Headlines News :
Home » » Sistem Kepemimpinan Islam

Sistem Kepemimpinan Islam

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 08.40

(Sayyid Saeed Akhtar Rivzi)

 

Dalam satu kurun sejarah, manusia pernah hanya mengenal satu-satunya bentuk sistem pemerintahan yakni kerajaan. Pada saat itu muncul suatu ungkapan yang dimaksudkan untuk mengagungkan raja/kerajaannya, serta biasa dikumandangkan oleh kaum muslim terpelajar, bunyinya "Raja adalah bayangan Allah" (...)

Di era modern sekarang ini, pemujaan bentuk sistem pemerintahan tersebut telah mengalami pergeseran. Yang kini menjadi trend di hampir seantero dunia adalah bentuk sistem pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi. Tak terkecuali kaum terpelajar sunni. Banyak dari mereka yang tidak pernah lelah untuk menyatakan dan menegaskan dalam beratus-ratus, bahkan beribu-ribu, artikel, buku-buku, dan brosur bahwa sistem pemerintahan Islam berdiri di atas sendi-sendi ajaran demokrasi. Tak hanya sampai di situ, di antara mereka bahkan ada yang mengklaim bahwa demokrasi diprakarsai oleh Islam, seraya melupakan "republik kota"-nya Yunani.

Pada paruh kedua abad ini, sosialisme dan komunisme amat memegang peranan yang penting di banyak negara terbelakang (belum berkembang) dan sebagian negara maju. Saya tidak terkejut ketika mendengar bahwa banyak kaum terpelajar muslim menyatakan sekaligus menegaskan bahwa Islam mengajarkan dan membentuk sosialisme. Tak heran bila di beberapa daerah yang banyak dihuni kaum muslimin dapat ditemukan slogan "Sosialisme Islam". Bahkan bukan tidak mungkin bila pada suatu saat nanti akan muncul klaim yang berbunyi "Islam mengajarkan Komunisme!".

Semua pergeseran tersebut selayaknya bisa diibaratkan dengan "pergerakan mengikuti arah angin". Ini sekaligus bisa menjadikan sistem kepemimpinan Islam sebagai bahan ejekan dan hinaan. Beberapa waktu lalu, diadakan sebuah pertemuan antar kaum muslimin di sebuah negara Afrika. Pertemuan tersebut dihadiri pula oleh tamu kehormatan yakni presiden negara yang bersangkutan. Ketika itu tampil salah seorang pemimpin kaum muslimin untuk menyampaikan khutbah. Dan dalam khutbahnya ia menyatakan bahwa Islam mengajarkan untuk "menaati Allah, menaati Rosul dan para penguasa kalian."

Pernyataan itu pun mendapat tanggapan dari sang presiden (yang kebetulan seorang pengamat Katolik Roma). Dinyatakan bahwa ia memahami dan menghargai kebaikan terhadap perintah untuk menaati Allah dan utusan Allah. Namun terhadap pernyataan untuk "menaati penguasa kalian", ia tidak menemukan alasan logis untuk itu. Lantas dilontarkan pertanyaan tentang bagaimana seandainya penguasa tersebut melakukan penyimpangan dan berwatak tiran? Apakah Islam memerintahkan kaum muslimin untuk menaatinya begitu saja tanpa perlawanan sedikitpun?

Pertanyaan tersebut tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Di dalamnya terkandung ajakan untuk bersikap kritis terhadap kesalahan-kesalahan dalam memahami Al-Qur'an.

Sekarang mari kita lihat apa yang sesungguhnya bernama pemerintahan Islam itu. Benarkah demokrasi? Pertama harus dilihat dulu apa itu demokrasi. Definisi terbaik dari istilah demokrasi diberikan oleh Abraham Lincoln lewat pernyataannya bahwa demokrasi merupakan "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat."

Dalam Islam, ikhwal suatu pemerintahan bukan berasal dari rakyat, melainkan dari Allah. Bagaimana caranya rakyat memerintah diri mereka sendiri? Dalam hal ini, rakyat memerintah diri mereka dengan membuat sendiri aturan-aturannya. Berbeda dengan itu, Islam menetapkan bahwa aturan bukan dibuat oleh manusia, melainkan oleh Allah. Hukum dan undang-undang bukan diajarkan dan diumumkan melalui konsensus serta ketetapan rakyat, tapi oleh nabi dengan perintah Allah. Dalam hal ini, rakyat tidak memiliki hak suara dalam legislasi; mereka hanya perlu mengikuti dan bukan berkomentar dan memberikan saran terhadap hukum dan undang-undang tersebut.

Mari kita lihat frasa "oleh rakyat". Cara rakyat memerintah dirinya sendiri adalah dengan memilih sendiri siapa yang layak dijadikan penguasa mereka. Nabi SAWW, sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan seluruh wewenang dalam pemerintahan Islam tidaklah dipilih oleh rakyat. Adapun bila rakyat diijinkan untuk menentukan pilihannya sendiri, kenyataan yang akan muncul adalah mereka tentu akan memilih salah seorang secara acak, apakah Urwa bin Mas'ud atau Walid bin Mughiro sebagai nabi Allah! Ini sesuai dengan isyarat yang ditegaskan Al-Qur'an yang berbunyi, "Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada orang penting dari dua kota." (43:31)

Dengan dipilihnya nabi SAWW oleh Allah secara langsung, bukan hanya menjadikan prosedur penunjukan pemimpin tertinggi masyarakat Islam tidak dicapai lewat konsultasi dengan manusia/rakyat, tapi lebih dari itu, malah bertentangan dengan harapan-harapan mereka (rakyat). Sekali lagi, Nabi SAWW merupakan pemegang wewenang tertinggi dalam Islam yang terdiri dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dari pemerintahan, yang nota bene untuk itu tidaklah dipilih oleh rakyat.

Berdasarkan itu, jelas bahwa Islam tidak mengenal istilah "pemerintahan dari dan oleh rakyat". Karenanya tidaklah sah bila rumusan undang-undang tersebut dibuat dan disetujui oleh rakyat. Dengan demikian, fungsi eksekutif dan yudikatif bukanlah tanggung jawab rakyat.

Penolakan yang sama berlaku pula terhadap bentuk atau isitilah "pemerintahan untuk rakyat". Sistem Islam sedari awal hingga akhir keberadaannya adalah "untuk Allah". Segala sesuatu harus dilakukan "untuk Allah". Dalam pada itu, bila suatu pemerintahan dibangun "untuk rakyat", maka hal ini tentu bisa dikategorikan sebagai politeisme (syirik).

Sesuai dengan kerangka pemikiran tersebut amat jelas bahwa segala sesuatu yang ada serta segenap aktifitas yang dilakukan harus ditujukan kepada Allah SWT. Apapun yang anda lakukan, apakah itu sholat atau keshalihan, pelayanan sosial, pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga, berbakti pada orang tua, mencintai tetangga, memimpin sholat atau menyelesaikan suatu kasus, memasuki medan peperangan maupun perdamaian, semua itu haruslah di dasari oleh niat "Qurbatan Ilallah" (pendekatan diri kepada Allah). Tak ayal bila bertolak dari niat semacam itu seseorang akan menjadi kian "dekat" dengan Allah, akan memperoleh ridho Allah SWT.

Secara ringkas bisa dikatakan bahwa bentukan Islami dari suatu pemerintahan adalah "pemerintahan dari Allah, oleh wakil Allah, untuk meraih keridhoan serta kedekatan pada Allah." Dalam salah satu ayatnya(51:56), Al-Qur'an Al-Karim menyebutkan "Wama kholaqtu al-jin wa al-ins illa liya'buduun" (Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku."

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template