Headlines News :
Home » » TASAWUF

TASAWUF

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 02.23

Al-Hallaj :
"Pengusung Paham Eksoteris yang Dianggap Gila dan  Berkekuatan Magis"

Al-Hallaj atau Husayn ibn Manshur (244-309/957-922) adalah seorang sufi Persia yang dilahirkan di Thus yang dituduh musyrik oleh khalifah dan oleh pakar-pakar Abbasiyyah di Baghdad dan karenanya ia dihukum mati.

Al-Hallaj menjadi tersohor lantaran sya'ir-sya'irnya yang sangat dipuja pada masa-masa itu. Ia memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya di kalangan masyarakat Abbasiyyah, dan memiliki pengaruh yang besar di kalangan pengikutnya.

Sejumlah keajaiban atau keanehan erat dengan dirinya, bahkan termasuk juga ilmu syihir. Ia dipandang terlibat dengan organisasi rahasia, bahkan ia dipandang sebagai salah seorang pimpinan gerakan tersebut.

Ia terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap penguasa, atau setidaknya turut mempengaruhi emosi rakyat dalam gerakan tersebut, lantaran penguasa Abbasiyyah menemukan sejumlah bukti di dalam rumah para pengikutnya, yakni sejumlah besar dokumen yang ditulis di atas kertas Cina, yang sebagian ditulis dengan tinta warna keemasan.

Sebagian tersusun di atas lembaran satin atau sutra. Sebagian kertas lainnya merupakan naskah-naskah kritis dari agen-agennya, juga tentang beberapa instruksinya terhadap mereka yang harus disebarluaskan oleh mereka, bagaimana mereka harus menggerakkan rakyat dari satu tahap menuju tahap berikutnya, bagaimana mendekati kelompok masyarakat yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat intelektual dan pemahaman mereka masing-masing.

Selama bertahun-tahun Al-Hallaj mengembara di pelosok Persia, India, dan Turkestan, bahkan sampai ke wilayah perbatasan negeri Cina, sebuah kunjuangan terhadap kelompok keagamaan yang memihak kepadanya. Melalui propaganda dan kegiatan-kegiatan keagamaan ini, maka ia diberi gelar "Al-Hallaj", yang merupakan bentuk singkatan dari gelar "Al-Hallaj al-Asrar," pembersih (Al-Hallaj) hati atau kesadaran.

Ia adalah seorang yang cukup membingungkan; dan beberapa kalangan mencatatnya sebagai seorang wali, bahkan ia juga dipandang sebagai bentuk kesadaran paham esoteris; sementara sebagian lainnya menganggapnya melebihi seorang wali pada umumnya, bahwa keajaibannya selalu dipertunjukkan dalam beberapa kesempatan sehingga menimbulkan pengaruh di kalangan pendukungnya; dan sesungguhnya keajaiban itu tersebut dipandang sebagai bagian dari ilmu sihir.

Terdapat beberapa cerita yang menjadi bukti kelemahannya, yakni bahwa dirinya dan warganya telah mengadakan pemujaan terhadapnya dalam peribadatan yang sesat. Kata al-Hallaj; "Tuhan semula terdapat di surga namun ia juga berada di bumi." Bahkan masa mudanya ia mengemukakan pengakuan sebagai burung jalak:

"Pada suatu hari ketika saya berjalan bersama Husyn ibn Manshur (seorang gurunya yang bergelar al-Makki) di sebuah lorong sempit di Makkah. Tiba-tiba aku dikejutkan bacaan dari al-Quran sepanjang perjalanan kami. Maka Dia berkata kepadaku ; "Sesungguhnya akulah yang mengucapkan bacaan-bacaan itu, karena diriku sendiri adalah bacaan-bacaan tersebut."

Semenjak peristiwa itu aku tidak pernah menjumpainya lagi. Ketika Al-Hallaj telah mencapai kemasyhurannya, terdapat keterangan mengenai dirinya:

"Pada suatu kali" (kata seorang hakim yang bernama Muhammad ibn 'ubayd) ".Saya duduk sebagai murid Al-Hallaj. Pada saat itu ia sedang menjalankan zikir di sebuah masjid di Bashrah sebagai pengajar Al-Quran, hal ini terjadi sebelum terjadi pengakuannya yang sangat menghebohkan. Pada suatu hari pamanku sedang bercakap dengannya, ketika itu saya turut duduk mendengarkan percakapan mereka berdua."

Maka Al-Hallaj berkata : 'Saya harus segera meniggalkan Bashrah !''' Mengapa harus demikian?', tanya sang paman. 'Orang-orang di sini terlalu mempergunjingkan tentang diriku, dan aku muak dengan itu,' jawab Al-Hallaj. 'Apa yang mereka gunjingkan?' tanya sang paman.

'Mereka menganggapku mampu mengerjakan apapun,' kata Al-Hallaj; '..dan aku tidak mampu memberi mereka penjelasan yang dapat membebaskan mereka dari ketersesatan anggapan tersebut, maka mereka tetap dalam anggapannya bahwa Al-Hallaj berkuasa mengabulkan do'a, bahkan kata mereka Al-Hallaj memiliki berbagai mu'jizad yang nyata. Siapakah gerangan aku ini, sehingga segalanya mesti diserahkan kepadaku?'

'Kuceritakan sebuah cerita..,' sambung Al-Hallaj, '..seorang laki-laki datang menyerahkan sejumlah dirham kepadaku untuk dibagikan kepada fakir miskin. Sedang pada saat itu tidak kujumpai seorang fakir pun, sehingga dirham tersebut ku taruh di atas kesetan masjid, yang berdekatan dengan tiang. Cukup lama aku menunggu, namun tidak seorang fakir pun datang mengambilnya, dan setelah menjelang malam kutinggal pulang. Menjelang fajar aku kembali duduk di mesjid dekat tiang tersebut, sebagaimana biasanya, dan aku mulai memanjatkan do'a; maka tiba-tiba kalangan dervishes, yakni para sufi miskin, berkumpul mengitariku. Aku segera menghentikan do'a, lalu mengangkat kesetan tersebut dan membagi-bagikan uang kepada mereka. Maka mereka kemudian menyebarkan desas-desus bahwa hanya dengan menggesek-nggesek debu saya dapat mengubah debu tersebut menjadi perak!' papar Al-Hallaj."

Al-Hallaj menceritakan kisah yang sejenis itu, hingga sang paman mengucapkan salam seraya meninggalkannya. Semenjak itu sang paman tidak pernah lagi datang kepaa Al-Hallaj. "Dia adalah seorang pembohong di kalangan masyarakat," kata sang paman."Seharusnya kita tidak perlu mendengar lagi kisah-kisahnya."

Al-Hallaj pertama kali menjadi murid tharikat Syaikh Sahl di al-Tustari, kemudian ia meninggalkannya berganti berguru kepada al-Makky, tidak lama kemudian ia meninggalkan al-Makki dan mencoba bergabung menjadi murid al-Junaid al-Baghdadi.

Namun al-Junaid menolaknya seraya berkata : "Saya tidak menerima seorang murid yang gila." Seseorang yang menemani al-Hallaj berusaha menasihatinya, seusai perjumpaan dengan al-Junaid, namun al-Hallaj menjawab, "Aku menghargai al-Junaid semata karena usianya; bahwa derajat kesufian merupakan suatu anugrah Tuhan dan tidak dapat dipelajari dari Sang guru."

Belakangan al-Hallaj menjadi sangat tersohor. Ia seringkali menggelisahkan masyarakat sekelilingnya lantaran beberapa pembicaraannya yang aneh mengenai Tuhan, misalnya, "Wahai Engkau yang lebih dekat dari kulitku sendiri." Perkataan semacam itu menunjukkan kedekatan al-Hallaj terhadap Tuhannya.

Tidak hanya sekali al-Hallaj menangis di tengah-tengah keramaian pasar seraya mengutarakan perkataan seperti ini : "Wahai orang-orang ! selamatkan aku dari Tuhan yang telah merampasku dari diriku sendiri...maka celakalah orang yang mendapatkan dirinya lenyap bersama kehadiran Tuhan dan dirinya akan lenyap bersama terjadinya kesatuan tersebut."

Perkataannya tersebut membuat orang-orang yang mengerumuninya di pasar meneteskan air mata. Terdapat sejumlah kisah tangisan yang sejenis ini, namun ketika orang-orang di sekitar mulai turut menangis, justru al-Hallaj tertawa keras-keras.

Ia seringkali memamerkan keajaiban yang berkaitan dengan uang, misalnya hanya dengan menggosok-nggosokkan tangannya di atas tikar, ia dapat mendatangkan timbunan mata uang dari emas, kemudian ia memanggil masyarakat miskin untuk mengambil uang tersebut sekehendak mereka; Suatu saat ia melemparkan dompet yang berisi banyak uang ke tengah sungai Tigris, beberapa lama kemudian datang seorang utusan membawa kembali dompet tersebut dalam keadaan utuh dan kemudian seluruhnya diberikan kepada utusan tersebut. Dompet tersebut sebelumnya diterima al-Hallaj sebagai hadiah atas jasa pengobatannya;

Beberapa kalangan bangsawan meminta bantuan al-Hallaj untuk mengobati seorang anak yang menderita sakit keras. Maka al-Hallaj berkata : "Ia segera sembuh." Anak tersebut pun segera sembuh, bahkan ia tampaknya seperti tidak pernah menderita sakit. Kabar kemampuan al-Hallaj dalam pengobatan seperti ini segera tersebar sampai ke penjuru yang jauh. Namun sudah barang tentu tidak semua orang mempercayai keajaibannya tersebut.

Hallaj telah memperdayakan sejumlah orang untuk mengikuti jejaknya, di antara mereka terdapat beberapa kalangan pejabat. Ia berjuang untuk menguasai kalangan pejabat. Ia berjuang untuk menguasai kalangan sekte reaksioner, oleh karena itu ia berusaha menerima pemikiran mereka dan menjadikannya sebagai pemikirannya sendiri; dan untuk itu ia mengirimkan seorang utusan kepada ibn Nawbakht, seorang anggota dari sekte ini.

Ibn Nawbakht adalah seorang intelektual yang cerdik. Kepada utusan al-Hallaj tersebut ia berkata, "Guru anda memang mahir dalam tipuan sulap. Katanya, 'Saya adalah orang yang pantas disebut sebagai pejuang cinta karena tidak ada sesuatu di muka bumi ini yang lebih menyenangkan diriku melainkan perempuan, karenanya aku sangat membenci kebotakan rambut di kepalaku. Maka kubiarkan rambutku tumbuh memanjang, lalu aku menggulungnya di dalam Turban (sejenis pici yang berbentuk panjang) yang kukenakan. Dan aku merahasiakan jenggotku yang memutih beruban dengan celupan pewarna hitam.'

"Maka sekarang, jika Hallaj mampu membuat rambut kepala dan aku merahasiakan jenggotku yang memutih beruban dengan celupan pewarna hitam. Maka sekarang, jika Hallaj mampu membuat rambut kepala dan jenggotku menjadi hitam kembali, niscaya saya akan menurut ajaran apa saja yang disebarkannya. Aku akan memanggilnya sebagai wakil dari seorang nabi. Dan bahkan jika ia berkenan, aku akan memanggilnya sebagai Nabi atau bahkan sebagai "Yang Agung" (Tuhan)," sambung Ibn Nawbakht.

Cuplikan di atas menunjukkan sikap ibn Nawbakht sebagai "orang berpendidikan yang cerdik", dengan pengandaiannya tersebut ia mencoba menangkis kepercayaannya terhadap al-Hallaj, dan sekaligus melecehkan kemashurannya, namun pengandaiannya tersebut sungguh-sungguh menjadikan kenyataan lantaran keajaiban al-Hallaj.

Bahkan beberapa kalangan pejabat menjadi pengagum dan pengikut al-Hallaj, di antara mereka adalah ibu Khalifah al-Muqtadir dan orang kepercayaannya yang bernama al-Nashir. Ia menyebarkan eksistensi ketuhanannya di tengah-tengah kalangan keluarga 'Ali.

Pada tahun 301/913 ia dipenjara selama beberapa tahun lantaran ia terlibat dalam suatu gerakan yang terlarang, dan lantaran ia menyebarkan ajaran yang kacau (sesat) sehingga akhirnya ia dijatuhi hukuman bunuh, berdasarkan keputusan tokoh-tokoh agama (baik kalangan eksoterik maupun non kalangan eksoterik) bahwa ia menyebarkan ajaran syirik.

Pada saat itu sedang berlangsung pemberontakan Qaramithah, demikian juga tengah berlangsung gerakan kebangkitan Fathimiyyah di Afrika Utara, di mana tokoh-tokoh gerakan tersebut menggunakan emosi keagamaan dalam melancarkan propaganda politik. Dalam kondisi yang demikian pihak ortodoks memandang doktrin-doktrin gerakan tersebut sebagai organisasi yang berkedok agama yang memiliki maksud-maksud tertentu di balik kedok spiritual mereka.

Dalam setiap kesempatan Hallaj menyampaikan pernyataan secara umum bahwa dirinya sendiri adalah seorang musyrik, hal ini yang terkandung di dalam ucapannya : "Saya telah mencabut keimananku terhadap Tuhan, dan pencabutan semacam ini bagiku merupakan kewajiban, namun hal ini dipandang suatu yang keterlaluan bagi setiap muslim,"

Dan juga dalam perkataannya, "Pernyataan pengakuan terhadap Tuhan merupakan suatu kebodohan, penuh ketaatan dalam mengabdi kepada Tuhan adalah kehinaan, berhenti memusuhi Tuhan adalah kegilaan" dan seterusnya. Kata Hallaj, "Menganggap tuhan sendiri dapat membaurkan diri-Nya adalah suatu kemustahilan dan merupakan perbuatan syirik.".

Diantara paham antinomianisme al-Hallaj adalah penafsirannya mengenai tawhid (Kesatuan Ketuhanan), di mana Hallaj menyatakan diri benar-benar sebagai Tuhan tanpa sedikit pun memiliki sifat-sifat manusia.

Pada suatu ketika seorang asal Isfahan yang bernama Ali ibn Sahl mempergunjingkan permasalahan ini, maka Hallaj segera menuju ke Isfahan, dan agak sedikit kasar al-hallaj berkata : "Engkau sungguh lancang telah berani membicarakan tentang "kebijaksanaan" sedang aku sendiri masih hidup."

Pada akhir hidupnya, al-Hallaj menjalani hukuman di depan masyarakat umum sehingga ia meninggalkan kesan mendalam di tengah pengikutnya.

Al-Hallaj terkenal dengan pernyataan "Ana al-Haqq" (atau "Akulah Yang Maha Mutlaq", atau "Yang Maha Nyata", "Kebenaran", dan juga dapat berarti "Akulah Tuhan"). Ahmad ibn Fatik berkata bahwa ia pernah mendengar bahwa Hallaj berkata : "Aku lah Yang Maha Benar di mana Kebenaran tersebut adalah milik Tuhan dan Aku mengenakan Esensi-Nya, sehingga tidak ada perbedaan di antara Kami (yakni tidak ada perbedaan antara Aku dan Tuhan)."

Pernyataannya tersebut merupakan keanehan Hallaj dibanding tokoh lainnya, bahkan ia berada di tengah-tengah tokoh awal dan akhir yang tidak dapat disejajarkan dengan Kemutlakan Tuhan. Perkataan al-Hallaj "Ana al-Haqq" dalam sebuah syairnya pernah diungkapkan oleh imam al-Junaid. Namun kalimat tersebut dalam ungkapan al-Junaid mengandung pengertian bahwa "melalui Yang Haqq engkau terwujud."

Ini tidak berarti bahwa al-Junaid menolak pengetahuan Tuhan tanpa adanya pihak lain (tawhid), bahkan ia menyatakan bahwa ungkapan tersebut sebagai penghapusan pembatas antara manusia dengan Tuhan. Pada ujung perjalanan manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap sebagai Tuhan (al-"abd yabqa al-'abd wal-Rabb yabqa al-Rabb).

Namun kesadaran manusia akan Tuhan tidak mengenal batas, tanpa pertentangan, tanpa syarat tertentu, dan bahkan tanpa unsur kemusyrikan (penyekutuan realitas lain di samping Tuhan), di mana hal ini muncul dari pemikiran dan konseptualisasi semata.

Hallaj dan ajarannya mengakui bahwa terdapat kesatuan pribadi; di mana seorang individu mencapai sifat-sifat ketuhanan yang secara alamiah hal ini akan mendorong pada pemujaan individual di sekitar alam semesta ini.

Salah seorang sufi mengungkapkan karya-karyanya dan pernyataannya sebagai berikut: "Dengan sangat cerdas al-Hallaj telah menuliskan berbagai formulasi baik secara alegoris, teologis maupun yuridis. Seluruh ungkapan mistiknya menyerupai pandangan tokoh-tokoh yang pertama, bahkan dalam beberapa hal cenderung lebih kuat, sebagian lebih samar, beberapa hal lebih layak dipakai, dan lebih baik dibanding lainnya. Ketika Tuhan memberikan pandangan terhadap seseorang, dan setelah itu manusia berusaha menyatakan apa yang dilihatnya dengan kekuatan ma'rifat yang tinggi ke dalam kata-kata, dan dengan bantuan Tuhan semata, dan lebih dari itu ia mengungkapkannya di dalam diri sendiri secara tiba-tiba saja, dan dengan pengagungan diri sendiri, maka perkataan tersebut menjadi sulit dipahami."

Pada zamannya sendiri, oleh kebanyakan sufi, al-Hallaj dipandang sebagai orang musyrik. Sekalipun demikian setelah kematiaannya, mulai timbul propaganda membela kebaikan al-Hallaj, khususnya propaganda tersebut berkembang di Transoxania, yang memujanya sebagai kurban syahid lantaran sempitnya paham eksoteris.

Sekalipun ia telah lama meninggal, namun karya puisi sufisnya senantiasa mengenangkan perjuangannya. Dalam hal-hal tertentu diri al-Hallaj terpecah menjadi dua pribadi: ibn 'Arabi memandang bahwa pada satu sisi pandangan al-Hallaj adalah pandangan seorang wali, namun pada sisi lain ia memiliki sebuah pandangan yang melebihi kebesaran nabi.

Sehingga ia diperkatakan sebagai nabi, sisi pandangan yang kedua inilah yang menyebabkan ia pantas diberi hukuman. Sungguh pun demikian al-Hallaj menjadi sebuah misteri atau teka-teki, di mana di dalam sejumlah puisinya sendiri terdapat beberapa hal yang saling bertentangan :

"Tuhan melempar seorang laki-laki ke tengah samudera dengan tangannya terbelenggu di balik punggung, seraya berkata kepadanya : "berhati-hatilah, atau engkau akan tenggelam ke dalam air !"

Beberapa sya'irnya yang sejenis ini lebih dikenali oleh kalangan mistisisme, bahkan secara khusus merupakan pengungkapan yang bercorak dramatis. "Ketika datang dahagaku, kuhadapkan wajah kepada secangkir Anggur, di dalam kegelapan cangkir aku melihat sebuah bayangan Diri-Mu !."

Dan dalam sya'irnya yang lain :

Aku adalah Cintaku ; Cintaku adalah Aku;
Dua jiwa bertempat di tubuh ini.
Jika engkau memandangku, sesungguhnya Dia yang kau pandang;
Dan jika engkau memandang-Nya, niscaya di sana engkau akan mendapatkan diriku !.

Dan dalam sebuah sya'irnya yang lainnya ; "Seorang Nabi adalah pelita penerang dunia; tetapi makrifat (ecstasy) merupakan cahaya dari Sisi ruang yang terdalam. Sang ruh berhembus ke dalam diriku, dan ia tetap bersamaku sekalipun ajal telah menghampiriku. Tampak jelas oleh mataku saat Musa sedang berdiri di atas Sinai."
 

Martir pertama dalam tasawuf

Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan mana yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut

Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."

Kehidupan Al-Hallaj

Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.

Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.

Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.

Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas mengapa ia berbuat demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884M, ia sudah berada dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu.

Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga. Tampaknya seorang sahabat Amr yang bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan saudara perempuannya, (Massignon menunjukkan bahwa pernikahan ini mungkin punya alasan politis lantaran hubungan al-Aqta) Betapapun juga Amr tidak diminta pendapatnya, sebagaiman lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian dan permusuhan serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan antara Amr dan Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara Amr dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan.

Enam tahun berlalu, dan pada 892M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid.

Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.

Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.

Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.

Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini makin membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.

Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.

Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang gantungan.

Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."

Yang mengherankan, kata-kata ini mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan kelas penguasa. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembankan Allah dan Islam atas dirinya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.

Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat dan, dengan harapan meraih kekuasaan, berusaha memanfaatkan pengaruhnya pada masyarakat untuk menimbulkan gejolak dan keresahan. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial. Di atas segalanya, berbagai gejolak pun muncul dan sudah pasti berakhir secara dramatis.

Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.

Sang penasehat khalifah termasuk di antara sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil mencegah upaya untuk membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.

Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.

Demikian, al-Hallaj dibunuh secara brutal. Akan tetapi ia tetap hidup dalam kalbu orang-orang yang merindukan capaian rohaninya. Dengan caranya sendiri, ia telah menunjukkan pada para pencari kebenaran langkah-langkah yang mesti ditempuh sang pecinta agar sampai pada kekasih

Berbagai legenda dan kisah tentang al-Hallaj

Bagaimana mulanya Husain ibn manshur di sebut al-Hallaj sebuah nama yang berarti penggaru (khususnya kapas)? Menurut Aththar, suatu hari Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu. Biji-bijinya pun terpisah dari serat kapas. Ia juga dijuluki Hallaj- al-asrar --penggaru segenap Kalbu-- karena ia mampu membaca pikiran orang dan menjawab berbagai pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.

Al-Hallaj terkenal karena berbagai keajaibanya. Salah satu orang muridnya menuturkan kisah berikut ini:

Sewaktu menunaikan ibadah haji kedua kalinya, al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj mengatakan bahwa ia ingin makan manisan.

Murid-muridnya kebingungan lantaran mereka telah memakan habis semua bekal yang mereka bawa. Al-Hallaj tersenyum dan berjalan menembus kegelapan malam. Beberapa menit kemudian, ia kembali sambil membawa makanan berupa kue-kue hangat yang belum pernah mereka ketahui sebelumya. Ia meminta mereka untuk makan bersamanya, seorang muridnya, yang penasaran dan ingin tahu dari mana al-Hallaj memperolehnya, menyembunyikan kue bagiannya, ketika mereka kembali dari mengasingkan diri sang murid ini mencari seseorang yang bisa mengetahui asal kue itu, seseorang dari Zabid, sebuah kota yang jauh dari situ, mengetahui bahwa kue itu berasal dari kotanya, sang murid yang keheranan ini pun sadar bahwa al-Hallaj memperoleh kue itu secara ajaib. "Tak ada seorang pun dan hanya jin saja yang sanggup menempuh jarak sedemikian jauh dalam waktu singkat"! serunya.

Pada kesempatan lain al-Hallaj mengarungi padang pasir bersama sekelompok orang dalam perjalanan menuju Mekah. Di suatu tempat, sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara, dia ia pun mengabil senampan penuh buah ara dari udara. Kemudian mereka meminta halwa, ia membawa senampan penuh halwa hangat dan berlapis gula serta memberikannya kepada mereka, usai memakannya mereka mengatakan bahwa kue itu khas berasal dari daerah anu di Bagdad, mereka bertanya ihwal bagaimana ia memperolehnya. Ia hanya menjawab, baginya Baghdad dan padang pasir sama dan tidak ada bedanya, kemudian mereka meminta kurma, ia diam sejenak berdiri dan menyuruh mereka untuk menggerakkan tubuh mereka seperti mereka menggoyang-goyang pohon kurma, mereka melakukannya, dan kurma-kurma segar pun berjatuhan dari lengan baju mereka.

Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada usia lima puluh tahun ia mengatakan bahwa ia memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil dan mengamalkan praktek apa saja yang paling sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Ia tidak pernah meninggalkan shalat wajib, dengan shalat wajib ini ia melakukan wudhu jasmani secara sempurna.

Ketika ia mulai menempuh jalan ini, ia hanya mempunyai sehelai jubah tua dan dan bertambal yang telah dikenakannya selama bertahun-tahun. Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan diketahui bahwa ada banyak kutu dan serangga bersarang didalamnya --yang salah satunya berbobot setengah ons. Pada kesempatan lain, ketika ia memasuki sebuah desa, orang-orang melihat kalajengking besar yang mengikutinya. Mereka ingin membunuh kalajengking itu, ia menghentikan mereka seraya mengatakan bahwa kalajengking itu telah bersahabat dengannya selama dua belas tahun, tampaknya ia sudah sangat lupa pada nyeri dan sakit jasmani.

Kezuhudan al-Hallaj adalah sarana yang ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya ia menjalin hubungan sangat khusus sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Mekah, ia melihat orang-orang bersujud dan berdoa, "Wahai Engkau. Pembimbing mereka yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar."

Kisah penangkapan dan eksekusi atas dirinya sangat menyentuh dan mengharu-biru kalbu. Suatu hari, ia berkata kepada sahabatnya, Syibli, bahwa ia sibuk dengan tugas amat penting yang bakal mengantarkan dirinya pada kematiannya. Sewaktu ia sudah terkenal dan berbagai keajaibannya dibicarakan banyak orang. Ia menarik sejumlah besar pengikut dan juga melahirkan musuh yang sama banyaknya, akhirnya, khalifah sendiri mengetahui bahwa ia mengucapkan kata-kata bid'ah, "Akulah Kebenaran." Musuh al-Hallaj menjebaknya untuk mengucapkan, Dia-lah Kebenaran ia hanya menjawab, "Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian."

Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj belajar dibawah bimbingan Junaid, ia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Beberapa tahun kemudian, ia datang kembali menemui Junaid dengan sejumlah pertanyaan. Junaid hanya menjawab bahwa tak lama lagi ia bakal melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri, Tampaknya, ramalan ini benar adanya. Junaid ditanya ihwal apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan dengan cara yang bakal bisa menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, "Bunuhlah ia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan." al-Hallaj di jebloskan ke penjara. Pada malam pertama sewaktu ia dipenjara, para sipir penjara mencari-carinya. Mereka heran. Ternyata selnya kosong. Pada malam kedua, bukan hanya al-Hallaj yang hilang, penjara itu sendiri pun hilang!

Pada malam ketiga, segala sesuatunya kembali normal. Para sipir penjara itu bertanya, di mana engkau pada malam pertama? ia menjawab, "pada malam pertama aku ada di hadirat Allah. Karena itu aku tidak ada di sini. Pada malam kedua, Allah ada di sini, karenanya aku dan penjara ini tidak ada. Pada malam ketiga aku di suruh kembali!"

Beberapa hari sebelum dieksekusi, ia berjumpa dengan sekitar tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dan semuanya dibelenggu. ia berkata bahwa ia akan membebaskan mereka semua, mereka heran karena ia berbicara hanya tentang kebebasan mereka dan bukan kebebasannya sendiri ia berkata kepada mereka: "Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini," kemudian ia menunjuk belenggu-belenggu itu dengan jarinya dan semuanya pun terbuka. Para narapidana pun heran bagaimana mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu terkunci. Ia menunjukkan jarinya ke tembok, dan terbukalah tembok itu. "Engkau tidak ikut bersama kami?" tanya mereka "Tidak, ada sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!" jawabnya

Esoknya, para sipir penjara bertanya kepadanya tentang yang terjadi pada narapidana lainnya. Ia menjawab bahwa ia telah membebaskan mereka semua.

"Mengapa engkau tidak sekalian pergi?" tanya mereka "Dia mencela dan menyalahkanku. Karenanya aku harus tetap tinggal di sini untuk menerima hukuman," jawabnya

Sang khalifah yang mendengar percakapan ini, berpikir bahwa al-Hallaj bakal menimbulkan kesulitan, karena itu, ia memerintahkan, "Bunuhlah atau cambuklah sampai ia menarik kembali ucapannya!" Al-Hallaj dicambuk tiga ratus kali dengan rotan, setiap kali pukulan mengenai tubuhnya terdengar suara gaib berseru, "Jangan takut, putra Manshur."

Mengenang hari itu, seorang sufi syekh Shaffar, mengatakan aku lebih percaya pada akidah sang algojo ketimbang akidah al-Hallaj. Sang algojo pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam menjalankan Hukum Ilahi sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.

Al-Hallaj digiring untuk di eksekusi. Ratusan orang berkumpul. Ketika ia melihat kerumunan orang, ia berseru lantang, "Haqq, Haqq, ana al-Haqq --Kebenaran, kebenaran, Akulah kebenaran."

Pada waktu itu, seorang darwis memohon al-Hallaj untuk mengajarinya tentang cinta. Al-Hallaj mengatakan bahwa sang darwis akan melihat dan mengetahui hakikat cinta pada hari itu, hari esok, dan hari sesudahnya.

Al-Hallaj dibunuh pada hari itu. Pada hari kedua tubuhnya dibakar, dan pada hari ketiga abunya ditebarkan dengan angin, Melalui kematiannya, al-Hallaj menunjukkan bahwa cinta berarti menanggung derita dan kesengsaraan demi orang lain.

Ketika menuju ke tempat eksekusi, ia berjalan dengan sedemikian bangga. "Mengapa engkau berjalan sedemikian bangga?" tanya orang-orang. "Aku bangga lantaran aku tengah berjalan menuju ketempat pejagalanku," jawabnya kemudian ia melantunkan syair demikian:

Kekasihku tak bersalah

Diberi aku anggur dan amat memperhatikanku,

laksana tuan rumah

perhatikan sang tamu

Setelah berlalu sekian lama,

dia menghunus pedang dan

menggelar tikar pembantaian

Inilah balasan buat mereka yang minum anggur lama

bersama dengan singa

tua di musim panas.

Ketika dibawa ke tiang gantungan, dengan suka rela ia menaiki tangga sendiri. Seseorang bertanya tentang hal (keadaan spiritual atau emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan spiritual para pahlawan justru dimulai di puncak tiang gantungan, ia berdoa dan berjalan menuju puncak itu.

Sahabatnya, Syibli, hadir di situ dan bertanya, "Apa itu tasawuf?" al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkatan tasawuf paling rendah. "Adakah yang lebih tinggi dari ini?" tanya Syibli "Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya!", jawab al-Hallaj.

Ketika al-Hallaj sudah berada di tiang gantungan, setan datang kepadanya dan bertanya, "Engkau bilang aku dan aku juga bilang aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan aku, kutukan abadi?"

Al-Hallaj menjawab, "Engkau bilang aku dan melihat dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diri dari keakuan-ku. Aku beroleh rahmat dan engkau, kutukan. Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik."

Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj dengan batu. Namun, ketika Syibli melemparkan bunga kepadanya untuk pertama kalinya, al-Hallaj merasa kesakitan. Seseorang bertanya, "Engkau tidak merasa kesakitan dilempari batu, tapi lembaran sekuntum bunga justru membuatmu kesakitan mengapa?

Al-Hallaj menjawab "Orang-orang yang jahil dan bodoh bisa dimaafkan. Sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukannya."

Sang algojo pun memotong kedua tangannya. Al-Hallaj tertawa dan berkata, "Memang mudah memotong tangan seorang yang terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah." (dengan kata lain, meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usah keras dan luar biasa). Sang Algojo lantas memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan berkata, "Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa melakukannya!"

Al-Hallaj kemudian mengusapkan kedua lenganya yang buntung kewajahnya sehingga wajah dan lengannya berdarah. "Mengapa engkau mengusap wajahmu dengan darah?" tanya orang-orang. Ia menjawab bahwa karena ia sudah kehilangan darah sedemikian banyak dan wajahnya menjadi pucat maka ia mengusap pipinya dengan darah agar orang jangan menyangka bahwa ia takut mati.

"Mengapa," tanya mereka, "Engkau membasahi lenganmu dengan darah?" Ia menjawab, "Aku sedang berwudu. Sebab, dalam salat cinta. Hanya ada dua rakaat, dan wudhunya dilakukan dengan darah."

Sang algojo kemudian mencungkil mata al-Hallaj. Orang-orang pun ribut dan berteriak. Sebagian menangis dan sebagian lainnya melontarkan sumpah serapah, lalu, telinga dan hidungnya dipotong. Sang algojo hendak memotong lidahnya. Al-Hallaj memohon waktu sebentar untuk mengatakan sesuatu, "Ya Allah, janganlah engkau usir orang-orang ini dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan karena Engkau. Segala puji bagi Allah, mereka memotong tanganku karena Engkau semata. Dan kalau mereka memenggal kepalaku, itu pun mereka melakukan karena keagungan-Mu." Kemudian ia mengutip sebuah ayat Al-Qur'an:

"Orang-orang yang mengingkari Hari kiamat bersegera ingin mengetahuinya, tetapi orang-orang beriman berhati-hati karena mereka tahu bahwa itu adalah benar."

Kata-kata terakhirnya adalah: Bagi mereka yang ada dalam ekstase "Cukuplah sudah satu kekasih."

Tubuhnya yang terpotong, yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dibiarkan berada di atas tiang gantungan sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Esoknya, baru sang algojo memenggal kepalanya. Ketika kepalanya dipenggal al-Hallaj tersenyum dan meninggal dunia. Orang-orang berteriak tapi al-Hallaj menunjukkan betapa berbahagia ia bersama dengan kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya berseru, "Akulah kebenaran", sewaktu meninggal dunia setiap tetesan darahnya yang jatuh ke tanah membentuk nama Allah.

Hari berikutnya mereka yang berkomplot menentangnya, memutuskan bahwa bahkan tubuh al-Hallaj yang sudah terpotong-potong pun masih menimbulkan kesulitan bagi mereka. Karena itu, mereka pun memerintahkan agar tubuhnya di bakar saja. Malahan, abu jenazahnya berseru, "Akulah Kebenaran."

Al-Hallaj telah meramalkan kematiannya sendiri dan memberitahu pembantunya bahwa ketika abu jenazahnya dibuang ke sungai Tigris permukaan sungai akan naik sehingga seluruh Baghdad pun terancam tenggelam. Ia memerintahkan pembantunya menaruh jubahnya ke sungai untuk meredakan ancaman banjir, pada hari ketiga ketika abu jenazahnya diterbangkan oleh angin ke sungai. Permukaan air pun terbakar, air mulai naik, dan sang pembantu melakukan apa yang diperintahkannya, permukaan air pun surut, api padam, dan abu jenazah al-Hallaj pun diam.

Waktu itu, seorang tokoh terkemuka mengatakan bahwa ia melakukan salat sepanjang malam di bawah tiang gantungan sepanjang malam. Ketika fajar menyingsing, terdengarlah suara gaib berseru, "Kami berikan salah satu rahasia kami dan ia tidak menjaganya. Sungguh, inilah hukuman bagi mereka yang mengungkapkan segenap rahasia kami."

Syibli menyebutkan bahwa, suatu malam. Ia mimpi bertemu dengan al-Hallaj dan bertanya, "Bagaimana Allah menghakimi orang-orang ini?" Al-Hallaj menjawab bahwa mereka yang tahu bahwasanya ia benar dan juga mendukungnya berbuat demikian karena Allah semata. Sementara itu, mereka yang ingin melihat dirinya mati tidaklah mengetahui hakikat kebenaran, oleh sebab itu, mereka menginginkan kematiannya, kematiannya karena Allah semata. Allah merahmati kedua kelompok ini. Keduanya beroleh berkah dan rahmat dari Allah.

 

disadur dari: Negeri Sufi

oleh: Mojdeh Bayat dan Muhammd Ali Jamnia

Cetakan: 2

Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

 

 Aku adalah Dia yang kucintai

Dan Dia yang kucintai adalah aku,

Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,

 

Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,

Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.

 

Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah  lidah

al-Hallaj   mengucapkan,  "Ana  'l-Haqq" (Akulah  Yang  Maha

Benar).

 

Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung  arti  pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan.

Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui

lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan,

 

"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,

Yang Maha Benar bukanlah Aku,

Aku hanya satu dari yang benar,

Maka bedakanlah antara kami."

 

Syatahat atau kata-kata teofani  sufi  seperti  itu  membuat

kaum  syari'at  menuduh  sufi  telah menyeleweng dari ajaran

Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum

syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak

menangkap pengalaman  sufi  yang  mementingkan  hakekat  dan

tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada

Tuhan.

 

Dalam sejarah  Islam  memang  terkenal  adanya  pertentangan

keras  antara  kaum  syari'at  dan  kaum hakekat, gelar yang

diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda  setelah

al-Ghazali  datang  dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah

yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang  menyakinkan.

Al-Ghazali  menghalalkan  tasawuf  sampai  tingkat ma'rifah,

sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat  fana',  baqa,  dan

ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi

mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.

 

Kalau filsafat,  setelah  kritik  al-Ghazali  dalam  bukunya

Tahafut  al-Falasifah,  tidak berkembang lagi di dunia Islam

Sunni, tasawuf  sebaliknya  banyak  diamalkan,  bahkan  oleh

syariat  sendiri.  Dalam  perkembangan  selanjutnya, setelah

pengalaman  persatuan  manusia  dengan  Tuhan  yang   dibawa

al-Bustami  dalam  ittihad  dan  al-Hallaj dalam hulul, Muhy

al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan  wujud

makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.

 

Lahut  dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang

berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam  pengalamannya,

tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan

esensi, disebut  al-haqq,  dan  aspek  luar  yang  merupakan

aksiden  disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya

berbeda, tetapi dalam aspek batinnya  satu,  yaitu  al-haqq.

Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.

 

Tuhan,  sebagaimana  disebut dalam Hadits yang telah dikutip

pada permulaan, pada  awalnya  adalah  "harta"  tersembunyi,

kemudian  Ia  ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan

melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam  sebagai  makhluk,

adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai

cermin yang didalamnya terdapat gambar  Tuhan.  Dengan  kata

lain,  alam  adalah  bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud

alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud  alam  tergantung

pada  wujud  Tuhan.  Sebagai  bayangan,  wujud  alam bersatu

dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.

 

Yang ada dalam alam  ini  kelihatannya  banyak  tetapi  pada

hakekatnya  satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang

melihat dirinya dalam beberapa  cermin  yang  diletakkan  di

sekelilingnya.  Di  dalam  tiap cermin, ia lihat dirinya. Di

dalam  cermin,  dirinya  kelihatan   banyak,   tetapi   pada

hakekatnya  dirinya  hanya  satu.  Yang lain dan yang banyak

adalah bayangannya.

 

Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran  wahdat

al-wujud  Ibn  Arabi  dengan panteisme dalam arti bahwa yang

disebut Tuhan adalah alam semesta.  Jelas  bahwa  Ibn  Arabi

tidak  mengidentikkan  alam  dengan  Tuhan.  Bagi Ibn Arabi,

sebagaimana halnya dengan sufi-sufi  lainnya,  Tuhan  adalah

transendental  dan  bukan  imanen.  Tuhan berada di luar dan

bukan di dalam alam. Alam hanya  merupakan  penampakan  diri

atau tajalli dari Tuhan.

 

Ajaran  wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya

membawa pada  ajaran  al-Insan  al-Kamil  yang  dikembangkan

terutama  oleh  Abd  al-Karim  al-Jilli  (1366-1428).  Dalam

pengalaman al-Jilli,  tajalli  atau  penampakan  diri  Tuhan

mengambil  tiga  tahap  tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan

Aniyah.

 

Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya  baru  keluar

dari  al-'ama,  kabut  kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada

tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih

dalam  bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan

diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada  makhluk-Nya.

Di   antara   semua   makhluk-Nya,   pada  diri  manusia  Ia

menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.

 

Sungguhpun manusia merupakan tajalli  atau  penampakan  diri

Tuhan  yang  paling  sempurna  diantara  semua  makhluk-Nya,

tajalli-Nya tidak sama pada  semua  manusia.  Tajalli  Tuhan

yang  sempurna  terdapat  dalam  Insan Kamil. Untuk mencapai

tingkat  Insan  Kamil,   sufi   mesti   mengadakan   taraqqi

(pendakian)  melalui  tiga  tingkatan: bidayah, tawassut dan

khitam.

 

Pada tingkat bidayah, sufi disinari  oleh  nama-nama  Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan

diri dalam nama-nama-Nya, seperti  Pengasih,  Penyayang  dan

sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi

disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat

dll.   Dan  Tuhan  ber-tajalli  pada  sufi  demikian  dengan

sifat-sifat-Nya. Pada tingkat  khitam,  sufi  disinari  dzat

Tuhan  yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan

dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil.  Ia

menjadi  manusia  sempurna,  mempunyai  sifat  ketuhanan dan

dalam  dirinya  terdapat  bentuk  (shurah)   Allah.   Dialah

bayangan  Tuhan  yang  sempurna.  Dan  dialah  yang  menjadi

perantara antara manusia dan  Tuhan.  Insan  Kamil  terdapat

dalam  diri  para  Nabi  dan  para wali. Di antara semuanya,

Insan  Kamil  yang  tersempurna  terdapat  dalam  diri  Nabi

Muhammad.

 

Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan

Tuhan akhirnya tercapai malalui  ittihad  serta  hulul  yang

mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan

dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti  penampakan

diri  atau  tajalli  Tuhan  yang  sempurna  dalam diri Insan

Kamil.

 

Sementara itu tasawuf pada masa  awal  sejarahnya  mengambil

bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk

oleh murid-murid atau  pengikut-pengikut  sufi  besar  untuk

melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar

yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul  pada

abad  ke-13  Masehi  untuk  melestarikan  ajaran Syekh Abdul

Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul  pada  abad

ke-14  bagi  pengikut  Bahauddin  Naqsyabandi  (w.  1415 M),

Syattariah, pengikut  Abdullah  Syattar  (w.  1415  M),  dan

Tijaniah   yang  muncul  pada  abad  ke-19  di  Marokko  dan

Aljazair.  Tarekat-tarekat  besar  lain  diantaranya  adalah

Bekhtasyiah  di  Turki,  Sanusiah  di  Libia,  Syadziliah di

Marokko, Mesir dan Suria,  Mawlawiah  (Jalaluddin  Rumi)  di

Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.

 

Dalam  tarekat,  ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang

diselewengkan,  sehingga  tarekat  menyimpang  dari   tujuan

sebenarnya  dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat

dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran  dasar

sufi  dan  syari'at  Islam,  sehingga timbullah pertentangan

antara kaum syari'at dan kaum tarekat.

 

Sementara itu ada pula tarekat  yang  menekankan  pentingnya

kehidupan  rohani  dan  mengabaikan  kehidupan  duniawi, dan

disamping  itu  menekankan  ajaran  tawakal  sufi,  sehingga

mengabaikan  usaha.  Dengan  kata  lain,  yang  dikembangkan

tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.

 

Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20,  tarekat

mempunyai  pengaruh  besar  dalam  masyarakat  Islam. Karena

pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan

dari  masyarakat  menjadi  anggota tarekat. Di Turki Usmani,

tentara  menjadi  anggota  tarekat   Bekhtasyi   dan   dalam

perlawanan   mereka   terhadap   pembaharuan  yang  diadakan

sultan-sultan,  mereka  mendapat   sokongan   dari   tarekat

Bekhtasyi dan para ulama Turki.

 

Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat

dan sikap tawakal berkembang di  kalangan  umat  Islam  yang

bekas-bekasnya  masih  ada  pada kita sampai sekarang. Untuk

itu tidak mengherankan kalau  pemimpin-pemimpin  pembaharuan

dalam  Islam  seperti  Jamaluddin  Afghani,  Muhammad Abduh,

Rasyid Ridha dan terutama Kamal  Ataturk  memandang  tarekat

sebagai  salah  satu  faktor  yang membawa kepada kemunduran

umat Islam.

 

Dalam pada itu dunia dewasa ini  dilanda  oleh  materialisme

yang  menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak

orang mengatakan bahwa dalam  menghadapi  meterialisme  yang

melanda    dunia    sekarang,   perlu   dihidupkan   kembali

spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran  kerohanian  dan

akhlak  mulianya  dapat  memainkan  peranan  penting. Tetapi

untuk itu yang perlu  ditekankan  tarekat  dalam  diri  para

pengikutnya  adalah  penyucian  diri  dan pembentukan akhlak

mulia  disamping   kerohanian   dengan   tidak   mengabaikan

kehidupan keduniaan.

 

Pada  akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di

Barat  yang  bosan  hidup  kematerian  lalu  mencari   hidup

kerohanian  di  Timur.  Ada  yang  pergi ke kerohanian dalam

agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama  Hindu  dan  tak

sedikit  pula  yang  mengikuti kerohanian dalam agama Islam,

umpamanya aliran Subud di Jakarta.

 

Dalam hubungan itu kira-kira 30  tahun  lalu,  A.J.  Arberry

dalam  bukunya  Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim

adalah makhluk Tuhan yang satu.  Oleh  karena  itu  bukanlah

tidak  pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari

ajaran-ajaran sufi yang telah  meninggalkan  pengaruh  besar

dalam  kehidupan  umat  Islam  dan bersama-sama dengan orang

Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi  yang  akan  dapat

memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian

dan moral zaman yang penuh kegelapan dan  tantangan  seperti

sekarang.

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd.,

   1963.

Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah

   al-Misriah, 1949.

Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris,

   Gallimard, 1964.

 

--------------------------------------------

Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah

Editor: Budhy Munawar-Rachman

Penerbit Yayasan Paramadina

Jln. Metro Pondok Indah

Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21

Jakarta Selatan

Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173

Fax. (021) 7507174

 

 


 

WAHDATUL SYUHUD, WAHDATUL WUJUD & WAHDATUL MA'ABUD

Wahdatul wujud atau tauhid wujudi adalah fahaman yang membentuk kepercayaan bahawa yang ada hanya satu wujud iaitu Wujud Tuhan dan yang selain Tuhan tidak wujud. Segala kewujudan yang selain Tuhan merupakan penzahiran dan aspek-aspek ketuhanan atau wajah-wajah wujud Yang Esa itu. Dalam doktrin wahdatul wujud, Wujud Tuhan dikatakan bersamaan dengan wujud alam. Apa yang disaksikan dan dipandang adalah alam pada satu aspek dan juga Tuhan pada aspek yang lain. Alam dikatakan Tuhan dalam bentuk penzahiran. Alam dikatakan satu dengan Tuhan dalam keadaan ada perbezaan pada kenyataan tetapi sama pada hakikatnya. Alam adalah Tuhan yang menyata dalam bentuk yang Dia kehendaki.

Wahdatul ma’abud adalah kepercayaan terhadap keesaan Allah s.w.t seperti yang dinyatakan oleh Surah al-Ikhlas.

Katakanlah (wahai Muhammad): “(Tuhanku) ialah Allah Yang Maha Esa. Allah yang menjadi tumpuan sekalian makhluk untuk memohon sebarang hajat. Ia tidak beranak dan Ia tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesiapapun yang setara dengan-Nya”.

( Ayat 1 – 4 : Surah al-Ikhlas )

Dalam fahaman wahdatul ma’abud kepercayaan kepada keesaan Tuhan tidak memerlukan kepada penafian terhadap kewujudan makhluk dan juga wujud makhluk tidak disamakan sedikit pun dengan Wujud Tuhan. Iman kepada Tuhan didasarkan kepada:

Laisa kamithlihi syaiun
Tiada sesuatupun yang sebanding dengan-Nya.

Tuhan adalah berlainan dan berbeza dengan makhluk. Alam bukan satu dengan Tuhan. Wujud Tuhan adalah hakiki atau benar. Wujud alam pula jika dibandingkan dengan Wujud Tuhan, adalah khayalan, tidak sebenar. Wujud alam dikatakan tidak berhakikat. Oleh kerana wujud alam tidak berhakikat sementara Wujud Tuhan adalah hakiki, mengatakan alam sebagai penzahiran Tuhan adalah tidak benar sama sekali. Wujud yang tidak berhakikat adalah berbeza, berlainan dan tidak boleh disamakan dengan Wujud Hakiki.

 Dalam soal Wujud Tuhan dan wujud makhluk, kekeliruan timbul kerana istilah “WUJUD” itu sendiri. Bila dikatakan Tuhan wujud dan makhluk juga wujud maka terdapat sesuatu persamaan pada kedua-dua jenis wujud tersebut. Istilah tersebut boleh menimbulkan anggapan atau khayalan bahawa kedua-duanya ada persamaan atau perkaitan. Sebenarnya jika istilah wujud digunakan untuk menceritakan tentang keadaan makhluk yang ADA, lebih baik jika istilah lain digunakan untuk menceritakan keadaan Tuhan yang ADA. Tetapi dalam kamus manusia tidak ada istilah yang boleh menceritakan keadaan yang ada tetapi tidak bersamaan dengan adanya segala yang ada dan adanya Dia tidak disertai oleh segala yang ada. Oleh yang demikian perkataan wujud juga digunakan untuk menceritakan tentang Adanya Tuhan. Begitu juga halnya dalam menceritakan sifat-sifat Tuhan. Istilah-istilah seperti Mendengar, Melihat, Berkata-kata, Hidup, Berkehendak, Mengetahui dan Berkuasa digunakan bagi menceritakan keadaan Tuhan. Walaupun istilah yang serupa digunakan dalam menceritakan tentang Tuhan dan makhluk tetapi jika menganggapkan sifat Tuhan sama dengan makhluk maka anggapan yang demikian membawa kepada kekufuran.

 Tuhan menciptakan makhluk daripada tidak ada, walaupun makhluk menjadi ada setelah diciptakan namun, hakikatnya tetap tidak ada. Zat makhluk adalah ‘adam (tidak ada). Walaupun sifat berubah namun zat tidak berubah. Kayu yang dijadikan almari, kerusi, pintu dan sebagainya adalah tetap kayu pada zatnya sekalipun sifat sudah berbagai-bagai. ‘Adam (yang tidak ada) tetap ‘adam walaupun sudah menjadi ada. Kewujudan berjuta-juta ‘adam, yang tidak ada, tidak akan mengubah status Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan tetap Esa walaupun Dia membuatkan makhluk menjadi ada, kerana pada sisi Tuhan makhluk tidak mempunyai hakikat wujud. Bagaimana ini mungkin terjadi? Ia menjadi mungkin kerana Tuhan membuatnya menjadi mungkin dan kewujudan demikian dinamakan wujud yang mungkin (mumkinul wujud). Hanya Tuhan yang berkuasa mengadakan yang mungkin itu. Sebab itulah dakwaan bahawa Diri-Nya adalah Tuhan memang benar. Yang boleh berbuat demikian hanyalah Tuhan. Yang selain Tuhan tidak ada kuasa untuk melakukannya. Semua pencipta-pencipta selain Tuhan, apabila membuat sesuatu ciptaan mereka akan berkongsi ruang dengan ciptaan mereka dan bilangan juga menjadi bertambah. Hanya Allah s.w.t yang berkuasa menciptakan makhluk tanpa mengubah status wujud-Nya Yang Esa. Hanya akal orang yang bingung atau orang yang dalam mabuk mencuba menghuraikan teka-teki Wujud Tuhan dan wujud makhluk. Orang yang berakal sihat akan menyerah tanpa takwil, tanpa hujah bahawa sesungguhnya: “Tidak ada sesuatu yang berkongsi apa-apa dengan-Nya, baik dari segi wujud, sifat, perbuatan dan apa segi sekalipun. Dia tidak disekutukan oleh sesiapa dan dalam apa perkara sekalipun”. Oleh kerana pada hakikatnya Dia tidak bersekutu dengan sesuatu, maka mempersekutukan-Nya dengan sesuatu menjadi kesalahan yang paling besar, yang tidak Dia maafkan.

 Tidak semua orang sufi berpegang dengan fahaman wahdatul wujud. Ramai sufi yang tidak bersetuju dan menolak fahaman satu wujud. Pengalaman mereka menceritakan bahawa satu wujud hanya muncul dalam penyaksian atau pengalaman kerohanian yang berlaku pada satu tahap perkembangan kerohanian. Pengalaman menyaksikan atau mengalami satu wujud itu dinamakan  wahdatul syuhud atau tauhid syuhudi. Wahdatul syuhud atau tauhid syuhudi merupakan pengalaman kerohanian yang paling tinggi mengenai keesaan. Boleh juga dikatakan ia adalah kemuncak fana, di mana kesedaran seseorang sufi terhadap dirinya dan sekalian makhluk hilang lenyap sama sekali, tidak ada sedikit pun yang tinggal. Pada tahap tersebut sufi masuk sepenuhnya ke dalam suasana “Tuhan Maha Esa”. Pada ketika itu kewujudan nyata sufi tidak hilang. Dia masih lagi berjasad dan bergerak di atas muka bumi. Hanya ingatan dan kesedarannya terhadap yang selain Allah s.w.t terhapus sama sekali. Sufi tidak bertukar menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Sufi yang di dalam keadaan menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan itu tidak ada kuasa untuk membelah bulan atau membuat matahari naik dari sebelah barat seperti kekuasaan Tuhan. Apa yang berlaku kepada sufi hanyalah pengalaman rasa. Dia mengalami rasa “Akulah Tuhan. Aku Esa. Tiada sesuatu beserta Aku”. Peringkat pengalaman keesaan yang paling tinggi ini berlaku dalam sembahyang. Apa yang dirasakan pada ketika itu adalah: “Sembahyang adalah puji-pujian Allah terhadap Diri-Nya sendiri. Dia yang Memuji Diri-Nya. Dia yang Berkata-kata. Dia Yang Mendengar”. Pengalaman yang demikian merupakan saat yang paling lazat dirasakan oleh seseorang sufi. Setiap patah ucapan dalam sembahyang itu sangat mengasyikkan, sangat indah dan sangat merdu.

 Ketika mengalami suasana keesaan Tuhan itu bukanlah bermakna sufi sudah menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Ia adalah satu suasana yang Tuhan gubah bagi memperkenalkan keesaan-Nya. Orang yang memasuki suasana tersebut akan kenal, faham dan mengerti maksud Tuhan Maha Esa. Pengalaman yang demikian terjadi tatkala sufi hilang ingatan dan kesedaran kepada segala perkara kecuali Allah s.w.t. Apabila ingatan dan kesedarannya kembali semula pengalaman tentang keesaan Allah s.w.t itu tidak hilang, tidak seperti orang gila yang melupai segala pengalaman gilanya tatkala dia sedar kembali. Pengalaman hati membawa sufi bermakrifat dengan keesaan Tuhan. Apa yang diketahui oleh orang lain secara ilmiah, dalil dan bukti, dialami sendiri oleh sufi. Pengalaman keesaan yang dialami oleh hati itulah yang dinamakan wahdatul syuhud. Sufi yang mengalami wahdatul syuhud berpecah kepada dua golongan. Golongan yang pertama memahamkan apa yang dialami itulah kebenaran yang sejati, kebenaran yang paling tinggi. Hati telah mengalami satu wujud maka tentu sekali satu wujudlah yang benar. Berdasarkan penyaksian atau pengalaman hati mengenai satu wujud itulah terbentuk fahaman wahdatul wujud. Yang wujud hanyalah Tuhan, penzahiran Tuhan atau wajah-wajah Tuhan. Alam dan makhluk adalah bentuk zahir yang dengannya Tuhan menyatakan Wujud-Nya. Alam dan makhluk jika dipandang dari satu segi adalah Tuhan dan jika dipandang dari segi yang lain adalah makhluk. Begitulah fahaman wahdatul wujud yang dibuat sebagai terjemahan kepada pengalaman wahdatul syuhud. Sufi golongan kedua tidak menggubah terjemahan kepada apa yang mereka alami. Bagi golongan ini satu wujud adalah penyaksian atau pengalaman hati, tidak ada sebab mahu mengatakan wahdatul syuhud itu sebagai wahdatul wujud. Golongan ini memahamkan bahawa menyaksikan keesaan Tuhan bukan bermakna menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Memasuki suasana Keesaan Tuhan yang Tuhan gubah bukan bermakna masuk kepada Tuhan. Tuhan tidak dikandung oleh masa, zaman atau ruang. Tidak ada satu perbatasan di mana bertempat Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada sesuatu apa pun yang boleh sampai kepada Zat Tuhan. Walaupun Keesaan Tuhan dikenali dan dialami ia tidak mengubah bangunan alam maya dan tidak mengubah ketuhanan Allah s.w.t. Orang lelaki yang bermimpi menjadi perempuan tidaklah benar-benar bertukar menjadi perempuan. Tetapi pengalaman menjadi perempuan di dalam mimpi itu membuatnya mengenali perempuan dengan mendalam, tahu daya rasa dan citarasa perempuan dan sebagainya. Pengetahuan yang didapati secara pengalaman mengsahkan dan meyakinkan pengetahuan yang diketahui secara pembelajaran dan dalil. Pengalaman menjadi perempuan dalam mimpi dikatakan pengalaman hakikat iaitu lelaki berkenaan mengalami hakikat keperempuanan melalui cara bermimpi. Lelaki tersebut mengenali perempuan secara sempurna.

Sufi  mengalami hakikat ketuhanan termasuklah hakikat keesaan Tuhan. Sufi berkenaan masuk ke dalam suasana hakikat dan makrifat bukan masuk ke dalam Tuhan. Hakikat dan makrifat adalah suasana yang Tuhan gubah bagi memperkenalkan Diri-Nya kepada sesiapa yang Dia kehendaki berbuat demikian. Seseorang hamba yang menetap dalam makam kehambaan apabila diperkenalkan sifat al-Aziz akan kecutlah hatinya, mengggigil tubuhnya, pucat mukanya hinggakan dia jatuh pengsan. Setelah sedar dari pengsannya dia kenal maksud al-Aziz. Pengenalan secara mengalami itu lebih berkesan dan meyakinkan daripada perkenalan secara ilmiah. makrifat melalui pengalaman hakikat itu melahirkan ungkapan seperti: “Aku kenal Tuhanku melalui Tuhanku; Aku melihat Tuhanku tanpa rupa, tanpa bentuk, tanpa warna, tanpa cahaya; Aku kenal Tuhanku tanpa sesuatu pengenalan”. Banyak lagi ungkapan yang seumpamanya.

Sufi yang mengalami wahdatul syuhud tetapi menolak fahaman wahdatul wujud, berpegang kepada fahaman wahdatul ma’abud iaitu kepercayaan kepada keesaan Tuhan tanpa menafikan kewujudan makhluk ciptaan Tuhan. Sufi golongan ini mengakui bahawa wujud makhluk memang tidak berhakikat tetapi oleh kerana makhluk diciptakan Tuhan maka makhluk mempunyai kewujudan yang teguh, stabil, tetap, kekal mempunyai tindakbalas dan sebagainya, bukan seperti wujud khayali yang dibuat oleh ahli silap mata. Jadi, wahdatul syuhud yang membawa sebahagian sufi kepada wahdatul wujud itu juga yang menetapkan sufi pada wahdatul ma’abud. Sufi yang tidak terbalik pandangan kerana pengalaman wahdatul syuhud adalah yang ditetapkan pada makam kehambaan, sekalipun menempuh gelombang Alam Misal, alam bayangan, cahaya dan warna. Apa sahaja yang muncul dinafikannya dengan kalimah : “ La ilaha illa Llah ” dengan membawa maksud : “Tiada Tuhan melainkan Allah.”

 Kalimah Tauhid yang menetapkan sebahagian sufi pada makam kehambaan itu boleh juga digunakan untuk mencabut kehambaan apabila maksud  kalimah tersebut diubah kepada: “Tiada yang maujud melainkan Allah”  (La maujud illa Llah ). Renungan yang mendalam dan disertakan dengan ucapan yang berulang-ulang bertindak sebagai memukau diri sendiri sehingga terpahat keyakinan dalam jiwa bahawa hanya Wujud Tuhan yang ada. Orang yang memperolehi fahaman wahdatul wujud secara renungan demikian tidak mengalami wahdatul syuhud, tidak ada pengalaman hakikat, tidak mengalami hal-hal ketuhanan kerana mereka belum lagi sampai kepada tahap kesedaran hati (kalbu). Hal ketuhanan hanya dialami oleh orang yang sampai kepada tahap kesedaran hati. wahdatul wujud yang diperolehi secara tafakur itu menjadi pegangan orang yang berada pada tahap ilmu, tetapi ilmu bayang bukan ilmu yang sebenar.

 Ada juga sufi yang memulakan perjalanan tanpa membawa atau mengetahui fahaman wahdatul wujud. Sufi ini sangat kuat dikuasai oleh kecintaan kepada Allah s.w.t dan tarikan kepada Tuhan yang kuat itulah menemukannya dengan kepercayaan wahdatul wujud. Kecintaan kepada Tuhan menjadi sangat berpengaruh dan menimbulkan keasyikan apabila sampai kepada tahap kesedaran hati, sama ada dia sampai kepada tahap melalui cara suluk atau b pun dengan rahmat Tuhan dia menjadi majzub. Kecintaan yang membara, mengasyikkan, dicampur dengan kerinduan yang mendalam menyebabkan sufi itu hanya menyaksikan satu wujud sahaja iaitu Wujud Tuhan sementara yang lain terhapus dari pandangannya. Oleh kerana dia tidak menyaksikan yang lain maka dia tidak memperakui kewujudan yang lain. Fahaman yang terbentuk itu adalah hasil daripada zauk atau pengalaman rasa yang bebas dari khayalan. Jika sufi itu menetap pada makam kalbu dan dia kembali kepada dunia dalam keadaan demikian, maka dia kan melihat wajah Kekasihnya pada apa jua yang dia pandang. Segala sesuatu menjadi cermin yang membalikkan wajah Kekasihnya.

 Sebahagian sufi, dengan rahmat Tuhan, dapat melepasi makam kalbu dan diberi suasana yang lebih baik iaitu menghadap kepada Tuhan yang menguasai kalbu. Sufi yang sudah keluar dari tahap kesedaran kalbu tidak lagi dikuasai oleh kecintaan yang mengasyikkan, yang mabuk. Kecintaannya sudah kembali rasional. Kecintaan rasional mengecilkan fahaman dan kepercayaan kepada wahdatul wujud. Lama kelamaan fahaman dan kepercayaan yang demikian hilang terus dari hati sufi. Dari golongan sufi yang telah membuang fahaman dan kepercayaan wahdatul wujud ada yang mengecam doktrin tersebut. Sufi yang lain tidak membuat  kecaman atau ulasan. Mereka bersimpati dengan sahabat-sahabat mereka yang masih terikat pada makam kalbu dan berpegang kepada fahaman wahdatul wujud bukan dengan kehendak mereka sendiri tetapi pengalaman kerohanian yang menguasai mereka menyebabkan mereka menjadi demikian. Mereka dikuasai oleh hal atau zauk yang menyebabkan mereka tidak berdaya untuk memandang ke arah lain.

 Bermukim pada makam kalbu, mengalami berbagai-bagai hal ketuhanan, memasuki suasana bersatu dengan Tuhan, adalah pengalaman yang menyeronokkan dan mengasyikkan. Hati merasai kenikmatan dan kelazatan. Lantaran itu ada sufi yang enggan keluar dari makam tersebut. Apabila kesedaran diri datang kepada mereka, mereka akan kembali membuat latihan untuk menghapuskan kesedaran tersebut. Mereka lebih suka berada dalam zauk terus menerus kerana dalam zauk yang ada hanya Allah s.w.t, kehampiran dengan-Nya dan kesatuan dengan-Nya. Mereka percaya Kebenaran Hakiki adalah kefanaan dan penafian diri. Dari kalangan mereka muncul ungkapan seperti: “Aku mahu sampai kepada ‘adam hakiki (ketiadaan yang sebenar-benarnya) dan tidak kembali lagi kepada wujud”. Golongan ini sentiasa bekerja keras melatih diri dengan cara yang payah, beramal dengan cara yang sukar dan membebankan supaya mereka boleh berada dalam suasana penghapusan diri yang terus menerus. Mereka tidak mempunyai masa untuk berehat. Beban pengalaman yang berat itu mendorong mereka kepada satu-satu kegiatan menurut kecenderungan dan bakat masing-masing sebagai mengalihkan mereka daripada beban pengalaman mereka yang berat itu. Ada di antara mereka mencurahkan perasaan kepada alam semulajadi. Ada yang mendapat kerehatan dan keringanan melalui tarian dan nyanyian. Ada yang berpegang kepada fahaman satu wujud dan menyaksikan satu wujud dalam yang banyak. Semua itu merupakan rahmat dari Tuhan agar mereka mampu bertahan dalam beban pengalaman mereka dan dengan demikian mereka memperolehi sedikit kerehatan.

Kumpulan sufi yang maju ke hadapan, meninggalkan makam kalbu, memperolehi hubungan dengan Tuhan yang membawa mereka beriktikad bahawa Tuhan Berdiri Dengan Sendiri dan tidak menyerupai sesuatu. Mereka tidak terlibat lagi dengan fahaman melihat Tuhan dalam alam atau menyamakan alam dengan Tuhan. Iktikad sufi golongan ini sesuai dengan ajaran Rasulullah s.a.w. Baginda s.a.w tidak mengajarkan wahdatul wujud tetapi baginda s.a.w mengajarkan wahdatul ma’abud iaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada sokongan al-Quran kepada fahaman wahdatul wujud. Al-Quran mengajarkan konsep ketuhanan : “ Laisa kamithlihi syaiun ” - tiada sesuatu serupa dengan-Nya. Rasulullah s.a.w mengajarkan supaya menafikan tuhan-tuhan palsu yang terdiri daripada anasir-anasir alam dan manusia, termasuklah diri sendiri Sama ada yang zahir atau yang batin. Rasulullah s.a.w menentang perbuatan mempertuhankan batu, Isa al-Masih, Uzair, bulan,  dan lain-lain. Rasulullah mengatakan konsep ketuhanan yang demikian adalah syirik dan dosanya tidak diampun oleh Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w juga mengajarkan perbezaan di antara hamba dengan Tuhan. Kebenaran sejati yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w adalah manusia adalah hamba ciptaan Tuhan bukan penzahiran Tuhan. Kesatuan wujud tidak diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Pada zaman para sahabat Rasulullah s.a.w, fahaman wahdatul wujud tidak wujud, malah bayangannya pun tidak ada. Fahaman yang demikian hanya muncul pada zaman yang akhir-akhir ini.

Sufi yang telah menyelesaikan semua peringkat perjalanan kerohanian dan mencapai peringkat tertinggi kewalian akan memperolehi keyakinan yang sama dengan pegangan ulama yang memperolehinya melalui kitab dan akal. Apa yang ulama putuskan secara mentalaah kitab dan menggunakan akal diperolehi oleh sufi melalui kasyaf.

 


 

 

 

 

13: KASYAF DAN ILHAM SUFI

Setiap makhluk yang diciptakan Tuhan dilengkapkan-Nya dengan fitrah. Fitrah menerbitkan bakat dan keupayaan semulajadi yang membolehkan setiap kejadian itu berfungsi menurut kejadiannya. Fitrah matahari mengheret matahari untuk bergerak pada satu landasan sambil mengeluarkan cahaya yang mengandungi tenaga yang diperlukan oleh kejadian di bumi. Haiwan, tumbuh-tumbuhan, galian dan lain-lain semuanya mempunyai fitrah masing-masing dan setiap satunya bergerak menurut peraturan fitrahnya. Di antara semua kejadian, manusia dikurniakan fitrah yang paling sempurna kerana manusia berkewajipan memerintah dan mentadbir sekalian makhluk. Malaikat sendiri tunduk kepada manusia. Malaikat yang menguruskan bidang penglihatan tidak menghalang manusia menggunakan penglihatan matanya sekalipun yang dilihat olehnya itu diharamkan oleh Allah s.w.t. Malaikat yang menjaga nyawa tidak mencabut nyawa itu sekalipun manusia melakukan kejahatan dan kedurhakaan kepada Allah s.w.t.

 Fitrah manusia merupakan sebaik-baik persediaan dalam melaksanakan tugas-tugas kehambaan kepada Allah s.w.t. Melakukan ketaatan kepada Allah s.w.t dan menguruskan kehidupan di bumi merupakan kewajipan manusia. Dalam melaksanakan hal yang demikian itu fitrah manusia dikurniakan sesuatu yang sangat luar biasa iaitu keupayaan untuk membuat pilihan. Hanya manusia dan jin yang memiliki keupayaan memilih. Makhluk lain tidak diberikan bakat tersebut. Dalam membuat pilihan fitrah manusia boleh menggunakan bakat-bakatnya iaitu fikiran, ilham dan kasyaf.

 Melalui bakat berfikir manusia boleh membuat pilihan dalam menguruskan kehidupan lahiriah mereka. Kekuatan fikiran yang ada dengan manusia mengangkat manusia kepada darjat yang tinggi. Mereka mampu menguasai daratan, lautan dan udara. Mereka mampu mengambil manfaat daripada anasir alam yang ada di sekeliling mereka. Sempadan bagi kekuatan fikiran adalah jangkauan pancaindera dan logik. Apa yang tidak mampu dijangkau oleh pancaindera akan menimbulkan kesulitan kepada fikiran dan apa yang tidak termasuk dalam bidang logik akan mengelirukan fikiran.

 Bidang yang tidak dapat diterokai oleh fikiran mampu diterokai oleh ilham. Fikiran sangat mahir dalam menyusun sesuatu yang bersangkutan dengan kebendaan. Kebendaan yang menjadi bidang fikiran ini bertindak sebagai hijab kepada bidang ilham. Pengaruh dan tarikan kebendaan menjadi tembok yang menghalang manusia daripada memperolehi ilham.

 Pengaruh dan tarikan kebendaan tertuju kepada hati. Jika hati dapat keluar daripada kekuasaan dan ikatan kebendaan hati akan mampu mengeluarkan sinar cahayanya untuk memperluaskan bidang yang dapat diterokai oleh akal fikiran melalui cetusan ilham. Akal fikiran yang dibantu oleh ilham dapat keluar dari bidang logik dan sempadan kebendaan. Manusia dapat menerima kewujudan kuasa ghaib yang menguasai anasir alam yang nyata.

 Terdapat dua golongan manusia yang menguasai bidang ilham. Mereka adalah ahli falsafah dan ahli sufi. Ahli falsafah yang menggunakan kekuatan diri sendiri hanya mampu mengambil ilham pada bahagian permukaan sementara ahli sufi berkeupayaan untuk menyelam ke dasar lautan ilham. Walaupun berbeza darjat ilham tetapi oleh kerana ia masih di dalam satu daerah, maka terdapat tolak-ansur di antara sufi yang di dalam daerah ilham dan ahli falsafah yang juga di dalam daerah ilham. Sufi yang begini beranggapan ahli falsafah adalah juga ahli sufi. Begitu juga anggapan ahli falsafah terhadap ahli sufi. Fahaman ahli falsafah dan fahaman ahli sufi tahap ilham banyak persamaan. Sufi pada tahap ini boleh bekerjasama dengan ahli falsafah dalam mengwujudkan kepercayaan atau agama sejagat. Agama sejagat ini mengambil nilai-nilai murni kemanusiaan sebagai peraturan hidup dan keikhlasan sebagai kehambaan kepada Tuhan. Setiap individu diperlukan mempratikkan nilai-nilai murni kemanusiaan dan bebas melakukan keikhlasan menurut kemampuan dan bakat yang ada dengannya dalam menyatakan khidmatnya kepada Tuhan. Golongan ini sangat mengasihi manusia dan sangat bertolak ansur dengan sesama manusia. Mereka menganggap semua agama adalah baik dan benar. Mereka berfahaman semua agama menyembah Tuhan yang sama walaupun caranya berbeza. Mereka tidak mengutuk perbuatan memyembah Tuhan dengan menggunakan perantaraan seperti patung-patung. Kebanyakan agama dalam dunia hari ini telah diolah semula oleh golongan sufi-falsafah. Maksud sufi di sini termasuklah ahli agama yang selain Islam yang mengamalkan bidang kerohanian dan melatih diri dalam bidang tersebut. Dari kalangan merekalah muncul orang-orang yang membina tempat patung-patung dalam tempat-tempat ibadat agama Nasrani dan Yahudi. Orang yang beragama menyembah berhala tidak berasa janggal apabila mereka memasuki rumah ibadat orang Nasrani dan Yahudi. Pengaruh yang demikian juga menjalar ke dalam masyarakat Islam. Orang-orang Islam yang berjiwa falsafah gemar membina sesuatu yang menonjol dan tersergam di dalam masjid-masjid. Jika penyembah berhala melihat kaum Muslimin sedang sujud mungkin mereka menyangka kaum Muslimin sujud kepada benda yang menonjol dan tersergam itu.

 Sufi seterusnya masuk ke dalam bidang kasyaf. Penyaksian mata hati dan pengalaman rasa merupakan bidang kasyaf. Hati menyaksikan dan merasakan suasana ghaib dan hal-hal yang berhubung dengan ketuhanan. Walaupun sufi menyaksikan dan merasakan hal ketuhanan tetapi ia bukanlah Tuhan. Apa yang dibukakan kepada sufi itu adalah ibarat kunci yang membuka pintu makrifat untuk sufi mengenali Tuhan. Kasyaf tahap tertinggi hanyalah pengalaman rasa tanpa penyaksian tentang hal ketuhanan itu. Pengalaman rasa atau zauk tanpa penyaksian membawa sufi bermakrifat tentang Allah s.w.t yang Maha Esa, tiada sesuatu yang menyerupai-Nya. Makrifat cara begini menanamkan kefahaman yang tidak mampu dihuraikan.

 Penghuraian yang lengkap tentang Allah s.w.t hanya terdapat dalam wahyu. Apa yang diterangkan oleh wahyu tentang Allah s.w.t dapat difahami oleh seseorang manusia menurut tahap pemikiran, ilham dan kasyafnya. Orang yang mempunyai ke tiga-tiga bakat-bakat fitrah itu secara sempurna akan mengenal Allah s.w.t dengan sempurna. Wahyu menerangi kasyaf, kasyaf menerangi ilham dan ilham menerangi fikiran. Nur wahyu yang menerangi kasyaf, ilham dan fikiran itu membuka simpulan pada lidah sehingga lidah boleh berucap dengan fasih tentang Allah s.w.t, menurut kadar yang Dia izinkan.

Apabila sekalian bakat-bakat fitrah itu sudah disinari oleh nur wahyu baharulah fitrah kemanusiaan itu melonjak kepada fitrah Muslim. Manusia yang fitrahnya belum mencapai tahap fitrah Muslim, walaupun pintar menggunakan akal namun, dia masih belum bersesuaian dengan kehendak Allah s.w.t. Daya nilai fitrah manusia banyak bersesuaian dengan daya nilai fitrah Muslim dalam bidang akhlak tetapi tidak dalam bidang ketuhanan. Kebenaran yang sejati berada pada fitrah Muslim. Apa yang dinilaikan baik oleh fitrah manusia jika bercanggah dengan penilaian fitrah Muslim, maka fitrah manusia mesti akur dengan kebenaran fitrah Muslim. Orang Islam yang bijak sekalipun tidak akan dapat melihat hikmah di sebalik suruhan dan tegahan agama, sekiranya fitrahnya tidak naik kepada tahap fitrah Muslim atau pun jika akalnya enggan tunduk kepada kebenaran yang dinyatakan oleh wahyu. Apabila fitrah manusia mencapai tahap fitrah Muslim, akan ujudlah penyerahan yang sejati kepada Allah s.w.t, tanpa hujah dan tanpa takwil. Dia akan tunduk kepada peraturan Allah s.w.t yang dibawa oleh Rasul-Nya. Dalam jiwanya akan lahir keghairahan beragama. Dia akan cemburu jika Allah s.w.t, Rasulullah s.a.w, al-Quran dan agamanya dipersendakan apa lagi kalau dikhianati.

 Semua bakat-bakat fitrah mestilah menjadi Muslim. Akal fikiran menjadi Muslim, ilham menjadi Muslim dan kasyaf menjadi Muslim. Bila semua bakat itu sudah menjadi Muslim, akan bercahayalah Roh Islam seseorang itu. Roh Islam akan hanya mengeluarkan yang Muslim, tidak ada percanggahan dengan Islam. Roh Islam yang paling sempurna adalah Roh Nabi Muhammad s.a.w. Jibrail a.s membacakan wahyu dan Roh Islam Nabi Muhammad s.a.w mentafsirkannya. Apa yang baginda s.a.w tafsirkan menepati apa yang wahyu maksudkan, tanpa sedikitpun percanggahan. Jika mahu melihat al-Quran dalam rupa manusia, maka Nabi Muhammad s.a.w adalah ‘al-Quran’ yang hidup, berkata-kata dan bergerak dalam daerah kehidupan manusia. Selain Nabi Muhammad s.a.w darjat persamaan dengan wahyu itu bertingkat-tingkat menurut darjat akal, ilham dan kasyaf masing-masing.

 Fikiran, ilham dan kasyaf sufi bukanlah satu sumber ilmu yang menyamai wahyu atau pun bebas daripada wahyu. Bakat-bakat tersebut hanyalah alat untuk mentafsirkan wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w mengenai sesuatu perkara yang diimani. Bakat-bakat tersebut walaupun boleh digunakan sebagai alat bagi menterjemah wahyu tetapi ia bukanlah secara sempurna. Ia berkedudukan seperti ijtihad para mujtahid yang mungkin benar dan mungkin silap. Dalam pembinaan hukum dan fatwa yang mengenai orang ramai, kedudukan ijtihad ahli mujtahid lebih kuat daripada ilham dan kasyaf sufi.

Ilham dan kasyaf sufi lebih bersifat peribadi, berguna untuk sufi itu sendiri dalam menentukan arah tindakannya. Kesan mabuk yang berlaku pada jalan kewalian sufi sukar terpisah daripada seseorang sufi itu dan kesan tersebut boleh mempengaruhi ilham dan kasyafnya. Apa yang diperolehi oleh sufi yang dipengaruhi oleh mabuk mungkin tidak menepati kebenaran yang asli. Sufi tersebut mungkin mengeluarkan pendapat yang kurang benar dan meninggalkan yang lebih benar. Oleh yang demikian kebenaran ilham dan kasyaf sufi itu mesti diuji dengan kebenaran al-Quran dan as-Sunah. Kedudukan seseorang sufi itu diukur dengan melihat sejauh mana ilham dan kasyafnya bersesuaian dengan ajaran al-Quran dan as-Sunah. Sufi yang telah mencapai tahap kewalian peringkat tertinggi, yang telah terlepas daripada kesan mabuk, fana dan bersatu dengan Tuhan, tidak bercanggah dengan al-Quran dan as-Sunah.

Al-Quran dan Hadis telah memberi penjelasan yang lengkap mengenai perkara-perkara yang bersangkutan dengan akidah. Perkara yang sudah cukup terang dan jelas ini tidak boleh digugat oleh apa sahaja, termasuklah fahaman, ilham dan kasyaf sufi. Jika terjadi percanggahan di antara ucapan ahli sufi dengan kenyataan al-Quran dan as-Sunah mengenai perkara akidah, ia mestilah ditolak dan perkataan al-Quran dan as-Sunah itu yang wajib diimani. Ucapan sufi yang demikian hendaklah dianggapkan sebagai ucapan yang lahir daripada suasana hati yang dipengaruhi oleh mabuk dan fana dan sufi berkenaan belum lagi menghabiskan perjalanannya. Jika perkataan sufi menyokong kenyataan al-Quran dan as-Sunah, maka perkataan tersebut hendaklah dibenarkan. Dalam memahami maksud al-Quran dan as-Sunah, aliran Ahli Sunah wal Jamaah hendaklah diikuti.

Ada perkara-perkara yang al-Quran dan al-Hadis hanya memberi maklumat secara sepintas lalu atau pun tidak memberi maklumat sedikitpun. Perkara-perkara berkenaan termasuklah soal-soal syurga, neraka, bumi, alam maya, malaikat, jin, makhluk rohani dan lain-lain. Ahli sufi banyak memperkatakan soal-soal yang demikian berdasarkan ilham dan kasyaf mereka, tanpa sokongan nas yang sahih. Dalam soal ini orang ramai tidak dituntut untuk mengimani perkataan sufi. Ilham dan kasyaf sufi boleh jadi benar dan boleh jadi juga tidak benar. Nabi-nabi diperakui oleh Allah s.w.t sebagai maksum, dijamin terpelihara daripada gangguan syaitan dan tidak terjadi kesalahan pada ilham dan kasyaf mereka. Apa juga kekeliruan yang timbul akibat gangguan syaitan diperbetulkan dengan segera dan kebenaran perkataan Nabi-nabi ditetapkan. Jaminan yang demikian tidak diberi kepada golongan yang bukan Nabi. Namun begitu, perkataan sufi mengenai soal-soal yang tidak bersangkutan dengan akidah itu boleh dijadikan iktibar dan mempercayainya tidak menjadi kesalahan. Melalui perkataan mereka orang-orang yang ingin memahami perkara-perkara tersebut mendapat sedikit pemahaman yang boleh dikembangkan melalui kekuatan akal fikiran.

Sufi memperolehi maklumat melalui kasyaf. Kadang-kadang kasyaf berlaku kepada sufi dalam bentuk ibarat atau pembukaan secara umum tanpa perincian. Kasyaf yang demikian perlu ditafsirkan. Biasa terjadi tafsiran yang dibuat oleh sufi itu tidak menepati gambaran atau ibarat yang dibukakan kepadanya Bila sufi menerima berita secara umum maka tafsiran secara umum juga yang diberikannya. Maklumat yang diperolehi secara umum, tanpa perincian, tidak dapat menceritakan sesuatu perkara dengan tepat. Sufi juga mungkin mendapat maklumat mengenai sesuatu kejadian dan maklumat tersebut datangnya daripada sumber takdir yang akan berubah, sedangkan perubahan yang akan berlaku tidak dibukakan kepadanya. Allah s.w.t berfirman:

Apa sahajat ayat keterangan yang Kami mansukhkan (batalkan) atau yang Kami tinggalkan (atau tangguhkan), Kami datangkan ganti yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah engkau mengetahui bahawasanya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu?

( Ayat 106 : Surah al-Baqarah )

Ayat di atas memberitahukan tentang takdir yang di dalam perbatasan yang boleh berubah dengan kehendak dan perintah Allah s.w.t.

Untuk mereka sahajalah kebahagiaan yang menggembirakan di dunia dan di akhirat; tidak ada (sebarang) perubahan pada kalimat (janji-janji) Allah; yang demikian itulah kejayaan yang besar.

( Ayat 64 : Surah Yunus )

Ayat di atas ini pula memberitahukan tentang daerah takdir yang tidak akan berubah kerana Allah s.w.t telah menetapkannya. Kasyaf seorang sufi mungkin hanya sampai kepada daerah takdir yang mungkin berubah, tidak sampai kepada daerah takdir yang tetap. Oleh yang demikian apa yang disaksikannya mungkin berlaku dan mungkin juga tidak berlaku.

 Perlu juga diketahui bahawa seseorang sufi melalui peningkatan kerohanian secara sedikit demi sedikit, bukan sekaligus. Suasana kerohanian atau makam mempengaruhi fahaman dan pegangan sufi. Seorang sufi boleh mengeluarkan beberapa pendapat yang berbeza mengenai perkara yang sama. Pendapatnya di awal perjalanan, pertengahan dan di akhir perjalanan mungkin bertentangan di antara satu sama lain. Pendapatnya yang paling benar adalah pendapat yang diberikannya setelah dia kembali kepada kesedaran sepenuhnya dan berkamil dengan syariat sepenuhnya.

 Sufi yang masih di dalam perjalanan menemui beberapa fahaman yang bercanggah dengan prinsip syariat. Di antara yang demikian adalah konsep tauhid af’al, tauhid sifat dan tauhid wujud. Konsep tauhid yang demikian membawa Tuhan ke dalam perbatasan alam dan mengadakan persamaan di antara Tuhan dengan makhluk. Sufi yang sedang dikuasai oleh suasana kerohanian yang demikian menafikan perbuatan dirinya, sifatnya dan wujudnya. Semuanya diisbatkan kepada Allah s.w.t. Muncullah ungkapan seperti: “Tiada yang berbuat melainkan Allah. Tiada yang hidup melainkan Allah. Tiada yang maujud melainkan Allah” dan lain-lain ungkapan yang seumpamanya. Ungkapan yang paling popular dikaitkan dengan kesufian adalah: “Ana al-Haq!” Ada golongan yang beranggapan kononnya sufi yang belum mengucapkan “Ana al-Haq” belum lagi mencapai makam yang paling tinggi. Golongan sufi ikutan menggunakan ungkapan yang demikian  bagi memukau kesedaran diri sendiri dengan cara mengulangi ucapannya sebanyak mungkin dan menghayati maknanya sehingga terpahat kepercayaan yang demikian dalam jiwa mereka. Golongan yang mengikut secara membuta tuli inilah yang menyebarkan kesesatan, berselindung di sebalik perkataan sufi yang sedang mabuk.

 Manusia yang masih ada keupayaan untuk membuat pilihan, berfikir dan merasa, mestilah faham keadaan sufi yang fitrah mereka menerima kejutan alam ghaib sehingga keupayaannya untuk membuat pilihan, berfikir dan merasa hilang. Sufi yang demikian dikatakan berada di dalam jazbah. Orang yang berada dalam jazbah adalah umpama orang yang keluar ke laut menaiki perahu kecil. Bila dipukul gelombang dia menjadi mabuk dan meracau. Setelah dia sampai ke tengah laut, ombak sudah tenang, mabuknya berkurangan dan akhirnya dia kembali normal. Bila dia sudah sedar dia tidak meracau lagi. Pengalaman jazbah berguna kepada sufi berkenaan kerana pengalaman yang demikian menanggalkan sifat-sifat yang keji dari hatinya dan sifat ikhlas menjadi sebati dengannya. Pengalaman jazbah itu juga berguna kepada guru yang menjadi pembimbing kerana dengannya guru dapat mengetahui suasana  dan stesen kerohanian muridnya. Ia juga menjadi tanda bahawa murid berkenaan mempunyai harapan untuk menjadi cemerlang kesudahannya. Guru yang arif akan membimbing muridnya supaya melepasi peringkat-peringkat zauk sehingga sampai kepada penghujung jalan yang tenang dan damai. Murid yang sudah melepasi peringkat jazbah dan kembali kepada kesedaran kemanusiaan biasa akan menyedari akan kekeliruan yang muncul dalam fahamannya sepanjang perjalanannya. Dia bertaubat daripada pegangan yang lalu. Kini dia menyaksikan satu kebenaran sahaja iaitu kebenaran kehambaan kepada Allah s.w.t. Manusia dan jin diciptakan untuk mengabdikan diri kepada-Nya, bukan untuk bersatu dengan perbuatan, sifat atau wujud-Nya.

Fahaman yang keluar dari ilham dan kasyaf sufi sekiranya menyalahi syariat wajiblah ditolak. Jika orang yang mengetahui tentangnya ada kebolehan, ucapan latah sufi haruslah diterjemahkan menurut stesen kerohanian sufi berkenaan dan penjelasan harus diberi kepada orang ramai agar latah sufi tidak disalahertikan. Sufi yang mengeluarkan ucapan latah ketika dalam jazbah haruslah dimaafkan, walaupun ucapannya menyalahi syariat. Harus diingat bahawa sufi tidak terlepas sepenuhnya daripada suasana mabuk sebelum dia sampai kepada makam siddiqiyat. Semua makam di bawah daripada makam siddiqiyat tidak terlepas daripada pengaruh mabuk sedikit atau banyak. Kesimpulannya pendapat sufi yang bertentangan dengan syariat wajib ditolak tetapi peribadi sufi itu sendiri tidak boleh dikutuk kerana dia dikuasai oleh mabuk.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template