42)Lebih jauh lagi, Robertson yang mengkonsepsikan phase sejarah ke dalam beberapa phase, menempatkan tingkat kepadatan dan kompleksitas global dalam tingkatan yang tinggi. Phase-phase sejarah Robertson adalah sebagai berikut:

 

Phase I: Phase awal (The Germinal Phase).

Phase ini berlangsung di Eropa dari permulaan abad ke-15 sampai pertengahan abad ke-18. Pada phase ini terjadi pertumbuhan awal komunitas nasional dan pemekaran sistem transnasional abad pertengahan; pengembangan wawasan gereja Katolik, penekanan konsep individu dan ide tentang kemanusiaan; munculnya teori Heliosentrik tentang dunia dan permulaan dari geografi modern; serta penyebaran kalender Gregory.

 

Phase II: The Incipient Phase.

Phase ini berlangsung pada dasarnya di Eropa dari pertengahan abad 18 sampai dengan tahun 1870-an. Pada phase ini terjadi peralihan yang tajam ke arah ide homogenitas, dan negara kesatuan; kristalisasi konsep-konsep hubungan internasional yang formal, kewarganegaraan individu yang baku, dan konsepsi kemanusiaan yang lebih konkrit; peningkatan yang tajam dalam konvensi-konvensi yang legal dan agen-agen yang menyangkut aturan-aturan komunikasi internasional dan transnasional; serta terjadinya ekshibisi internasional. Pada phase ini pula mulai timbul masalah mengenai ijin masuk masyarakat bukan Eropa ke dalam masyarakat internasional, serta masalah nasionalisme dan internasionalisme.

 

Phase III: Phase Tinggal Landas (The Take-Off Phase).

Terjadi diantara tahun 1870-an sampai dengan pertengahan tahun 1920-an. Tinggal landas di sini merujuk pada satu periode dimana terjadi kecenderungan globalisasi daripada periode sebelumnya ke arah satu bentuk tunggal yang berpusat pada 4 butir rujukan, yakni: masyarakat nasional, generic individuals (dengan bias pria), masyarakat international yang tunggal, serta konsepsi kemanusiaan yang semakin cenderung tunggal tetapi tidak bersatu. Phase ini merupakan awal mula munculnya masalah modernisasi konsepsi global yang semakin berkembang tentang kerangka yang benar mengenai masyarakat nasional; munculnya ide tentang identitas nasional dan pribadi; pengikutsertaan sejumlah masyarakat bukan Eropa ke dalam masyarakat internasional; serta formalisasi internasional dan upaya implementasi ide tentang kemanusiaan. Pada phase ini juga terjadi globalisasi batasan-batasan imigrasi, peningkatan yang sangat tajam dalam jumlah dan laju bentuk global komunikasi, munculnya novel-novel internasional yang pertama, bangkitnya gerakan oikumene, serta pengembangan kompetisi-kompetisi global seperti olimpiade dan hadiah Nobel. Penerapan waktu dunia dan kalender Gregory, serta Perang Dunia I juga terjadi pada fase tinggal landas ini.

 

Phase IV: The Struggle for Hegemonic Phase.

Phase ini berlangsung pada pertengahan sampai dengan akhir tahun 1920-an. Pada phase ini timbul perselisihan dan perbedaan pendapat mengenai proses globalisasi yang terbentuk pada akhir periode tinggal landas. Pada phase ini juga terjadi pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) penetapan prinsip kedaulatan Nasional, perbedaan konsepsi tentang modernitas yang diikuti oleh puncak perang dingin (perselisihan di dalam proyek modern) serta kristalisasi dunia ke-3.

 

Phase V: The Uncertainty Phase.

Dimulai sejak akhir tahun 1960-an dan menunjukkan kecenderungan-kecenderungan krisis pada akhir tahun 1990-an. Pada tahun 1960-an ini terjadi peningkatan kesadaran global, pendaratan di bulan, penekanan terhadap nilai-nilai pasca materialisme, berakhirnya perang dingin, dan penampakan masalah hak-hak asasi serta akses yang meluas terhadap senjata nuklir.

 

Trend Perkembangan Pendidikan di Dunia

           

Pembaharuan dalam bidang pendidikan merupakan suatu karakter dunia modern. Hal tersebut pada dasarnya berkisar pada persepsi bahwa pendidikan merupakan menara gading dan bahkan pelopor pembaharuan. Segi kognitif pendidikan tetap mendapatkan prioritas yang tinggi dalam proses pendidikan, namun masalah integrasi proses dan hasil belajar dengan kehidupan yang nyata dan dengan masa depan semakin meminta penekanan-penekanan baru. Khususnya kurikulum pendidikan, seyogyanya dirancang untuk memberikan pengalaman-pengalaman yang merangsang peningkatan kreativitas, intelektualitas, dan daya analisis. Kurikulum harus menyajikan hal-hal yang praktis dan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan yang bervariasi, tujuan hidup yang berbeda, serta daya pemahaman terhadap persoalan yang berbeda pula. Pendidikan harus dapat menyajikan kesempatan-kesempatan untuk berbuat dan bertindak berdasarkan apa yang dipahami seseorang maupun kesempatan untuk berteori tentang solusi yang ideal dari berbagai masalah. Dengan singkat, kurikulum harus dapat diperkenalkan kepada anak didik dengan berbagai cara belajar maupun berbagai jenis pengetahuan. Pada gilirannya hal-hal ini mampu mempersiapkan anak didik untuk merencanakan masa depannya dan masyarakatnya, serta berperan aktif dalam merealisasikannya. Revolusi dalam bidang pendidikan mencakup segi kuantitas dan kualitas. Sejalan dengan pertumbuhan dalam bidang ekonomi yang berubah secara pesat, revolusi pendidikan pada akhirnya diarahkan

untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian, maka segi pemerataan dalam bidang pendidikan memegang kunci yang penting.

           

Dari segi kuantitas, pemerataan pendidikan ini telah berlangsung secara mengesankan didalam dua dekade terakhir ini. Di banyak negara, dari segi ratio pendidikan untuk anak didik pada tingkat pertama, terlihat bahwa pada periode tersebut ratio tadi telah mencapai sekitar 100%. Khususnya untuk sebagian besar negara-negara Pasifik, sejak tahun 1984 laju pendaftaran pada tingkat pertama pendidikan telah melebihi 90%. Bagi Indonesia, Nicaragua, Thailand dan Honduras, laju tersebut telah meningkat dari 80% menjadi 100% antara tahun 1975 dan tahun 1984. Untuk jenjang kedua pendidikan, kecenderungan peningkatan terjadi pula di negara-negara Pasifik. Peningkatan yang menonjol adalah peningkatan yang terjadi di Korea, Hongkong dan Meksiko. Sedangkan di negara-negara industri maju, laju pendaftaran pada tahun 1984 telah melebihi 80%, kecuali di Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Korea yang telah melebihi 90%. Pada tingkat pendidikan tinggi kecenderungan yang sama terjadi di banyak negara-negara Pasifik, di Thailand, Korea, dan Philipina. Di negara-negara industri maju, laju pendaftaran mahasiswa untuk pendidikan tinggi berkisar pada satu dari dua sampai empat orang.

Laju pendaftaran yang tertinggi terjadi di Amerika Serikat dan Kanada dengan ration 1 : 2 diikuti oleh Ekuador dan Philipina dengan perbandingan 1 : 3.

 

Dari segi kualitas pendidikan, pada dasarnya ditandai dengan meningkatnya pelaksanaan penelitian-penelitian khususnya penelitian dasar (basic research). Hasil penelitian-penelitian tersebut telah terpadu dalam perkembangan teknologi yang merupakan kekuatan pendorong utama dari perubahan-perubahan yang terjadi didalam masyarakat. Skala dan percepatan perkembangan teknologi ini merupakan kekhususan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Skala perubahannya melampaui batas-batas konvensional, seperti batas nasional negara dan sebagainya, serta percepatannya mengikuti deret ukur. Peningkatan penelitian terlihat dari jumlah dana yang disediakan oleh negara-negara industri maju untuk penelitian. Jerman Barat misalnya, pada tahun 1971 mengalokasikan anggaran penelitian sebesar 2% dari GNP dan pada tahun 1987 meningkat menjadi 3%. Dana penelitian Jepang pada periode yang sama mengalami kenaikan sebanyak 1% pula. Pola yang sama berlaku di dalam peningkatan jumlah peneliti dan ilmuwan. Antara tahun 1965 sampai dengan tahun 1987, telah terjadi peningkatan jumlah peneliti dan ilmuwan (dilihat dari jumlah total tenaga kerja). Di banyak negara, Jepang misalnya, pada tahun 1965 memiliki 25 ahli dari sepuluh ribu tenaga kerja dan pada tahun 1980 telah meningkat menjadi 70 ahli dari sepuluh ribu tenaga kerja. Perancis, Inggris dan Jerman Barat juga mengalami peningkatan meskipun dalam skala yang lebih kecil. Amerika Serikat secara konsisten pada periode yang sama memiliki 65 - 70 orang peneliti dan ilmuwan per sepuluh ribu tenaga kerja.

 

Keadaan tersebut di atas telah membawa iklim baru dalam hubungan antara pendidikan dengan perusahaan. Kecenderungan keterlibatan perusahaan didalam proses pendidikan semakin menonjol. Keterlibatan ini tidak terlepas dari ketidaksesuaian yang terjadi diantara dunia pendidikan dan dunia kerja. Apa yang disiapkan oleh pendidikan dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja tidak sepenuhnya sesuai. Begitu besar ketidaksesuaian tersebut sehingga dunia usaha merasa terpaksa harus memasuki arena pendidikan secara besar-besaran. Tamatan perguruan tinggi sekarang yang tidak siap merupakan beban perusahaan di masa yang akan datang. Untuk itu perusahaan-perusahaan menyelenggarakan pendidikan tambahan sebagai perbaikan terhadap kekurangan tersebut. Disamping itu, pengusaha-pengusaha ikut terlibat sebagai tenaga pengajar di dalam lembaga pendidikan serta memberikan donasi dalam bentuk uang atau peralatan pendidikan.

 

Lebih daripada itu, perusahaan-perusahaan telah pula mempelopori lembaga pendidikannya sendiri. Tercatat lebih dari 25 perusahaan di Amerika melaksanakan pendidikan yang memberikan gelar. Perusahaan Wang, North trop, Arthur Andersen dan Humana memberikan gelar Master, dan Rand Coorporations memberikan gelar Ph.D., bukan hanya untuk karyawannya tetapi juga untuk umum. Tercatat lebih dari 400 kampus dan banyak gedung yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan seperti Xerox, IBM, Pizer dan Control Data. IBM, sebuah raksasa pendidikan, menghabiskan sekitar US $700.000.000 setahun untuk pendidikan karyawannya. Meskipun nampaknya perusahaan-perusahaan cenderung untuk bertindak sebagai saingan di bidang pendidikan, namun hubungan diantara perguruan tinggi dengan perusahaan menjadi semakin kuat.

 

Perguruan tinggi, pada pihak yang lain, cenderung untuk beroperasi sebagai perusahaan. Beberapa faktor di dalam pengelolaan perguruan tinggi telah mendorong hal ini. Misalnya, biaya pengelolaan perguruan tinggi yang semakin tinggi, bantuan pemerintah yang semakin mengecil, dan kompetisi memperoleh mahasiswa yang semakin meningkat. Oleh karena itu, para pengelola perguruan tinggi harus berpikir ekonomis dengan meningkatkan spesialisasi, pemasaran, dan perencanaan strategisnya. Dalam rangka spesialisasi ini perguruan tinggi akan memusatkan perhatian pada bidang-bidang ilmu yang mempunyai keuntungan komperatif (comperatif advantage). Hal ini dapat berarti menghilangkan program pendidikan untuk bidang ilmu yang kurang laris. Pertanda yang lain mengenai kecenderungan perguruan tinggi sebagai perusahaan adalah kecenderungan mengambil atau memilih rektor/presiden universitas yang mempunyai latar belakang sebagai usahawan. Trinity University di San Antonio Amerika Serikat (satu universitas yang tidak terkenal sebelumnya) merupakan contoh bagaimana peranan presiden universitas tersebut meningkatkan popularitas universitasnya untuk termasuk 10 besar dalam hal mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi nasional (national merit). Sebagai bekas pengusaha, presiden universitas tersebut menyediakan beasiswa sebesar US $ 5000 setahun bagi mahasiswa berprestasi dan meningkatkan gaji dosennya sekitar 60%.

 

Kecenderungan lainnya ialah perguruan tinggi telah berupaya pula mengembangkan usaha-usaha yang menghasilkan uang untuk pengelolaan perguruan tinggi tersebut. Usaha-usaha tersebut dapat berupa penyewaan ruangan bagi perusahaan-perusahaan untuk mengadakan pertemuan, melakukan jasa-jasa lain yang menghasilkan pendapatan, dan sebagainya. Secara singkat, sifat kewiraswastaan semakin  berkembang di kalangan pengelola perguruan tinggi.

 

 Kecenderungan Pendidikan Tinggi di Indonesia

 

                Dibandingkan dengan negara tetangganya, pengalaman Indonesia dalam pendidikan tinggi termasuk yang paling singkat. Kedua perguruan tinggi induk di Indonesia yakni Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) baru dibentuk secara resmi pada tahun 1950. Akan tetapi dalam waktu yang relatif singkat perkembangan pendidikan tinggi dan lingkungannya telah cukup mengesankan.

 

Dari segi kuantitas, jumlah perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia adalah sebanyak 48 buah dan menampung sekitar 0,5 juta Mahasiswa serta 40.000 tenaga pengajar. Perguruan tinggi swasta lebih banyak lagi jumlahnya dengan kapasitas menampung mahasiswa dan tenaga pengajar yang lebih besar pula. Angka partisipasi perguruan tinggi (persentase jumlah mahasiswa perguruan tinggi terhadap penduduk berumur 19 - 24 tahun) adalah sebanyak 5,3% pada tahun 1983 - 1984, meningkat menjadi 8,5% pada tahun 1988 - 1989, dan mencapai  11% pada tahun 1993 - 1994 (Tilaar, H.A.R., 1994). Dilihat dari  ratio pendaftaran mahasiswa untuk tingkat perguruan tinggi telah  terjadi peningkatan yang mengesankan dalam dua dekade terakhir ini. Meskipun peningkatan ini mengesankan akan tetapi belum semua lulusan SLTA tertampung di lembaga pendidikan tinggi setiap tahunnya.. Pada tahun 1988 - 1989 tercatat 48% jumlah lulusan SLTA yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dan diduga jumlah ini akan meningkat menjadi 52% pada akhir REPELITA V.

 

Dari segi kualitas, upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi terus dilakukan. Terobosan utama sehubungan dengan ini ialah peralihan sistem pendidikan tinggi dari sistem paket (tradisi eropa kontinental) menjadi sistem kredit (tradisi Amerika) yang dimulai sejak permulaan dekade 1980. Efektivitas peralihan sistem ini masih akan terus diuji oleh pengalaman mengingat tradisi pendidikan Indonesia sejak tingkatan sekolah dasar yang berorientasi pada sistem pendidikan Belanda. Namun mengingat pendidikan tinggi di Indonesia yang singkat tersebut, maka harapan untuk keberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan selalu ada.

 

Ditinjau dari latar belakang mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi, kecenderungan pemerataan telah mulai nampak. Pemuda-pemuda dari latar belakang sosial ekonomi rendah dan dari daerah-daerah berhasil memasuki perguruan-perguruan tinggi negeri pembina seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gajah Mada (UGM). Perguruan tinggi mulai menampakkan keterbukaan dan lebih mementingkan prestasi. Ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri seperti SIPENMARU dan PMDK yang telah dipraktekan selama beberapa tahun merupakan indikator mengenai hal ini. Di kalangan tenaga pengajar upaya meningkatkan prestasi atau mutu cenderung meningkat. Hal itu terutama disebabkan oleh persaingan menjadi tenaga pengajar mulai ketat. Selain itu semakin banyaknya dosen muda yang melanjutkan pelajaran mendapatkan S2 dan S3 di dalam negeri maupun luar negeri yang merupakan insentif bagi tenaga dosen senior untuk meningkatkan pengetahuannya dan mutu materi kuliahnya.

 

Penataan bidang ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi mulai dilakukan oleh departemen pendidikan dan kebudayaan. Bidang ilmu sosial yang paling "laris" dan menampung jumlah mahasiswa yang sangat banyak mulai ditertibkan. Untuk membuka suatu perguruan tinggi yang baru sekarang ini dibutuhkan minimum 2 fakultas dalam bidang ilmu eksakta. Pembukaan politeknik diberikan peluang yang besar.

 

Dalam pengelolaan perguruan tinggi, kecenderungan untuk semakin meningkatkan usaha wiraswasta semakin menonjol. Hal ini khususnya terlihat pada perguruan tinggi negeri yang selama ini didukung pembiayaannya melalui anggaran pemerintah. Sedikit demi sedikit terlihat pelepasan tanggung jawab pengelolaan dari pemerintah kepada masing-masing perguruan tinggi. Dalam hubungan itu keterkaitan perguruan tinggi dengan usaha swasta mulai menampakkan dirinya. Kontrak di bidang penelitian dan pendidikan antara usaha swasta dan perguruan tinggi mulai dilaksanakan. Minat para pengusaha pribumi terhadap pendidikan telah mulai nampak. Dapat dicatat disini Akademi Wiraswasta Dewantara yang dibuka oleh pengusaha Probosutejo dan kemudian bergabung ke dalam Universitas Mercubuana. Demikian pula Universitas Sahid Jaya yang dimiliki oleh Sahid Jaya Group.

 

Pada sisi lainnya, pendidikan tinggi telah dimanfaatkan sebagai lembaga usaha dagang. Oleh karena angka partisipasi perguruan tinggi yang masih rendah dan pembangunan yang berkembang semakin pesat, kemungkinan untuk menarik mahasiswa ke dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang sedemikian cukup besar. Dari pengalaman terlihat bahwa usaha sedemikian memberikan hasil yang memuaskan meskipun dalam jangka waktu panjang. Dengan perkataan lain, masalah mutu pendidikan masih tetap merupakan masalah yang perlu terus ditingkatkan.

 

Beberapa Karakteristik Utama Era Globalisasi

 

Berikut ini akan diuraikan beberapa karakteristik utama globalisasi yang berkaitan dengan pendidikan, atau dengan perkataan lain yang merupakan peluang dan tantangan bagi pendidikan.Sebagaimana telah diuraikan di atas, globalisasi menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat dan individu anggota masyarakat. Globalisasi menyangkut kesadaran baru mengenai dunia sebagai satu kesatuan. Interaksi dan saling tergantungan yang semakin besar dalam era baru perlu dijawab dengan tepat. Kurikulum pendidikan dan proses belajar-mengajar seyogianya mampu mengisi peluang ini serta menjawab tantangan yang

ditimbulkannya.

 

Mengutip John P. Kotter (1995) dalam bukunya "The New Rules", rule nomor 2 berbunyi: "The globalization of markets and competition is creating enormous change. The new rule is: to succeed, one must capitalize on the opportunities available in the faster-moving and more competitive business environment while avoiding the many hazards inherent in such an environment". Dengan demikian, tamatan pendidikan tinggi seyogyanya diperlengkapi agar mampu memanfaatkan peluang-peluang

baru yang tersedia dalam era yang baru tersebut; peluang-peluang mana berubah dan bergerak sangat cepat, demikian pula dengan tantangan-tantangan yang ditimbulkannya. Dan hal ini diungkapkan oleh Kotter dalam rule nomor. 7-nya yang berbunyi: "In the increasingly competitive and fast moving global business environment, winners reap big rewards while those who are unable or unwilling to compete can encounter huge problems. The new rule: you have got to be an able competiter. Effective competition requires many things, especially high standards and a strong desire to win". Jadi, produk pendidikan tinggi seyogyanya mampu untuk berkompetisi yang salah satu syaratnya adalah memiliki keunggulan-keunggulan tertentu. Jadi kualitas pendidikan memegang peranan yang sangat sentral. Selanjutnya Kotter mengatakan bahwa pendidikan seumur hidup (life long learning) merupakan tuntutan era baru tersebut. Sebagai rule nomor 8 ia mengatakan: "In a rapidly changing and competitive environment, formal K-12-university education is very important, but insufficient. Success at work demands huge growth after a terminal degree to learn new approaches offers many opportunities for growth for those willing to take some risks and to reflect honestly on their experiences".

 

 

 

 

Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan tinggi Indonesia maka pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi seyogyanya dilaksanakan dengan benar dalam suasana yang kondusif untuk pengembangannya. Dharma yang pertama masih perlu terus dikembangkan pelaksanaannya, termasuk didalamnya adalah pemanfaatan satuan acara perkuliahan yang rinci serta variasi metode belajar mengajar yang dipergunakan. Salah satu persyaratan utama untuk ini adalah para tenaga pengajar harus tekun dan memiliki motivasi yang tinggi untuk secara terus-menerus menyempurnakan materi perkuliahannya. Dharma yang kedua, penelitian, masih sangat perlu untuk ditingkatkan. Wajarlah jika para tenaga pengajar terus-menerus memperjuangkan pelaksanaan penelitian dalam pengembangan karirnya. Satu hal yang nampaknya sangat penting untuk dikembangkan adalah budaya penelitian. Seringkali penelitian di kalangan tenaga pengajar dilakukan hanya sebagai bagian dari satu pekerjaan proyek. Kondisi sedemikian tidaklah mendukung terciptanya budaya penelitian ini. Melaksanakan penelitian dalam suatu budaya penelitian yang benar akan membawa kepada penerapan manajemen penelitian yang baik. Dan pada gilirannya hasil penelitian tersebut akan mampu menjadi rekomendasi yang potensial dimanfaatkan oleh penentu kebijakan. Research University baru merupakan target bagi beberapa perguruan tinggi yang besar di Indonesia. Sedangkan bagi iklim pendidikan tinggi di negara-negara industri, konsep ini telah dilampaui dan sekarang target yang dipandang sesuai dengan perkembangan yang ada ialah service university. Konsep ini menyangkut keterkaitan yang erat diantara lembaga pendidikan tinggi dengan dunia usaha. Dengan perkataan lain, perguruan tinggi dapat tumbuh dan berkembang didalam era globalisasi dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada didalam dunia bisnis.

 

Sehubungan dengan itu, perlu disadari bahwa tamatan perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya cukup memiliki pengetahuan kognitif yang tinggi, akan tetapi perlu dilengkapi dengan sikap dan perilaku inovatif. Terdapat kecenderungan bahwa hal-hal yang bersifat konvensional dan tradisional tidak mendapat tempat lagi didalam era globalisasi. Teknologi membuat keterampilan dan pengetahuan sebagai satu-satunya sumber keuntungan strategis yang berkelanjutan.

 

 

Daftar Pustaka

 

Castells, M. (1996). The Rise of The Network Society, Vol. I. Cambridge, Mass:   Blackwell Publ.

 

Drucker, Peter F. (1992). Managing for The Future The Iggos and Beyond. New York: Penguin.

 

Friedman, J. (1994). Cultural Identity and Global Process. London: Sage Publ.

 

Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Polity Press: United Kingdom.

 

Inkeles, A. and Smith, D.H. (1974). Becoming Modern Individual Change in Six Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press).

 

Kotter, P. (1955). The New Rules How to Succeed in Today's Post-Corporate World. New York: The Free Press.

 

Marshall, G. (1992). Oxford, Concise Dictionary of Sociology. Oxfor Univ. Press.

 

Robertson, R. (1992). Globalization Social Theory and Global Culture. London: Sage Publ.

 

Tilaar, H.A.R. (1994). Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung:Remaja Rasdaharya.

 

Thurow, Lester. (1996). The Future of Capitalism. London: Nicholas realy.

 

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template