Headlines News :
Home » » PELAKSANAAN KEKUATAN PRESIDEN RI

PELAKSANAAN KEKUATAN PRESIDEN RI

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 02.20

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Diskursus mengenai lembaga-lembaga negara di Indonesia selalu menjadi bahasan yang menarik, UUD 1945 belum memberikan batasan yang jelas antara wewenang lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terjadi selama empat dekade terakhir ini bahkan menunjukkan kecenderungan pengaturan sistem bernegara yang lebih berat ke lembaga eksekutif. Posisi Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang tidak jelas batasan wewenangnya semakin mendorong kecenderungan ini ke arah yang negatif.

UUD 1945 memberikan wewenang tertentu kepada presiden dalam menjalankan tugas pemerintahan. Namun demikian pemberian wewenang tersebut tidak diikuti dengan batasan-batasan terhadap penggunaannya. Soekarno, mantan presiden RI, dalam rapat pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 adalah "UUD Kilat", ini dikarenakan mendesaknya keinginan untuk memproklamasikan kemerdekaan pada saat itu sehingga infrastruktur bagi sebuah negara yang merdeka harus segera disiapkan. Hal ini menyebabkan UUD 1945 menjadi UUD yang singkat dan sangat interpretatif. Upaya politik untuk tidak mengadakan perubahan terhadap UUD 1945, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 sendiri (Pasal 3 juncto Aturan Peralihan, butir 2), juga tidak diikuti oleh upaya lembaga legislatif untuk membuat ketentuan lebih lanjut terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Tidak banyak pasal dalam UUD 1945 yang telah diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya dan pasal-pasal yang mengatur mengenai wewenang presiden sebagai kepala negara merupakan beberapa di antaranya.

Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh UUD 1945, yaitu antara lain tercantum dalam Pasal 10 sampai Pasal 15. Dalam pelaksanaannya, ternyata kekuasaan tersebut telah banyak menimbulkan berbagai masalah yang sampai saat ini masih diwarnai pendapat pro dan kontra seputar penggunaannya. Hal ini dapat disebabkan karena tiga hal. Pertama, besarnya kekuasaan presiden tersebut tidak diikuti dengan mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hak-hak tersebut sifatnya substansial bagi kehidupan bangsa sehingga memerlukan adanya kontrol, misalnya pemilihan duta dan konsul, penentuan susunan kabinet, wewenang untuk menyatakan perang, dan lain-lain. Kedua, fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan sensitivitas dalam tubuh masyarakat terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya presiden. Ketiga, berkaitan erat dengan yang kedua, sensitivitas ini juga didorong oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat dengan sangat cepat dengan dipicu oleh atmosfir reformasi yang tengah berjalan pada saat ini.

Diskusi dan kajian tentang negara di Indonesia pada umumnya didominasi oleh pendapat kuat yang beranggapan bahwa negara merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Kepercayaan yang tulus pada hal ideal ini mungkin yang mendasari pendapat-pendapat di atas, yang oleh para pejabat negara ini kemudian diturunkan menjadi jargon-jargon "demi kepentingan umum", "pembangunan untuk seluruh masyarakat" dan lain sebagainya. Namun pada kenyataan di lapangan, terjadi banyak hal yang tidak membuktikan anggapan ideal tersebut. Negara yang identik dengan kekuasaan, sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, cenderung untuk korup, dalam arti menyimpangi kekuasaanya (abuse of power). Negara ternyata juga memiliki kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sendiri yang terkadang justru merugikan kepentingan umum.

Kekuasaan negara yang tidak terkontrol di Indonesia sebagai akibat dari terpusatnya kekuasaan itu pada satu orang dan segala implikasi negatifnya, tampaknya mengharuskan bangsa ini untuk mengkaji ulang konsep kekuasaan presiden yang sangat besar tesebut. Pandangan negara netral dan paham integralistik, yang biasanya melegitimasi konsep tersebut, sepertinya juga tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di negara ini. Seluruh hal tersebut, ditambah dengan adanya tuntutan demokratisasi di segala bidang yang sudah tidak mungkin ditahan lagi, mengartikan bahwa sudah saatnya kekuasaan presiden yang sangat besar harus dibatasi.

Studi ini ingin menjadi bagian dari diskurus tentang kekuasaan Presiden RI, khususnya kekuasaannya sebagai Kepala Negara. Dalam studi ini dipaparkan dan dianalisis bentuk-bentuk kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara, yang secara normatif didasarkan pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

 

B. Pokok Permasalahan dan Tujuan Penelitian

Studi ini dilakukan dengan beberapa permasalahan yang dianggap mendasar bagi pelaksanaan kekuasaan presiden tersebut, yaitu:

  1. Apa saja bentuk kekuasaan presiden RI dalam hukum positif Indonesia serta bagaimana mekanisme pelaksanaannya selama ini?
  2. Sistem dan mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mengurangi kecenderungan penyimpangan kekuasaan dari pelaksanaan kekuasaan tersebut?

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

  1. Memberikan gambaran tentang konsep-konsep dan dasar hukum kekuasaan presiden RI.
  2. Menganalisis secara konseptual mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI yang terdapat dalam hukum poistif di Indonesia.
  3. Mengemukakan rekomendasi terhadap makanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI di masa mendatang.

 

C. Deskripsi Umum Pelaksanaan Kekuasaan Presiden Di Masa Orde Baru

Dalam banyak literatur telah dinyatakan bahwa UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar pada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Ismail Suny membagi kekuasaan Presiden RI berlandaskan UUD 1945 menjadi; kekuasaan administratif; kekuasaan legslatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan darurat. Sedangkan H. M. Ridhwan Indra dan Satya Arinanto membaginya ke dalam; kekuasaan dalam bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislatif, kekuasaan sebagai Kepala Negara, dan kekuasaan dalam bidang yudikatif. Kekuasaan presiden yang luas tersebut tercakup dalam fungsinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan sekaligus mandataris MPR.

Praktek kenegaraan dan politik yang dalam sejarah mendasarkan dirinya pada UUD 1945, ternyata cenderung memanfaatkan secara negatif peluang yang diberikan UUD 1945, yaitu kekuasaan sangat besar yang terpusat pada lembaga kepresidenan. Soekarno menjalankan kekuasaannya dengan menggunakan konsep demokrasi terpimpin. Konsep ini telah terbukti mengandung karakteristik otoritarian yang kental, dengan terpusatnya kekuasaan pemerintahan pada satu orang saja. Orde baru yang niat awal terbentuknya adalah mengoreksi segala wujud penyimpangan yang dilakukan rezim Soekarno, tenyata dalam prakteknya hanya mengubah jargon-jargon yang dikumandangkan pada masa sebelumnya, namun secara substansial sifat otoritariannya tidak berubah. Kalau pada rezim Soekarno model pemerintahan didasarkan pada paham demokrasi terpimpin dan Manipol Usdek, maka di masa pemerintahan Soeharto jargon tersebut dibahasakan dengan paham demokrasi pancasila yang didasarkan cita negara inetgralistik. Apabila di masa Soekarno legitimasi pemerintahannya didasarkan pada slogan "revolusi", maka di era Soeharto legitimasinya didasarkan pada slogan "pembangunan" dan "stabilitas politik". Kedua hal tersebut ditujukan untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat (strong state), yang oleh kedua rezim tersebut dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi berhasilnya suatu pemerintahan.

Mohtar Maso'ed mencatat bahwa latar belakang utama terbentuknya rezim orde baru yang otoritarian adalah trauma konflik politik yang parah, baik horisontal maupun vertikal, dan terpuruknya perekonomian Indonesia pada masa kepemimpinan Soekarno. Untuk itu orde baru memilih untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Secara konstitusional sebagaimana telah dikemukakan di atas, orde baru didukung oleh UUD 1945. Orde baru dan para pendukungnya, terutama Angkatan Darat, kemudian berhasil menempatkan pusat kekuasaan pengambilan keputusan kebijakan publik pada birokrasi yang secara langsung di komandoi oleh Presiden Soeharto. Sekurang-kurangnya ada lima kekuasaan presiden yang tercatat dalam hukum posistif Indonesia, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, serta kekuasaan militer dan darurat. Dalam praktek politik dan ketatanegaraan selama masa orde baru, implementasi dari kekuasaan-kekuasaan tersebut menjadi instrumen yang efektif untuk mengintervensi dan mengeliminasi peranan lembaga-lembaga negara lain dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan.

Kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden, atau biasa disebut dengan kekuasaan eksekutif, merupakan konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan presidensil oleh UUD 1945, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan yang sangat luas ini selama pemerintahan orde baru tidak diterjemahkan lebih lanjut ke dalam bentuk-bentuk yang bersifat lebih operasional, dengan batas-batas tanggung jawab dan kewenangan yang jelas. Ketiadaan batas-batas tersebut menyebabkan Pasal 4 ayat (1) menjadi pegangan utama satu-satunya bagi kekuasaan pemerintahan ini. Kewenangan membentuk Keputusan Presiden (Keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden. Sebagaimana telah disinyalir oleh berbagai pakar dan penelitian, kewenangan ini cenderung mengalami penyimpangan baik secara formil maupun materil, sehingga menjadi salah satu yang signifikan pada saat ini untuk melakukan pengkajian ulang atas kewenangan pembentukan Keppres yang mandiri oleh presiden, di samping bentuk-bentuk lain dari kekuasaan pemerintahan lainnya.

Kekuasaan sebagai kepala negara oleh beberapa pakar hukum tata negara dikonsepkan secara berbeda-beda. Padmo Wahjono menyatakan kekuasaan presiden sebagai kepala negara secara sempit, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan peraturan perundang-undangan dalam hal pengangkatan-pengangkatan, adalah kekuasaan/ kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau advis suatu lembaga tinggi legara lainnya. Jadi bukan ieuelangan khusus (hak prerogatif) yang mandiri. Dalam kenyataannya, selama pemerintahan orde baru, kewenangan yang "hanya" bersifat adminsitratif ini cukup berpengaruh terhadap jalannya praktek politik dan kenegaraan di Indonesia. Pengangkatan hakim-hakim, anggota-anggota MPR dan DPR, serta jabatan-jabatan penting lainnya, merupakan ajang seleksi politik bagi orang-orang yang akan memasuki wilayah kekuasaan negara. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang yang berada di "lingkar luar" kekuasaan sangat sulit untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, lembaga-lembaga yang harusnya melakukan fungsi kontrol, tidak dapat bertindak secara optimal bahkan mandul.

Kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif serta kekuasaan militer dan darurat, merupakan tambahan dari kekuasan presiden yang konvensional. Secara konseptual, ketiga kekuasaan yang langsung diberikan oleh UUD 1945 ini tidak dilakukan secara mandiri oleh presiden, namun pada taraf pelaksanaan tampak kekuasaan presiden begitu dominan, terutama dalam bidang pembentukan undang-undang dan dalam kedudukannya sebagai penguasa tertinggi militer.

Legitimasi konstitusi saja tampaknya tidak cukup bagi orde baru. Untuk menghindari terulangnya keadaan di masa orde lama, orde baru secara sistematis berusaha memusatkan kekuasaan dengan melemahkan institusi-institusi yang seharusnya dapat menjadi lembaga kontrol yang mengimbangi kekuasaan presiden yang dominan. Institusi-institusi tersebut hampir merupakan seluruh bagian dari sistem kenegaraan di Indonesia. Mulai dari lembaga tertinggi dan tinggi negara, infrastruktur politik, pers, infrastruktur hukum sampai instritusi-institusi yang ada di dalam masyarakat hingga ruang lingkup terkecil, tak lepas dari intervensi kekuasaan.

Kedudukan birokrasi yang dominan ini didukung oleh unsur-unsur yang merupakan sumber kekuasaannya, yaitu kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian teknis dan status sosial yang tinggi. Selama masa kepemimpinan Soeharto, unsur-unsur inilah yang kemudian menjadikan rezim yang dipimpinnya hampir steril dari kontrol lembaga lain, dan justru menjadi dasar bagi fungsi pengendalian atas masyarakat.

Jadi cukup jelas sebenarnya, kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945 selama masa keberlakuannya, cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan Presiden ini kemudian hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pmlitii eolongan tertentu qaha yang pragmatis sifatnya dan secara empipii qelalu melemrbankan, atau paling tidak mengeliminasi, kepentingan demokratisasi di Indonesia.

 

D. Kerangka Analisis

Pendekatan utama yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan institusional baru (new institutionalism). Pendekatan ini membahas lembaga-lembaga negara karena adanya kesadaran bahwa "negara", apalagi di negara-negara berkembang, merupakan faitmr yang sangat menentukan dalam kehidupan sosial-politik.

Perbedaan pendekatan ini dengan pendekatan institusimnal "klasik" (institutional approach) yang berkembang pada akhir abad ke-19 sampai pertengahal abad ie-20 adalah mbyek pengkajiannya. Dalam pendekatan institusional "klasik" yang dikaji hanya konstitusi dan aturan-atural formal antara institusi-ilstitusi pmlitii qeperti eksekutif, leeislatif dal yudikatif. Peldeiatan ini tidai mengkaji praitei pelaisalaal ilstitusi itu atau iekuatal-iekuatal pmlitii lail qeperti partai politik, interest group dan pressure eroup, serta pers sebagai media komunikasi politik. Tradisi ini erat hubungannya dengan Hukum Konstitusional di Jerman yang sering disebut dengan constitutimnal architecture (arsitektur konstituqional).

Pendekatan lain dalam ilmu politik dan ienegaraan yang berkembang qebelum munculnya pendekatan institusional baru adalah mazhab chicago (chicago school) yang mempelajari eejala ieiuaqaal untuk menentukan kebijakan umum dan proses-proses yang terjadi dalam masyarakat. Berikutnya adalah pendekatan behavioralism yang lebih meneliti perilaku aktor politik, orientasi dan sikapnya. Pendekatal ili aenderung bebas lilai dalam alalisisnya dan melihat negara hanya sebaeai qalah qatu qistem di altapa beberapa sistem lainnya (sistem politii, sistem eionomi dan sistem sosial).

Pendeiatal yale lail adalah peldeiatal (pilihal raqimnal), Pmlitii, baei peldeiatan ili, tidai lail dapi meleejap iepeltileal sendiri, terutama aspek materialnya, manusia dilihat sebagai semata-mata homo economicus. Kemudian muncul pendekatan yang mencoba menyesuaikan ide mengenai kewajiban politik dan equity (distribusi yang adil) yang diiemuiakan mleh Hohl Rauls.

Pendekatal ilstituqimnal baru muncul sebagai hasil kumulasi dan kombilaqi pendekatan-pendekatan (mazhab-mazhab) sebelumnya dan memanfaatkan secara selektif penemuan pemikiran dari pendekatan-pendekatan tersebut karena terdorong mleh ienyataan bahua leeapa `eserta institusi-instituqinya qaleat mempengaruhi iehidupal pmlitii dalam quatu leeapa, <-P<

Dalam raleka memahami bentuk-bentuk leeara, Arief @udimal telah melgemukakan dua iritepia yaitu $qumt9iemaldirial$qumt; leeara dal $qumt9kenetralan&qumt; negara, <-P<

Kemandirian negara sebagai kriterium menunjukkan bahwa negara mandiri adalah negara yang mendominasi inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara, sehingga secara politis negara tersebut "kuat". Sedangkan dari sudut kenetralan negara terlihat bahwa negara netral adalah negara yang tidak kuat karena ia hanya menjadi pelaksana dari kepentingan umum yang digambarkan oleh besarnya partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijaksanaan negara.

Asumsi dasar yang digunakan dalam studi ini adalah negara pada kenyataannya bukan lembaga netral, pemerintah dan birokrasi yang berada dalam kekuasaan presiden tidak dianggap akan beroperasi dalam ruang hampa politik (political vacuum). Asumsi dasar ini akan dieunakan sebagai kriteria awal untuk memahami peranan kekuasaan presiden dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di era meningkatnya tuntutan demokratisasi di segala bidang kehidupan bermasyarakat. Kebutuhan pemahaman yang pesimis ini diangkat dari realita politik di Indonesia, khususnya di masa Mrde Baru, yang dalam studi ili qeaara konseptual ditujukan untuk mengantisipasi iecenderungan dari penyimpangan kekuasaan presiden sebagai penyelenggara tertinggi dalam negara.

Studi ini menganggap kekuasaan presiden yang sangat besar, terpusat (sentralistis) dan mandiri, dalam arti lemahnya fungsi kontrol dari lembaga lain dalam negara, tidak lagi relevan dengan prinsip demokrasi sebagai salah satu prinsip hidup bernegara yang fundamental. Peranan lembaga kepresidenan yang begitu dominan dalam kehidupan politik dan ekonomi telah menghambat aspirasi dan partisipasi dari rakyat banyak, sehingga apabila terus diterapkan maka akan kurang menguntungkan bagi pelaksanaan proses demokrasi yang tengah berjalan saat ini.

Konsep inti dari negara demokrasi menurut Miriam Budiardjo adalah konsep accountibility yang diartikan sebagai adanya pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat, konsep ini juga dapat diartikan secara luas sebagai pertanggungjawaban politik. Pada negara-negara yang menganut sistem demokrasi, pemberi mandat yang dimaksud adalah rakyat. Kesulitan untuk melibatkan seluruh rakyat untuk berpartisipasi dalam proses tersebut melandasi negara-negara modern untuk membentuk lembaga-lembaga perwakilan dari rakyat yang pengisian keanggotaannya dihasilkan melalui proses pemilihan umum. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut kemudian juga diiringi dengan penciptaan kondisi yang memungkinkan para wakil-wakil rakyat bekerja secara optimal. Pemberian wewenang dan tanggung jawab yang besar untuk mengawasi dan meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah merupakan langkah pertama yang dilakukan dalam rangka penyeimbangan kekuasaan dalam negara. Sistem yang dibangun ini ternyata juga memiliki kecenderungan penyimpangan kekuasaan oleh lembaga perwakilan dan bertendensi pada lemahnya lembaga eksekutif. Oleh karena itu jalan tengah yang diambil adalah penciptaan mekanisme check and balance antara lembaga-lembaga dalam negara.

Pelaksanaan mekanisme ini dilakukan dengan cara memberikan hak-hak tertentu kepada lembaga-lembaga negara untuk memberikan penilaian kepada lembaga yang lain. Penilaian ini dilakukan sejak sebelum suatu kebijakan diambil, sampai setelah kebijakan tersebut dilaksanakan.

Mekanisme check and balance berorientasi pada terciptanya mekanisme kontrol antar lembaga negara sehingga masing-masing lembaga berjalan berdasarkan prinsip akuntabilitas (accountability). Karena pertanggungjawaban utama adalah pada rakyat, maka penciptaan kondisi yang menjamin partisipasi rakyat secara optimal harus dibentuk. Kondisi-kondisi tersebut tidak hanya berhenti pada pembukaan partisipasi di tingkat pembentukkan opini publik (public opinion) saja, namun juga harus diikuti pembukaan peluang bagi public opinion tersebut untuk mempengaruhi kebijakan publik yang dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan secara jelas dan operasional.

Beberapa pakar hukum tata negara berpendapat bahwa iekuasaan presiden Indonesia yang besar tersebut adalah hal yang memang wajar atau bahkan sudah seharusnya, dengan berbagai sudut pandang dan argumentasi. Argumentasi yang cukup banyak dianut, terutama oleh aparat birokrasi orde baru, adalah bahwa kekuasaan presiden yang besar tersebut merupakan konsekuensi dari dianutnya paham negara integralistik oleh UUD 1945, yang secara teoritis menempatkan posisi negara (yang diwakili oleh kepala negara) sebagai "bapak" dari keluarga besar suatu bangsa. Paham ini berorientasi pada pembentukan negara dan pemerintahan yang kuat, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat berlangsung dengan baik dan lancar. Pandangan ini kemudian juga didukung oleh penganut pendekatan sosio-kultural, yang beranggapan bahwa dalam sudut pandang budaya, bangsa Indonesia memiliki budaya patrimonialistis yang memberikan kekuasaan besar kepada seorang pemimpin dan meng’atasi’ warga negaranya.

Menurut A. Ramlan Surbakti dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya, pemerintah yang kuat (strong state) tidak selalu sama dengan pemerintah yang berkuasa. Menurutnya pemerintahan yalg kuat berarti:

  1. Memiliki legitimasi dari rakyat karena mendapatkan kekuasaan berdasarkan hasil pemilu yang kompetitif dan adil.
  2. Melakukan tindakan berdasarkan persetujuan badan perwakilan rakyat.
  3. Menggunakan kekuasaan berdasarkan konstitusi dan undang-undang.
  4. Mempertanggungjawabkan penggunaan kewenangannya kepada badan permusyawaratan dan perwakilan dan secara hukum kepada badan peradilan.
  5. Menggunakan kewenangan publik berdasarkan moralitas publik.

Berdasarkan argumentasi tersebut, maka untuk mendukung sistem dan mekanisme yang dapat menempatkan pemerintah dalam pmsisi yang kuat secara politik, ekonomi, hukum dan sosial, bukan dengan menempatkan posisi dan ueuenang lembaga kepresidenan sebagai penentu kebijakan-kebijakan penting tersebut secara top down, namun dibutuhkan sistem dan mekanisme yang efektif dan demokratis dalam menggerakkan roda penyelenggaraan pemerintahan di kemudian hari, yang akan mengeliminasi kecenderungan penyimpangan kekuasaan dari lembaga kepresidenan.

Ada beberapa konsep yang akan menjadi landasan pemikiran dan dalam studi ini dan akan dijadikan kerangka analisis bagi langkah-langkah pembenahan kekuasaan lembaga kepresidenan, khususnya kekuasaan presiden sebagai Kepala Negara.

Pertama; Pendefinisan ulang konsep Presiden RI qebagai Kepala Negara, sebagai Mandataris MPR, sebagai Kepala Pemerintahan dan sebagai Panglima Tinggi ABRI. Kebutuhan redefinisi terhadap konsep-konsep kedudukan Presiden RI sudah sangat mendesak untuk saat ini. Sebagaimana telah diketahui pengaturan dan batasan-batasan yang jelas tentang masing-masing kedudukan tersebut sampai saat ini belum ada. Secara normatif kewenangan untuk memberikan definisi tersebut ada di tangan legislatif yang diwujudkan dalam bentuk undang-undang. Namun dikarenakal iedudukkan lembaga legislatif juga sebaeial beqar berada di tangan Presiden yang juga bertindak qelaiu eksekutif, maia dalam praktei ietataleearaal qehari-hapi ieuenaleal ultui melentukan deskripsi kerja bagi presiden serta penjabaran fungsi-fungsi dari masing-masing konsep tersebut berada di tangan Presiden juga. Apalagi kemudian dengan ketiadaan undang-undang khusus yang mengatur tentang hal ini, operasionalisasi dari sebagian konsep-konsep tersebut dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang kewenangannya ada pada eksekutif. Satu mekanisme yang rancu karena pelaksana kerja menentukan sendiri deskripsi kerjanya. Kajian tentang konsep-konsep kekuasaan presiden khususnya sebagai kepala negara akan diuraikan lebih lanjut dalam bab yang berikut.

Kedua; Pemberdayaan supra struktur politik dengan memberikannya kemandirian dalam mekanisme rekruitmen (pengisian jabatan), kemandirian dalam pengambilan keputusan serta transparansi kelembagaan. Negara-negara demokrasi pada umumnya mendelegasikan kekuasaan untuk menjalankan roda kenegaraan dan pemerintahan kepada lembaga-lembaga negara yang masing-masing memiliki kewenangan yang terpisah dan mandiri. Doktrin Montesquieu tentang trias politica, merupakan acuan dasar bagi sistem ini. Ia membagi kekuasaan negara ke dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam perkembangannya kemudian, lembaga-lembaga tersebut tidak hanya terdiri dari tiga, melainkan terjadi penambahan lembaga-lembaga yang dianggap diperlukan di beberapa negara, sesuai dengan kondisi sosial politiknya masing-masing.Penambahan ini antara lain dilakukan di Perancis yang membentuk lembaga penasehat (council de ‘etat) dan juga Indonesia yang membentuk lembaga penasehat (DPA) dan lembaga pemeriksa keuangan negara (BPK).

Pemisahan kekuasaan yang menurut Montesqieu mutlak antara tiap lembaga-lembaga tersebut juga sudah mengalami pergeseran, mekanisme yang justru banyak dipergunakan di negara-negara modern adalah mekanisme check and balance. Mekanisme ini dijalankan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip kemandirian dari tiap-tiap lembaga tersebut, bahkan sebaliknya kemandirian (non intervensi) menjadi pedoman dalam pelaksanaan fungsi masing-masing lembaga. Kemandirian yang dimaksud di sini terutama adalah kemandirian dalam hal rekruitmen (pengisian jabatan), kemandirian dalam pengambilan keputusan dan transparansi dalam penyelenggaraan kelembagaan.

Upaya untuk membatasi kekuasaan Presiden tidak dapat dilepaskan dari pemberdayaan lembaga-lembaga yang berfungsi mengontrol kekuasaan tersebut, karena pembatasan kekuasaan semata tanpa ada lembaga yang mengawasi secara efektif tidak akan mengurangi kecenderungan penyimpangan kekuasaan. Untuk menjamin kemandirian dan keefektifan kontrol itu pola rekruitmen dan proses pengambilan keputusan di tiap-tiap lembaga harus lepas dari intervensi lembaga yang dikontrolnya yakni eksekutif, mekanisme ini akan mengurangi kendala psikologis, administratif dan politis bagi pengisi jabatan dalam menjalankan fungsinya. Yang terpenting juga dalam penyelenggaraan kelembagaan tersebut harus diiringi dengan mekanisme yang transparan sehingga peranan kontrol tidak hanya berputar di lingkaran elit saja, tapi juga melibatkan peran serta masyarakat dan infra struktur politik secara luas, dengan begitu aktivitas dari lembaga pengontrol kekuasaan Presiden juga dapat dikontrol oleh pihak luar dan dengan cara ini diharapkan tujuan kemandirian semakin dapat dicapai secara optimal.

Ketiga; Pemberdayaan infra struktur politik dan masyarakat dengan cara pembukaan peluang untuk berpartisipasi yang didukung oleh transparansi penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan akses informasi yang memadai. Selama masa Orde Baru partisipasi masyarakat secara luas diarahkan pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh para elit penguasa. Langkah ini merupakan salah satu bagian dari strategi yang ditujukan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas nasional dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang cepat. Paradigma yang elitis dan tertutup ini pada gilirannya merambah hampir semua bentuk proses pengambilan kebijakan negara di bidang ekonomi, politik, hankam dan lain sebagainya. Dalam hal ini orde baru secara sadar menciptakan jarak antara pengambil kebijakan dan masyarakat luas yang pluralistis. Untuk menjamin jarak itu tetap terjaga dan orientasi kebijakan tidak terganggu, mekanisme seleksi pengisian jabatan publik yang tertutup dan terpusat juga menjadi hal yang penting.

Paradigma sentralistis yang menempatkan negara yang diwakili oleh birokrasi sebagai aktor utama dalam kebijakan publik telah banyak mendapatkan kritik dari para penganut paradigma partisipasi masyarakat (kedaulatan rakyat). Kritik tersebut terutama ditujukan pada kecenderungan dari penyimpangan kekuasaan yang terjadi mulai dari proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan kegiatan sampai pertanggungjawaban, yang sebagian besar dikarenakan tidak adanya kontrol sosial yang kuat sebagai pengawas kritis terhadap penyelenggara negara. Selain itu pendekatan yang sentralistis juga menyebabkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi dan politik tidak berjalan secara optimal. Hal ini dikarenakan tidak terbangunnya potensi-potensi politik dan ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya memampatkan keluarnya inovasi, kreativitas, inisiatif, dan kritik yang hanya dapat timbul apabila masyarakat dan infra struktur politik diberikan kesempatan dan tanggung jawab untuk berperan serta sebagai aktor utama pembangunan.

Dalam kaitannya dengan kekuasaan Presiden, khususnya kekuasaannya sebagai Kepala Negara, kerangka pemikiran di atas akan dijadikan salah satu konsep dalam upaya pembentukan sistem dan mekanisme yang diharapkan dapat mengantisipasi kecenderungan penyimpangan kekuasaan. Pemberdayaan infra struktur politik dan masyarakat berorientasi pada penciptaan lembaga kontrol yang kuat dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, terutama dalam pelaksanaan kekuasaan presiden sebagai Kepala Negara. Yang dimaksud dengan infrastruktur politik dalam hal ini adalah partai politik, golongan kepentingan (interest group), alat komunikasi politik (pers), dan golongan penekan (pressure group). Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat di sini adalah masyarakat pada umumnya yang tidak teroganisir secara sistematis dan dalam kesehariannya tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan politik baik lokal maupun nasional. Komponen-komponen ini akan bekerja dalam hal pembentukan gerakan-gerakan sosial atau penciptaan public opinion yang issue-oriented

Dalam rangka menuju pemberdayaan tersebut, mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden, khususnya kekuasaan sebagai Kepala Negara, tidak lagi diselenggarakan secara tertutup dan top down namun dengan mekanisme yang memberikan peluang pada infrastruktur politik dan masyarakat untuk berpartispasi secara maksimal bagi penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan. Peluang tersebut tentunya harus didukung oleh tindakan-tindakan yang transparan dari penyelenggara negara agar informasi dan sosialisasi ide tidak salah diinterpretasikan (miskomunikasi politik) sehingga kemungkinan terjadinya konflik politik dan sosial dapat ditanggulangi sejak awal. Ultuk itu akses-akses informasi harus diqediakan seaara memadai dan pmla ierja dapi birokrasi yang tertutup selama ini sudah harus dibenahi karena tidak laei cocok untuk kebutuhan ini.

Keempat; Pemberdayaan institusi-institusi pemerintahan dengan cara pemberian tanggung jawab dan wewenang yang optimal di bidangnya, yang selama ini berkaitan dengan kekuasaan presiden sebagai kepala negara. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kekuasaan presiden yang sangat besar dan sentralistis sudah saatnya mengalami pergeseran paradigma. Presiden di masa Orde Baru secara normatif maupun empiris merupakan pengambil keputusan yang utama dan final, termasuk di antaranya keputusan yang berada dalam ruang lingkup kekuasaan sebagai kepala negara. Ieiuasaan bipokrasi yale besar dan otonom di maqa Mrde Baru menjadikan institusi-institusi pemerintahan baii puqat maupul daerah memeeang peranan penting bagi iebijaial pmlitii dal eimnomi leeara, Lamul apabila ditelaah lebih jauh, aparat birokrasi yale mtmnom ini sebelarnya tepealtung qeaara tidai ppmpmrsimnal mleh iebijakan yang `erada di pusat sehingga keotonomannya dapat dikatakan semu. Penilaian kinerja aparat birokrasi sangat tergantung pada hubungan dominasi antara pusat dan daerah serta atasan dan bawahan, sedangkan penilaian dari yang dilayani, dalam hal ini masyarakat dan pihak lain (infrastruktur politik), menjadi tidak bermakna. Dalam pekerjaan dan peneluran kebijakannya kemudian, aparat birokrasi lebih berusaha "menyenangkan" atasan dan pusat daripada sasaran yang seharusnya yaitu masyarakat luas. Budaya patrimonialistis dan konsep politik negara integralistik (negara kekeluargaan), sebagaimana ditengarai oleh banyak pengamat kenegaraan, menjadi faktor-faktor penguat bagi terus berlangsungnya pola kerja ini.

Faktor lain yang menyebabkan kekuasaan presiden sangat besar dan sentralistis adalah tidak diberikannya wewenang dan tanggung jawab secara optimal kepada insitusi-institusi pemerintahan untuk mengeluarkan kebijakan final dalam ruang lingkup bidang yang memang digelutinya. Sebagian besar kekuasaan dan tanggung jawab dilimpahkan kepada presiden, padahal untuk hal-hal tertentu seperti pengangkatan-pengangkatan adminsitratif tidak perlu presiden langsung yang melakukannya. Mekanisme top down tersebut pada gilirannya berimplikasi pada ketidakmandirian institusi-insitusi yang seharusnya mandiri dalam pelaksanaan tugasnya, dalam arti telah bercampur dengan kepentingan politik dari eksekutif, seperti kejaksaaan dan perguruan tinggi. Implikasi yang lainnya adalah tidak terjamahnya institusi-intitusi pemerintahan di bawah presiden tersebut dari tanggung jawab moral dan fungsionalnya kepada masyarakat, karena semua tanggung jawab tersebut dilimpahkan kepada kepala negara yang dalam sistem politik orde baru dikondisikan sebagai the man can do no wrong, dan pada akhirnya pertanggungjawaban moral maupun fungsional kepada masyarakat tersebut menjadi hilang begitu saja.

Untuk mengurangi kecenderungan terjadinya implikasi-implikasi negatif tersebut maka dalam rangka memberi pembatasan-pembatasan kekuasaan presiden sebagai kepala negara, dalam kajian ini akan diajukan konsep pelimpahan kekuasaan presiden dalam kebijakan-kebijakan yang berada dalam ruang lingkup wewenang dan tanggung jawab insitusi-institusi tertentu (desentralisasi). Tujuannya adalah mengurangi penumpukkan wewenang dan tanggung jawab pada presiden, menciptakan institusi-institusi pemerintahan yang lebih bertanggung jawab pada masyarakat, dan mengurangi kecenderungan exekutive political bias untuk institusi-institusi yang seharusnya mandiri dalam pelaksanaan kerjanya.

Kelima; Penciptaan mekanisme yang efektif yang ditujukan untuk kebutuhan check and balance. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan konseptual di atas, dibutuhkan suatu mekanisme yang bersifat operasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Mekanisme-mekanisme ini ditujukan dalam rangka kebutuhan check and balance yang didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat. Kekuasaan presiden yang selama ini sebagian besar dipahami bersifat mandiri, dalam arti tidak adanya kontrol dari pihak lain, dalam kajian ini akan dipahami secara sebaliknya. Mekanisme-mekanisme tersebut adalah:

  1. konsultasi; yaitu kewajiban presiden untuk meminta saran-saran dan nasehat-nasehat dari lembaga-lembaga yang terkait, termasuk di antaranya DPR, atau untuk mendapatkan usulan sebelum mengambil keputusan akhir dalam menetapkan suatu kebijakan. Hasil konsultasi ini dijadikan pertimbangan utama untuk memutuskan hasil kebijakan akhir.
  2. hearing; yaitu kewajiban presiden untuk mengadakan dengar pendapat secara terbuka di DPR untuk mendapatkan pertimbangan dan penilaian atas suatu kebijakan tertentu. Proses dengar pendapat ini kemudian dijadikan bahan untuk rumusan usulan dari DPR kepada Presiden yang disampaikan secara terbuka pula. Usulan DPR ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan penilaian oleh MPR pada saat pertanggungjawaban presiden di akhir atau di tengah masa jabatannya. Mekanisme ini dapat berjalan bersamaan dengan hak interpelasi yang dimiliki oleh DPR.
  3. hak veto; yaitu hak yang dimiliki oleh presiden untuk menyatakan ketidaksetujuannya atas kebijakan yang diambil oleh lembaga lain yang berakibat langsung pada tidak dapat diberlakukannya kebijakan tersebut. Veto yang dilakukan oleh presiden ini dinyatakan secara terbuka. Penggunaan hak ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan penilaian bagi MPR pada saat pertanggungjawaban presiden di akhir atau di masa jabatannya.
  4. penetapan seremonial/ administrasi; yaitu tindakan presiden untuk mengesahkan dan/ atau melantik suatu kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga lain dan telah bersifat final.

Penggunaan mekanisme-mekanisme di atas akan disesuaikan dengan tujuan-tujuan dari materi kebijakan dan fungsi-fungsi dari lembaga-lembaga yang terkait yang seluruhnya berorientasi pada pembentukkan mekanisme check and balance.

 

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan. Data utama yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil dari penelitian bahan-bahan pustaka. Sebagaimana layaknya penelitian hukum pada umumnya data sekunder itu berupa:

  1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yang berupa sumber hukum nasional yang didapat dari Berita Negara RI.
  2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa penelitian dan penulisan di bidang hukum yang didapat dari buku, jurnal, majalah, dan surat kabar, makalah-makalah, skripsi, tesis dan desertasi.

Bertolak dari bahan-bahan hukum tersebut kemudian dilakukan analisis sekunder (secondary analysis) yang merupakan analisis terhadap data yang dikumpulkan, termasuk data yang disajikan peneliti lain dengan tujuan tersendiri, yang tidak perlu sama dengan tujuan studi ini. Persoalan utama berkaitan dengan analisis sekunder ini menurut Ferman dan Levin adalah kecocokan antara data yang diperoleh dengan data yang diperlukan.

Dari hasil analisis akan diajukan rekomendasi-rekomendasi yang berkaitan dengan tiap-tiap permasalahan dengan berdasarkan paradigma dan konsep-konsep yang telah dipersiapkan sebelumnya. Keseluruhan langkah-langkah penelitian ini akan diakhiri dengan pengambilan kesimpulan-kesimpulan yang merupakan pokok-pokok pemikiran yang dihasilkan dari penelitian ini, serta pengajuan rekomendasi umum yang merupakan usulan-usulan dari penelitian ini yang lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat umum dan pokok.


BAB II

TINJAUAN UMUM KEKUASAAN PRESIDEN RI

Perbincangan mengenai kekuasaan presiden tidak dapat dilepaskan dari perdebatan yang telah berlangsung sejak lama seputar negara, sistem pemerintahan dan diskursus mengenai kekuasaan itu sendiri. Hal ini disebabkan konsep kekuasaan presiden tidak serta-merta ada dan dipakai dalam suatu masyarakat, melainkan muncul dari pergulatan pemikiran ahli-ahli pikir di dunia serta berbagai percobaan-percobaan dari negara-negara di dunia yang berusaha mencari sistem pemerintahan yang terbaik bagi negaranya. Oleh karena itu konsep kekuasaan presiden tidak menjadi ahistoris, bahkan untuk negara yang baru merdeka sekalipun. .

Istilah presiden dalam ketatanegaraan digunakan untuk menyebut kepala negara dari negara yang berbentuk republik. Kepala negara dalam negara-negara modern adalah salah satu supra struktur politik yang ada dalam negara, yang memiliki kewenangan tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan.

Dalam perkembangan konsep-konsep kenegaraan modern, fungsi dan kewenangan presiden dalam negara terutama tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh negara itu. Dalam penjabaran selanjutnya, turunan fungsi-fungsi dan kewenangan-kewenangan utama dari presiden serta mekanisme pelaksanaannya berbeda-beda antara masing-masing negara, tergantung dari konsensus politik dari negara-negara tersebut.

Negara demokrasi modern dapat dijalankan dengan berbagai sistem pemerintahan. Dua model sistem pemerintahan yang utama adalah sistem pemerintahan parlementer dan presidensil. Kedua sistem itu di banyak negara kemudian mengalami banyak penyesuaian dengan keadaan dan dinamika sosial, politik, budaya dan ekonomi masing-masing negara tersebut, sehingga tidak ada lagi negara yang dapat dikatakan merupakan penjelmaan dari kedua sistem tersebut secara murni.

Uraian di atas menunjukkan bahwa keberadaan kedudukan presiden, sebagaimana adanya kedudukan-kedudukan lain dalam negara, adalah didasarkan pada adanya fungsi-fungsi dan kewenangan-kewenangan tertentu yang diberikan kepadanya untuk dilaksanakan. Dari kenyataan ini timbul pertanyaan mendasar yaitu fungsi-fungsi dan kewenangan-kewenangan apa saja yang pada prinsipnya melekat pada presiden atau jabatan yang serupa dengannya dalam negara? Latar belakang dan tujuan apa yang melandasi adanya fungsi-fungsi dan kewenangan tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksudkan untuk dijadikan landasan dalam memilah fungsi-fungsi dan kewenangan-kewenangan yang utama dari presiden, khususnya fungsi presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu diadakan penelusuran sejarah yang akan berusaha mengaitkan teori-teori dan konsep-konsep kekuasaan dan negara yang ada selama ini dengan kekuasaan presiden dalam negara. Kemudian juga akan digambarkan praktek-praktek kenegaraan kekuasaan presiden di negara-negara modern. Dari kesimpulan yang didapat, akan dilakukan analisis terhadap fungsi-fungsi dan kewenangan dari kekuasaan presiden di Indonesia.

A. Kekuasaan Presiden Dalam Perspektif Teori Negara

Teori negara memusatkan perhatian pada pertanyaan mengapa di antara manusia yang hidup dalam kelompok-kelompok, dalam paguyuban-paguyuban, dan ada seseorang atau sekelompok orang yang dapat memerintah orang lain. Pertanyaan ini dilandaskan pada kenyataan bahwa ada seseorang atau sekelompok orang dalam negara yang memiliki kewenangan yang dilembagakan oleh hukum untuk mewakili, mengatur dan menentukan apa yang baik untuk orang lain. Dalam kajian ini pertanyaan akan dipersempit menjadi mengapa ada seorang atau sekelompok orang yang diberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan? Dari mana kekuasaan tersebut diperoleh? Dan bagaimana bentuk-bentuk dan mekanisme pelaksanaan kekuasaan tersebut?

Permasalahan-permasalahan di atas telah mulai berusaha dicari jawabannya sejak jaman Yunani kuno yang diwakili oleh Plato dan Aristoteles. Perkembangan masyarakat dunia di bidang ekonomi, sosial-budaya dan hukum menyebabkan teori-teori tersebut juga mengalami banyak perubahan-perubahan yang signifikan. Dasar-dasar pemikiran yang dulu dikemukakan terus mengalami penyesuaian-penyesuaian sampai sekarang, hingga seorang pakar mengatakan bahwa teori tentang kekuasaan negara tidak pernah mati.

Pemikiran tentang kekuasaan presiden atau Kepala Negara merupakan turunan dari pemikiran kekuasaan dan negara. Sejak awalnya, teori tentang kekuasaan negara tidak pernah terlepas kaitannya dengan pembahasan siapa yang harusnya memegang kekuasaan negara tersebut. Negara bukanlah benda mati yang dapat bergerak sendiri, melainkan sebuah organisasi yang diselenggarakan oleh orang-orang dalam sekelompok masyarakat dengan tujuan tertentu. Oleh karena itu pembahasan tentang siapa yang menyelenggarakannya dan alasan yang melatarbelakangi hal tersebut menjadi bahasan yang penting dalam teori tentang kekuasaan dan negara.

1. Kekuasaan Negara

Teori tentang kekuasaan negara merupakan teori negara yang menyatakan bahwa kekuasaan negara harus mutlak. Negara adalah lembaga yang kedudukannya berada di atas rakyatnya. Ia memegang peranan mutlak dalam menentukan apa yang baik dan seharusnya bagi rakyatnya. Pemikiran ini pertama kali dikemukakan secara sistematis oleh pemikir besar Yunani kuno yaitu Plato yang dilanjutkan oleh muridnya, Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan menjadi liar dan tak terkendali bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar.

Latar belakang dari pemikiran mereka adalah bahwa pada dasarnya individu memiliki kecenderungan yang keras untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, agar keadaan masyarakat tidak menjadi kacau, harus ada lembaga yang kuat untuk mengarahkan individu-individu dalam masyarakat. Arah dan tujuan negara yang dimaksud oleh Plato dan Aristoteles adalah penegakan moral dalam masyarakat.

Berdasarkan pemikiran tersebut, Plato kemudian mengemukakan konsepnya tentang siapa yang harus menyelenggarakan kekuasaan tersebut. Menurutnya negara harus dikuasai oleh para filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya dalam kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian para filsuf memiliki kewenangan yang mutlak dalam negara atas dasar kapasitas pribadinya. Bentuk pemerintahan ini dinamakan oleh Plato dengan aristokrasi para cendekia.

Dasar pemikiran ini kemudian diadopsi oleh agama katolik pada masa abad pertengahan dengan alasan pembenar yang berbeda yaitu bahwa pada dasarnya kekuasaan adalah di tangan Tuhan dan wakil Tuhan di dunia adalah Gereja. Dengan demikian negara yang diberkati oleh gereja adalah negara yang diberkati oleh Tuhan. Kedudukan para filsuf dalam negara digantikan oleh Gereja yang diwakili oleh Sri Paus, namun dalam pelaksanaan sehari-hari kekuasaan negara yang mutlak tersebut diberikan kepada raja-raja katolik. Kekuasaan para raja ini hanya dibatasi oleh hukum agama yang berada di bawah kekuasaan Gereja.

Pada abad ke-16, dasar pemikiran kekuasaan raja-raja yang mutlak mengalami pergeseran kembali dari yang bersifat Illahiah menjadi bersifat duniawi kembali. Dasar pemikiran ini dikemukakan oleh Grotius (Hugo de Groot) dan Thomas Hobbes. Inti gagasan ini menurut Grotius adalah negara terjadi karena adanya suatu persetujuan, karena tanpa negara orang tidak dapat menyelamatkan dirinya dengan cukup. Dari persetujuan itulah lahir kekuasaan memerintah. Kekuasaan tertinggi untuk memerintah ini dinamakan kedaulatan. Grotius lalu menempatkan kedaulatan tersebut pada negara yang dipegang oleh orang yang tidak tunduk pada kekuasaan orang lain, sehingga ia tidak dapat diganggu gugat oleh kemauan manusia.

Pemikiran Grotius ini kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes. Dengan dasar yang sama ia menyatakan bahwa perjanjian yang dibentuk oleh masyarakat adalah undang-undang alam (lex naturalis) yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian dengan cara membatasi kemerdekaan alamiah tiap orang. Selain itu Hobbes berpendapat bahwa perlu diangkat seorang raja dengan kekuasaan mutlak dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan ini bersifat mutlak karena raja berdiri di atas kepentingan warganya. Kekuasaan raja menurut Hobbes bukan merupakan bagian dari perjanjian bahkan menurutnya raja tidak dapat melanggar hukum karena raja merupakan hukum itu sendiri. Kedaulatan adalah kekuasaan tanpa batas untuk tujuan-tujuan negara.

Pentingnya kekuasaan negara yang mutlak kemudian dikemukan pula oleh Hegel, seorang filsuf dari Jerman. Dengan analisis filsafat historis yang mendalam, ia menyatakan bahwa sejarah umat manusia merupakan proses dari sebuah ide universal yang sedang merealisasikan atau mengaktualisasikan dirinya. Sejarah bergerak menuju suatu tujuan akhir tertentu yang sudah pasti yaitu masyarakat manusia yang sempurna. Masyarakat yang ada sekarang menurut Hegel bukanlah masyarakat yang sempurna, melainkan masyarakat yang sedang menuju ke kesempurnaan. Masyarakat yang sempurna digambarkan oleh Hegel dengan mengaitkan sejarah pola-pola kekuasaan dalam negara. Pada awalnya kekuasaan negara dipegang oleh satu orang dalam sistem monarki, kemudian ia berkembang dengan kekuasaan yang dipegang oleh beberapa orang dalam sistem oligarki dan pada akhirnya perkembangan itu berujung pada sistem yang ideal dan lestari yaitu demokrasi, ketika pada saat itu semua orang dalam negara memegang kekuasaan.

Dengan dasar bahwa masyarakat yang ada sekarang adalah masyarakat yang belum sempurna, maka Hegel menempatkan negara sebagai penjelmaan dari ide universal ini. Negara merupakan agen sejarah yang akan membimbing masyarakatnya untuk menuju kesempurnaan. Oleh karena itu negara berada di atas warganya dan memiliki kewenangan untuk memaksakan kepentingannya kepada warganya. Dengan begitu Hegel mendukung kekuasaan negara yang mutlak atas warga negaranya walaupun ia tidak secara rinci mengemukakan kepada siapa atau lembaga apa kekuasaan tersebut diberikan.

Pemikiran-pemikiran tentang negara kuat, baik yang dikemukan oleh Hegel maupun oleh pemikir-pemikir sebelumnya, di masa negara-negara modern diteruskan oleh penganut teori negara organis. Dalam konsep negara organis, negara merupakan sebuah lembaga yang memiliki kemauan sendiri yang mandiri. Dia bukan sekedar alat dari keinginan sekelompok orang di masyarakat, atau gabungan dari keinginan-keinginan kelompok yang ada di masyarakat. Teori negara organis didasarkan pada tujuan negara untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Hegel dan juga untuk menegakkan moralitas baru di dalam masyarakat. Untuk itu negara harus aktif menyelenggarakan dan mencampuri urusan-urusan yang ada di dalam masyarakat.

Dengan dasar pemikiran dan ideologi yang berbeda, konsep negara harus kuat tersebut mencapai bentuk ekstrim pada negara fasis dan negara diktatur proletariat. Konsep negara fasis adalah negara totaliter. Dalam negara fasis tidak boleh ada nilai yang berkembang kecuali nilai yang dibentuk oleh negara, karena hanya negara yang tahu apa yang baik bagi bangsanya. Model negara-negara semacam ini tumbuh di Italia dan Jerman sebelum perang dunia kedua. Sedangkan dalam negara diktatur proletariat yang diilhami oleh ideologi marxisme-leninisme, negara merupakan agen sejarah dari kaum proletariat untuk mewujudkan tujuan terciptanya masyarakat komunis yakni masyarakat tanpa kelas dan juga tanpa negara (stateless society). Pemerintahan diktatur proletariat hanya merupakan pemerintahan transisi sebelum mencapai tujuan tersebut dan untuk kebutuhan itu negara harus kuat.

Dalam konsep-konsep kekuasaan negara yang diuraikan di atas, tidak dijumpai secara jelas peranan dari kepala pemerintahan dan kepala negara. Hal ini dikarenakan dalam pemikiran-pemikiran kekuasaan yang mutak dari negara terdapat anggapan yang optimis terhadap pemimpin-pemimpin negara (dalam hal ini sebagian menyebutnya raja), bahwa mereka adalah yang paling tahu dan paling bisa untuk menciptakan masyarakat yang terbaik. Selain itu pandangan yang menganggap kedudukan pemimpin dalam negara harus mutlak menyebabkan konsep-konsep pelembagaan yang jelas dan rinci mengenai tugas dan kewenangan menjadi tidak relevan, apalagi pemikiran yang bertujuan untuk membentuk lembaga-lembaga lain yang dapat membatasi kekuasaan kepala negara yang mutlak.

2. Kedaulatan Rakyat

Timbulnya paham kedaulatan rakyat karena perkembangan pelaksanaan dari kekuasaan negara yang mutlak, ternyata rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Sepanjang sejarah, negara-negara yang lebih berkuasa daripada warga negaranya, meski dengan alasan demi kebaikan warga negaranya tersebut, justru lebih banyak mengabaikan hak-hak dasar warganya. Dalam perkembangannya di masa demokrasi modern, tujuan untuk menciptakan negara yang demokratis disadari tidak dapat digantungkan pada para penguasa semata. Untuk itu kedaulatan harus dipegang oleh rakyat.

Perkembangan pemikiran ini diawali oleh perlawanan kaum monarchomacha terhadap raja dan gereja di masa abad pertengahan. Pemikiran mereka didasarkan pada keraguan terhadap anggapan bahwa raja-raja dan gereja tidak mungkin melakukan kesewenang-wenangan. Timbulnya pemikiran ini dikarenakan adanya kesewenang-wenangan yang memang terjadi pada masa itu.

Kaum monarchomacha menyatakan bahwa kekuasaan untuk menginterpretasi kaidah-kaidah agama bukanlah monopoli dari gereja semata, namun orang-orang di luar gerejapun dapat melakukannya. Sedangkan raja, menurut mereka, ada karena diangkat oleh rakyat atas persetujuan rakyat dan oleh karenanya ia tidak boleh sewenang-wenang kepada rakyatnya. Raja yang lalim harus ditentang dan dilawan.

Para pendukung konsep kekuasaan negara yang mutlak kemudian membantah pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh kaum monarchomacha, di antara mereka adalah Grotius dan Thomas Hobbes, dengan alasan yang telah dijelaskan dalam uraian di atas.

Pikiran-pikiran inipun kemudian dibantah oleh para pemikir paham kedaulatan rakyat. Salah satu pemikir tersebut adalah John Locke. Ia menyatakan bahwa di dalam masyarakat manusia ada hak-hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar oleh negara dan tidak diserahkan kepada negara. Bagi Locke hak dasar ini bahkan harus dilindungi oleh negara dan menjadi batasan bagi kekuasaan negara yang mutlak. Hak-hak alamiah dari John Locke terdiri dari hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan dan hak atas milik pribadi yang dalam perkembangannya kemudian di masa modern hak-hak dasar ini bertambah jumlahnya dan menjadi konsep utama dalam pemikiran tentang demokrasi.

Di negara-negara modern, konsep kedaulatan rakyat ini mendapatkan tempat yang utama. Isu yang paling gencar dikumandangkan dalam konsep ini adalah isu mengenai pembatasan kekuasaan negara. Pada prinsipnya negara tetap diselenggarakan oleh orang-orang tertentu, namun orang-orang tersebut harus mendapat legitimasi dan kontrol dari rakyatnya. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran yang sebelumnya hanya berbentuk teori-teori dan konsep-konsep umum, berkembang pada pemikiran-pemikiran yang mulai menggali persoalan-persoalan pelembagaan.

Teori dan konsep tentang kedaulatan rakyat mengalami persoalan yang signifikan yaitu tentang bagaimana pelaksanaan dari kedaulatan rakyat tersebut. Dalam konsep kekuasaan negara yang mutlak, persoalan ini tidak timbul karena hal itu telah diselesaikan dengan diserahkannya kekuasaan yang mutlak pada seseorang atau sekelompok orang tertentu. Pada konsep kedaulatan rakyat, pelaksanaan menjadi rumit karena tidak mungkin untuk menyerahkan kekuasaan penyelenggaraan negara pada seluruh masyarakat, hal itu dapat menyebabkan terhambatnya bahkan kekacauan bagi pelaksanaan kehidupan bernegara.

Mekanisme kelembagaan untuk pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam rangka pencegahan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan sebenarnya telah dipikirkan oleh John Locke. Locke memisahkan aspek legislatif (pembuatan undang-undang dan hukum) dan aspek eksekutif dan yudikatif (pelaksanaan undang-undang dan hukum) dalam sebuah sistem politik. Kedua aspek ini tidak boleh dipegang oleh satu tangan agar penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan.

Sistem pemerintahan menurut Locke terdiri atas seorang raja yang memiliki kekuasaan eksekutif dan parlemen yang memiliki kekuasaan legislatif. Sistem ini dinamakannya monarki konstitusional atau monarki parlementer. Badan eksekutif mempunyai hak prerogatif yang tidak berdasarkan pada suatu undang-undang, malah kadang-kadang berlawanan dengan undang-undang, tapi ia tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum atau kebaikan umum, contohnya memanggil parlemen untuk bersidang. Yang menentukan hak tersebut sejalan dengan kepentingan umum adalah seluruh rakyat, yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan pada wakil-wakil kepercayaannya di legislatif. Hal ini, menurut Locke, mengakibatkan eksekutif tergantung pada legislatif dan legislatif tergantung pada rakyat.

Locke juga sebenarnya menambahkan satu lembaga lagi dalam negara, yang disebutnya dengan kekuasaan federatif. Lembaga ini berfungsi menyelenggarakan kekuasaan tentang hal perang dan damai, pembuatan perjanjian dan persekutuan serta apapun yang diperlukan dalam berhubungan dengan pihak-pihak luar negara. Kekuasaan ini juga tunduk pada legislatif, namun sebagaimana yang dikemukakan oleh Locke sendiri, fungsi federatif ini sebenarnya juga sebaiknya dilakukan oleh eksekutif, sehingga terlihat bahwa Locke sendiri tidak menganggap lembaga ini penting untuk dipisahkan secara tegas.

Kerangka pemikiran Locke kemudian lebih dikembangkan dan dipertegas lagi oleh Montesquieu. Dalam pemikirannya yang dikenal dengan konsep trias politika, Montesquieu memisahkan pelembagaan kekuasaan negara dalam tiga fungsi, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Dengan adanya pemisahan kekuasaan yang tegas, diharapkan terjaminnya kebebasan masing-masing lembaga dalam menjalankan kekuasaannya.

Dasar pemikiran Locke dan Montesquieu di jaman modern kemudian mengalami perkembangan yang amat pesat. Mekanisme kelembagaan yang dulu belum menyentuh persoalan-persoalan teknis dan operasional terus mengalami perbaikan-perbaikan. Namun demikan isu-isu yang dikumandangkan tetap tidak berubah yaitu pembatasan kekuasaan negara dalam rangka kedaulatan rakyat (demokratisasi). Kedudukan rakyat dalam teori kedaulatan rakyat berusaha ditempatkan sedemikian rupa dalam pembahasan tentang pelembagaan dalam ketatanegaraan, sehingga pemusatan kekuasaan pada satu orang atau satu lembaga diharapkan tidak terjadi. Munculnya konsep perimbangan kekuasaan terhadap kekuasaan eksekutif memungkinkan tersedianya mekanisme kontrol dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan publik.

B. Karakteristik Kekuasaan Presiden Dalam Sistem Pemerintahan Negara Demokrasi Modern.

Setelah diuraikannya dasar-dasar pemikiran dan perkembangan kekuasaan dalam negara pada bagian sebelumnya, pada bagian ini akan dibahas lebih konkret lagi tentang pelaksanaan kekuasaan tersebut di negara-negara demokrasi modern. Dalam uraian kali ini akan diketengahkan model-model sistem pemerintahan yang umum dianut oleh negara-negara demokrasi modern dan khususnya dikaitkan dengan peranan dan mekanisme pelaksanaan fungsi lembaga kepresidenannya.

Isu utama dalam perdebatan tentang sistem pemerintahan demokrasi adalah hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Sebagaimana telah dibahas dalam uraian-uraian sebelumnya, kekuasaan lembaga eksekutif adalah kekuasaan sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan. Ia merupakan perancang dan pelaksana utama dari kebijakan-kebijakan negara. Sedangkan lembaga legislatif yang muncul dari kerangka pemikiran untuk menyeimbangkan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara, dalam perspektif kedaulatan rakyat merupakan lembaga yang mewakili kehendak dan kepentingan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat dan diwujudkan dalam pembentukan undang-undang. Perdebatan yang kemudian berlanjut dalam kaitannya dengan isu utama ini adalah bagaimana menciptakan keseimbangan kekuasaan di antara kedua lembaga ini agar tujuan untuk mengantisipasi dan mengeliminasi kecenderungan penyelewengan kekuasaan dari masing-masing lembaga dapat dilakukan secara optimal. Persoalan-persoalan yang diajukan untuk dijadikan bahan penilaian dalam mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing sistem adalah stabilitas pemerintahan, partisipasi politik dan pergolakan politik.

Dalam sistem pemerintahan negara-negara demokrasi modern, terdapat dua model utama sistem pemerintahan dengan berbagai variasinya. Sistem tersebut adalah sistem presidensial dan sistem parlementer. Perbedaan utama di antara keduanya adalah:

  1. Dalam pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan, yang bisa dijabat oleh perdana menteri, presiden atau yang lainnya, bergantung pada mosi atau kepercayaan badan legislatif dan dapat turun dari jabatan melalui mosi tak percaya dari legislatif. Dalam pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan hampir selalu disebut presiden dan dipilih untuk masa jabatan yang ditentukan oleh UUD. Dalam keadaan normal, kepala pemerintahan dalam sistem presidensial tidak dapat dipaksa untuk mengundurkan diri oleh badan legislatif (meskipun terdapat kemungkinan untuk memecat seorang presiden dengan proses pendakwaan luar biasa).
  2. Kepala pemerintah presidensial dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan pemilihan, dan perdana menteri dipilih oleh badan legislatif.
  3. Sistem parlementer memiliki pemerintah/eksekutif kolektif atau kolegial sedangkan sistem presidensial memiliki eksekutif nonkolegial (satu orang). Posisi perdana menteri dalam kabinet bisa berubah-ubah, yaitu lebih tinggi hingga sama dengan menteri-menteri lain, tapi selalu ada tingkat kolegialitas yang relatif tinggi dalam pembuatan keputusan. Sebaliknya, para anggota kabinet presidensial hanya merupakan penasehat dan bawahan presiden.
  4. Dalam sistem presidensil, presiden adalah kepala pemerintahan dan kepala negara, ia juga tidak dapat sekaligus menjadi anggota badan legislatif. Sementara dalam sistem parlementer perdana menteri hanya merupakan kepala pemerintahan saja dan biasanya ia dan anggota-anggota kabinetnya merupakan anggota legislatif.

Perbedaan-perbedaan yang dikemukakan di atas tentunya tidak merupakan kriteria-kriteria yang pasti berlaku dalam negara-negara yang menganut masing-masing sistem. Kriteria-kriteria pokok tersebut terutama berlaku tanpa pengecualian bagi negara Amerika Serikat dan Inggris yang masing-masing memberlakukan sistem presidensial dan sistem parlementer. Sebagian negara-negara modern bahkan menggunakan sistem-sistem utama tersebut dengan berbagai modifikasi dan variasi. Hal ini dikarenakan kedua sistem tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, selain itu keduanya tidak serta merta dapat diadopsi utuh tanpa mempertimbangkan sistem politik, ekonomi dan sosial-budaya masing-masing negara.

Kelebihan dan kekurangan utama dalam setiap tipe pemerintahan dengan kriteria-kriteria pokok di atas adalah bahwa sistem presidensial memiliki kelebihan dalam stabilitas eksekutif, demokrasi yang lebih besar dan pemerintah yang lebih terbatas, sedangkan kekurangannya adalah dalam kemandegan (dead-lock) eksekutif-legislatif, kekakuan temporal dan pemerintahan yang kurang inklusif. Sistem parlementer memiliki konsekuensi sebaliknya, kelebihan presidensil adalah kekurangan parlementer dan kekurangan presidensil adalah kelebihan parlementer.

Dalam bagian ini, kajian akan difokuskan terutama pada sistem presidensial dan sistem semi-presidensial karena kebutuhan utama dalam studi ini adalah mencari prinsip-prinsip dasar dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dari sistem pemerintahan di dunia. Sebagian pakar mengatakan bahwa UUD 1945 menganut prinsip-prinsip dasar tersebut, sehingga pembahasan mengenai karakteristik kekuasaan presiden RI berikut ini, akan mengaitkannya dengan prinsip-prinsip dan kebiasaan-kebiasaan sistem pemerintahan yang cenderung dekat dengan sistem pemerintahan menurut UUD 1945.

1. Sistem Pemerintahan Presidensial

Pembahasan sistem pemerintahan presidensial ini didasarkan dari sebelas proposisi mengenai sistem pemerintah presidensial yang dikemukakan oleh Douglas V. Verney dan sebagian telah diuraikan secara umum pada paragraf tentang perbedaan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer.

  1. Majelis tetap sebagai majelis saja.

Dalam teori sistem pemerintahan, terdapat tiga fase kekuasaan pemerintahan, meskipun peralihan dari fase satu ke fase yang lain tidak selalu tampak jelas. Pada awalnya, pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang bertanggung jawab atas seluruh sistem politik atau sistem kenegaraan. Kemudian muncul sebuah majelis dengan anggota yang menentang hegemoni raja. Terakhir, majelis mengambil alih tanggung jawab atas pemerintahan dengan bertindak sebagai parlemen sehingga raja kehilangan sebagian besar kekuasaan tradisionalnya. Ketiga fase ini merupakan pola yang pernah muncul di Inggris. Konsep sistem pemerintahan presidensial menuntut agar majelis tetap terpisah seperti dalam fase kedua sistem pemerintahan, dengan menghapuskan monarki dan mengganti raja dan pemerintahannya dengan seorang presiden dan majelis tetap sebagai majelis yang menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan presiden.

  1. Eksekutif tidak dibagi, melainkan hanya ada seorang presiden yang dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu pada saat majelis dipilih.

Penetapan eksekutif yang terpisah dimungkinkan karena eksekutif tidak terbagi sebagaimana yang terjadi dalam sistem parlementer. Presiden dipilih untuk masa jabatan yang pasti, hal ini mencegah majelis memaksa pengunduran dirinya, kecuali dengan tuduhan pelanggaran yang serius, dan sekaligus menuntut presiden untuk bersedia dipilih kembali melalui pemilihan umum jika ia ingin terus memegang jabatannya, namun sebaiknya masa jabatan presiden ini dibatasi pada beberapa kali masa jabatan. Hal yang juga penting adalah pemilihan presiden pada saat bersamaan dengan pemilihan majelis, mekanisme ini akan menghubungkan dua cabang pemerintahan, mendorong persatuan partai dan memperjelas berbagai masalah.

  1. Kepala pemerintahan adalah kepala negara.

Jika dalam monarki praparlementer kepala negara juga merupakan kepala pemerintahan, maka dalam sistem presidensial kepala pemerintahan menjabat sebagai kepala negara. Ini merupakan satu perbedaan penting karena perbedaan ini menarik perhatian ke arah kedudukan yang terbatas dan keadaan di seputar jabatan presiden. Presiden mempunyai sedikit konsekuensi hingga ia dipilih sebagai pemimpin politik oleh para pemilihnya dan ia tidak lagi memegang kekuasaan apapun setelah masa jabatannya berakhir. Aspek seremonial dari kedudukannya sebagai kepala negara hanya mencerminkan prestise politiknya.

  1. Presiden mengangkat kepala departemen yang merupakan bawahannya.

Perdana menteri dalam sistem pemerintahan parlementer mengangkat menteri-menteri yang merupakan rekan-rekannya di parlemen untuk bersama-sama membentuk pemerintahan. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden mengangkat menteri-menteri untuk dijadikan kepala departemen eksekutif di bawahnya. Dalam aturan formal yang berlaku di Amerika Serikat dan Filipina, pengangkatan menteri oleh presiden harus mendapatkan persetujuan dari majelis atau salah satu organnya (di Amerika Serikat adalah Senat dan di Filipina adalah Komisi Pengangkatan), sehingga pemilihan oleh presiden terbatas pada orang-orang yang disetujui oleh badan itu. Hal ini menghindarkan presiden untuk mengangkat orang-orang yang diragukan kapabilitas pribadinya.

  1. Presiden adalah eksekutif tunggal.

Dalam sistem pemerintah presidensial, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh satu orang, yakni presiden. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang bersifat kolektif, perdana menteri berkedudukan setara dengan menteri-menteri lainnya.

  1. Anggota majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintah dan sebaliknya.

Dalam konvensi atau aturan parlementer negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, kecuali Belanda dan Norwegia, seseorang dibolehkan untuk menduduki jabatan eksekutif dan legislatif sekaligus. Dalam sistem pemrintahan presidensial, orang yang sama tidak boleh menduduki dua jabatan tersebut.

  1. Eksekutif bertanggung jawab kepada konstistusi.

Sistem pemerintahan presidensial menuntut presiden untuk bertanggung jawab kepada konstistusi, bukan kepada majelis sebagaimana dalam sistem parlementer. Biasanya majelis meminta presiden bertanggung jawab kepada konstitusi melalui proses dakwaan berat atau mosi tidak percaya, namun hal ini tidak berarti ia bertanggung jawab kepada majelis seperti dalam pengertian parlementer. Dakwaan ini menuntut kepatuhan hukum dan sangat berbeda dengan pelaksanaan kontrol politik atas tindakan presiden.

  1. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis.

Majelis dalam sistem presidensial tidak dapat memberhentikan presiden, begitu pula sebaliknya presiden tidak dapat membubarkan majelis dan oleh karena itu mereka juga tidak dapat saling memaksa. Hal ini, menurut pendukung sistem presidensial, merupakan keadaan yang mendukung mekanisme check and balance agar berjalan secara optimal.

  1. Majelis berkedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lain dan tidak ada peleburan bagian eksekutif dan legislatif seperti dalam sebuah parlementer.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, dalam sistem presidensial terlihat seperti ada kecenderungan tidak adanya lembaga yang dominan atas lembaga lain, karena presiden dan majelis sama-sama independen. Namun dalam praktek ada hal-hal yang justru memperlihatkan bahwa majelis berkedudukan lebih tinggi dari lembaga-lembaga lain termasuk lembaga yudikatif. Salah satu contohnya adalah bahwa majelis dengan dasar UUD dapat menjatuhkan hukuman kepada presiden dalam proses dakwaan berat. Contoh lainnya adalah kekuasaan mejelis untuk mengubah UUD menempatkan majelis sebagai lembaga yang dapat berbuat apa saja dalam mengatur kekuasaan lembaga-lembaga lain dalam negara. Dalam sistem parlementer, konstitusi harus diubah dengan persetujuan pemerintah dan parlemen, sedangkan dalam sistem presidensial majelis dapat merubah UUD tanpa persetujuan presiden.

  1. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada para pemilih.

Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan pemilihan, sedangkan perdana menteri dalam sistem parlementer dipilih oleh badan legislatif. Konsekuensi dari sistem ini adalah presiden akan merasa lebih kuat kedudukannya dari pada para wakil rakyat, karena ia dipilih oleh seluruh rakyat sedangkan para wakil rakyat dipilih oleh sebagian rakyat. Di beberapa negara Amerika Latin dan Perancis di masa de Gaulle, presiden dapat melangkah lebih jauh dari batas kekuasaannya dengan menggunakan alasan ini.

  1. Tidak ada fokus kekuasaan dalam sistem politik.

Apabila dalam sistem parlementer kegiatan politik bertumpu pada parlemen, maka dalam sistem presidensial tidak ada lembaga yang menjadi konsentrasi kekuasaan, karena pada kenyataannya kekuasaan menjadi terbagi dan masing-masing lembaga memiliki kewenangan yang dikontrol oleh lembaga lainnya.

2. Sistem Pemerintahan Semi-Presidensial

Bentuk-bentuk pemerintahan yang berada di antara sistem presidensial dan sistem parlementer disebut oleh Maurice Duverger dengan sistem "semi-presidensial" sedangkan Jean Blondel menggolongkan sistem ini ke dalam sistem pemerintahan yang ia sebut "kepemimpinan rangkap". Selain Perancis, negara-negara yang digolongkan dalam sistem ini adalah Finlandia, Austria, Argentina, Irlandia, Islandia, Portugal melalui UUD 1975, Sri Langka melalui UUD 1978, dan sistem yang berlaku di Jerman dari tahun 1919 hingga 1933 di bawah Republik Weimar. Sistem ini oleh para pendukungnya dinyatakan sebagai sistem yang menyatukan keuntungan-keuntungan dari sistem presidensial dan parlementer murni. Sistem ini diduga oleh Lijphart memiliki daya tarik yang besar khususnya di dalam pemerintahan presidensial di mana ketidakpuasan terhadap presidensialisme terus tumbuh.

Konsep-konsep dan karakteristik sistem semi-presidensial hanya dapat didefinisikan dalam isi UUD yang menganutnya. Sebuah rejim politik oleh Duverger dianggap sebagai semi-presidensial jika UUD yang menetapkannya menyatukan tiga unsur, yaitu (1) presiden republik dipilih melalui hak pilih universal/ umum; (2) ia memiliki kekuasaan yang cukup besar; dan (3) ia memiliki lawan politik, namun seorang perdana menteri atau para menteri yang memegang kekuasaan eksekutif dan pemerintahan dapat tetap memegang jabatan seandainya parlemen tidak menunjukkan oposisi kepada mereka. Duverger mengemukakan kriteria-kriteria tersebut dalam rangka analisisnya terhadap tujuh negara yang menganut sistem semi-presidensial, yaitu negara-negara tersebut di atas minus Argentina dan Sri Langka.

Sebagaimana yang ditemukan oleh Duverger, semua UUD yang menetapkan pemerintahan semi-presidensial tampak relatif homogen dan semua UUD itu memperlihatkan perbedaan yang cukup mencolok dalam hal kekuasaan kepala negara. Dalam prakteknya kekuasaan kepala negara di antara negara-negara penganut sistem ini memiliki keragaman tingkat kekuasaannya. Analisis Duverger terhadap praktek negara-negara tersebut memperlihatkan bahwa di tiga negara yaitu Austria, Irlandia dan Islandia, presiden hanya merupakan boneka, di satu negara yaitu Perancis, presiden sangat berkuasa, di tiga negara lain sisanya presiden berbagi kekuasaan dengan perdana menteri.

UUD Austria, Irlandia dan Islandia menetapkan sistem pemerintahan semi-presidensial, sedang praktek politiknya adalah parlementer. Meskipun dipilih secara umum dan diberikan kekuasaan pribadi oleh undang-undang, kepala negara di setiap negara ini biasanya bertindak seperti presiden Italia atau seperti Ratu Inggris. Fungsi-fungsi yang dijalankan dalam hal ini adalah mengesahkan semua keputusan yang diajukan oleh pemerintah, dan hak prerogatifnya hanya memilih perdana menteri selama pemilihannya itu tidak ditentukan oleh hasil pemilu.

Setelah diubah pada tahun 1962, UUD Perancis 1958 tidak memberikan kekuasaan pribadi yang besar kepada presiden republik, kecuali dalam pasal 16 UUD itu yang mengijinkan presiden menjadi seorang diktator sementara dalam keadaan luar biasa. Terlepas dari pasal 16 ini, Presiden Republik Perancis dapat membuat berbagai keputusan tanpa harus ditandatangani oleh Perdana Menteri dan tanpa persetujuan pemerintah atau mayoritas parlemen dalam empat hal saja, yaitu (1) membubarkan Majelis Nasional; (2) menunjukkan undang-undang atau komitmen internasional yang ia nilai bertentangan dengan UUD kepada Dewan Konstitusional; (3) mengangkat tiga anggota dan kedua (sic!) Dewan Konstitusional setelah masa jabatan pendahulu mereka berakhir; dan (4) menyampaikan berbagai pesan kepada parlemen.

Kekuasaan presiden lainnya di Republik Perancis adalah dimilikinya hak veto dalam hal ordonansi dan dekrit yang dibahas di Dewan Menteri. Ordonansi adalah naskah yang mengandung kekuatan hukum yang disetujui oleh pemerintah dan harus dilaksanakan secara penuh melalui undang-undang. Sementara dekrit menyangkut pengangkatan para pejabat senior, Penasehat Negara, dan Penasehat di Badan Pemeriksa Keuangan, gubernur, duta besar, jenderal, rektor dan para administratur pusat. Dyverger dalam hal ini mencatat bahwa kekuasaan utama Presiden Republik Perancis memiliki karakter yang tidak tertentu. Mayoritas dari kekuasaan tersebut bukan merupakan kekuasaan keputusan. Kekuasaan-kekuasaan itu hanya cenderung menghambat suatu keputusan untuk dikaji secara matang atau untuk menyerahkan keputusannya kepada rakyat Perancis (dalam hal ini pembubabaran parlemen, referendum).

Dalam prakteknya, Presiden Perancis menggunakan kekuasaan jauh lebih besar. Dimulai sejak pemerintahan Jenderal de Gaulle tahun 1964 dan kemudian diikuti oleh para penggantinya, kekuasaan presiden telah berubah menjadi kekuasaan sebagai kepala eksekutif tertinggi dan kepala pemerintahan yang sebenarnya. Para presiden tersebut menjalankan langsung kekuasaan prerogatif presiden dan menjalankan secara tidak langsung kekuasaan prerogatif perdana menteri. Dominasi tersebut disebabkan penafsiran de Gaulle yang membingungkan atas UUD dengan menyatakan bahwa kekuasaan negara yang tidak terbagi diserahkan sepenuhnya kepaada rakyat yang telah memilihnya, bahwa tidak ada kekuasaan yang tidak diberikan dan tidak dipegang oleh presiden dan presiden berkewajiban menyesuaikan kedudukannya yang tertinggi ini dengan kedudukan pejabat-pejabat lain. Hal ini menyebabkan kedudukan Majelis Nasional yang juga dipilih oleh rakyat dan seharusnya menjadi pusat kedaulatan rakyat menjadi terabaikan dan kekuasaan negara kemudian mengarah pada pemusatan ke satu orang, yakni presiden.

Kekuasaan presiden yang besar di Republik Perancis ini kemudian mengalami fase pergeseran dari pola presidensial ke parlementer ketika Presiden Francois Mitterand kehilangan suaranya di parlemen dan terpaksa mengangkat lawan politiknya yang utama, Jacques Chirac untuk menduduki jabatan perdana menteri. Chirac menjadi kepala pemerintahan, kekuasaan Mitterand berkurang dan hanya memegang peranan khusus dalam politik luar negeri, periode ini oleh Lijphart disebut dengan periode "kohabitasi" (pemerintah gabungan).

Konstitusi-konstitusi Republik Weimar, Finlandia dan Portugal serta pelaksanaannya dalam praktek, oleh Duverger dinyatakan berjalan dalam arti yang sesungguhnya, kekuasaan presiden sebagai kepala negara dan kekuasaan perdana menteri sebagai eksekutif berada dalam kedudukan yang seimbang. Ini berbeda dengan kekuasaan presiden pada tiga negara yang telah diuraikan sebelumnya yang hanya membatasi kekuasaan presiden pada fungsi-fungsi simbolik. Selain itu, konstitusi ketiga negara tersebut juga berbeda dengan Perancis yang mendudukkan perdana menteri sebagai kepala staf di bawah presiden (sebelum masa kohabitasi).

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan negara-negara demokrasi modern ternyata tidak mudah untuk dipetakan dan dianalisis secara sederhana, apalagi untuk mengklasifikasikannya sesuai dengan ketentuan baku mengenai hak dan wewenang yang ada pada presiden, sebagai kepala negara ataupun kepala pemerintahan. Hal ini disebabkan karena memang tidak ada konsep baku yang mengatur tentang kekuasaan presiden dalam suatu negara. Semuanya tergantung dari konstitusi dan praktek politik yang terbentuk di negara tersebut. Khusus untuk kepala negara dalam perkembangan praktek-praktek kenegaraan modern, fungsi-fungsinya tidak lagi hanya dapat dikatakan sebagai simbolis belaka. Kekuasaan kepala negara hanya dapat disederhanakan menjadi kekuasaan tertinggi dalam negara, tapi dalam pelaksanaannya kekuasaan tersebut berbeda-beda, baik dari jenisnya maupun tingkat kekuasaannya.

C. Karakteristik Kekuasaan Presiden RI

Pembahasan khusus dan komprehensif mengenai kekuasaan presiden RI tidak banyak ditemukan dalam literatur-literatur hukum tata negara Indonesia maupun literatur-literatur politik Indonesia. Padahal sebagaimana diketahui bersama, selama empat puluh tahun sejak masa Demokrasi Terpimpin sampai berakhirnya Orde Baru, lembaga negara yang paling mendominasi kehidupan bernegara di Indonesia adalah lembaga kepresidenan. Masalah ini pernah dilontarkan oleh Affan Gafar dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh BEM UGM di Yogyakarta pada tahun 1994. Salah satu sebab utama yang ia kemukakan dalam diskusi tersebut adalah bahwa selama masa kepemimpinan Soekarno dan Soeharto, permasalahan-permasalahan tentang kekuasaan presiden seolah-olah dianggap tabu untuk diperdebatkan.

Perdebatan tentang kekuasaan Presiden RI selama ini secara umum dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu pertama, kelompok yang mendasarkan pandangannya secara normatif pada paham integralistik dan kedua, kelompok yang mendasarkan pandangannya secara dinamis pada paham demokrasi modern. Kedua kelompok ini sama-sama menyatakan bahwa pandangannya didasarkan pada paham kedaulatan rakyat dan umumnya mereka tetap berpegang pada UUD 1945, hanya dalam hal penafsirannya saja, khususnya mengenai kekuasaan Presiden RI, mereka berbeda pandangan.

Secara garis besar, sebelum dijelaskan lebih lanjut di bawah, penganut paham integralistik menyatakan bahwa kekuasaan presiden RI yang besar adalah konsekuensi dari dianutnya paham integralistik oleh UUD 1945, yang pada prinsipnya tidak mempertentangkan antara "staat" dan "individu", persatuan antara pemimpin dan rakyatnya yang diliputi oleh suasana dan semangat gotong royong dan kekeluargaan. Negara, yang diwakili oleh kepala negara, adalah negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya yang mengatasi semua golongan dalam lapangan apapun. Pandangan ini digolongkan oleh beberapa pakar ke dalam paham negara organis. Penyederhanaan ini ditolak oleh Attamimi dengan argumentasi bahwa dasar pemikiran paham integralistik Soepomo berbeda dengan dasar pemikiran teori-teori barat, karena ia diambil langsung dari riwayat hukum (rechtgeschichte) dan lembaga sosial (sociale struktuur) asli bangsa Indonesia.

Di lain pihak, penganut paham demokrasi modern umumnya adalah pengkritik paham integralistik atau minimal tidak mengaitkan pandangannya dengan paham integralistik. Pendekatan yang dipakai lebih sering didasarkan pada relaitas sosial-politik Indonesia yang dihubungkan dengan dinamika konsep-konsep demokrasi modern dengan orientasi menjawab kebutuhan-kebutuhan kehidupan kenegaraan Indonesia menuju keadaan yang lebih demokratis. Pandangan ini tidak mudah untuk dipetakan secara sederhana karena pendekatan-pendekatan yang dipakai dalam melihat realitas sosial-politik Indonesia bermacam-macam dan cenderung tidak normatif. Selain itu, dalam penafsiran mereka atas konsep-konsep demokrasi yang berkembang juga berbeda-beda, namun secara prinsipil, khususnya mengenai kekuasaan Presiden RI, mereka sepakat untuk membatasi ruang lingkup kekuasaannya dan berpihak pada penciptaan keseimbangan kekuasaan dalam negara (balance of power).

Untuk lebih jelasnya, maka pada bagian berikut akan diuraikan pokok-pokok pemikiran mengenai kekuasaan Presiden RI dalam perspektif cita negara integralistik dan para pengkritiknya. Selanjutnya akan dianalisis sistem pemerintahan negara RI, kekuasaan Presiden RI, dan relevansinya dengan tuntutan demokratisasi di Indonesia dewasa ini.

1. Kekuasaan Presiden RI Dalam Perspektif Cita Negara Integralistik

1.1. Cita Negara Integralistik

Gagasan cita negara integralistik pertama kali dikemukakan oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945 dan kemudian secara baik dan sistematis dikembangkan oleh A. Hamid S. Attamimi dalam desertasinya. Dalam kajian ini tidak seluruh gagasan tersebut akan diuraikan, namun hanya bagian-bagian yang berkaitan dengan prinsip-prinsip pokok kekuasaan Presiden RI.

Dalam teori integralistik Soepomo, negara adalah kesatuan masyarakat yang organis dan tersusun secara integral, di mana segala golongan, segala bagian, dan segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain. Negara bertujuan untuk menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai kesatuan, bukan untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan. Pemikiran ini didasarkan pada prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat serta prinsip persatuan dalam negara seluruhnya. Prinsip ini diambilnya dari aliran pikiran nasional sosialis Jerman dan konsep negara Dai Nippon yang hidup di masa sebelum Perang Dunia II sampai perang dunia berakhir dan dianggapnya cocok dengan aliran pikiran ketimuran. Pemikiran ini, menurut Soepomo, juga didasarkan pada struktur sosial Indonesia asli, yang berwujud dalam susunan tata negara yang terdapat di desa-desa Indonesia.

Cita negara integralistik, menurut Soepomo, tidak berarti bahwa negara tidak memperhatikan adanya golongan-golongan sebagai golongan atau tidak mempedulikan manusia sebagai perseorangan. Negara atau pemerintah tidak akan menarik segala kepentingan masyarakat ke dirinya untuk dipelihara sendiri. Selanjutnya menurut Soepomo, dengan alasan-alasan yang "doelmatig", negara atau pemerintah akan membagi-bagi kewajiban negara kepada badan-badan pemerintah pusat dan daerah, atau akan menyerahkan sesuatu hal untuk dipelihara oleh suatu golongan atau suatu perseorangan, segala sesuatu menurut waktu, tempat, dan soalnya.

Cita negara integralistik Soepomo tersebut oleh Attamimi kemudian diturunkan dalam teori bernegara Indonesia yang disebutnya dengan teori bernegara "Republik Desa". Berdasarkan pidato Soepomo di sidang BPUPKI dan teori bernegara yang dikemukakan oleh Padmo Wahjono dan Jellinek yang meliputi hakekat negara Indonesia, pembenaran adanya negara Indonesia, terbentuknya negara Indonesia dan tujuan negara Indonesia; ia berkesimpulan bahwa semua teori bernegara tersebut sama dengan cita pembentukan "Republik Desa" yang disesuaikan dengan sociale struktuur masyarakat Indonesia yang nyata pada masa sekarang, serta harus disesuaikan dengan panggilan zaman.

1.2. Sistem Pemerintahan Negara Integralistik: Republik Desa.

Sistem pemerintahan negara Indonesia menurut Attamimi adalah sistem pemerintahan presidensial, berdasarkan pendapat Rutges ia menyatakan bahwa sistem presidensial adalah sistem yang dipertimbangkan secara rasional (een rationale uitgedahcht stelsel), yang juga mempunyai dasar pertimbangan pembatasan kekuasaan melalui pembagian kekuasaan, meskipun Indonesia tidak mengikuti trias politica. Perbedaan utama antara sistem pemerintahan presidensil yang berlaku di Amerika Serikat dengan sistem presidensial Indonesia adalah terletak pada cita negara dan teori bernegara yang dianutnya. Indonesia menganut sistem presidensial sendiri atas dasar presiden memegang kekuasaan pemerintah negara menurut UUD 1945.

Sistem pemerintahan negara Indonesia menurut Soepomo, yang dikuatkan oleh Attamimi, merupakan pengalihan dasar-dasar sistem pemerintahan "Republik Desa" yang merupakan cerminan Teori Bernegara Indonesia, yang didasarkan pada Cita Negara Indonesia ke dalam sebuah negara modern Republik Indonesia. Dengan membandingkan lembaga-lembaga negara RI dalam UUD 1945 dengan lembaga-lembaga "Republik Desa" Attamimi memperlihatkan bahwa kedudukan, fungsi dan peranan lembaga-lembaga negara tersebut dalam sistem pemerintahan negara Indonesia adalah sama dengan apa yang terdapat di "Republik Desa".

Kekuasaan negara tertinggi di dalam negara adalah di tangan rakyat, sebagaimana dalam "Republik Desa", kekuasaan ada di tangan rakyat desa. Dalam pelaksanaannya, kedaulatan itu diserahkan ke tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang dalam "Republik Desa" dinamakan Rapat Desa, dengan dasar pemikiran bahwa tidak mungkin dan tidak perlu seluruh rakyat turut serta melakukan kedaulatannya. MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang berdaulat bertugas untuk menetapkan Hukum Dasar Negara, menetapkan GBHN, memilih dan mengangkat Presiden dan memberinya mandat, serta memilih dan mengangkat wakil presiden. Dengan pemberian mandat kepada presiden, maka menurut Soepomo kedaulatan tersebut menjelma pada presiden, atau yang menurut Attamimi harus diartikan sebagai "mengalirnya" kedaulatan rakyat melalui mandat MPR selaku pelaksana kedaulatan rakyat kepada presiden, jadi penjelmaan tersebut mestinya dalam lembaga presiden bukan dalam pribadi presiden.

Dalam pelaksanaan negara sehari-hari, ada lembaga perwakilan rakyat (DPR) yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pemerintahan dan kenegaraan oleh presiden. Oleh Attamimi lembaga perwakilan ini digolongkan ke dalam lembaga yang mewakili dan berfungsi dalam kualitas rakyat selaku suyet atau onderdaan yang diperintah. Di samping DPR, ada lembaga-lembaga lain yang setingkat dengannya yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang berfungsi sebagai lembaga penasehat negara khususnya kepala negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berfungsi sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara, dan Mahkamah Agung (MA) yang berfungsi sebagai lembaga peradilan tertinggi. Lembaga-lembaga tinggi negara ini dalam "Republik Desa" disebut dengan Dewan Morokaki yang merupakan golongan Pinitua dalam desa atau ahli warisnya, yang umumnya dan biasanya adalah warga desa penuh atau inti dan mempunyai hak dan kewajiban istimewa. Lembaga ini berfungsi sebagai penasehat kepala desa serta sewaktu-waktu juga dapat menyelesaikan perselisihan di bidang hak atas tanah atau pengairan. Dalam hal-hal tertentu lembaga ini juga dapat membantu tugas kepala desa dan parentah desa, namun semua tanggung jawabnya tetap dipegang oleh kepala desa.

Kepala negara (presiden) dan wakilnya, sebagaimana halnya kepala desa, dipilih dan diangkat oleh MPR, atau Rapat Desa untuk kepala desa. Presiden adalah penyelenggara tertinggi pemerintah negara dan bertanggung jawab kepada MPR Selain dibantu oleh wakil presiden, ia dibantu pula oleh menteri-menteri negara. Kepala Negara Indonesia berdasarkan konsep "Republik Desa" hendaknya bersikap ‘manunggal’ dengan seluruh masyarakatnya dan seorang warga negara hendaknya bersikap ‘manunggal’ dengan seluruh masyarakatnya. Kepala Negara Indonesia lebih daripada pemimpin, pemuka, dan penuntun saja, ia adalah Bapak Rakyat, Bapak Bangsa.

1.3. Kekuasaan Presiden RI Dalam Sistem Pemerintahan Negara Integralistik.

Berlatar belakang adanya ketidaksesuaian istilah yang dipakai antara batang tubuh dan pejelasan umum UUD 1945 yang berkaitan dengan kedudukan presiden, Attamimi menganalisisnya berdasarkan penjelasan Soepomo di dalam Panitia Kecil yang menyatakan bahwa kata ‘presiden’ adalah gelar bagi Kepala Negara Indonesia. Pernyataan ini menurut Attamimi berhubungan dengan bentuk Negara Republik Indonesia yang dipilih oleh UUD 1945 yakni republik. Selanjutnya dengan dasar itu, Attamimi menyimpulkan bahwa kata ‘presiden’ adalah gelar bagi kepala negara yang juga berkedudukan sebagai Penyelenggara Tertinggi Pemerintah Negara RI.

Penyelenggara pemerintah tertinggi dalam negara atau disebut dengan kepala pemerintahan, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UUD 1945, menurut Attamimi merupakan terjemahan staatsregering yang merupakan perwujudan dan yang menyelenggarakan kekuasaan negara (staatsmacht) sebagai salah satu unsur negara. Kekuasaan pemerintahan dalam UUD 1945 menurut Attamimi sangat berbeda dengan kekuasaan pemerintah (executive power) dalam ajaran Montesqueiu. Istilah executive power dan legislative power dari Montesquieu dalam UUD hanya untuk memberikan penjelasan dan perbandingan semata-mata dengan sistem yang sesungguhnya dianut oleh UUD 1945. Kekuasaan pemerintah Indonesia adalah sama dengan kekuasaan pemerintah desa yang tidak hanya menyangkut pemerintahan dalam arti sempit (bestuur), namun juga pemerintahan dalam arti luas (regering) yang berisi kekuasaan atas pengadilan, kekuasaan atas perundang-undangan, kepolisian dan bahkan pertahanan. Lebih lanjut kemudian dikemukakan oleh Attamimi bahwa regering yang dalam bahasa Jerman adalah regeriung menurut Zippelius memiliki fungsi luas yaitu sebagai kegiatan penyelenggaraan negara yang tertinggi dan yang memimpin, yang perencanaan politiknya melihat jauh ke depan melampaui jangkauan bidang eksekutif dan legislatif. Sementara menurut Maier regeriung berarti panduan dan pimpinan negara secara keseluruhan, yang bertugas mengintegrasikan, mengkoordinasikan, dan mengontrol pembentukan keinginan politik dan penentuan kehidupan kenegaraannya sendiri. Konsep ini sesuai dengan konsep negara integralistik Soepomo yang menyatakan bahwa kepala desa atau kepala rakyat, yang dalam negara modern adalah presiden, berfungsi dan berkewajiban untuk menyelenggarakan rasa keadilan rakyat, dan harus senantiasa memberi bentuk (gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat.

2. Kritik Terhadap Cita Negara Integralistik.

2.1. Kritik Terhadap Soepomo dan Para Penganutnya

Cita negara integralistik yang dikemukakan oleh Soepomo dan didukung kuat oleh para penganutnya mendapatkan kritikan tajam dari beberapa pakar hukum tata negara Indonesia. Para pengkritik tersebut di antaranya adalah J. H. A. Logemann, Ismail Suny, Yusril Ihza Mahendra dan Marsillam Simanjutak. Kritik-kritik mereka terutama berkisar pada ketidaksepakatan bahwa pidato Soepomo di sidang BPUPKI merupakan jiwa dari UUD 1945. Selain itu para pakar ini juga mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap konsep negara integralistik yang memberikan kekuasaan sangat besar kepada negara, khususnya kepala negara, dalam kehidupan kenegaraan dan pemerintahan Indonesia.

Dalam catatan Attamimi, Logemann adalah pakar hukum pertama yang mengkritik pandangan integralistik Soepomo. Logemann menyatakan bahwa cita negara integralistik yang dikemukakan Soepomo pada hakekatnya tidak lain melainkan cita negara organik. Logemann tidak memungkiri adanya pengaruh Soepomo dalam UUD 1945, namun ia meragukan kemungkinan berhasilnya struktur desa yang agraris dan sebagian besar autarkis itu dipindahtangankan (overgeplant) ke dalam struktur negara modern. Pidato Soepomo tampaknya memang tidak memperhatikan faktor perubahan sosial akibat perkembangan struktur ekonomi dari agraris ke industri di negara-negara modern. Ia menganggap bahwa struktur desa Indonesia akan tetap langgeng karena struktur itu merupakan struktur asli masyarakat Indonesia, suatu pandangan yang utopis menurut Logemann.

Kritik Logemann yang paling penting adalah ketika ia melihat bahwa dalam pidato Soepomo tidak disinggung tentang kedaulatan rakyat, Logeman menyatakan "ternyata dalam konstruksi ini kehendak rakyat tidak memerlukan jaminan khusus maupun organ khusus". Pernyataan ini juga mendasari pemikiran Logemann yang menyoroti secara khusus kekuasaan presiden dalam pandangan integralistik. Menurutnya, Soepomo sudah menyadari akan dekatnya (secara berbahaya) gagasan Kepala Negara Indonesia dengan aliran nasional-sosialisme Jerman di masa perang dunia kedua. Dengan landasan itu Logemann menyatakan, "terlepas dari sifat utopis segalanya ini, sudah jelas bahwa pimpinan negara yang bertugas memelihara keselarasan (de harmonie) dan membimbing permusyawaratan sedekat mungkin ke arah mufakat, memperoleh kedudukan yang paling kuat".

Kritik-kritik berikutnya yang dikemukakan oleh Attamimi adalah kritik yang dilancarkan oleh Ismail Suny dan Marsillam Simanjutak. Dalam tulisannya, Attamimi menyatakan bahwa Ismail Suny mengambil sikap untuk tidak sepakat dengan anggapan bahwa UUD 1945 menganut pandangan integralistik Soepomo karena beberapa alasan. Pertama; Ismail Suny, dengan berlandaskan pendapat Logemann, menyatakan bahwa pengaruh integralistik Soepomo dalam UUD 1945 memang tidak dapat dipungkiri, namun orang tidak boleh mengatakan bahwa UUD 1945 terutama memakai cap Soepomo. Kedua; masih berdasarkan pendapat Logemann, Ismail Suny menyatakan bahwa kedaulatan rakyat yang oleh Soepomo dikatakan terjelma dalam diri pribadi Presiden bukan DPR dalam hal pembentukan undang-undang, telah lucut dengan adanya pendapat seorang anggota Panitia Kecil yang mengemukakan bahwa tanpa adanya persetujuan yang diharuskan antara presiden dan parlemen tentang suatu undang-undang, kedaulatan rakyat tidak cukup terjamin, dan pada saat itu kedaulatan rakyat sudah mendapat tempat dalam rancangan UUD. Ketiga; Ismail Suny mengatakan bahwa dengan masuknya asas kedaulatan rakyat ke dalam UUD 1945, adanya kewajiban presiden memegang teguh UUD dan menjalankan undang-undang, dan terdapatnya pasal-pasal mengenai hak-hak asasi manusia, maka pandangan integralistik Soepomo itu telah ditolak.

Sedangkan kritik Marsillam Simanjuntak terhadap konsep Soepomo dimulai dengan mengungkapkan kemungkinan alasan munculnya paham integralistik di masa orde baru. Ia beranggapan bahwa paham integralistik Soepomo di masa orde baru hanya merupakan alat legitimasi untuk menjelaskan sistem politik pemerintah orde baru yang tidak menganut kebebasan dan untuk meredam tuntutan hak asasi manusia, sekaligus untuk memberi dasar dan peran pemerintah yang luas dalam rangka stabilisasi politik pada periode setelah Soekarno.

Dengan meninjau pandangan Hegel dan membandingkannya dengan pidato Soepomo, Marsillam Simanjuntak berkeyakinan adanya unsur Hegelian dalam pandangan integralistik yang dikemukakan Soepomo. Walaupun yang dikatakan Soepomo tidak banyak dan belum bisa diraba di mana terjalinnya prinsip-prinsip negara menurut Hegel, namun ia sudah melihat semacam ‘countour’ Hegelian yang mulai nampak samar-samar, meski dalam sebagian implikasinya, seperti antara lain dari kata-kata Soepomo "persatuan masyarakat organis", "penghidupan bangsa seluruhnya", "kepentingan seluruhnya, bukan kepentingan perseorangan". Dengan kesimpulan tersebut, Simanjutak menguraikan unsur-unsur Hegel yang terdapat dalam staatsidee Soepomo, yaitu; di bidang bentuk negara Soepomo tidak berkeberatan Negara Indonesia dipimpin oleh raja, dengan hak turun-temurun sekalipun; di bidang kedaulatan rakyat Soepomo tidak menjelaskan letak kedaulatan rakyat dalam konsep staatsidee-nya; dan di bidang hak-hak warga negara Soepomo juga menentang jaminan hak-hak dasar dalam UUD.

Kesimpulan akhir Marsillam Simanjuntak adalah bahwa konsep pandangan integralistik Soepomo memang mengandung ajaran Hegel, dan dalam perkembangannya tidak tahan uji terhadap asas-asas demokrasi, terutama asas kedaulatan rakyat yang kemudian masuk ke dalam UUD 1945, dan dalam proses penyusunan UUD 1945, secara praktis usul Soepomo tersebut telah ditampik dan boleh dikatakan gugur.

Secara khusus Attamimi telah memberikan bantahan terhadap kritik-kritik di atas dalam desertasinya, namun hal tersebut tidak akan diungkapkan di sini karena bantahannya lebih cenderung bersifat metodologis dan tidak banyak perbedaan substansial dengan pandangan awalnya yang telah dikemukakan di atas.

Kritik yang lebih kontemporer terhadap cita negara integralistik datang dari Yusril Ihza Mahendra. Kritiknya diawali dengan mengetengahkan pendapat bahwa acuan yang lebih tepat untuk memahami pemikiran Soepomo adalah pidatonya tanggal 16 Juli 1945, bukan pidatonya tanggal 31 Mei 1945. Dalam pidato terakhirnya ini di sidang BPUPKI, menurut Mahendra, Soepomo menunjukkan suatu kompromi yang sangat longgar dengan cara menampung berbagai pikiran yang dilontarkan oleh para tokoh dalam sidang-sidang BPUPKI sebelumnya. Sebagaimana diketahui, ada 38 tokoh yang berbicara dalam sidang pertama BPUPKI, dan Soepomo adalah salah satu diantaranya. Seluruh tokoh yang berbicara tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu, golongan kebangsaan dan golongan agama (Islam).

Uraian awal Soepomo dalam pidato tangga 16 Juli 1945, menurut Mahendra, memang masih mengandung jiwa pidato Soepomo tanggal 31 Mei 1945, walau ia tidak lagi menggunakan istilah "integralistik". Namun pada uraian-uraian berikutnya, Soepomo sudah bersikap akomodatif dan kompromistis terhadap aspirasi golongan lain, dalam hal ini golongan Islam. Sebagaimana dikutip oleh Mahendra, Soepomo telah bersifat akomodatif dengan ide kedaulatan rakyat yang tidak disinggungnya dalam pidato tanggal 31 Mei 1945, ia mengatakan, "Oleh karena itu sistem negara yang nanti akan terbentuk dalam undang-undang dasar harus demikian berdasarkan kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan". Pandangan Soepomo selanjutnya yang bersifat akomodatif dan aspiratif terlihat dalam uraian, "Pokok pikiran yang ke-4, yang terkandung dalam pembukaan, ialah negara Indonesia memperhatikan keistimewaannya penduduk yang terbesar dalam lingkungan daerahnya, ialah penduduk yang beragama Islam….". Menurut Mahendra, pemikiran ini jelas sangat bertentangan dengan pandangan negara integralistik yang tidak menghendaki adanya keistimewaan yang diberikan kepada golongan manapun. Selanjutnya disimpulkan oleh Mahendra bahwa Soepomo telah bersifat kompromistis dan meninggalkan gagasan integralistiknya dan karenanya, cita negara yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 adalah cita negara Pancasila yang rumusan awalnya termaktub dalam Piagam Jakarta sebagai hasil kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam.

Dalam kaitannya dengan kekuasaan presiden, Mahendra tetap mendasarkan pandangannya pada UUD sebagai suatu hasil kompromi, sehingga untuk menafsirkan konsep kepemimpinan negara dalam UUD 1945, ia sepakat dengan analisis Satyavati Javeri. Javeri menyatakan bahwa lembaga kepresidenan RI di dalam UUD 1945 dipengaruhi oleh tiga aliran pemikiran, yaitu aliran pemikiran politik demokrasi modern dari barat (antara lain dikemukakan oleh Yamin), aliran pemikiran tradisional Indonesia (seperti dikemukakan oleh Soepomo), dan aliran pemikiran modernisme Islam (seperti dikemukakan oleh Soekiman). Mahendra berpendapat bahwa konsep tentang presiden di dalam UUD 1945 tidak semata-mata menggambarkan konsep "manunggaling kawula gusti" tetapi merupakan konsep yang rasional dengan batas-batas kekuasaan serta tugas dan wewenang yang jelas, juga pengawasan dari lembaga-lembaga modern, serta bertanggung jawab kepada suatu lembaga pula. Selanjutnya dinyatakan oleh Mahendra,

"Konsep integralistik Soepomo membayangkan desa sebagai sesuatu yang ideal adalah hasil reduksi yang abstrak. Idealisasi desa seperti itu cenderung mengabaikan kelemahan-kelemahan yang mungkin dimiliki oleh kepala desa. Juga mengabaikan faktor kekuasaan yang lebih tinggi, yang justru cenderung eksploitatif terhadap desa melalui kepala desa. Juga mengabaikan kemungkinan timbulnya kekuatan-kekuatan oposisi terhadap kepala desa yang juga mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi tertentu."

Demikianlah pemaparan secara ringkas perdebatan para ahli hukum tata negara mengenai cita negara integralistik.

2.2. Relevansi Cita Negara Integralistik di Era Demokratisasi

Setelah diuraikan secara ringkas pandangan negara integralistik Soepomo dan kritik-kritik yang ditujukan kepada pandangan tersebut oleh berbagai pakar, dalam bagian ini akan dielaborasi lebih lanjut pandangan-pandangan di atas yang dikaitkan dengan kondisi obyektif yang sedang berkembang di Indonesia (demokratisasi) dan kebutuhan-kebutuhan terhadap proses tersebut di masa mendatang, khususnya lembaga kepresidenan RI.

Dengan turunnya Soeharto di bulan Mei 1998, peluang untuk demokratisasi di Indonesia yang telah diperjuangkan sejak lama tampaknya semakin terbuka. Walaupun bangunan rezim orde baru masih tetap kuat mengendalikan kehidupan politik dan ekonomi di Indonesia, namun tuntutan-tuntutan untuk semakin transparannya penyelenggaraan pemerintahan dan pembesaran ruang partisipasi politik masyarakat sudah tidak dapat ditahan lagi. Booming berdirinya partai-partai politik, pressure group dan interest group, terutama di kota-kota besar di Indonesia, serta aksi-aksi spontan masyarakat untuk menyatakan ketidakpuasannya atas proses penyelenggaraan pemerintahan atau penyelesaian sengketa mereka, menandakan bahwa masyarakat Indonesia yang selama ini tidak diperhatikan aspirasinya telah berani menyatakan suaranya.

Ada dua hal yang diduga menyebabkan kondisi di atas terjadi, pertama; adanya trauma atas penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis dan top down serta tidak tersentuh pertanggungjawaban, yang berimplikasi terhadap berkembangnya kolusi, korupsi dan nepotisme di segala bidang pemerintahan. Selama ini sebagian besar masyarakat yang berada di luar lingkungan birokrasi atau yang tidak mempunyai akses ke birokrasi hanya menjadi penonton bagi berlangsungnya praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang tidak adil. Ideologi pembangunanisme yang menuntut stabilitas politik dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menyebabkan orde baru menanggalkan prinsip-prinsip demokrasi dalam pola pemerintahannya. Partai-partai politik independen dan segala macam bentuk oposisi tidak diperkenankan hidup dengan alasan dapat mengganggu ketenangan pemerintah melaksanakan pembangunan, sehingga suara-suara yang berasal dari bawah, yang seharusnya menjadi kontrol penyelenggaraan pemerintahan, tetap tertahan di bawah. Lembaga-lembaga yang seharusnya menyalurkan aspirasi masyarakat di pusat maupun di daerah dalam kenyataannya lebih berpihak pada kemauan penguasa, sehingga pada saat kesempatan tersebut terbuka lebar, suara-suara tertahan itu meledak berhamburan dengan segala bentuk ekspresinya. Kedua; pembangunan ekonomi yang dibanggakan selama ini telah runtuh dalam waktu singkat diterpa krisis moneter. Kebijakan ekonomi yang kapitalistik dan lebih berorientasi ke luar ternyata tidak memberikan landasan yang kokoh bagi perekonomian dalam negeri. Akibat paling parah diterima oleh sebagian masyarakat Indonesia yang berada di bawah. Setelah selama berpuluh-puluh tahun mereka dimarginalkan dalam pembangunan, digusur atas nama pembangunan, dan dipaksa untuk setia pada pembangunan yang korup, sekarang mereka dituntut untuk menerima dampak negatif dari pembangunan yang tidak memihak mereka. Keluhan-keluhan yang selama ini terpendam karena ketakutan berubah menjadi gugatan yang mencemaskan.

Cita negara integralistik yang bersifat patrimonialistis dan totaliter yang dikemukakan Soepomo secara teoritis maupun praktis mengalami kendala untuk dapat diterapkan dalam kehidupan kenegaraan dan pemerintahan di masa sekarang ini. Penolakannya terhadap hak-hak asasi warga negara, pembatasan kekuasaan kepala negara, dan pertanggungjawaban kekuasaan pemerintahan, tidak lagi dapat menampung perkembangan tuntutan demokratisasi. Disadari atau tidak, selama orde baru, paham ini tercermin dalam praktek-praktek pemerintahan. Kekuasaan kepala negara yang besar, sentralistis dan tidak transparan serta menghindari tanggung jawab publik, tidak berjalan sesuai dengan idealisasi Soepomo. Kepala negara yang seharusnya menjadi "pemimpin sejati", selalu memperhatikan aspirasi rakyatnya, dan tidak berlaku sewenang-wenang, selama orde baru malah bertingkah sebaliknya. Kontrol yang lemah dari supra struktur politik yang ada dan dimandulkannya seluruh bentuk pengawasan dari infra struktur politik semakin menyimpangkan jalannya penyelenggara negara ke arah yang jauh dari apa yang dibayangkan Soepomo sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo.

Secara empiris telah dibuktikan bahwa idealisasi abstrak Soepomo yang mengabaikan faktor kelemahan subyektif kepala negara telah menyimpang terlalu jauh dan tidak lagi relevan dengan konsep negara demokrasi modern yang menuntut penyelenggaraan pemerintahan secara rasional dan terbatas. Demokratisasi menuntut pembatasan kekuasaan pemerintahan dan pengaturan pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyatnya.

Pembatasan kekuasaan pemerintahan mengartikan bahwa kekuasaan tersebut tidak lagi diserahkan secara mutlak kepada suatu lembaga tertentu sebagai penentu segala kebijakan, dari sejak perumusan sampai dengan pengambilan keputusan. Kekuasaan harus mendapat kontrol dari rakyat, yang dilembagakan melalui wakil-wakilnya di lembaga perwakilan. Untuk menjamin bahwa kontrol tersebut dapat berjalan maka harus disediakan mekanisme dan prosedur yang efektif dalam pelaksanaannya.

Pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat menuntut disediakannnya akses yang besar dalam mengontrol kebijakan pemerintahan, pelaksanaan pemerintahan yang transparan dan suasana yang kondusif bagi partisipasi politik yang luas. Untuk itu hak-hak asasi warga negara harus diberi jaminan khusus dalam peraturan perundang-undangan, pemberdayaan lembaga perwakilan rakyat yang lepas dari intervensi eksekutif harus sudah dimulai, dan pembentukan mekanisme yang memberikan ruang partisipasi publik dalam menilai pelaksanaan roda pemerintahan juga semestinya disediakan

3. Redefinisi Kekuasaan Presiden RI

3.1. Sistem Pemerintahan Negara

Untuk menjelaskan dan memberi pengertian yang jelas mengenai kekuasaan presiden RI, maka sebelumnya akan ditegaskan lebih dulu mengenai sistem pemerintahan yang sebenarnya dianut oleh UUD 1945. Beberapa pakar hukum tata negara masih berbeda pendapat dalam menjelaskan sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945. Ismail Suny, Harmaily Ibrahim dan Moh. Kusnardi berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemerintahan preisdensil yang tidak murni atau sistem quasi presidensil. Pendapat ini didasarkan pada pertanggungjawaban yang dibebankan kepada presiden bukan kepada pemilihnya, namun kepada suatu lembaga yakni MPR, yang berarti presiden dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain. Hal ini menurut mereka bertentangan dengan asas pemisahan kekuasaan yang dianut dalam sistem presidensil yang tidak membiarkan presiden untuk dapat dijatuhkan atau bertanggung jawab kepada lembaga negara lain kecuali kepada pemilihnya. Attamimi berbeda pendapat dalam hal ini, ia mengatakan bahwa dengan argumen yang diberikan di atas, bukan berarti sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 otomatis berubah dari sistem presidensil menjadi sistem quasi presidensil, karena walaupun Indonesia tidak menganut trias politika murni sebagaimana halnya di Amerika Serikat, Indonesia menganut sistem pemerintahan atas dasar presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD.

Dalam kajian ini perdebatan tentang sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 akan ditempatkan dengan perkembangan teori dan konsep negara-negara demokrasi modern yang telah diuraikan di bagian sebelumnya. Sebagaimana telah dijelaskan, sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945, telah memberikan kewenangan eksekutif kepada presiden, bukan kepada parlemen. Presiden mendapatkan kewenangan ini setelah mendapatkan mandat dari lembaga yang memilihnya yaitu MPR. Permasalahan tentang presiden dipilih dan bertanggung jawab langsung atau tidak bukan hal yang dapat menjadikan sistem ini berubah menjadi sistem semi-presidensial, karena menurut Verney yang penting ia bertanggung jawab kepada konstitusi dan kepada pemilihnya baik langsung maupun maupun tidak langsung. Presiden dalam UUD 1945 tidak dapat dijatuhkan secara politik oleh DPR dan ia juga tidak dapat membubarkan DPR, namun ia dapat dimintai pertanggungjawaban oleh MPR apabila secara jelas telah melanggar GBHN dan UUD 1945. Mekanisme ini sama seperti yang berlaku di Amerika Serikat, di mana presiden hanya dapat dijatuhkan apabila ia melanggar konstitusi atau pelanggaran berat lainnya. Kriteria pokok lain yang lebih esensial adalah presiden adalah eksekutif tunggal, dan sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945, menteri-menteri adalah pembantu presiden dan diangkat oleh presiden, mereka bertanggung jawab kepada presiden bukan kepada DPR, dan yang bertanggung jawab atas segala pelaksanaan pemerintahan hanya presiden. Dari kriteria-kriteria tersebut maka dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemerintahan presidensial. Posisi ini akan menentukan kekuasaan presiden seperti apa yang seharusnya ada dalam sistem pemerintahan presidensial.

3.2. Hak Prerogatif Presiden

Hak prerogatif diterjemahkan dengan hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Hak ini dalam sistem pemerintahan negara-negara modern dimiliki oleh kepala negara (raja maupun presiden) maupun kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi. Contoh dari pelaksanaan hak ini yaitu Perancis yang memberikan hak prerogatif kepada presiden untuk untuk memecat kepala pemerintahan dan membubarkan National Assembly setelah berkonsultasi terlebih dahulu dengan Perdana Menteri dan Ketua-ketua National Assembly. Contoh lainnya adalah hak Presiden Amerika Serikat yang dapat memveto undang-undang yang setujui oleh Kongres Amerika Serikat. Hak ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya (terutama bagi sistem yang menganut pemisahan kekuasaan secara tegas, misalnya Amerika Serikat), seperti membuat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi.

Dalam praktek ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan-kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Hak istimewa ini bahkan dapat dikatakan sudah mengalami penyempitan karena ia hanya diberikan dalam hal-hal yang terbatas dan kepada kekuasan tertentu saja, yakni raja. Sistem pemerintahan negara-negara modern berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik sehingga suatu kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, susah untuk mendapat tempat dalam praktek ketatanegaraan. Untuk dijadikan contoh berikutnya, pengangkatan kepala departemen (menteri) di Amerika Serikat, yang menganut sistem trias politika murni, harus mendapatkan persetujuan dari Senat Amerika Serikat. Padahal dengan jelas kekuasan tersebut adalah kekuasaan eksekutif yang dalam sistem presidensial ditegaskan bahwa menteri-menteri diangkat oleh presiden. Oleh karena itu dengan jelas dapat dikatakan bahwa hak prerogatif presiden adalah hak yang tidak lagi diartikan sebagai hak yang mandiri, mutlak dan tidak dapat mengikutsertakan lembaga-lembaga negara lain dalam pelaksanaannya.

Istilah hak prerogatif presiden adalah istilah yang sama sekali tidak pernah dinyatakan dalam UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang ketatanegaraan Indonesia. Namun dalam praktek politik dan ketatanegaraan selama masa orde baru, hak ini secara nyata dipraktekkan, misalnya dalam hal pengangkatan menteri-menteri departemen. Hak ini juga dipadankan terutama dalam istilah presiden sebagai kepala negara yang sering dinyatakan dalam hal-hal pengangkatan pejabat negara. Dalam hal ini Padmo Wahjono menyatakan pendapatnya yaitu,

"Di samping itu di dalam penjelasan pasal 10, 11, 12, 13, 14 dan 15 disebutkan bahwa kekuasaan presiden di dalam pasal-pasal tersebut adalah konsekuensi dari kedudukan presiden sebagai Kepala Negara. Kekuasaan ini lazim disebut pula sebagai kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan, maupun advis dari suatu lembaga tinggi negara lainnya. Jadi bukan kewenangan khusus (hak prerogatif) yang mandiri."

Berdasarkan pernyataan dari Padmo Wahjono tersebut, jelas bahwa hak prerogatif yang selama ini disalahpahami adalah hak adminsitratif presiden yang merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak berarti lepas dari kontrol lembaga negara lain.

3.3.Kekuasaan Kepala Negara

Sebagaimana halnya sistem pemerintahan presidensial negara-negara demokrasi modern, kedudukan presiden adalah sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Pernyataan ini sangat penting untuk ditegaskan karena selama ini kesalahpahaman konsep pemerintahan di Indonesia adalah anggapan bahwa presiden adalah kepala negara yang sekaligus menjabat sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana halnya konsep yang berlaku di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan praparlementer yang mendudukkan raja sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Pernyataan Soepomo yang menjadi dasar kesalahpahaman tersebut sudah selayaknya untuk tidak dijadikan pegangan karena konsepnya dalam hal lembaga kepresidenan yang tidak mempedulikan apabila seorang kepala negara dipegang raja atau bukan, tidak lagi cocok dengan perkembangan negara-negara demokrasi modern yang tidak memberikan kewenangan istimewa karena kapasitas pribadi seseorang, namun karena adanya fungsi yang diemban secara rasional dan terbatas.

Dari pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa kekuasaan presiden sebagai kepala negara hanya kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas, yang merupakan suatu kekuasaan di samping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Dengan kata lain, kekuasaan kepala negara adalah kekuasaan yang dimiliki oleh kepala pemerintahan atau, sebagaimana pendapat Verney, kekuasaan yang dimiliki sebagai konsekuensi kedudukan prestise politiknya sebagai kepala pemerintahan.

Kekuasaan presiden sebagai kepala negara Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 10 sampai 15 dan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengangkatan jabatan-jabatan kenegaraan dan jabatan-jabatan tertentu yang dianggap penting. Dengan argumen yang sama dengan yang diberikan bagi penjelasan hak prerogatif presiden, kekuasaan presiden sebagai kepala negara di masa mendatang selayaknya diartikan sebagai kekuasaan yang tidak lepas dari kontrol lembaga negara lain.

3.4. Kekuasaan Kepala Pemerintahan

Kekuasaan Presiden Indonesia sebagai kepala pemerintahan diatur dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa: "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar". Penjelasan Pasal 4 UUD 1945 menjelaskan lebih lanjut bahwa presiden adalah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Aakan tetapi ruang lingkup dan batasan kewenangan dan tugas yang jelas tidak didefiniskan lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan selama ini, sehingga beberapa pakar hukum tata negara berbeda pendapat dalam menafsirkan konsep kekuasaan ini. Attamimi berdasarkan konsep integralistik Soepomo menyatakan bahwa tidak pada tempatnya menyamakan konsep pemerintah atau pemerintahan Indonesia dengan konsep pemisahan kekuasaan dari Montesquieu. Menurut pendapatnya, kekuasaan pemerintahan adalah kekuasaan penyelenggaraan negara yang tertinggi dan yang memimpin, yang perencanaan politiknya melihat jauh ke depan melampaui jangkauan bidang eksekutif dan legislatif. Pandangan ini jelas menentang pembatasan kewenangan dan tugas yang jelas bagi kekuasaan pemerintahan. Sedangkan beberapa pakar menafsirkan kekuasaan pemerintahan ini sama dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif. Pendapat ini didasarkan pada argumen bahwa UUD 1945 membagi fungsi-fungsi dari alat-alat kelengkapan negara secara jelas dalam batang tubuhnya, yaitu Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan demikian UUD 1945 mengenal konsep pemisahan kekuasaan sebagaimana dianut oleh negara-negara demokrasi modern.

Kajian ini, dalam memberikan pengertian yang jelas tentang kekuasaan pemerintahan, mendasarkan diri pada pendapat kedua, dengan alasan bahwa perkembangan kehidupan kenegaraan di masa mendatang membutuhkan rasionalisasi kekuasaan yang didasarkan pada kebutuhan pertanggungjawaban (accountability) yang kongkret dan jelas. Kekuasaan pemerintahan tidak lagi didefinisikan sebagai kekuasaan yang abstrak dan menyerahkan penentuan definisi abstrak tersebut pada satu lembaga saja yakni presiden.

Kekuasaan eksekutif dalam sistem pemerintahan negara demokrasi modern adalah salah satu bentuk kekuasaan di samping kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi-fungsi bestuur (administrasi), politie (keamanan) dan regeling (pengaturan) yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Dalam pelaksanaannya, kekuasaan pemerintahan ini sebenarnya tetap besar. Oleh karena itu kekuasaan ini mendapatkan pengawasan dari badan legislatif atau badan yang ditunjuk oleh konstitusi untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dalam UUD 1945, fungsi pengawasan pemerintahan sehari-hari tersebut dilaksanakan oleh DPR.

3.5. Kekuasaan Legislatif

Kekuasaan legislatif dalam pengertian umum diartikan sebagai kekuasaan membentuk undang-undang. Undang-undang adalah peraturan umum yang mengatur apa yang harus dilakukan oleh pemerintah (executive) dalam tugasnya untuk memenuhi kepentingan rakyat. Dalam sistem negara demokrasi konvensional, kekuasaan membentuk undang-undang diserahkan kepada lembaga perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum. Menurut Montesquieu, kekuasaan ini adalah kekuasaan terpenting dalam negara karena dalam kekuasaan inilah nasib rakyat digantungkan. Oleh karena itu, Montesquieu menekankan pemisahan kekuasaan ini dari lembaga-lembaga lain agar kemurnian kehendak rakyat dapat terlaksana secara optimal.

Dalam perkembangan konsep kenegaraan kemudian, fungsi legislatif tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu badan saja, namun dikerjakan bersama-sama dengan lembaga lain. Lembaga negara yang dianggap memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam hal pembentukan undang-undang selain lembaga perwakilan adalah kepala pemerintahan, yang dalam sistem pemerintahan presidensial dijabat oleh presiden. Kompetensi presiden dalam pembentukan undang-undang timbul dari konsekuensi logis dari kenyataan bahwa presiden dalam sistem pemerintahan presidensial dipilih oleh rakyat, secara langsung ataupun melewati lembaga pemilihan. Kapabilitas kepala pemerintahan sebagai pembentuk undang-undang adalah karena ia merupakan pimpinan dari jajaran aparat birokrasi, yang dalam pemerintahan negara modern memiliki kemampuan teknis dan fasilitas informasi yang sangat baik dibandingkan lembaga-lembaga lain dalam negara.

Pembentukan undang-undang yang melibatkan tidak hanya satu lembaga diharapkan akan dapat menghasilkan produk undang-undang yang terbaik. Namun timbul permasalahan, lembaga mana yang akan menjadi pemutus akhir dari suatu produk undang-undang yang akan diberlakukan? Terutama apabila dua lembaga yang diserahkan tanggung jawab tersebut tidak dapat menghasilkan satu persetujuan.

Dalam sistem pemerintahan parlementer, kedudukan parlemen sebagai pembentuk undang-undang jauh lebih kuat dari eksekutif, karena eksekutif tergantung kedudukannya pada parlemen. Namun dalam sistem pemerintahan presidensial, kedudukan lembaga perwakilan dan presiden adalah sama kuat, sehingga masing-masing tidak dapat memaksakan kehendaknya apalagi saling menjatuhkan. Apabila pertanyaan ini dikembalikan kepada prinsip-prinsip utama dalam sistem demokrasi, maka jawabannya secara normatif adalah penentuan akhir ada di tangan rakyat. Beberapa negara yang berpenduduk relatif kecil dan tidak mengalami kendala geografis serta didukung oleh teknologi yang memadai, memberlakukan mekanisme persetujuan undang-undang tertentu secara langsung (referendum), misalnya negara Swiss. Namun untuk negara-negara yang tidak memenuhi tiga kemudahan di atas, tidak mungkin melaksanakan mekanisme tersebut secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, penentuan kehendak rakyat dikembalikan kembali kepada lembaga-lembaga negara dengan pengawasan yang periodik melalui mekanisme pemilihan umum. Pemilihan umum dianggap sebagai mekanisme yang paling fair untuk menilai kinerja lembaga-lembaga negara dan untuk menentukan siapa saja yang mendapat legitimasi guna menyalurkan aspirasi rakyat.

Mekanisme pemilu ini juga belum dapat menjawab permasalahan di atas, ia hanya menjawab persoalan tanggung jawab politik dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Mekanisme yang kemudian diajukan adalah mekanisme check and balance. Mekanisme ini dibentuk untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan salah satu lembaga dalam menjalankan kekuasaannya, dalam hal ini kekuasaan legislatif. Mekanisme ini memberikan kekuasaan yang berimbang kepada masing-masing lembaga dan memberikan peluang untuk saling kontrol dalam pembentukan undang-undang. Pada akhirnya, mekanisme inilah yang dapat menjembatani permasalahan di atas, dengan ditambah adanya dukungan pemberdayaan infrastruktur politik yang kuat.

UUD 1945 menetapkan bahwa fungsi legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama DPR, sebagaimana dikemukakan oleh Kusnardi dan Ibrahim, konsep ini mendudukkan Presiden sebagai "partner" bagi DPR dalam menjalankan fungsi legislatif. Namun dalam prakteknya selama masa orde baru, presiden memiliki kekuasaan yang lebih menonjol dari DPR dalam hal pembentukan undang-undang karena penetapan akhir dari suatu undang-undang yang akan diberlakukan ada di tangan presiden. Menurut konsepsi negara integralistik, kekuasaan yang lebih menonjol ini merupakan konsekuensi logis bahwa presiden adalah pembawa mandat dari MPR yang merupakan lembaga "penjelmaan kedaulatan rakyat". Namun secara empiris, produk undang-undang yang dikeluarkan oleh orde baru ternyata lebih memihak kekuasaan daripada kehendak rakyat Indonesia.

Dengan tuntutan demokratisasi dan tranparansi yang berkembang saat ini, konsep tersebut harus didudukkan secara rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu sistem check and balance sudah mendesak untuk diterapkan dengan mekanisme yang jelas. DPR adalah pelaksana fungsi legislatif yang sejajar dengan presiden, dan apabila ada pertentangan antara presiden dan DPR dalam hal persetujuan suatu undang-undang, maka presiden harus menyatakannya secara terbuka dengan menggunakan hak veto yang dimilikinya, sehingga di akhir masa jabatannya masing-masing lembaga dapat dimintakan pertanggungjawabannya, baik di sidang umum MPR atau dalam pemilihan umum.


BAB III

ANALISIS TERHADAP MEKANISME PELAKSANAAN KEKUASAAN PRESIDEN RI DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

 

Dalam Bab II telah dilakukan peninjauan umum terhadap bahan-bahan pustaka yang diperoleh mengenai kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki oleh presiden, khususnya Presiden Republik Indonesia, sekaligus memberikan pengertian yang relevan bagi pengembangan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan Indonesia yang demokratis di masa mendatang. Dari kajian yang dilakukan pada Bab II, dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa kekuasaan Presiden RI adalah didasarkan pada cita negara integralistik sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan demokratisasi di masa mendatang. Konsep kekuasaan presiden yang sangat besar, abstrak dan sentralistis sudah selayaknya disesuaikan dengan perkembangan konsep demokrasi di negara-negara modern yang menuntut diselenggarakannya kekuasaan secara rasional, terbatas dan dapat dipertanggungjawabkan. UUD 1945 sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, awal telah menegaskan bahwa konsep bernegara Republik Indonesia adalah konsep negara modern yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan ini hanya merupakan salah satu dari kekuasan alat kelengkapan negara yang berdiri sejajar dengan yang lainnya dan bertanggung jawab kepada MPR. Kekuasaan-kekuasan presiden yang dimaksud adalah kekuasaan sebagai kepala negara, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan dan kekuasaan legislatif. Kekuasaan ini dibatasi oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalam penyelenggaraannya mendapatkan pengawasan dari DPR.

Dalam bab ini kajian akan dikhususkan pada analisis terhadap mekanisme pelaksanaan kekuasaan-kekuasaan tersebut, terutama kekuasaan yang pada pelaksanaannya bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak tersentuh kontrol dari lembaga-lembaga yang memiliki kompetensi dan kapabilitas untuk menilai pelaksanaan kekuasaan tersebut. Mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden yang dikaji didasarkan pada ketentuan-ketentuan formil yang tercantum dalam UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dari hasil kajian yang dilakukan, akan disusun rekomendasi untuk perubahan mekanisme pelaksanaan kekuasaan Presiden RI di masa mendatang yang sesuai dengan kebutuhan demokratisasi di Indonesia.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan 24 bentuk kekuasaan Presiden RI yang dinyatakan secara eksplisit dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Tujuh belas bentuk kekuasaan tersebut merupakan kekuasaan yang langsung diberikan oleh UUD 1945 dan sisanya adalah kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Dari tujuh belas bentuk kekuasaan di dalam UUD 1945, ada sepuluh bentuk kekuasaan yang tidak ditindaklanjuti dengan undang-undang dan empat diantaranya sama sekali tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan. Dari tujuh undang-undang yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945, tiga diantaranya merupakan undang-undang yang dihasilkan pada masa sebelum orde baru, dua bentuk kekuasaan diatur oleh undang-undang perubahan, dan dua bentuk kekuasaan sisanya diatur oleh satu undang-undang. Sedangkan tujuh bentuk kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang merupakan undang-undang yang dihasilkan di masa orde baru.

Bentuk-bentuk kekuasaan presiden RI tersebut dapat dikelompokkan ke dalam kategori-kategori umum kekuasaan presiden, yaitu tiga bentuk kekuasaan sebagai kepala pemerintahan, empat bentuk kekuasaan sebagai legislatif dan sisanya kekuasaan sebagai kepala negara.

Dalam kajian ini, pengelompokkan dengan kategori umum tersebut tidak dapat dipergunakan, karena masing-masing bentuk kekuasaan tersebut memiliki mekanisme pelaksanaan yang berbeda-beda yang tidak didasarkan pada kategori-kategori umum tersebut. Fokus kajian ini adalah menganalisis mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan di masa mendatang. Oleh karena itu, untuk lebih mempermudah dan mempertajam analisis, bentuk-bentuk kekuasaan tersebut dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang dibedakan berdasarkan jenis-jenis mekanisme pelaksanaannya.

Kategori-kategori yang akan dipergunakan adalah:

  1. Kekuasaan yang tidak diatur sama sekali mekanisme pelaksanaannya atau yang mekanisme pelaksaanannya memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada presiden, dalam kajian ini dikategorikan sebagai kekuasaan presiden yang mandiri.
  2. Kekuasaan yang dapat dilaksanakan dengan persetujuan DPR, dalam kajian ini kategorikan sebagai kekuasaan presiden dengan persetujuan DPR.
  3. Kekuasaan yang dilaksanakan dengan usul atau nasehat dari lembaga-lembaga negara lain, dalam kajian ini dikategorikan sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi.

Dengan menggunakan kategori-kategori di atas, ditemukan 35 bentuk kekuasaan presiden, yang terdiri dari; sembilan bentuk kekuasaan presiden yang mandiri, lima bentuk kekuasaan presiden yang dengan persetujuan DPR, dan dua puluh satu bentuk kekuasaan presiden yang dilakukan melalui mekanisme konsultasi. Masing-masing bentuk kekuasaan dalam setiap kelompoknya tidak berarti memiliki kesamaan mekanisme sehingga untuk menganalisisnya diperlukan penguraian tiap-tiap mekanisme pelaksanaan kekuasaan.

Dalam mengajukan rekomendasi mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden di masa mendatang, kajian ini akan menggunakan konsep-konsep yang telah dipersiapkan dalam Bab I pada bagian Kerangka Analisis, dengan menyesuaikannya pada masing-masing jenis-jenis mekanisme pelaksanaan. Rekomendasi diarahkan pada kebutuhan penciptaan mekanisme check and balance dalam pelaksanaan penyelenggaraan kekuasaan presiden.

A. Kekuasaan Presiden Yang Mandiri

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan kekuasaan yang mandiri ini adalah kekuasaan presiden yang tidak diatur mekanisme pelaksanaannya secara jelas, tertutup atau yang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada presiden. Analisis terhadap masing-masing kekuasaan tersebut akan diuraikan di bawah ini.

1. Presiden sebagai penguasa tertinggi atas AD, AL, AU dan Kepolisian Negara RI.

Kekuasaan ini adalah konsekuensi dari kedudukan Presiden RI sebagai kepala negara. Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 10 UUD 1945 dan Pasal 35 ayat (2) sampai (5) UU No. 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI. Kekuasaan ini memiliki kekuasaan turunan yaitu kewenangan untuk menetapkan kebijaksanaan keamanan negara. Presiden dalam melaksanakan kewenangan ini dibantu oleh Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional yang diketuai oleh Presiden RI dan anggota-anggotanya terdiri dari Wakil Presiden RI dan menteri-menteri kabinet yang berkaitan. Fungsi dari Dewan Hankamnas ini adalah menyelenggarakan penelaahan Ketahanan Nasional aspek Ketahanan Nasional.

Di masa orde baru, kewenangan ini menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan ideologi pembangunanisme yang diusung oleh orde baru, yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang cepat, dianggap memerlukan syarat stabilitas politik dan keamanan yang mutlak. Pelaksanaan kekuasaan yang terpusat dan tertutup ini dalam perkembangannya kemudian mengalami banyak permasalahan. Kebijakan keamanan menjadi pendekatan utama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul di dalam masyarakat, baik politik, ekonomi maupun sosial. Penyelesaian masalah dengan pendekatan ini terkadang lebih sering menimbulkan masalah baru atau hanya menyembunyikan daripada menyelesaikan suatu masalah. Yang paling memprihatinkan dari pendekatan ini adalah terjadinya sejumlah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang menimbulkan banyak kecaman keras baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa kasus yang dulu tidak nyata, semakin terlihat setelah turunnya Soeharto dari jabatan presiden, di antaranya adalah kasus DOM di Aceh, Operasi Militer di Timor-timur, kasus Tanjung Priok, kasus Lampung, kasus Marsinah, kasus Penculikan Aktivis, dan lain sebagainya.

Untuk menghindari terjadinya penyimpangan kekuasaan (abuse of power) dari kedudukan sebagai penguasa tertinggi militer ini, dibutuhkan mekanisme yang lebih jelas dalam penetapan kebijakan pertahanan dan keamanan. Di beberapa negara modern, misalnya Inggris, kontrol terhadap penetapan kebijakan pertahan dan keamanan dilakukan melalui mekanisme persetujuan anggaran biaya pemerintahan oleh parlemen. Mekanisme ini di Indonesia sebenarnya juga telah dimungkinkan melalui mekanisme persetujuan mutlak UU APBN dan mekanisme pengawasan kegiatan sehari-hari pemerintah oleh DPR, namun dalam kenyataannya mekanisme ini tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu dibutuhkan penegasan dalam bentuk UU untuk mengatur mekanisme kekuasaan ini secara jelas dan operasional.

2. Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya.

Kekuasaan ini oleh Ismail Suny digolongkan ke dalam kekuasaan darurat yang dimiliki oleh Presiden dalam rangka mengatasi keadaan darurat di seluruh atau sebagian wilayah Indonesia. Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 12 UUD 1945, Pasal 1 UU No. 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya dan Pasal 40 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI. Undang-undang tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan ini dapat saja dilakukan oleh presiden tanpa menyertakan pihak lain di luar lembaga kepresidenan.

Implikasi negatif yang sama dengan kekuasaan pertama di atas dapat terjadi pada pelaksanaan kekuasaan ini. UU No. 23/Prp/1959 dibentuk oleh rejim demokrasi terpimpin untuk menanggulangi pemberontakan-pemberontakan sporadis yang muncul pada masa itu. Karakteristik rejim demokrasi terpimpin, sebagaimana dinyatakan oleh banyak pakar, mengandung sistem otoritarian yang kental. Kekuasaan di masa itu terpusat pada diri Presiden Soekarno, sehingga mekanisme pelaksanaan undang-undang inipun terpusat pada presiden.

Kebutuhan untuk menghindarkan kesewenang-wenangan pelaksanaan kekuasaan ini sudah sangat mendesak. Secara teknis, undang-undang keadaan bahaya telah mengatur pelaksanaan kekuasaan ini dengan cukup jelas. Sayangnya, pelimpahan kekuasaan yang terlampau besar pada presiden menyebabkan kekuasaan ini menjadi rentan terhadap penyimpangan kekuasaan.

Untuk itu di masa mendatang, penetapan seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam keadaan bahaya tidak dapat lagi diserahkan secara mutlak kepada presiden tanpa dapat diganggu gugat oleh lembaga negara lain. Penetapan keadaan bahaya harus dilakukan dengan persetujuan DPR. Penyimpangan dapat terjadi apabila hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena persetujuan DPR dapat memakan waktu yang lama sedangkan keadaan sudah sangat mendesak. Dalam kasus semacam ini, penetapan keadaaan bahaya tersebut dapat dilakukan oleh presiden secara langsung. Penetapan secara langsung ini kemudian harus diajukan secepatnya ke DPR untuk dimintakan persetujuan dan apabila DPR memutuskan untuk tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan tersebut maka secara otomatis pelaksanaan penetapan keadaan bahaya ini tidak dapat dilanjutkan.

3. Kekuasaan mengangkat duta dan konsul serta menerima duta negara lain.

Kekuasaan ini merupakan salah satu wujud kekuasaan presiden sebagai kepala negara. Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 13 UUD 1945 dan Keppres No. 51/1976 tentang Pokok-pokok Organisasi Perwakilan RI di Luar Negeri. Duta dan Konsul merupakan pejabat-pejabat negara yang mewakili negara dan kepala negara di suatu negara tertentu, mereka bertanggung jawab kepada Presiden RI melalui Menteri Luar Negeri.

Di masa orde baru, pengisian jabatan ini dilakukan secara mandiri dan tertutup oleh presiden. Padahal, kedudukan yang sangat penting tersebut memerlukan seleksi yang ketat dan terbuka dengan didasarkan pada kriteria standar yang diatur dengan jelas oleh peraturan perundang-undangan. Pengangkatan yang mandiri tersebut dalam pelaksanaannya selama masa orde baru, diduga oleh banyak pihak sarat dengan kepentingan politik dari eksekutif. Jabatan Duta Besar dan Konsul terkadang diidentikkan dengan "penyingkiran" seorang tokoh politik dalam pentas politik nasional, karena beberapa kali terjadi tokoh-tokoh politik yang "vokal" dikirim ke luar negeri untuk dijadikan Duta Besar.

Dengan mengesampingkan dugaan di atas, kajian ini mengusulkan suatu mekanisme pembukaan kantor diplomatik dan konsuler dan pengangkatan Duta Besar dan Konsul yang transparan serta dapat dipertanggungjawabkan di masa mendatang. Mekanisme yang dianggap paling baik adalah dengan mengadakan hearing terlebih dulu di DPR sebelum dilakukan penetapan pembukaan dan penutupan kantor diplomatik dan konsuler di suatu negara. Hal yang sama dilakukan juga terhadap pengangkatan pejabat-pejabat yang akan mengisi jabatan tersebut. Dengan pemberlakuan mekanisme ini, diharapkan penyimpangan terhadap kekuasaan ini dapat dihindarkan.

4. Kekuasaan pemerintahan menurut UUD

Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Batasan wewenang dan tanggung jawab kekuasaan ini tidak diatur lebih lanjut dalam UUD dan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) hanya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kekuasaan pemerintahan ini adalah kekuasaan eksekutif. Interpretasi atas pasal ini kemudian menjadi perdebatan panjang para ahli hukum tata negara, sebagaimana telah diuraikan secara ringkas pada bab sebelum ini.

Sebagian pakar berpendapat bahwa kekuasaan ini tidak sekedar kekuasaan eksekutif, melainkan mencakup ruang lingkup yang lebih luas dari pada itu, sehingga batasan yang jelas untuk mengatur tugas, wewenang dan tanggung jawab kekuasaan ini tidak perlu dilakukan. Kewenangan membentuk Keppres yang mandiri adalah salah satu turunan dari kekuasaan pemerintahan ini yang juga tidak diatur dengan jelas dalam suatu perundang-undangan, kecuali disebutkan dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966.

Sementara, beberapa pakar yang tidak setuju dengan pendapat di atas menganggap bahwa kekuasaan ini adalah semata-mata kekuasaan eksekutif yang dilakukan berdasarkan sistem pembagian kekuasaan sebagaimana doktrin Montesquieu. Konsekuensi turunan dari pendapat ini adalah bahwa kekuasaan memiliki ruang lingkup yang terbatas dan memiliki tugas, wewenang serta tanggung jawab yang jelas, sehingga DPR sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan sehari-hari juga memiliki pegangan yang jelas dalam menjalankan tugasnya tersebut. Dengan begitu, presiden dan juga DPR tidak dapat berbuat sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya.

Posisi kajian ini adalah sependapat dengan pendapat yang kedua. Untuk itu kajian ini mengusulkan dibentuknya suatu pengaturan yang rasional dan jelas serta dapat dipertanggungjawabkan atas kekuasaan pemerintahan ini. Pengaturan kekuasaan pemerintahan yang definitif dalam suatu negara umumnya diletakkan dalam sebuah konstitusi. Begitu pula sebaiknya hal itu dilakukan di dalam konstitusi Negara RI. Perubahan konstitusi, sekurang-kurangnya dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945, harus dilakukan agar pengaturan kekuasaan pemerintahan yang lebih jelas dapat termasuk di dalamnya. Selain itu, tetap diperlukan pengaturan lebih lanjut terhadap kekuasaan pemerintahan ini dengan sebuah undang-undang. Undang-undang ini berisi pengaturan yang sifatnya lebih operasional dari kekuasaan pemerintahan yang ada dalam konstitusi.

5. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.

Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri didasarkan pada Pasal 17 ayat (2) UUD 1945. Sama dengan yang terjadi pada kekuasaan pemerintahan, kekuasaan ini tidak diatur lebih lanjut dengan suatu peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan kekuasaan tersebut dalam praktek kenegaraan selama ini diserahkan secara mutlak kepada presiden. Pengangkatan menteri-menteri dilakukan oleh presiden sejak ia mendapatkan mandat dari MPR dalam Sidang Umum MPR sampai dengan masa jabatannya selesai. Pemberhentian menteri-menteri oleh presiden dapat dilakukan di tengah-tengah masa jabatannya tersebut. Seluruh tindakan tersebut dalam prakteknya dapat dilakukan secara tertutup tanpa perlu meminta nasehat, mendapatkan usulan dan pertanggungjawaban dari lembaga negara yang lain, dengan alasan bahwa kekuasaan ini adalah hak prerogatif presiden.

Argumen hak prerogatif presiden tidak cukup kuat untuk membenarkan praktek yang terjadi selama ini. Alasan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial, yang secara otomatis memberikan kekuasaan mutlak untuk mengangkat menteri-menteri karena mereka adalah pembantu presiden, telah terbantahkan. Amerika Serikat dan Filipina yang menganut sistem presidensial, pembentukan departemen-departemen dan pengangkatan menteri-menteri harus mendapatkan persetujuan majelis atau salah satu organnya (di Amerika Serikat adalah Senat, di Filipina adalah Komisi Pengangkatan), sehingga pembentukan departemen-departemen pemerintahan dan pemilihan menteri-menteri oleh presiden harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan majelis.

Pelaksanaan kekuasaan yang mutlak dalam bidang apapun sangat rentan terhadap penyimpangan kekuasaan. Untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut, maka di masa mendatang pembentukan departemen-departemen pemerintahan dan pengangkatan serta pemberhentian menteri-menteri yang mengepalai departemen tersebut, sudah selayaknya dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Mekanisme yang dianggap paling tepat untuk dijalankan dalam hal ini adalah mekanisme hearing di DPR yang mengharuskan Presiden RI melakukan dengar pendapat lebih dulu untuk mendapatkan nasehat dan penilaian atas pelaksanaan kekuasaan ini, sebelum mengambil keputusan akhir.

6. Kekuasaan mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU inisiatif DPR

Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 21 ayat (2) UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (1) Keppres No. 188/1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang. Kekuasaan ini secara normatif sama dengan pelaksanaan hak veto presiden untuk menolak rancangan undang-undang yang dihasilkan oleh lembaga legislatif, seperti yang berlaku di Amerika Serikat. Perbedaannya adalah hak veto dilakukan secara terbuka di depan majelis dengan mengemukakan alasan-alasan yang jelas atas penolakan tersebut. Veto presiden ini kemudian akan mendapat pengujian dari Kongres, apabila 2/3 anggota Kongres memberikan penolakan terhadap veto presiden tersebut, maka otomatis ia dianggap tidak berlaku. Sedangkan dalam praktek di Indonesia, kewenangan tersebut dilakukan dengan adanya mekanisme penolakan untuk mengesahkan sebuah RUU yang telah disetujui oleh DPR. Caranya adalah dengan menyampaikan kembali RUU tersebut kepada DPR dengan Amanat Presiden dan tidak mendapatkan pengujian lagi di DPR.

Pelaksanaan kekuasaan legislatif presiden yang tertutup dan tidak mengharuskan pertanggungjawaban ini, dapat membuka peluang bagi seorang presiden untuk menyalahgunakan kekuasaannya tersebut. Sebuah undang-undang yang dihasilkan oleh DPR sebagai wakil rakyat adalah perwujudan dari kehendak rakyat. Undang-undang itu mungkin saja tidak baik dan tidak layak untuk diberlakukan di dalam masyarakat. Undang-undang itu juga mungkin tidak sesuai dengan kebijakan politik presiden sebagai kepala pemerintahan, karena ia bisa jadi membatasi ruang gerak kekuasaan. Namun sebuah undang-undang tetap merupakan sebuah bentuk aspirasi wakil rakyat yang melewati rangkaian perdebatan dan pemikiran yang panjang sebelum ia dapat disepakati sebagai hasil akhir, yang berbentuk RUU. Apabila bentuk aspirasi ini kemudian ditolak oleh presiden tanpa alasan yang dipertanggungjawabkan secara terbuka, maka kekuasaan legislatif yang selayaknya seimbang antara presiden dan DPR tidak dapat tercipta sebagaimana idealnya. Kekuasaan presiden menjadi jauh lebih besar daripada kekuasaan DPR di bidang legislatif.

Untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan legislatif antara presiden dan DPR, maka salah satu cara yang terbaik adalah dengan memberikan mekanisme yang transparan dalam pembentukan undang-undang, sejak penyusunan sampai dengan pemberian persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas sebuah undang-undang. Mekanisme yang transparan yang dimaksud adalah pengaturan kewajiban untuk menyatakan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara terbuka di dalam sidang majelis yang ditentukan. Dengan pelaksanaan mekanisme ini, diharapkan tindakan seorang presiden dan para anggota DPR atas pembentukan suatu undang-undang dapat melewati pertanggungjawaban publik, sehingga secara moral maupun politis tindakan tersebut dapat dinilai oleh masyarakat dan institusi-institusi di dalam masyarakat di luar pemerintah, yang juga menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan.

Berkaitan dengan kekuasaan presiden untuk tidak mengesahkan RUU inisiatif dari DPR, mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini di masa mendatang sebaiknya diartikan secara tegas sebagai hak veto presiden untuk menolak RUU yang telah disetujui oleh DPR, yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara terbuka di dalam sidang DPR dengan mengemukakan alasan-alasan penolakan tersebut secara jelas kepada para anggota dewan.

Setelah hal tersebut dilakukan, maka DPR harus mengambil suara untuk memutuskan apakah akan menerima veto tersebut atau menolaknya. Dengan ketentuan suatu jumlah tertentu yang diatur oleh undang-undang, veto tersebut dapat kembali dibatalkan oleh DPR, sehingga secara hukum presiden wajib untuk mengesahkan undang-undang tersebut dan otomatis ia dapat diberlakukan. Mekanisme ini menciptakan posisi yang seimbang antara kedudukan presiden dan DPR dalam pembentukan suatu undang-undang.

7. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung RI.

Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 19 UU No. 5/1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kedudukan Jaksa Agung selama ini berada setingkat dengan menteri-menteri. Ia juga termasuk bagian dari kabinet yang bertugas membantu presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dan bertanggung jawab secara langsung kepada presiden.

Kejaksaan Agung sebagai bagian dari aparat penegak hukum selayaknya diberi tempat yang mandiri, lepas dari intervensi kekuasaan lain yang dapat mereduksi kepentingannya dalam rangka penegakkan hukum. Penempatannya sebagai bagian dari "pembantu" presiden di pemerintahan sudah layak untuk ditinjau kembali, walaupun di beberapa negara kedudukan semacam itu tidak mempengaruhinya dalam proses penegakan hukum. Kedudukan yang mandiri bukan hanya berarti harus dilakukan perombakan secara besar-besaran dari struktur yang telah ada sekarang. Prinsip yang paling penting dari kedudukan yang mandiri adalah mendapatkan jaminan undang-undang, tuntutan mekanisme penyelenggaraan yang transparan, dan adanya kontrol yang kuat dari lembaga-lembaga negara yang lain dalam proses penyelenggaraan fungsi tersebut sehari-hari. Satu contoh bentuk kemandirian yang unik yang diberikan kepada sebuah lembaga negara di Indonesia adalah Bank Indonesia Di masa kepemimpinan pasca Soeharto, Bank Indonesia tidak dimasukkan ke dalam jajaran kabinet sebagaimana biasanya terjadi di era kepemimpinan Soeharto, dengan alasan untuk memberikan jaminan independensi yang lebih kuat pada saat penyelenggaraan tugasnya sehari-hari. Posisi ini tidak memberikan kewajiban mutlak bagi BI untuk patuh pada presiden karena ia bukan "pembantu" presiden, walaupun secara formil tetap bertanggung jawab kepada presiden.

Konsep yang sama sebenarnya juga dapat diberlakukan pada institusi Kejaksaan Agung RI. Secara formil Jaksa Agung tetap bertanggung jawab kepada presiden, namun dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari Jaksa Agung tidak memiliki kewajiban mutlak untuk patuh kepada presiden. Struktur semacam ini dapat menjadi salah satu bagian dari konsep-konsep yang diajukan dalam rangka menghindarkan intervensi kekuasaan lain terhadap penyelenggaraan tugas Kejaksaan Agung.

Dalam hal kaitannya dengan kekuasaan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung, konsep yang sama dengan pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri sebaiknya diberlakukan di masa mendatang. Pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung diharuskan melewati mekanisme hearing di dalam sidang DPR, sehingga penyimpangan atas kekuasaan ini oleh presiden, dapat dihindari seoptimal mungkin.

8. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Panglima ABRI, Kastaf AD, AL, AU dan Kapolri

Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 23 ayat (1) UU No. 20/1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata RI. Kekuasaan ini dianggap sebagai turunan dari Pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden adalah penguasa tertinggi militer dan kepolisian Negara RI. Dalam perkembangannya di masa orde baru, peranan ABRI sangat dominan dalam kehidupan sosial-politik dengan dukungan legitimasi konsep Dwi Fungsi ABRI yang dituangkan dalam Ketetapan-Ketetapan MPR tentang GBHN. Jabatan-jabatan tinggi dalam bidang militer dan kepolisian merupakan jabatan-jabatan yang sangat penting selama masa orde baru. Hal ini disebabkan orientasi pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan mengandalkan stabilitas politik yang "mantap" memerlukan dukungan ABRI yang mutlak. Dalam rangka stabilitas politik ini, secara sadar orde baru berusaha mengisi jabatan-jabatan penting tersebut dengan orang-orang yang loyal dengan pemerintah, dalam hal ini presiden, sehingga mekanisme pelaksanaan pengangkatan dan pemberhentian jabatan-jabatan ini diserahkan sepenuhnya pada presiden.

Sebagaimana telah disinggung pada bahasan butir satu dan dua di atas, implikasi dari mekanisme pelaksanaan yang sentralistis dan tertutup ini adalah pengendalian stabilitas politik dan kemanan yang berlebihan di tangan presiden, bahkan beberapa pengamat militer menganggap bahwa institusi militer dan kepolisian menjadi "alat" mempertahankan kekuasaan pemerintah orde baru. Hal ini tentunya masih dapat diperdebatkan.

Terlepas dari pelaksanaannya selama masa orde baru yang banyak menimbulkan masalah, pengangkatan dan pemberhentian jabatan-jabatan tersebut sudah harus ditegaskan dengan pembentukan mekanisme yang transparan dan jelas serta dapat dipertanggungjawabkan. Dengan berlandaskan alasan tersebut, kajian ini mengusulkan pengangkatan jabatan-jabatan tinggi di ABRI harus melewati mekanisme hearing di DPR sebelum presiden mengambil keputusan akhir. Khusus untuk jabatan Panglima ABRI, pelaksanaan pengangkatannya dilakukan bersamaan dengan pengangkatan menteri-menteri, Gubernur BI dan Jaksa Agung serta Kepala-Kepala Lembaga Pemerintahan NonDepartemen (LPND).

9. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Kepala LPND.

Kekuasaan ini selama masa orde baru digolongkan sebagai implementasi dari kekuasaan pemerintahan yang dimiliki oleh presiden. Pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan dalam suatu negara secara normatif berada dalam ruang lingkup kepala eksekutif, sehingga sebagaimana implementasi kekuasaan pemerintahan lainnya, kekuasaan ini tidak diatur dengan jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Dasar pemikiran pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan non-departemen ini adalah diperlukannya lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu yang berada di luar lingkup bidang departemen-departemen yang ada atau fungsi-fungsi yang memerlukan penanganan yang khusus agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan efektif dan efisien. LPND yang dibentuk selama masa orde baru berjumlah dua puluh lembaga, yang seluruhnya dibentuk dengan Keppres. Di antaranya adalah Badan Urusan Logistik (BULOG), Biro Pusat Statistik (BPS), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga ini berkedudukan setingkat dengan departemen pemerintahan dan dapat mengeluarkan peraturan perundang-undangan dalam ruang lingkup bidangnya.

Beberapa jabatan Kepala LPND disatukan dengan jabatan menteri departemen atau bahkan dijabat langsung oleh presiden yang dalam hal penentuannya diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Beberapa LPND di masa orde baru memiliki peranan besar dalam penentuan arah kebijakan politik, ekonomi dan sosial, seperti BAPPENAS, Dewan HANKAMNAS dan BULOG, sehingga dalam praktek pemerintahan jabatan ini menjadi sangat penting. Kekuasaan pembentukan lembaga, pengangkatan dan pemberhentian jabatan kepala LPND yang terpusat dan tertutup ini menjadikan peran kontrol lembaga-lembaga lain, terutama DPR, menjadi lemah, karena tidak tersedianya peluang untuk melakukan pengawasan sejak awal. Kondisi ini tentunya menjadikan kekuasaan ini rentan terhadap penyalahgunaan wewenang.

Kebutuhan untuk menciptakan kontrol yang efektif terhadap jalannya pemerintahan, memerlukan pengaturan yang jelas dalam mekanisme pelaksanaannya. Oleh karena itu, untuk mendukung penciptaan kondisi tersebut, pembentukan dan penghapusan lembaga-lembaga pemerintahan nondepartemen harus dilakukan melalui mekanisme hearing lebih dulu di DPR. Begitu pula halnya dengan pengangkatan dan pemberhentian kepala-kepala lembaga tersebut, yang harus melewati "pengujian" terlebih dahulu melalui hearing di DPR. Pelaksanaan hearing tersebut sebaiknya dilakukan secara bersamaan dengan pengangkatan menteri-menteri, Jaksa Agung, Gubernur BI dan Panglima ABRI.

B. Kekuasaan Presiden Dengan Persetujuan DPR

Kekuasaan presiden dengan persetujuan DPR adalah kekuasaan-kekuasaan yang dalam menjalankannya memerlukan persetujuan DPR terlebih dahulu sebelum dilaksanakan. Kekuasaan-kekuasaan tersebut adalah:

1. Kekuasaan menyatakan perang dan membuat perdamaian.

Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 11 UUD 1945 dan Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan RI dan Pasal 33 ayat (2) huruf e UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selama masa orde baru, kekuasaan ini tidak pernah digunakan oleh presiden, namun kekuasaan ini di masa orde lama pernah digunakan oleh Presiden Soekarno dalam rangka merebut Irian Barat dari penguasaan Belanda dan pada saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia.

Pada dasarnya mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini sudah cukup jelas diatur, yaitu dengan mewajibkan adanya persetujuan dari DPR. Hanya saja dibutuhkan suatu pengaturan yang lebih rinci dalam suatu undang-undang untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat saja terjadi dalam suatu keadaan memaksa. Sebagai contoh misalnya, apakah dimungkinkan pernyataan perang oleh presiden dilakukan tanpa meminta persetujuan lebih dulu kepada DPR karena keadaan yang sudah mendesak dan persetujuan dari DPR tidak mungkin dilakukan dalam waktu cepat? Pengaturan mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini mungkin memang belum mendesak, namun tidak ada salahnya untuk memasukkanya ke dalam bagian suatu undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan Presiden RI.

2. Kekuasaan membuat perjanjian dengan negara lain.

Kekuasaan ini diatur dalam yang sama dengan kekuasaan di atas, yaitu Pasal 11 UUD 1945. Selama masa orde baru, pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kekuasaan ini tidak pernah dibentuk. Pelaksanaan kekuasaan ini sejak masa demokrasi terpimpin didasarkan pada Amanat Presiden kepada Ketua DPRS No. 2826/Hk/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain. Amanat Presiden ini menyatakan bahwa kata "perjanjian" dalam Pasal 11 UUD 1945 tidaklah diartikan segala atau semua perjanjian. Karena itu perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR hanyalah perjanjian yang penting-penting saja (treaties), seperti perjanjian yang mengandung soal politik yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, perjanjian persekutuan atau aliansi, perjanjian tentang perubahan atau penetapan tapal batas, soal kewarganegaraan, soal kehakiman, dan lain-lain. Sedangkan perjanjian teknis lainnya yang bersifat teknis (agreements), tidak memerlukan persetujuan DPR melainkan cukup dengan Keppres dan akan disampaikan ke DPR untuk diketahui.

Dengan dikeluarkannya UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, pengaturan mengenai pembuatan perjanjian-perjanjian internasional mendapatkan landasan hukum yang kuat. Dalam Pasal 36 dan 37 UU tersebut dinyatakan bahwa perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, bangsa, keamanan, sosial-budaya, ekonomi, maupun keuangan yang dilakukan pemerintah, memerlukan persetujuan DPR sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian dalam hal kerja sama internasional yang berkaitan dengan kepentingan daerah, pemerintah wajib memperhatikan sungguh-sungguh suara dari Pemerintah Daerah dan DPRD.

Sebelum berlakunya UU No. 4/1999, timbul beberapa permasalahan dalam pelaksanaan kekuasaan ini. Pertama, Amanat Presiden (Ampres) bukanlah merupakan suatu peraturan perundang-undangan, ia tidak dapat dijadikan dasar hukum suatu penyelenggaraan pemerintahan, sehingga dibutuhkan pengaturan khusus dalam suatu undang-undang mengenai pelaksanaan kekuasaan ini. Kedua, pengaturan di atas masih belum mendefinisikan secara jelas dan rinci, materi-materi mana yang masuk ruang lingkup penting dan mana yang kurang penting. Dalam kenyataannya, pemilahan materi perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR dan yang tidak, diserahkan kepada presiden. Padahal maksud dari Pasal 11 UUD 1945 justru sebaliknya, DPR memiliki kekuasaan untuk menyeleksi seluruh perjanjian yang akan dilakukan oleh pemerintah. Penting atau tidak pentingnya suatu materi perjanjian diserahkan penentuannya kepada DPR.

Argumen yang mendukung materi Ampres di atas adalah sangat tidak efisien untuk menyerahkan semua materi perjanjian untuk diseleksi oleh DPR. Selain anggota DPR memiliki pekerjaan yang sangat banyak, mereka juga memiliki keahlian teknis yang lebih rendah dibandingkan dengan aparatur pemerintahan, sehingga proses tersebut hanya akan memakan waktu dan biaya yang tinggi, dan hasil yang sama akan diperoleh apabila proses itu dikerjakan sendiri oleh pemerintah. Pendapat ini tentunya sulit untuk dibantah, namun secara prinsipil, mekanisme semacam itu dapat memberikan peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Kejadian yang masih segar dalam ingatan kita adalah ditandatanganinya kesepakatan (letter of intent) antara Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF) oleh Presiden Soeharto, tanpa melibatkan, apalagi meminta persetujuan, dari DPR. Walaupun letter of intent tersebut termasuk ke dalam golongan perjanjian yang kurang penting (agreements), akibat yang ditimbulkan menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap arah kebijakan ekonomi dan politik Indonesia, terutama dampak langsungnya terhadap kehidupan perekonomian masyarakat.

Peristiwa perjanjian dengan IMF tersebut membuat kita harus berpikir lebih lanjut, bahwa apabila pemilahan tersebut tetap akan diberlakukan, maka pengaturan yang lebih rinci dan jelas sangat diperlukan. Hal ini tentunya tidak mudah dan tetap rentan untuk dilakukan, karena perkembangan yang sangat pesat di era modernisasi ini menjadikan hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya dapat saja terjadi di masa mendatang. Selain itu, yang menentukan penting atau tidaknya suatu perjanjian seringkali adalah masalah yang sifatnya ideologis, bukan masalah teknis.

Dengan tetap berpijak pada argumen bahwa kewenangan terbesar untuk menentukan perjanjian penting atau tidak penting ada pada DPR, maka di masa mendatang, seluruh perjanjian yang diadakan dengan negara lain harus melalui penyaringan di DPR. Untuk perjanjian yang oleh DPR dianggap penting, harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Sedangkan untuk perjanjian yang oleh DPR dianggap kurang penting dan secara teknis tidak efisien apabila harus mendapatkan persetujuan DPR terlebih dulu, dapat dilakukan dengan keputusan presiden. Hal ini untuk menghindari terulangnya tindakan peminggiran peranan wakil rakyat dalam peranannya menentukan arah kebijakan politik negara.

3. Kekuasaan membentuk undang-undang

Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan secara operasional diatur dalam Keppres No. 188/1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU. Keppres ini menggantikan Instruksi Presiden (Inpres) No. 15/1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Inpres 15/1970 merupakan perintah yang berisi petunjuk presiden kepada para menteri dan kepala LPND mengenai bagaimana prosedur menyusun RUU dan RPP. Perbedaan mendasar antara Keppres No. 188/1998 dan Inpres 15/1970 adalah dalam hal besarnya wewenang proses penyusunan suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Pada Inpres 15/1970 wewenang terbesar penyusunan ada pada Sekretariat Negara, sedangkan pada Keppres 188/1998 wewenang terbesar diserahkan pada Panitia Antar Departemen penyusunan RUU dan RPP. Selain itu dalam Keppres 188/1998, peranan konsultasi juga diberikan secara memadai kepada Departemen Kehakiman dan Departemen atau Lembaga teknis yang terkait dengan materi muatan RUU dan RPP.

Secara teknis operasional, mekanisme yang diatur dalam Keppres telah memberikan peluang untuk meningkatkan pemberdayaan departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintahan di bawah presiden. Apabila dilihat dari konsep pemerintahan yang sebaiknya bersifat bottom-up, hal ini merupakan suatu perubahan yang cukup signifikan dibandingkan dengan pola pemerintahan yang berlangsung di masa Presiden Soeharto.

Keppres ini juga telah memberikan tempat yang lebih baik kepada naskah akademis yang merupakan salah satu bagian dari bentuk usulan dan pertimbangan dari institusi-institusi yang ada di dalam masyarakat, terutama perguruan tinggi. Dalam mekanisme yang lama, sebuah naskah akademis hanya menjadi sebuah usulan dan pertimbangan bagi Panitia Antar Departemen. Dalam Keppres No. 188/1998, sebuah naskah akademis (dalam Keppres ini disebut dengan rancangan akademik) dapat dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi yang diadakan untuk memantapkan konsepsi RUU dan RPP yang dikoordinasikan oleh Menteri Kehakiman.

Salah satu kritik yang dilancarkan pada Keppres ini adalah masih kurangnya pemberian peluang institusi-institusi di dalam masyarakat untuk berperan serta dalam memberikan usulan dan masukan dalam penyusunan RUU dan RPP. Pelibatan yang ada masih bersifat tertutup dan hanya berputar di institusi tertentu saja, misalnya perguruan tinggi dan para ahli. Sementara peluang partisipasi masyarakat secara luas tampaknya masih belum diberikan. Di beberapa negara, misalnya Perancis dan Swiss, untuk penyusunan suatu undang-undang yang akan berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakatnya, terdapat suatu mekanisme yang melibatkan masyarakat secara luas dengan mekanisme polling (pengumpulan pendapat). Hasil pelaksanaan polling ini dijadikan salah satu bahan pertimbangan bagi panitia penyusunan suatu rancangan undang-undang di negara tersebut. Manfaat yang dapat diambil dari penyelenggaraan mekanisme ini adalah sosialisasi suatu undang-undanga telah dilakukan sejak awal, sehingga pada saatnya diberlakukan, undang-undang tersebut telah memasyarakat secara luas dan akan semakin mempermudah aparat pelaksana dalam melaksanakan undang-undang ini. Konsep yang sama dapat juga diberlakukan terhadap penyusunan RUU dan RPP di Indonesia.

Dengan tidak meniadakan masih adanya kekurangan dalam Keppres 188/1998, dapat dinyatakan bahwa Keppres ini telah banyak mengadakan perubahan yang signifikan dalam penyusunan RUU dan RPP. Namun untuk kebutuhan di masa mendatang, dasar hukum penyusunan undang-undang sebaiknya diatur secara lengkap dan jelas dalam sebuah undang-undang yang mengatur tentang pembentukan undang-undang.

4. Kekuasaan Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).

Kekuasaan presiden untuk menetapkan PERPU, didasarkan pada Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Pengaturan lebih lanjut terhadap pelaksanaan kekuasaan ini hanya didasarkan pada ketentuan Pasal 134 jo. Pasal 125-129 Peraturan Tata Tertib DPR RI No. 9/DPR-RI/1997-1998, yang secara yuridis-administratif bukan merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia. Dasar pemikiran dari kekuasaan ini adalah adanya kebutuhan yang mendesak untuk diberlakukannya sebuah undang-undang, sementara kondisi pada saat itu tidak memungkinkan untuk menunggu persetujuan dari DPR terlebih dulu. Sebuah PERPU dapat langsung diberlakukan oleh pemerintah sambil secara bersamaan PERPU tersebut diajukan ke DPR sebagai RUU. Pembahasan RUU tersebut harus dilakukan sesegera mungkin pada sidang DPR berikutnya. Jika DPR pada saat sidang memutuskan untuk tidak menyetujui PERPU tersebut maka ia harus segera dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Beberapa mata rantai yang biasa dilakukan dalam proses pembentukkan UU, dalam proses pembentukan PERPU dipersingkat. Misalnya Panitia Antar Departemen menjadi tidak selalu perlu dan permintaan tanggapan dan pertimbangan para menteri dan kepala LPND yang bersangkutan perlu dipercepat.

Mekanisme pembentukan PERPU merupakan mekanisme yang darurat, dengan alasan tersebut Ismail Suny menggolongkan kekuasaan ini sebagai kekuasaan darurat. Secara prinsipil tidak ada masalah dalam mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini, namun di masa mendatang kebutuhan untuk dibentuknya pengaturan khusus tentang mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini dalam suatu undang-undang sudah dirasakan mendesak. Pengaturan tersebut sebaiknya disatukan ke dalam undang-undang tentang pembentukan undang-undang.

5. Kekuasaan menetapkan APBN.

Dasar hukum kekuasaan menetapkan APBN adalah Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Stb. 1925 No. 448 setelah diubah dengan UU No. 3/1954, sebagaimana diubah dengan UU No. 9/1968 tentang Cara Pengurusan dan Pertanggungjawaban Keuangan RI atau biasa disebut dengan Indonesische Comptabiliteitswet (ICW).

Kekuasaan menetapkan APBN dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertama adalah penyusunan rancangan APBN dan nota keuangan dan tahap kedua adalah penetapan RUU APBN. Bahan untuk menyusun RAPBN diajukan oleh departemen, LPND, dan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara dalam bentuk Daftar Usulan Kegiatan (DUK) bagi anggaran rutin kepada menteri keuangan c.q. direktur jenderal anggaran dan dalam bentuk Daftar Usulan Proyek (DUP) bagi anggaran pembangunan kepada menteri keuangan c.q dirjen anggaran dan ketua BAPPENAS. Dalam tahap kedua, RUU APBN yang diajukan oleh pemerintah dibahas di DPR dalam empat tingkat pembicaraan sampai dengan pesetujuan atau tidak persetujuan RUU APBN tersebut. Persetujuan DPR terhadap APBN yang diajukan oleh pemerintah adalah mutlak, apabila RUU APBN tersebut tidak mendapatkan persetujuan dari DPR, UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah harus menggunakan APBN tahun lalu.

Mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden ini telah cukup diatur dengan jelas, kekuasaan presiden telah dibatasi secara tegas dengan kewajiban mutlak untuk mendapatkan persetujuan dari DPR. Secara normatif ketentuan tersebut telah mengantisipasi kemungkinan pelaksanaan kekuasaan yang sewenang-wenang dari seorang presiden dalam menetapkan anggaran pembelanjaan dan keuangan negara. Di masa mendatang, ketentuan tentang mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini sebaiknya disatukan dengan mekanisme pelaksanaan kekuasaan pembentukan undang-undang, yang diatur dalam suatu undang-undang tentang pembentukan undang-undang.

 

C. Kekuasaan Presiden Dengan Konsultasi

Kekuasaan dengan konsultasi adalah kekuasaan yang dalam pelaksanaannya memerlukan usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi kekuasaan tersebut. Kekuasaan-kekuasaan tersebut adalah:

1. Kekuasaan memberi grasi.

Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 14 UUD 1945 yang diatur lebih lanjut dengan UU No. 3/1950 tentang Grasi. Kekuasaan memberikan grasi oleh beberapa pakar hukum tata negara digolongkan ke dalam kekuasaan yudikatif Presiden RI, dengan alasan bahwa kekuasaan ini berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman. Penjelasan UUD 1945 sendiri secara tegas menyatakan bahwa kekuasaan ini adalah kekuasaan presiden sebagai kepala negara. Apabila materi UU No. 3/1950 diperhatikan lebih lanjut, maka dengan jelas terlihat bahwa tindakan presiden dalam memberikan grasi bukanlah tindakan yudikatif, karena ia lebih didasarkan pada alasan-alasan politis daripada alasan-alasan yuridis. Pertimbangan yuridis dalam hal pemberian grasi dilakukan oleh Departemen Kehakiman, Mahkamah Agung dan Jaksa Agung, dan pada saat pertimbangan tersebut disampaikan kepada Presiden RI oleh Menteri Kehakiman, persoalan yuridis telah dianggap selesai.

Mekanisme konsultasi yang ketat dalam hal pemberian grasi telah diatur dengan jelas dalam UU No. 3/1950, sehingga secara mekanistis pengaturan kekuasaan ini telah berusaha secara optimal menghindarkan terjadinya penyalahgunaan wewenang.

2. Kekuasaan memberi amnesti dan abolisi.

Kekuasaan presiden ini didasarkan pada Pasal 14 UUD 1945 dan Pasal 1 UU Drt. No. 11/1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Mekanisme pelaksanaan kekuasaan tersebut dilakukan atas kepentingan negara dan setelah mendapat nasehat tertulis dari MA yang menyampaikan nasehat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.

UU Darurat ini hanya terdiri dari lima pasal dan belum mengatur mekanisme pelaksanaan kekuasaan secara rinci, walaupun materi pengaturannya telah meletakkan dasar pokok pembatasan kekuasaan. Di masa mendatang diperlukan suatu undang-undang baru yang lebih jelas dan rinci mengatur mekanime pelaksanaan kekuasaan ini.

3. Kekuasaan memberi rehabilitasi.

Dasar hukum kekuasaan memberi rehabilitasi ini hanya ada di Pasal 14 UUD 1945. Dalam pelaksanaannya kekuasaan ini tampaknya dilakukan bersamaan dengan pemberian amnesti dan abolisi, contuhnya adalah kasus A. M. Fatwa (Keppres No. 127/1998). Untuk kebutuhan dasar hukum yang lebih jelas di masa mendatang, kekuasaan ini harus diatur lebih lanjut dengan sebuah undang-undang, dan sebaiknya pengaturannya disatukan dengan pengaturan mengenai pemberian amnesti dan abolisi.

4. Kekuasaan memberi gelaran.

Kekuasaan presiden untuk memberi gelaran dinyatakan dalam Pasal 15 UUD 1945, namun tidak dijelaskan lebih lanjut apa saja yang dimaksud dengan gelaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gelar adalah sebutan kehormatan, kebangsawanan, atau keilmuan yang biasanya ditambahkan pada nama orang. Beberapa gelar yang diinterpretasikan termasuk dalam gelaran ini adalah, gelar Guru Besar (profesor) dan gelar Pahlawan Nasional. Selama ini mekanisme pelaksanaan pemberian gelar-gelar tersebut dilakukan oleh presiden tanpa mekanisme yang jelas, sehingga walaupun kerap kali kekuasaan ini dilakukan melalui mekanisme konsultasi terlebih dulu dengan lembaga-lembaga yang terkait, kekuatan hukum konsultasi ini sangatlah lemah, karena ia hanya dilakukan berdasarkan kebiasaan semata. Misalnya dalam hal pemberian gelar Guru Besar, presiden memberikan gelar Guru Besar berdasarkan hasil penetapan sidang Senat Guru Besar Universitas, namun sebenarnya tidak ada kekuatan hukum yang mengikat presiden untuk mendasarkan pelaksanaan kekuasaannya ini pada hasil sidang Senat tersebut, sehingga penyimpangan kekuasaan sangat mungkin terjadi. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut, maka di masa mendatang dibutuhkan suatu undang-undang yang jelas untuk mengatur kekuasaan ini, dengan mendasarkan konsep pelaksanaan kekuasaannya pada mekanisme konsultasi. Konsultasi yang dimaksud adalah usulan dan pertimbangan yang diberikan oleh komunitas, kelompok, golongan, atau lembaga-lemabaga lain yang berkaitan dengan gelaran tersebut.

5. Kekuasaan memberi tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya.

Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 15 UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2), Pasal 8 ayat (1) dan (2), dan Pasal 10 ayat (3) UU Drt No. 4/1959. Kekuasaan ini dijalankan dengan mekanisme konsultasi. Mekanisme yang dimaksud oleh UU ini adalah bahwa dalam pelaksanaan kekuasaan ini, presiden diharuskan untuk meminta pertimbangan dari Dewan Menteri dan Dewan Tanda-Tanda Kehormatan ebih dulu sebelum memberikan tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya. Istilah Dewan Menteri dalam undang-undang ini ditujukan untuk kabinet pemerintahan yang, pada masa UU ini dibentuk, menganut sistem pemerintahan parlementer dan secara yuridis masih berdasarkan UUDS 1950.

Apabila diperhatikan lebih lanjut, UU Drt. No. 4/1959 memberikan kewenangan yang besar kepada Dewan Menteri dan Dewan Tanda-tanda Kehormatan Selama masa orde baru, pelaksanaan kekuasaan ini sangat tertutup dan terpusat. Pemberian tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya dipahami oleh pemerintah orde baru sebagai hak prerogatif presiden.

Untuk kebutuhan di masa mendatang, sudah selayaknya dibentuk undang-undang yang baru untuk menggantikan UU Drt No. 4/1959. Mengenai mekanisme pelaksanaannya, presiden dalam menetapkan pemberian tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya harus mendapatkan usulan atau mendapatkan pertimbangan lebih dulu dari Dewan Tanda-tanda Kehormatan dan presiden harus memperhatikan pertimbangan atau usulan tersebut dengan sungguh-sungguh.

6. Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah.

Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah didasarkan pada Pasal 5 ayat (2) dan diatur lebih lanjut dengan Pasal 28 ayat (1) Keppres 188/1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU. Dalam peraturan ini dinyatakan bahwa seluruh proses penyusunan rancangan peraturan pelaksanaan UU dilakukan dengan tata cara yang sama dengan penyusunan RUU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai Pasal 18 Keppres 188/1998. Proses yang dimaksud adalah sejak pembentukan Panitia Antar Departemen sampai laporan terakhir Mensesneg kepada Presiden tentang rancangan peraturan yang akan disahkan. Dalam Keppres tersebut juga ditegaskan bahwa penetapan peraturan pelaksanaan UU harus diselesaikan selambat-lambatnya satu tahun setelah pengundangan Undang-undang yang bersangkutan.

Permasalahan yang timbul selama masa orde baru yang berkaitan dengan kekuasaan pembentukan peraturan pemerintah adalah tergantungnya proses pembentukkan PP kepada pemerintah, baik dalam hal penyusunan materi maupun dalam hal waktu penetapan peraturan tersebut. Tergantungnya penyusunan materi PP kepada pemerintah menyebabkan materi tersebut tidak mendapatkan penilaian dan pertimbangan lebih dulu dari DPR sebelum diberlakukan. Padahal banyak UU di Indonesia yang justru menyerahkan pengaturan turunan yang sifatnya substansial kepada peraturan di bawahnya, yaitu PP. Akibatnya sering terjadi suatu ketentuan UU tidak dapat dijalankan dengan alasan belum ada PP atau peraturan pelaksanaan lainnya yang mengatur lebih lanjut ketentuan tersebut, sehingga secara hukum dapat dinyatakan bahwa UU tersebut sebenarnya tidak dapat berlaku efektif.

Untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan di atas, Keppres 188/1998 telah mengantisipasinya dengan memberikan batasan terhadap lama waktu pembentukan PP. Pengaturan tersebut belum cukup, karena masih memberikan peluang terjadinya penyimpangan kekuasaan. Pembentukan peraturan pelaksanaan UU, baik PP maupun peraturan pelaksana lainnya, sebaiknya dijadikan satu paket dengan pembentukan UU. Hal ini perlu dilakukan agar materi PP juga dapat dibahas dalam sidang-sidang pembahasan di DPR dan juga menjadikan suatu UU yang telah disetujui oleh DPR dapat langsung diberlakukan secara efektif tanpa harus menunggu proses penyusunan peraturan pelaksanaannya telebih dahulu. Sementara mekanisme yang memberikan waktu paling lambat satu tahun untuk penetapan PP atau peraturan pelaksanaan lainnya, dapat dijadikan mekanisme penyimpangan dengan syarat-syarat yang ditetapkan dengan UU. Pengaturan mengenai pembentukan PP dan peraturan pelaksanaan lainnya ini sebaiknya dijadikan satu dengan UU tentang pembentukan UU yang direkomendasikan di atas.

7. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim.

Kekuasaan presiden untuk mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim didasarkan pada Pasal 30 dan 31 UU No. 14/1970. Ketentuan ini menyatakan bahwa hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara, mengenai syarat-syarat dan tata caranya diatur dengan UU. Ketentuan undang-undang yang dimaksud adalah Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 15 ayat (1), Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (1) UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, serta Pasal 21 UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer.

Ketentuan-ketentuan tersebut mensyaratkan kepada presiden untuk terlebih dulu menerima usulan dari Departemen Kehakiman (untuk hakim Peradilan Umum dan PTUN) atau Departemen Agama (untuk Peradilan Agama) atau Panglima ABRI (untuk Peradilan Militer) yang telah mendapat persetujuan dari Mahkamah Agung.

Ketentuan ini menyebabkan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, khususnya hakim Peradilan Umum dan hakim PTUN, menjadi tergantung secara administratif kepada eksekutif. Hal ditengarai menjadi salah satu sebab dari ketidakmandirian kekuasaan kehakiman selama masa orde baru. Di masa mendatang dibutuhkan suatu undang-undang baru yang menggantikan UU di atas yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan demokratisasi. Pengaturan mekanisme pelaksanaan pengangkatan dan pemberhentian dan seluruh hal-hal yang berkaitan dengan proses adminsitratif hakim-hakim terutama hakim Peradilan Umum dan hakim PTUN tidak lagi dicampuri oleh lembaga eksekutif. Semua hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tertinggi pelaksana Kekuasaan Kehakiman, sedangkan presiden sebagai kepala negara hanya berfungsi meresmikan keputusan yang telah diambil oleh Mahkamah Agung.

8. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Hakim Agung, Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Anggota MA.

Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 8 ayat (1) sampai (5), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1) dan (2), serta Pasal 13 ayat (1) UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung. Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan kekuasaan presiden sebagai kepala negara untuk mengangkat hakim-hakim agung dari daftar calon yang diusulkan oleh DPR setelah mendengar pendapat MA dan Pemerintah. Selanjutnya Kepala Negara mengangkat Ketua MA dan Wakil Ketua MA dari daftar calon hakim agung tersebut. Dalam hal pengangkatan Ketua Muda MA, Kepala Negara mengangkat dari hakim agung yang diusulkan oleh MA. Sedangkan dalam hal pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota MA, Kepala Negara melakukannya atas usul MA.

Kekuasaan yang besar berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian hakim-hakim agung oleh presiden di negara-negara demokrasi modern bukanlah hal yang jamak terjadi. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang berusaha sejauh mungkin dicampuri oleh kekuasaan lembaga negara lain. Dalam hal pengangkatan dan pemberhentian hakim-hakim agung, lembaga yang diserahkan kewenangan untuk memilih dan mengangkatnya adalah lembaga perwakilan rakyat, karena lembaga ini diharapkan dapat mengadakan pemilihan dan pengangkatan secara terbuka dan representatif. Alternatif lainnya adalah pemilihan dan pengangkatan yang dilakukan oleh komisi independen khusus yang diserahi kewenangan ini.

Untuk menghindarkan terjadinya intervensi terhadap kekuasaan kekuasaan kehakiman seperti yang terjadi di masa lampau, maka salah satu upaya yang harus ditempuh adalah membuat pengaturan pengangkatan dan pemberhentian hakim-hakim agung yang lebih baik. Pemilihan dan pengangkatan hakim-hakim agung tidak lagi dilakukan oleh presiden namun diserahkan kepada DPR yang melakukan pemilihan berdasarkan daftar calon yang diusulkan oleh Komisi Independen Pengangkatan Hakim Agung. Setelah pemilihan dilakukan oleh DPR, Presiden sebagai Kepala Negara meresmikan hasil keputusan tersebut secara adminsitratif. Pemberhentian hakim agung hanya dapat dilakukan dengan dasar tuntutan berat (impeachment) dalam sidang DPR dan atas hasil sidang tersebut Kepala Negara secara administratif menetapkannya dengan Keppres. Sedangkan untuk pengangkatan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda MA dilakukan sendiri oleh hakim-hakim agung MA dalam sebuah sidang khusus untuk itu. Hasil sidang ini kemudian diserahkan kepada Kepala Negara untuk ditetapkan secara administratif.

9. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Ketua ,Wakil Ketua dan anggota DPA.

Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 5 dan 7 ayat (1) UU No. 3/1967 setelah diubah dan ditambah dengan UU No. 4/1978 tentang Dewan Pertimbangan Agung. DPA dalam struktur kenegaraan RI didudukkan sebagai salah satu lembaga tinggi negara. Ia berkedudukkan sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya, yaitu MA, Presiden, dan BPK. Fungsi dari DPA adalah berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul dan berkewajiban mengajukan pertimbangan kepada presiden.

Anggota-anggota DPA meliputi unsur-unsur; tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh karya, tokoh-tokoh daerah dan tokoh-tokoh nasional. Pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota DPA dilakukan dengan Keppres. Dalam prakteknya di lapangan, kekuasaan mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota DPA dilakukan oleh presiden dengan mendengarkan lebih dulu saran-saran dan pertimbangan dari MPR, DPR, pimpinan partai politik serta organisasi kemasyarakatan lainnya. Walaupun demikian, kekuasaan terbesar untuk menentukan anggota-anggota DPA yang akan diangkat adalah di tangan presiden. Kenyataan ini menyebabkan lembaga DPA yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga penasehat yang obyektif dan mandiri tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan.

Untuk itu, sejalan dengan kebutuhan lembaga kontrol yang efektif dan berorientasi pada terciptanya check and balance dalam kehidupan pemerintahan di masa mendatang, maka mekanisme pelaksanaan pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota DPA sudah saatnya mengalami perubahan. Pengisian keanggotaan DPA di masa mendatang sebaiknya diusulkan dan dipilih oleh anggota-anggota DPR dalam sidang yang khusus diadakan untuk itu. Begitu pula dalam hal mekanisme pemberhentian di tengah masa jabatan keanggotaan DPA. Dalam hal pemilihan Ketua dan Wakil Ketua DPA, anggota-anggota DPA bersidang sendiri untuk menentukan siapa-siapa saja yang akan memimpin DPA. Kesemua hasil persidangan tersebut, baik dalam hal pengangkatan anggota maupun pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua DPA, diserahkan kepada Kepala Negara untuk ditetapkan secara administrasi dengan Keppres.

10. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK.

Kekuasaan presiden ini didasarkan pada Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), dan Pasal 10 UU No. 5 tahun 1973 tentang BPK. Dalam ketentuan pengangkatan anggota BPK dinyatakan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK diangkat oleh Presiden atas usul DPR. Untuk setiap lowongan keanggotaan BPK, diusulkan tiga orang calon oleh DPR. Dalam hal pemberhentian anggota BPK, pelaksanaannya dilakukan oleh presiden, namun untuk pemberhentian dengan alasan tertentu (pelanggaran sumpah dan janji anggota DPA) presiden harus berkonsultasi dulu dengan DPR dan MA.

Kekuasaan besar yang dimiliki oleh presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK, diduga menjadi salah satu sebab dari ketidakefektifan lembaga eksaminatif ini. Di masa mendatang, seiring dengan kebutuhan pengawasan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang efektif, maka dalam hal pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota BPK, presiden tidak lagi diposisikan sebagai penentu utama kewenangan ini. Sebagaimana halnya pengangkatan anggota-anggota DPA di masa mendatang , pengisian keanggotaan BPK diusulkan oleh anggota-anggota DPR dan dipilih serta ditetapkan dalam sidang terbuka yang diadakan khusus untuk itu. Sedangkan dalam hal pengisian jabatan Ketua dan Wakil Ketua BPK, para anggota-anggota BPK bersidang di awal masa jabatannya untuk mengadakan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BPK dan kemudian menyerahkan hasil keputusan sidang tersebut untuk ditetapkan oleh presiden secara administrasi dengan Keppres.

 

 

11. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda.

Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1) UU No. 5/1991 tentang Kejaksaan RI. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa presiden mengangkat dan memberhentikan Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda atas usul Jaksa Agung. Ketentuan ini pada prinsipnya telah memberikan kewenangan yang terbatas pada presiden. Hanya saja perlu ditegaskan dalam pengaturan mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini di masa mendatang bahwa presiden harus secara sungguh-sungguh memperhatikan usulan dari Jaksa Agung, sehingga usulan tersebut menjadi prioritas utama bagi presiden dalam menentukan pilihannya.

12. Kekuasaan mengesahkan penetapan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 33-Pasal 42, Pasal 46, Pasal 49-Pasal 54 dan Pasal 56 UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini merupakan undang-undang yang menggantikan UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, yang selama masa Orde Baru merupakan pegangan utama pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan kehidupan pemerintahan dan kenegeraan. Hubungan kekuasaan pusat dan daerah dalam UU No. 5/1974 diimplementasikan dalam pola hubungan yang sentralistis dan top-down, sehingga dalam banyak hal menjadikan proses demokratisasi selama masa orde baru menjadi sangat terhambat.

Pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Wakil Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tk. I serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tk. II dalam UU No. 5/1974 bersifat sentralistis, tertutup dan tidak membuka peluang bagi tuntutan pertanggungjawaban publik. Akibat dari mekanisme pelaksanaan tersebut, aspirasi masyarakat lokal direduksi oleh kepentingan pemerintah pusat. Demokrasi di tingkat lokalpun menjadi terhambat. Kepala Daerah lebih merasa harus bertanggung jawab kepada pusat daripada kepada masyarakat daerahnya sendiri, sehingga kepentingan pemerintah pusat dalam pengelolaan pemerintahan daerah lebih dominan daripada kepentingan daerah itu sendiri.

UU Pemerintahan Daerah yang baru saja terbentuk di tahun 1999, mengandung perubahan yang cukup signifikan dari UU No. 5/1974, khususnya mengenai pola hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Peluang cukup besar telah diberikan kepada daerah untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan sendiri dan pengembangan potensi sumber daya daerahnya.

Berkaitan dengan kekuasaan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah, terdapat perubahan yang mendasar dalam pengaturan UU No. 22/1999 mengenai mekanisme pelaksanaan kekuasaan tersebut. Pengangkatan Kepala Daerah tidak lagi bersifat top down, sebagaimana sebelumnya, namun lebih memberikan kekuasaan yang besar kepada daerah untuk menentukan Kepala Daerahnya sendiri. Kekuasaan pengangkatan yang dahulu dipegang oleh Presiden, dalam UU ini diserahkan sebagian besar kepada DPRD. Mekanisme pelaksanaan kekuasaan tersebut dari sejak pencalonan sampai dengan pemilihan dan pengangkatan dilakukan sepenuhnya oleh anggota-anggota DPRD yang bersangkutan. Peranan Presiden dalam proses ini diwujudkan dalam mekanisme konsultasi dan pengesahan seremonial serta pelantikan.

Mekanisme konsultasi yang dimaksud adalah bagian dari tahapan yang harus dilakukan oleh DPRD dalam proses pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur. Mekanisme konsultasi dilakukan pada saat calon Gubernur dan Wakil Gubernur telah ditetapkan oleh DPRD, yang terdiri dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang calon. Calon-calon tersebut sebelum dipilih dalam Rapat Paripurna DPRD, dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Presiden. Hal yang menjadi sedikit masalah dalam ketentuan UU ini adalah tidak adanya ketentuan yang jelas apabila hasil dari konsultasi tersebut adalah ketidaksetujuan Presiden terhadap calon-calon yang telah ditetapkan oleh DPRD yang bersangkutan. Apakah DPRD memiliki hak untuk mengabaikan ketidaksetujuan Presiden tersebut atau tidak? Apabila tidak, mekanisme apa yang harus dilakukan oleh DPRD atas konsekuensi tersebut?

Kekuasaan Presiden lainnya yang berkaitan dengan pengisian jabatan Kepala Daerah adalah mengesahkan penetapan DPRD tentang Kepala daerah yang terpilih dan pelantikan Kepala Daerah yang terpilih. Dari ketentuan ini jelas terlihat bahwa kekuasaan Presiden RI dalam hal pengisian jabatan Kepala Daerah tidak lagi lebih dominan dibandingkan kekuasaan DPRD.

Dalam hal pemberhentian Kepala Daerah, kekuasaan Presiden RI juga tidak lagi menempati posisi yang dominan. Kekuasaan untuk memberhentikan Kepala Daerah diserahkan sepenuhnya kepada DPRD. Presiden RI dalam proses tersebut hanya berfungsi mengesahkan penetapan DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah tersebut. Keputusan DPRD, mengenai pemberhentian Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir.

Penyimpangan ketentuan mengenai pemberhentian Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah adalah apabila terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih, atau diancam dengan hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Pemberhentian tersebut dilakukan oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD.

Selain itu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diduga melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan RI diberhentikan untuk sementara dari jabatannya oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD. Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang terbukti melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan RI yang dinyatakan dengan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden tanpa persetujuan DPRD. Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang setelah melalui proses peradilan ternyata tidak terbukti melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah Negara Kesatuan RI, diaktifkan kembali dan direhabilitasi selaku Kepala Daerah sampai akhir masa jabatannya.

13. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Panitera dan Wakil Panitera MA.

Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 21 UU No. 14/1985. Ketentuan pasal tersebut menyatakan bahwa Panitera dan Wakil Panitera MA diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua MA. Fungsi dan kedudukan Panitera dan Wakil Panitera MA dalam penyelenggaraan kegiatan di MA sangatlah penting. Panitera memegang fungsi penyelenggaraan seluruh proses administrasi perkara di Mahkamah Agung RI, sehingga ia juga menempati posisi penting dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang secara normatif harus terlepas dari kekuasaan lain dalam negara.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka membutuhkan kondisi yang seoptimal mungkin terlepas dari campur tangan lembaga negara lain, terutama eksekutif. Untuk mencapai tujuan tersebut secara maksimal, mekanisme pelaksanaan pengangkatan dan pemberhentian Panitera dan Wakil Panitera MA sudah waktunya untuk ditinjau kembali. Pengangkatan Panitera dan Wakil Panitera MA, tidak lagi diserahkan kepada Presiden, namun diserahkan kepada Hakim-hakim Agung MA, sejak dari proses pencalonan sampai dengan penetapan calon yang terpilih. Hasil dari pemilihan tersebut kemudian diserahkan kepada Presiden sebagai Kepala Negara untuk ditetapkan secara administrasi dengan Keppres. Sedangkan dalam hal pemberhentian Panitera dan Wakil Panitera MA, mekanisme pelaksanaannya dilakukan oleh Ketua MA dengan kewajiban untuk mendapatkan persetujuan terlebih dulu dalam sidang Hakim-Hakim Agung yang khusus diadakan untuk itu. Mekanisme seperti ini diharapkan akan membantu semakin terwujudnya Mahkamah Agung yang mandiri, bersih dan berwibawa.

 

 

14. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen, Irjen dan Dirjen Departemen.

Dasar hukum kekusaan ini adalah Pasal 29 ayat (1) Keppres No.44/1974. Ketentuan itu menyatakan bahwa Sekjen, Irjen, Dirjen dan Pimpinan Unit Organisasi lainnya yang setingkat dengan Dirjen diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pernyataan Pasal 29 ayat (1) di atas sebenarnya menempatkan kekuasaan presiden ini dalam kategori kekuasaan Presiden yang mandiri, namun karena dalam prakteknya kekuasaan ini dilakukan dengan berkonsultasi terlebih dulu dengan Menteri yang bersangkutan.

Ketentuan ini secara normatif menempatkan kedudukan menteri departemen cenderung lemah, dalam kaitannya dengan pengangkatan dan pemberhentian pejabat-pejabat di bawahnya. Padahal Penjelasan UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa menteri-menteri adalah pemimpin negara, yang dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari merupakan orang yang paling mengerti kebutuhan departemen yang dipimpinnya.

Dalam rangka pemberdayaan institusi-institusi pemerintahan di tingkat pusat, maka dibutuhkan mekanisme yang memberikan kewenangan yang optimal kepada institusi-institusi tersebut dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari dengan konsekuensi logis tanggung jawab yang semakin besar akan diemban oleh institusi-institusi tersebut. Mekanisme pelaksanaan pengangkatan dan pemberhentian Sekjen, Irjen, Dirjen dan Pimpinan Unit Organisasi lainnya yang setingkat dengan Dirjen, di masa mendatang sebaiknya dilakukan dengan usul dari Menteri Departemen yang bersangkutan, dan pada saat pengangkatannya presiden harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh usulan tersebut.

15. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekretaris Jenderal DPA.

Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 12 ayat (2) UU No. 3/1967 setelah diubah dan ditambah dengan UU No. 4/1978 tentang Dewan Pertimbangan Agung. Dalam ketentuan pasal tersebut dinyatakan bahwa Sekjen DPA diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Fungsi pokok dari Sekretariat Jenderal DPA adalah membantu pelaksanaan kinerja DPA di bidang teknis administratif. Dari ketentuan Pasal 12 ayat (2) tersebut, secara normatif kekuasaan presiden ini termasuk kategori kekuasaan presiden yang mandiri, namun karena dalam praktek pelaksanaan kekuasaannya selama ini Presiden berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPA, maka kekuasaan ini digolongkan ke dalam kategori kekuasaan presiden dengan konsultasi. Walaupun begitu, kekuasaan yang terbesar dalam tetap dipegang oleh presiden.

DPA sebagai supra struktur politik negara yang berfungsi sebagai lembaga konsultatif negara, seyogyanya memiliki kewenangan yang mandiri dalam hal proses rekrutmen di lingkungan kekuasaannya sendiri. Hal ini akan menjaga kredibilitas dan kualitas pelakasanaan tugas DPA sebagai salah satu lembaga negara yang melaksanakan fungsi check and balance di dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam kaitannya dengan pengangkatan Sekjen DPA, mekanisme pelaksanaan yang relevan di masa mendatang adalah menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan kewenangan itu kepada DPA, sejak proses pencalonan sampai dengan penetapan calon yang terpilih. Presiden sebagai Kepala Negara berperan dalam hal menetapkan secara adminsitrasi hasil ketetapan DPA tersebut. Sedangkan dalam hal pemberhentian Sekjen DPA, kewenangan tersebut diserahkan kepada Ketua DPA dengan keharusan mendapatkan persetujuan dari para Anggota DPA dalam suatu sidang yang diadakan khusus untuk itu.

16. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen BPK

Dasar hukum dari kekuasaan ini adalah Pasal 16 ayat (2) UU No. 5/1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Ketentuan pasal ini menyatakan bahwa Sekjen BPK diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul BPK.

Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga tinggi negara yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Lembaga ini bertugas untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara dan memeriksa semua pelaksanaan APBN.

Untuk menjamin kemandirian BPK dalam pelaksanaan tugasnya, terutama peranannya dalam mengontrol pelaksanaan kekuasaan pemerintahan di bidang keuangan, pola rekrutmen dalam lembaga ini harus lepas dari campur tangan lembaga lain terutama lembaga yang dikontrolnya, yakni eksekutif. Mekanisme ini akan mengurangi kendala psikologis, administratif dan politis bagi pengisi jabatan dalam menjalankan tugasnya.

Pengangkatan dan pemberhentian Sekjen BPK yang dilakukan oleh presiden dengan menerima usul dari BPK sudah saatnya untuk diubah. Kebutuhan di masa mendatang adalah menempatkan BPK sebagai lembaga yang mandiri dalam melaksanakan segala proses adminsitrasi, rekrutmen dan pengambilan keputusan. Mekanisme dalam mengangkat dan memberhentikan Sekjen BPK harus diserahkan sepenuhnya kepada para anggota BPK. Peranan Presiden dalam hal pengangkatan adalah meresmikan hasil keputusan tersebut atau, dengan kata lain, menetapkan secara administrasi hasil keputusan BPK tentang pengangkatan Sekjen BPK sebagai Kepala Negara.

Dalam hal pemberhentian Sekjen BPK, Ketua BPK dapat memberhentikan Sekjen BPK dengan persetujuan Anggota-anggota BPK dalam sidang yang khusus diadakan untuk itu.

17. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Anggota-anggota MPR yang diangkat

Kekuasaan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota MPR telah mengalami perubahan yang sangat signifikan pada masa setelah turunnya Presiden Soeharto dari jabatan presiden. Dalam UU No. 2/1985 tentang Susunan Kedudukan Anggota MPR, DPR dan DPRD dinyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota MPR yang diangkat adalah hak Presiden, baik melalui usulan Panglima ABRI (untuk utusan golongan karya ABRI) dan usulan organisasi golongan-golongan, maupun atas prakarsa Presiden. Sedangkan dalam UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, kekuasaan presiden dalam hal pengangkatan anggota-anggota MPR yang diangkat, hanya dalam hal penetapan secara administasi semata sebagai konsekuensi kedudukannya sebagai Kepala Negara. Utusan Daerah di MPR dipilih oleh DPRD I yang bersangkutan dan tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD I tersebut. Dalam hal pengangkatan Utusan Golongan di MPR, DPR menetapkan jenis dan jumlah wakil dari masing-masing golongan. Pengusulan Utusan Golongan dilakukan oleh golongannya masing-masing dan diajukan kepada DPR untuk ditetapkan, tata cara penetapan anggota MPR utusan golongan ini diatur dalam Peraturan Tata tertib DPR-RI. Berkaitan dengan pemberhentian anggota-anggota MPR, UU No. 4/1999 menyatakan bahwa kekuasan presiden dalam hal ini hanyalah meresmikan secara administrasi pemberhentian anggota-anggota MPR tersebut dengan Keputusan Presiden sebagai Kepala Negara.

Perubahan mekanisme ini menyebabkan kekuasaan Presiden dalam hal pengangkatan anggota-anggota MPR sudah tidak lagi sebesar dahulu. Namun kebutuhan demokratisasi di masa mendatang menuntut tidak ada lagi anggota-anggota MPR yang diangkat baik oleh Presiden, Panglima ABRI maupun oleh DPR. Semua anggota-anggota MPR di masa mendatang adalah para wakil rakyat yang dihasilkan melalui pemilihan umum yang memang diadakan khusus untuk itu, sehingga dalam kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara, MPR dan DPR benar-benar merupakan wujud dari representasi rakyat Indonesia

18. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Anggota-anggota DPR yang diangkat.

Berbeda dengan kekuasaan mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota MPR yang mengalami perubahan mekanisme yang signifikan dengan adanya UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, mekanisme pelaksanan kekuasaan ini tidak mengalami perubahan yang berarti. UU No. 2/1985 tentang Susunan Kedudukan Anggota MPR, DPR dan DPRD mengatur bahwa anggota DPR yang diangkat adalah anggota yang diambil dari golongan karya ABRI dan pengangkatannya ditetapkan oleh Presiden atas usul Panglima ABRI, begitu pula dalam hal pemberhentiannya.

Dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 4/1999 dinyatakan bahwa pengisian anggota DPR dilakukan berdasarkan hasil pemilihan umum dan pengangkatan. Dalam ayat berikutnya dinyatakan bahwa anggota DPR yang diangkat adalah anggota ABRI yang berjumlah 38 orang. UU ini tidak mengemukakan secara jelas apakah pengangkatan anggota-anggota DPR yang diangkat tersebut dilakukan oleh Presiden atau oleh Panglima ABRI.

Bila dilihat dari susunan ketatanegaraan RI, maka kedudukan Presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI memberikan kewenangan besar kepada Presiden RI dalam hal pengangkatan ini. Namun Pasal 12 ayat (2) UU No. 4/1999 menyatakan bahwa kekuasaan Presiden dalam hal pengisian keanggotaan DPR hanyalah dalam hal meresmikan secara administrasi keanggotan DPR dengan Keppres sebagai Kepala Negara. Apabila dilihat lebih lanjut, pasal-pasal yang mengatur pemberhentian anggota-anggota DPR yang diangkat menampakkan peran Panglima ABRI yang sangat besar, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam hal pengangkatan anggota-anggota DPR yang diangkat, peranan Panglima ABRI juga sangat besar.

Di masa mendatang diharapkan tidak ada lagi anggota-anggota DPR yang diangkat. Hanya orang-orang yang dipilih melalui pemilihan umum yang dapat mengisi keanggotan di DPR. Dengan begitu, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota DPR yang diangkat tidak perlu ada dan diatur lebih lanjut dengan suatu peraturan perundang-undangan.

19. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Gubernur dan Direksi Bank Sentral.

Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 17 ayat (1) UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral. Dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan bahwa Gubernur dan Direktur diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Moneter dan Presiden dapat memberhentikan Gubernur dan Direktur meskipun jabatan yang bersangkutan belum berakhir. Ketentuan ini memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden RI dalam menentukan pengisian jabatan Gubernur dan Direktur Bank Sentral.

Fungsi Bank Sentral dalam penyelenggaraan perekonomian negara, khususnya di bidang perbankan dan moneter, sangatlah penting. Kedudukan Gubernur BI selama masa orde baru sejajar dengan menteri-menteri dalam kabinet. Kekuasaan Presiden RI yang sangat besar dan tertutup dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Direksi BI membuka peluang suatu pelaksanaan kekuasaan yang sewenang-wenang.

Untuk menghindari terjadinya hal itu, dengan argumen yang sama dengan yang diberikan untuk mekanisme pengangkatan dan menteri-menteri kabinet, di masa mendatang kekuasaan Presiden yang sangat besar berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Direksi Bank Sentral sudah selayaknya diatur dengan mekanisme pelaksanaan yang lebih mencerminkan adanya kontrol dari lembaga lain, agar suatu kekuasaan dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Mekanisme yang paling tepat untuk dijalankan adalah mekanisme hearing di DPR, yang menuntut Presiden RI melakukan dengar pendapat lebih dulu untuk mendapatkan nasehat dan penilaian sebelum mengangkat dan memberhentikan Gubernur dan Direksi Bank Sentral.

20. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Rektor.

Dasar hukum pelaksanaan kekuasaan ini adalah Pasal 50 ayat (1) dan (2) PP No. 5/1980 tentang Pokok-pokok Organisasi Universitas/Institut Negeri. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa Rektor Universitas/Institut Negeri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Indonesia atas usul Mendikbud. Sebelum mengajukan usul dan pengangkatan atau pemberhentian sebagaimana dimaksud, Mendikbud meminta pertimbangan Senat Guru Besar melalui Rektor.

Perguruan Tinggi merupakan sebuah institusi yang dituntut untuk memiliki kemandirian dalam hal pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Insitusi ini diharapkan terlepas dari kepentingan-kepentingan politik dan ideologi tertentu yang dapat menghalangi institusi ini dalam menjalankan fungsinya. Dengan peranan dan tanggung jawab tersebut, perguruan tinggi kerap kali menjadi lembaga yang aktif dalam mengontrol dan memberi masukan kepada jalannya pemerintahan, sehingga dapat dikatakan lembaga ini juga merupakan bagian dari lembaga kontrol yang ada dalam suatu negara.

Agar pelaksanaan fungsi tersebut dapat tetap berjalan dengan baik, maka otonomi perguruan tinggi dalam penyelenggaraan fungsinya harus diberikan secara optimal. Pengangkatan rektor sebagai pimpinan dari suatu perguruan tinggi harus diserahkan sepenuhnya kepada perguruan tinggi tersebut. Pemilihan rektor universitas/institut negeri dilakukan oleh Senat Guru Besar dalam sidang yang khusus dilakukan untuk itu. Hasil pemilihan tersebut kemudian diserahkan kepada Presiden melalui Mendikbud untuk diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Presiden.

21. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Deputi-deputi atau jabatan yang setingkat dengan Deputi LPND.

Kekuasaan ini didasarkan pada beberapa Keppres yang mengatur mengenai pembentukan Lembaga-Lembaga Pemerintahan Non-Departemen. Ketentuan-ketentuan tersebut menyatakan bahwa mekanisme pelaksanaan kekuasaan Presiden ini dilakukan atas usul Kepala LPND. Mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini sudah cukup akomodatif dengan tuntutan demokrastisasi yang mendasarkan kebijakan pemerintahan pada prinsip bottom-up dan memberikan tanggung jawab yang cukup besar kepada kepala suatu institusi pemerintahan untuk menghasilkan suatu keputusan yang penting.

Demikianlah, dalam bab ini telah dideskripsikan, dianalisis dan diajukan rekomendasi terhadap hasil-hasil temuan penelitian mengenai mekanisme pelaksanaan kekuasaan Presiden RI. Kekuasaan Presiden RI yang selama ini lebih bersifat sentralistis, tertutup dan tidak akuntabel (unaccountable), diajukan untuk diubah dengan mekanisme-mekanisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip check and balance dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan.


http://www.transparansi.or.id/kajian/kajian9/bab_4.html

BAB IV

PENUTUP

 

A. Kesimpulan

1.    Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 menganut paham negara demokrasi modern berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Pelaksanaan kedaulatan tersebut diserahkan kepada lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara yang diterapkan melalui sistem pembagian kekuasaan negara dengan menekankan pelaksanaan kekuasaan pada mekanisme check and balance antara lembaga-lembaga negara tersebut.

2.    Sistem pemerintahan negara yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemerintahan presidensial yang mendudukkan lembaga kepresiden sebagai salah satu pelaksana kekuasaan dalam negara yang menjalankan kekuasaan utama sebagai eksekutif dan bertanggung jawab kepada rakyat melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam pelaksanaan kekuasaan eksekutif tersebut sehari-harinya, presiden diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

3.    Kekuasaan Presiden RI terdiri dari kekuasaan sebagai kepala negara, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan dan kekuasaan legislatif. Kekuasaan-kekuasaan tersebut dilaksanakan dengan dengan tetap berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kekuasaan ini didasarkan pada prinsip negara modern yang mendasarkan pelakasanaan kekuasaan pada prinsip yang rasional, terbatas dan dapat dipertanggungjawabkan.

4.    Hak prerogatif presiden merupakan hak yang memberikan kekuasaan mutlak kepada seorang presiden dalam menjalankan kekuasan tertentu tanpa dapat digugat atau dimintakan pertanggungjawaban oleh lembaga lain. Hak ini tidak pernah disebutkan dalam UUD 1945 ataupun peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini, namun dalam praktek, pelaksanaan hak ini seringkali terjadi. Kesalahpahaman ini sudah saatnya untuk dijernihkan, sehingga dalam pelaksanaan kekuasaan presiden di masa mendatang konsep hak prerogatif ini tidak diterapkan lagi dalam praktek ketatanegaraan RI di masa mendatang.

  1. Pelaksanaan kekuasaan Presiden RI di masa mendatang memerlukan suatu mekanisme yang memberikan peluang kepada suprastruktur politik, infrastruktur politik, dan masyarakat umum untuk melakukan pengawasan dalam pelaksanaan kekuasaan tersebut. Mekanisme tersebut harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas dan operasional serta dilakukan secara transparan.

6.    Mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden di masa mendatang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori, yaitu kekuasaan presiden dengan persetujuan DPR, kekuasaan Presiden dengan konsultasi, dan kekuasaan presiden secara adminitratif (penetapan seremonial). Sedangkan kekuasaan presiden yang mandiri, di masa mendatang sudah tidak lagi mempunyai tempat dalam praktek ketatanegaraan, karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan demokrastisasi di Indonesia.

 

B. Rekomendasi

Rekomendasi secara rinci mengenai pelaksanaan masing-masing kekuasaan presiden yang dianalisis dalam penelitian ini telah dijabarkan dalam bab III dan juga dituangkan ke dalam matriks tersendiri yang merupakan bagian dari laporan penelitian ini. Sebagai penutup laporan penelitian ini, terdapat beberapa rekomendasi yang bersifat umum terhadap pelaksanaan kekuasaan presiden.

1.    Pelaksanaan kekuasaan Presiden selama ini masih belum diatur secara jelas dan rinci. Sebagian dari kekuasaan presiden tersebut bahkan belum diatur oleh suatu peraturan perundang-undangan manapun. Kebutuhan di masa mendatang menuntut suatu peraturan perundang-undangan yang jelas dan rinci mengenai kekuasaan Presiden RI, batasan-batasan kewenangannya, mekanisme pelaksanaan kekuasaan tersebut, dan mekanisme pertanggungjawaban masing-masing kekuasaan tersebut. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini merekomendasikan dibentuknya suatu undang-undang khusus yang mengatur tentang kekuasaan presiden serta mekanisme pelaksanaannya secara jelas dan operasional, yaitu Undang-Undang tentang Lembaga Kepresidenan RI.

2.    Kebutuhan pembentukan undang-undang yang jelas mengenai lembaga kepresidenan RI menuntut pula dilakukannya perubahan atas UUD 1945. UUD 1945 tidak lagi dapat menampung tuntutan dan perkembangan kehidupan politik, ketatanegaraan serta pemerintahan Indonesia saat ini. Kebutuhan untuk dibentuknya suatu konstitusi yang lebih lengkap dan jelas sudah sangat mendesak agar pelaksanaan kekuasaan dalam negara, khususnya kekuasaan presiden, tidak lagi dilakukan dengan menginterpretasi ketentuan-ketentuan dalam konstitusi sesuai dengan kepentingan politik tertentu. Sudah saatnya untuk menjadikan konstitusi kembali kepada gagasan awalnya, yaitu sebagai dasar acuan pelaksanaan kekuasaan dalam negara, bukan lagi sebagai alat legitimasi dalam mempertahankan kekuasaan.

 

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template