Headlines News :
Home » » WAKIL RAKYAT ATAU SEKADAR PABRIK UNDANG-UNDANG

WAKIL RAKYAT ATAU SEKADAR PABRIK UNDANG-UNDANG

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 02.27

Ketika Tahun Sidang 2003-2004 dimulai pada bulan Agustus lalu, sudah ada dugaan kuat dari Tim Parlemen.net bahwa akan ada banyak pembahasan RUU di DPR yang lebih dari yang biasanya. Dugaan ini muncul terutama ketika PSHK membuat suatu studi singkat untuk Catatan Awal Tahun Sidang 2003-4 (Susanti dkk, 2003). Telaah dokumen yang dilakukan saat itu menunjukkan banyaknya utang legislasi DPR. Kurang lebih 64 undang-undang masih menjadi utang DPR ketika laporan tersebut dibuat pada bulan Agustus 2003. Undang-undang tersebut terdiri dari 14 undang-undang yang merupakan amanat konstitusi, 43 undang-undang amanat Ketetapan MPR dan empat undang-undang yang merupakan amanat dari undang-undang lain. Padahal, DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif bertanggung jawab untuk melaksanakannya.

Belum mapannya sistem politik di Indonesia memang menumbuhkan keyakinan bahwa tidak akan ada sanksi politik secara langsung yang akan didapat oleh para anggota DPR. Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) yang masih saja mengedepankan dominasi elite partai politik masih meminggirkan seleksi "alamiah" para anggota DPR yang seharusnya terjadi dengan tidak dipilihnya lagi mereka yang tidak mampu memenuhi komitmen politiknya. Catatan buruk kinerja beberapa anggota atau partai politik di dalam DPR yang sekarang tidak akan mempengaruhi perolehan suara mereka secara signifikan dalam Pemilu 2004 nanti. Karena itulah, kebanyakan anggota DPR tidak malu-malu untuk tidak hadir dalam rapat misalnya, tanpa alasan kehadiran yang jelas. Pada saat ada tudingan jelas yang disertai data di Harian Kompas mengenai "Rapor Merah Wakil Rakyat" yang merinci nama-nama anggota DPR yang punya catatan buruk dalam hal kehadiran saja (Kompas, 30-06-2003: 8), tidak satupun di antara mereka yang merasa perlu menjelaskan kepada konstituennya mengenai kinerjanya.

Lantas bagaimana dengan kualitas undang-undang yang dihasilkan DPR? Tidak banyak yang bisa diharapkan dari sebuah lembaga politik yang anggotanya tidak merasa memiliki pertanggungjawaban politik. Kalau kualitas mungkin menjadi relatif karena sifat politik undang-undang dan perhatian yang terpecah ke sektor-sektor tertentu, kuantitas kemudian menjadi sasaran kerja lainnya. Ini terlihat misalnya dari Laporan Ketua DPR kepada Sidang Tahunan MPR 2003 yang lalu yang merinci mengenai jumlah undang-undang yang dihasilkan DPR. Dan tentunya penyebutkan jumlah undang-undang yang dihasilkan tidak hanya sekali ini.

Banyaknya undang-undang yang dihasilkan seakan-akan menjadi indikasi bahwa DPR sudah bekerja dengan baik. Benarkah begitu? Pada saat kualitas digugat, pembelaan yang biasanya muncul adalah soal undang-undang sebagai hasil pertarungan politik dan kompromi politik. Sering dikatakan bahwa hasil yang didapat sudah maksimal karena kompromi harus dilakukan. Padahal perlu dipertanyakan lagi, apakah pertarungan politik yang dilakukan sudah maksimal dengan adanya keterbatasan waktu dan buruknya kinerja DPR yang buruk?

Soal jumlah undang-undang yang dihasilkan menjadi mencuat kembali menjelang Pemilu 2004. Sebabnya, kinerja yang buruk, kehadiran yang rendah, maupun aspirasi yang tidak ditampung seakan bisa dihapus dengan menyebutkan hasil "produksi" undang-undang. Oleh karena itulah, di ujung periode jabatannya ini, DPR banyak menempatkan undang-undang yang penting dalam jadualnya.

Memang fenomena penjadualan pembahasan undang-undang yang penting juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Misalnya saja pada Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) 2003 -yang memuat Program Legislasi Nasional sebagai daftar legislasi yang harus dibahas dalam setahun- ditargetkan selesai 64 (enam puluh empat) RUU, akan tetapi pada realitasnya hanya terselesaikan sekitar 38 RUU (Susanti dkk, 2003). Beberapa undang-undang yang mendesak pun ketika itu cenderung dibahas terburu-buru, sehingga banyak menimbulkan polemik hingga saat ini. Sebut saja UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menuai kritik karena substansinya yang buruk atau UU tentang Mahkamah Konstitusi yang dihasilkan dalam satu bulan saja.

Bukankah dengan begitu DPR seharusnya belajar dari pengalaman? Berkali-kali soal prioritas disebutkan. Menempatkan undang-undang yang penting di daftar yang paling atas, agar bisa membahasnya secara serius. Bukannya membuat daftar panjang "produksi" undang-undang, tanpa bisa dipertanggungjawabkan pencapaiannya.

Seperti yang disebutkan di bagian awal tulisan ini, memang banyak undang-undang yang diperintahkan untuk dibuat namun belum tersentuh oleh DPR. Karena itu, Tahun Sidang terakhir dalam lima tahun masa jabatan anggota DPR hasil Pemilu 1999 ini menjadi satu-satunya kesempatan terakhir untuk mengejar target. Sisa tiga Masa Persidangan dalam Tahun Sidang inipun jadinya harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Masalahnya, menjelang Pemilu akan semakin banyak pula urusan para anggota DPR. Mulai dari konsolidasi partai ke daerah-daerah, rapat internal partai dalam menentukan calon legislatif yang akan datang, hingga rapat dan konvensi partai dalam mempersiapkan calon presiden dan wakil presiden. Di titik ini, jadual rapat DPR bisa ditempatkan di urutan ke sekian.

Jadi muncul kontradiksi di sini. Di satu sisi para anggota DPR ingin mengejar "setoran" menjelang berakhirnya masa jabatan mereka. Agar bisa dengan lantang disebutkan banyaknya undang-undang yang dihasilkan. Sementara di sisi lainnya, kapasitas mereka sendiri perlu dipertanyakan mengingat catatan kinerja mereka selama ini dan batasan waktu yang disebabkan oleh aktivitas menjelang Pemilu 2004.

Sulit memang, untuk mengubah "kebiasaan" berpolitik yang telah berlangsung dalam waktu yang lama. Kebiasaan untuk menganggap keanggotaan di DPR sebagai jabatan, bukan tugas yang memiliki pertanggungjawaban. Untuk itu, perlu dilakukan serangkaian perubahan sistemik yang menyeluruh.

Dalam hal perubahan sistem politik, setidaknya perlu dilakukan dua hal. Pertama, sistem Pemilu DPR dan DPRD harus disempurnakan agar setiap pemilih bisa mengenal calon yang dipilihnya. Memang saat ini dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum sudah diintroduksi sistem proporsional dengan daftar terbuka, yang membuka peluang pemilih untuk mengenal wakilnya. Namun sayangnya, masih ada hambatan yang menyebabkan Dewan Pimpinan Pusat Partai Politik dapat kembali menentukan siapa yang akan mendapatkan kursi di DPR dan DPRD. Akibatnya, pemilih bisa saja tidak mengetahui siapa yang mewakilinya. Bagai membeli kucing dalam karung, sama seperti dulu. Di masa yang akan datang, hal ini harus dibenahi. Perlu ada sistem yang membuat setiap orang tahu persis siapa wakilnya dan, karenanya, bisa melakukan komunikasi dengan wakilnya selama masa jabatannya berlangsung.

Kedua, perlu didorong adanya sistem yang memungkinkan pertanggungjawaban politik kepada konstituen. Selama ini hanya Tata Tertib DPR, dan bukan undang-undang, yang mengatur kewajiban anggota DPR untuk mengadakan pertemuan dengan konstituennya pada setiap masa reses. Kewajiban itupun tidak dirinci pertanggungjawabannya. Akibatnya, berdasarkan hasil penelitian FORMAPPI (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia), dialog dengan konstituen tidak berjalan dengan efektif dan tidak banyak yang ditindaklanjuti (Majalah "Awasi Parlemen," edisi Juni 2002). Saat ini, UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD sudah memberi sedikit peluang. Diatur bahwa kewajiban anggota DPR, DPD, maupun DPRD di antaranya adalah menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; serta memberikan pertangungjawaban moral dan politis kepada pemilihnya.

Di masa yang akan datang, perlu ada kewajiban bagi setiap wakil rakyat untuk memberikan laporan kepada para pemilihnya dan mendengarkan aspirasi mereka, untuk kemudian dirumuskan di tingkat kebijakan di Senayan. Sebagai perbandingan, wakil rakyat di beberapa negara bahkan memiliki kantor pelayanan konstituen di daerah asal mereka masing-masing yang terbuka selayaknya ruang praktek dokter. Di kantor pelayanan ini, masyarakat bisa datang untuk mengadukan nasib mereka maupun mengusulkan kebijakan baru. Apabila anggota yang bersangkutan tidak menanggapinya, bisa saja ia kehilangan dukungan di Pemilu berikutnya hingga tidak lagi terpilih.

Di samping perbaikan di bidang sistem politik, perlu juga ada pendidikan politik buat rakyat. Pendidikan ini harus dilakukan bukan semata-mata untuk sosialisasi, melainkan agar rakyat dapat menggunakan haknya sebagai pihak yang diwakili dalam sebuah sistem politik.

Sementara dalam konteks pembentukan perundang-undangan, perlu ada perbaikan sistemik yang setidaknya mengandung dua hal. Pertama, perlu ada peraturan yang mensyaratkan adanya penjadualan yang lebih serius dengan adanya prioritas dalam penyusunan undang-undang. Kedua, perlu ada penyusunan undang-undang yang dilakukan oleh lembaga yang khusus dibuat untuk itu agar pertarungan politik di DPR benar-benar fokus pada pertarungan politik yang substansial. Bukan perdebatan soal kata-per-kata yang sifatnya sangat teknis sehingga menghabiskan waktu dan tidak bisa disebut sebagai pertarungan politik.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template