Headlines News :
Home » » Introduksi ke Arah Metode Tafsir Al-Quran: Metode tafsir Al-Quran bil Quran

Introduksi ke Arah Metode Tafsir Al-Quran: Metode tafsir Al-Quran bil Quran

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 08.36

Ilmu tafsir Al-Quran yang berorientasi untuk menjelaskan makna-makna, maksud-maksud, serta  mengungkapkan signifikansi Al-Quran, merupakan salah  satu  pencarian akademis  paling  awal  dalam  peradaban  Islam.  Penafsiran  Al-Quran  dimulai  sejak  ia diwahyukan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: .Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan  nikmat  Kami  kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah serta mengajarkan kepada  kamu  apa yang belum kamu ketahui.. (QS 2 : 151).

 

Secara historis, karya tafsir Al-Quran pertama kali dibuat sejumlah sahabat Nabi saw, seperti Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Ubayy bin Ka’ab, dan lain sebagainya (kami  menggunakan  kata  .sahabat. kepada individu-individu selain Imam Ali (as)(**), karena beliau dan para imam lain dari keturunannya memiliki kekhususan tak tertandingi, kedudukan yang tak sejajar, yang akan dijelaskan di tempat lain).  Penafsiran  terhadap teks ayat yang dilakukan pada periode tersebut pada dasarnya terbatas pada aspek-aspek harfiah  dan  tempat  ia  diturunkan, yang terkadang dilakukan dengan bantuan ayat lain. Jika ayat tersebut menuturkan tentang peristiwa sejarah atau realitas penciptaan maupun kebangkitan,  dan  seterusnya,  maka  dalam  hal ini tak jarang digunakan sejumlah hadis Nabi saw agar menjadikan arti ayat yang dimaksud menjadi terang dan gamblang.

 

Corak penafsiran yang sama agaknya masih kental  mewarnai  kalangan  tabi’in (murid para sahabat), seperti Mujahid, Qatadah, Ibn Abi Laila, Ash-Sha.bi, As-Suddi, dan yang lainnya, yang hidup di abad pertama Hijrah. Mereka masih menggunakan  metode tafsir dengan  tekanan yang  kuat pada penggunaan hadis-hadis, sehingga menjadikannya rentan terhadap pemalsuan dan interpolasi kaum Yahudi. Mereka mengutip banyak hadis dalam  upaya  menjelaskan  ayat-ayat  yang memuat rangkaian kisah bangsa sebelumnya, atau yang menjelaskan kejadian tertentu, misalnya penciptaan surga dan  neraka, permulaan sungai dan gunung, Iram (kota suku  bangsa  ‘Ad),  Shaddad  (apa  yang dinamakan kesalahan para nabi), penghapusan kitab-kitab dan yang sejenisnya. Beberapa hal yang sama bahkan dapat dijumpai dalam karya tafsir produk para sahabat.

 

Selama periode kekuasaan para khalifah,  tatkala  negara-negara  tetangga  telah ditaklukkan, kaum muslimin mengadakan hubungan dengan orang-orang yang ditaklukkan.  Orang-orang  tersebut  pun dilibatkan dalam berbagai majelis diskusi keagamaan dengan para ulama dari berbagai agama dan aliran. Ini lantas memunculkan perdebatan-perdebatan teologis, yang dikenal dalam Islam sebagai kalam. Selain  pula filsafat Yunani mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Proses semacam itu bermula pada akhir abad pertama Hijrah (pemerintahan Abbasiyyah). Dan  sejak  itulah,  nuansa yang begitu dinamis dan kondusif bagi tumbuh suburnya berbagai  argumen  intelektual dan filosofis di kalangan intelegensia Muslimin tercipta secara mengesankan.

Pada saat yang  sama,  tasawwuf  (sufisme,  mistisisme)  memunculkan  sejumlah tokoh  di  masyarakat; di mana banyak orang kemudian begitu tertarik pada tasawwuf lantaran  model  penghayatan  religius semacam ini memberi  janji pembebasan dan pencerahan pikiran guna memahami realitas-realitas keagamaan melalui disiplin-diri yang sungguh-sungguh dan perilaku asketik yang ketat ---alih-alih melibatkan mereka dalam polemik-polemik verbal dan argumen-argumen intelektual.

 

Pada masa berikutnya, muncul sebuah kelompok yang menyebut dirinya sebagai Muhaddits  (ahli hadis), yang berpendapat bahwa  tugas  penyelamatan  amat  tergantung pada  keimanan terhadap makna-makna yang gamblang dari Al-Quran dan hadis, tanpa perlu  dilakukan  sebuah  riset akademis. Sepenuhnya mereka diperbolehkan menelaah semata-mata pada nilai-nilai literer dari kalimat atau kata.

 

Dengan  demikian,  sejak  abad  kedua  Hijrah,  entitas  masyarakat  Muslim  telah mengalami perkembangan yang begitu jauh, sekaligus terpecah  ke  dalam  empat kelompok : Mutakallimin (kaum teolog), filosof, sufi, dan akhbari (ahli hadis). Ketika itu  seolah  ada  suatu  kerancuan  intelektual  pada  diri umat  dan  kaum  Muslim,  dan  pada umumnya, mereka telah kehilangan tujuan. Hanya satu hal yang masih mengikat mereka semua  yaituLa  ilaha  illallah  Muhammadan  Rasulullah (Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah). Dalam segala hal, mereka memang berbeda antara satu sama lain.  Misal, munculnya perselisihan di seputar pemaknaan nama dan sifat Allah berikut perbuatan-Nya;  konflik  tentang  realitas  langit  dan  bumi serta apa yang di atas dan di dalamnya;  pendapat-pendapat yang berseberangan ihwal manusia sebagai alat yang sama sekali  tidak  berdaya  dalam genggaman Ilahi, ataukah ia justru bertindak sebagai agen bebas. Juga terdapat perdebatan seru seputar konsep pahala dan siksa. Argumen-argumen  yang  dilemparkan  mirip  sebuah  bola, dari satu sisi ke sisi lainnya, berkaitan dengan realitas  kematian,  barzakh  (masa penantian antara kematian dan Hari Kebangkitan); kebangkitan, surga dan neraka. Pendeknya, tak ada sebuah subyek tunggal, yang relevan dengan problem keagamaan, dibiarkan tanpa sanggahan sedikit pun oleh satu atau beberapa jenis pandangan yang lain. Perbedaan semacam ini tentunya muncul dari adanya perbedaan penafsiran terhadap Al-Quran. Setiap kelompok ingin menyokong pandangan dan pendapatnya dari Al-Quran. Dan tafsir memiliki keharusan untuk  mendukung tujuan ini.

 

1.  Dalam  upaya  menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Quran, kalangan akhbariyyah (ahli hadis)  menggunakan sejumlah hadis yang berasal dari para sahabat dan  murid-muridnya.  Mereka  kemudian melanjutkannya sejauh mungkin dengan menggunakan sejumlah metode, hingga pada satu kesempatan merasa terkecoh oleh salah satu hadis (memberikan makna yang tidak swa-bukti), sementara tidak ditemukan pula hadis lain yang isinya sama, mereka pun lantas menghentikan upayanya. Mereka mengira bahwa  itulah  satu-satunya  metode tafsir yang paling aman, sebagaimana difirmankan Allah:  ..dan  orang-orang  yang  mendalam ilmunya berkata : .Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.. (QS. 3:7).

Namun, ternyata mereka keliru. Allah belum pernah mengatakan dalam kitab-Nya bahwa bukti rasional tidaklah valid. Bagaimana  Dia  dapat  mengatakan  demikian  kalau otentisitas kitab itu sendiri dibenarkan berdasarkan bukti rasional? Di pihak lain, Dia juga tak  pernah  berkata  bahwa kata-kata para sahabat dan para muridnya merupakan satu-satunya bukti keagamaan yang paling  shahih. Bagaimana mungkin seperti itu, ketika pendapat-pendapat  yang  mereka lontarkan sendiri menampakkan ketidakcocokan yang begitu menonjol antara satu sama lain? Pendek kata, Allah tidak  menyeru  kita  untuk menempuh cara berpikir yang  sesat  (sophistry), yakni cara berpikir yang menerima, mengikuti, serta menganggap penting berbagai pendapat yang bersifat  kontradiktif. Alih-alih  untuk  itu,  Dia  malah mengajak kita untuk merenungkan ayat-ayat Al-Quran demi melenyapkan  keragu-raguan tentangnya. Allah telah menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk, dan menjadikannya cahaya dan penjelas segala  sesuatuKalau  demikian, apakah  dalam kapasitas dirinya sebagai cahaya yang berfungsi sebagai penerang, Al-Quran perlu diterangi oleh cahaya yang lain?  Dan sebagai sebuah petunjuk,  harus  ia dibantu  oleh petunjuk yang lain? Logiskah sesuatu yang sudah jelas yang sekaligus berfungsi sebagai penjelas segala sesuatu, harus dijelaskan oleh selainnya?

 

2. Kelompok  mutakallimin  (para teolog) yang membahas persoalan doktrin keagamaan. Mereka juga cenderung menyisipkan ke dalam ayat-ayat Al-Quran sejumlah istilah yang  berasal  dari  prinsip-prinsip mereka sendiri. Kalangan ini tampak berpegang teguh pada ayat-ayat yang sekilas kelihatannya mendukung keyakinannya  dan  berupaya mengabaikan apa-apa yang secara gamblang bertentangan dengannya.  Benih perbedaan sektarian (mengikuti prasangka kebangsaan maupun kesukuan), disebarkan secara diam-diam dalam berbagai karya akademis ---namun kiranya  bukan tempat yang tepat untuk membahas hal ini meski cuma secara ringkas. Bagaimanapun, bentuk penafsiran semacam itu lebih tepat disebut dengan adaptasi.  (adaptation), ketimbang  upaya  untuk  menjelaskan  (explanation). Ada dua cara dalam menjelaskan sebuah ayat. Seseorang mungkin mengatakan: Apa yang Al-Quran katakan?. Atau mungkin juga: Bagaimana ayat ini dijelaskan sehingga bisa mengokohkan  keyakinan saya?. Perbedaan yang terdapat pada dua jenis pendekatan ini tampak sangat gamblang. Pada pertanyaan bentuk pertama, prosesnya dimulai dengan mengabaikan setiap gagasan yang sebelumnya terbentuk untuk kemudian beranjak ke arah yang  dikehendaki  Al-Quran. Sedangkan pada yang kedua tersirat pengertian bahwa   orang  tersebut  telah memutuskan apa-apa yang harus diyakini, sembari memilah-memilah ayat-ayat Al-Quran demi peneguhannya. Itu sama sekali tidak bisa disebut sebagai tafsir.

 

3.  Para  filosof  ternyata  juga  menderita sindrom yang sama. Mereka mencoba meneguhkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan prinsip-prinsip filsafat Yunani (yang terbagi dalam empat cabang: matematika, ilmu-ilmu alam, teologi, dan hikmah praktis). Jika satu atau  dua buah ayat jelas-jelas menentang segenap prinsip tersebut, maka penjelasan terhadap ayat tersebut segera saja diabaikan. Dengan cara ini, ayat-ayat yang memaparkan tema-tema  metafisika,  seperti  menjelaskan  terjadinya  penciptaan  langit  dan  bumi, kehidupan  setelah  mati  dan  problem kebangkitan, keberadaan surga dan neraka, dan sebaginya, didistorsi sedemikian rupa agar selaras dengan pernyataan dan pandangan diri para  filosof. Tak bisa  disangkal  lagi  bahwa filsafat tak lain hanya terdiri dari rangkaian terkaan (conjecture) ---tak dibebani keharusan melakukan tes atau didukung  bukti apapun.  Namun  sementara  itu, para filosof Muslim dalam hal ini tak pernah merasa sungkan untuk menerapkan pandangan-pandangannya terhadap  sistem  ruang  angkasa, orbit-orbit, unsur-unsur alam, dan subyek-subyek lain yang  berhubungan,  dan menyatakannya sebagai sebuah kebenaran mutlak  berdasarkan  penafsiran  mereka terhadap Al-Quran (tentunya bertolak dari perspektif filosofis khasnya --pen.).

 

 

4.  Pandangan  kaum  sufi  secara  tegas mengarah pada segenap aspek esoteris penciptaan. Dalam hal memandang dunia luar (fisik .ed.), mereka juga  tampak dididominasi  pandangan alam batin. Visi masa depannya menjadikan mereka tetap melihat  segala  sesuatu  dalam  perspektif  yang  sejati.  Kecintaan  terhadap  aspek  esoteris menjadikan pencarian makna ayat-ayat Al-Quran semata-mata bertolak dari tafsiran batin, tanpa secuilpun menghargai makna lahiriahnya. Fenomena  semacam  itu  telah mendorongnya  membingkai segenap penjelasan dalam makna-makna puitis dan menggunakan    sesuatu  untuk membuktikan sesuatu yang lain (alegoris). Kondisi yang dihadapi menjadi kian buruk tatkala ayat-ayat Al-Quran dijabarkan di atas pijakan nilai-nilai numerik dari kata-kata, di mana deret huruf dikategorikan  ke  dalam  huruf  .gelap. dan .terang.. Bukankah itu sama artinya dengan membangun menara di awang-awang? Secara  tegas  dikatakan,  Al-Quran tidaklah diturunkan hanya untuk membimbing kaum sufi.  Dengan  kata  lain, Al-Quran tidak mengalamatkan dirinya kepada segelintir orang yang mengetahui kandungan nilai-nilai  numerik dari deretan huruf-huruf (dengan semua cabang-cabangnya).  Demikian  pula  dengan  realitas  dirinya,  (Al-Quran)  tidaklah didasarkan pada kalkulasi astrologis.

Memang,  terdapat sejumlah hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw dan para Imam Ahlul Bait as yang mengatakan, umpamanya "Sesungguhnya  Al-Quran  memiliki makna lahir dan batin. Dan makna batinnya mempunyai makna lagi  sampai  tujuh tingkatan (atau menurut versi lain, tujuh puluh)." Akan tetapi, Nabi saw dan para Imam as menekankan bahwa jumlah makna lahirnya sama  banyak  dengan  makna  batinnya. Dengan kata lain, banyaknya perhatian pada pewahyuan, sebanyak itu pula perhatian pada penafsirannya. Berkenaan dengan ayat-ayat di awal surat  ketiga  Al-Quran  Ali  Imran (yang kelak memunculkan isu-isu tentang Tsaqalayn, Insya Allah), akan kami jelaskan bahwa  setiap upaya penafsiran (interpretasi) tidak akan membuahkan pengertian yang berlawanan dengan makna yang dikandung ayat tersebut. Kalau  memang  terjadi kekeliruan dalam menafsirkan, itu sebenarnya lebih tepat  disebut "misinterpretasi" atau salah  tafsir.  Pengertian  di  seputar  istilah  "interpretasi"  memang  kian  intens diperbincangkan di lingkungan masayarakat Muslim, lama setelah turunnya Al-Quran dan berkembangannya  Islam.  Padahal,  apa  yang  dimaksud  Al-Quran  dengan  istilah "interpretasi" bukanlah diarahkan untuk menggali pengertian dan signifikansi dari ayat-ayatnya .

 

 

Ke Arah Perkembangan Baru

 

Metode tafsir yang belakangan berkembang tak pelak telah memiliki karakteristik yang cukup modern. Berdasarkan dugaan kaum muslimin, sejumlah individu yang begitu memuja wacana ilmu-ilmu alam (yang didasarkan  kepada  pengamatan-pengamatan  dan pengujian)  dan  ilmu-ilmu sosial (yang berdasarkan induksi), telah mengikuti secara membabi  buta  teori-teori  yang  dirumuskan  kaum  materialis  atau  pragmatis  Eropa.  Di bawah pengaruh teori-teori anti-Islam tersebut, mereka menyatakan bahwa realitas agama tidak akan sanggup melawan pengetahuan ilmiah (dalam arti, seseorang seharusnya tidak percaya terhadap apapun kecuali yang bisa ditangkap oleh salah  satu  atau  lebih  dari kelima alat indra), yang beranggapan bahwa tak  satu  pun  keberadaan  yang  eksis melainkan materi beserta sarana-sarananya. Apa yang diklaim  agama  sebagai  ‘ada’, namun diklaim sains sebagai ‘tidak ada’ ---seperti Singgasana (Arasy), Kursi, Kitab, dan Pena--- harus ditafsirkan dengan cara tertentu yang sesuai dengan kaidah sains. Segenap hal yang masih tersamar dari pandangan saintifik, seperti kebangkitan dan lain-lain, maka dalam  setiap upaya menyelidikinya harus diterapkan prinsip-prinsip material. Dengan kata lain, pilar-pilar tempat berpijak seluruh hukum keagamaan samawi  ---umpama pewahyuan, wujud makhluk gaib (malaikat dan setan), kenabian, kerasulan, imamah, dan lain-lain--- yang semuanya berkenaan dengan  perkara-perkara  spiritual,  secara  esensial dikatakan kalangan tersebut sebagai bersifat material,  atau  disebut  sebagai  sarana perwujudan materi. Contohnya adalah masalah kenabian yang diartikan  sebagai manifestasi seorang jenius sosial yang piawai dalam mengelola hukum,  setelah sebelumnya  sukses  melakukan  kontemplasi, sehingga memiliki kesanggupan untuk membangun mayarakat yang baik dan progresif.

 

Lebih lanjut mereka berkata,  "Orang tak dapat lagi mempercayai isi hadis-hadis, karena  banyak  yang tidak otentik lagi. Hanya hadis-hadis yang sesuai dengan isi Kitab saja yang bisa dijadikan sandaran." Perihal upaya untuk menjelaskan  isi  Kitab  suci sendiri,  semestinya tidak dilakukan lewat sorotan filsafat dan teori yang sudah usang, lantaran  penjelasannya tidaklah didasarkan pada observasi dan eksperimen ---semua itu hanya  menjadi  sebentuk  latihan mental yang sepenuhnya telah dicemari sains modern.

Dengan demikian, satu-satunya cara yang paling baik dalam menjelaskan ayat Al-Quran adalah  lewat  bantuan ayat Al-Quran lainnya ---kecuali sebelumnya sains telah memberi penegasan yang sesuai dengan Al-Quran tentang sesuatu hal.

 

Pendek kata, demikianlah bentuk pemahaman yang  mereka  junjung  sepanjang berkenaan dengan metode eksplanasi seputar isi ayat Al-Quran,  yang  dalam  hal  ini dilandasi  oleh ketundukan totalnya pada pengujian dan observasi ilmiah. Pada dasarnya kami  sama  sekali  tidak  mempersoalkan  apakah  prinsip-prinsip  ilmiah  dan  diktum filosofis mereka dapat diterima sebagai fondasi  tafsir  Al-Quran.  Namun  masalahnya terletak  pada  keberatan terhadap sikap mereka yang amat menentang para mufasir terdahulu ---yang dikatakan bahwa produk tafsir mereka hanyalah sebuah adaptasi, bukan penjelasan.

Padahal kalau ditelaah lebih jauh, metode tafsir yang digunakan para mufasir yang dikecam tersebut, sama dengan metode yang digunakan para pengecamnya sendiri. Mereka  juga mengatakan  bahwa  Al-Quran  beserta  realitasnya  harus disesuaikan dengan teori-teori  ilmiah.  Jika  tidak,  lantas  mengapa  mereka  menegaskan  bahwa  teori-teori akademis  harus  dijadikan  satu-satunya  fondasi tafsir yang benar, yang dengannya tak satupun penyimpangan bakal terjadi? 

Metode ini jelas tidak mampu sedikit pun  memperbaiki  metode-metode terdahulu yang telah usang dan tercemar. 

 

Bila seluruh metode tafsir yang telah disebutkan di atas diperhatikan dengan jeli, akan  tampak  bahwa  tak satu pun yang tidak mengalami cacat sangat serius. Dengan demikian, mereka menanggung segenap konsekuensi akademis  atau  filosofis  atas tafsirnya terhadap makna-makna Al-Quran. Dalam hal ini, mereka telah menjadikan Al-Quran kosong dari gagasan-gagasan bermakna. Lewat cara ini, tugas penjelasan bergeser menjadi tugas pengadaptasian, di mana realitas Al-Quran hanya dianggap sebagai alegori (kiasan), sedangkan makna sesungguhnya dari Al-Quran justru dikorbankan di atas altar sesembahan yang bernama "interpretasi".

 

Sebagaimana dikutip di awal tulisan, Al-Quran menyebut dirinya sebagai "petunjuk bagi semua manusia(QS.3:96), "cahaya yang terang benderang" (QS.4:174), dan .penjelas  bagi  segala  sesuatu.  (QS.16:89). Sementara berdasarkan anggapan kalangan pemuja ilmu ---yang  nyata-nyata  berseberangan  dengan  pernyataan Al-Quran--- upaya menjelaskan isi Al-Quran harus dipandu  oleh  faktor-faktor  di  luar dirinya. Dengan kata lain,  penjelasan Al-Quran harus berada di bawah sorotan teori-teori yang berasal dari luar dirinya, serta harus dijelaskan bukan oleh dirinya sendiri melainkan oleh  sesuatu  yang  lain!  Apakah  "sesuatu  yang  lain"  itu?  Otoritas  seperti  apa  yang dimilikinya? Dan apabila terdapat perbedaan yang beraneka rupa dalam menjelaskan arti sebuah ayat ---dan pada kenyataannya memang banyak muncul  perbedaan  yang  sangat serius, mediator manakah yang seyogianya dirujuk oleh Al-Quran?

 

Sebenarnya  apa  akar penyebab terjadinya ragam perbedaan dalam upaya menjelaskan isi Al-Quran? Hal itu terjadi bukan lantaran adanya sejumlah perbedaan arti yang  dikandung  suatu kata, frasa, atau kalimat. Al-Quran telah diturunkan dalam versi bahasa Arab yang bersifat umum, di mana tak satupun orang Arab (atau non-Arab yang mengerti  bahasa  Arab)  mengalami  kesulitan dalam memahaminya. Juga, tak satu pun makna ayat (yang jumlahnya lebih dari enam ribu) itu yang membuat bingung, tak jelas, atau  sulit  dipahami.  Meskipun  dalam hal ini, tak ada satu kalimat Al-Quran pun yang menjamin  bahwa  pikiran  seseorang akan bebas dari penyimpangan ketika ia berupaya menggali  berbagai  pengertian  yang  terselip di balik teksnya. Bagaimanapun, tak bisa disangkal lagi bahwa Al-Quran merupakan pembicara yang paling fasih, bahkan menjadi salah satu intisari kefasihan yang meniscayakan  setiap  perbincangan  tentangnya  bebas dari kebingungan dan ketidakjelasan.

Bahkan  sejumlah  ayat  yang  terhitung  "ambigu"  (mutasyabihat),  pada  dasarnya tidak memiliki ambiguitas atau kesamaran makna.

Apapun bentuk ambiguitas  tersebut, yang  jelas  ayat  tersebut  tetap  memiliki  keterkaitan  partikular  atau  individual  terhadap suatu  kumpulan  makna  yang  dimaksud oleh Al-Quran. Pernyataan ini diakui membutuhkan penjelasan yang lebih detail.

 

Dalam kehidupan di dunia ini, kita dikelilingi oleh materi. Bahkan segenap alat indera  dan  fakultas jiwa kita saling berhubungan erat antara satu sama lain. Bentuk kedekatan dengan materi dan benda-benda lainnya tentu akan mempengaruhi cara  kita berpikir.  Ketika  kita mendengar  suatu  kata  atau  kalimat  diucapkan,  segera  saja  pikiran mencari  pengertian  materialnya.  Ketika mendengar, umpama, kata-kata kehidupan, pengetahuan, kekuatan, pendengaran, ucapan,  kehendak,  kesenangan,  kemarahan, penciptaan, dan tatanan, kita lantas mengarahkan pikiran pada segenap  manifestasi material dari pengertian-pengertian tersebut. Demikian juga, ketika mendengar kata-kata langit, bumi, kitab, pena, singgasana, kursi, malaikat dengan sayapnya, serta setan berikut golongan  dan  tentaranya, hal pertama yang merasuki benak kita adalah apa manifestasi material dari pengertian seluruh istilah tersebut.

 

Demikian pula tatkala kita mendengar kalimat "Allah menciptakan alam semesta", "Allah  melakukan  ini", "Allah mengetahuinya", "Allah menghendakinya", atau "kehendak-Nya", kita akan segera meletakan segenap  perbuatan  itu  dalam  bingkai "waktu".  Ini  terjadi  lantaran  adanya  kelaziman,  di  mana    kata  kerja  senantiasa terkait erat dengan tenses-nya.

Lewat cara yang sama, ketika mendengar ayat, ".dan  pada  sisi  Kami  ada tambahannya."  (50:35), "tentulah  Kami  membuatnya  dari  sisi  Kami"  (21:17), ".dan apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik." (62:11), "kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan."  (2:28), dan lain-lain, kita akan menyandarkan  konsep "tempat" pada kehadiran Ilahi, sebab dalam benak kita, kedua gagasan tersebut tak dapat dipisahkan satu sama lain. 

Juga pada saat membaca ayat-ayat, "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri."  (17:16), "Dan Kami hendak memberi karunia."  (28:5), "dan  Allah menghendaki kemudahan  bagimu."  (2:185), kita mengira bahwa "kehendak" yang dimaksud  memiliki  pengertian  yang  identik  dalam  setiap  kalimat,  sebagaimana  halnya perbuatan manusia.

 

Metode semacam ini telah menjadikan kita  sangat akrab dengan pengertian (yang seringkali bersifat material) dari setiap kata. Demikianlah  kenyataan  yang  memang berlangsung  secara  alamiah.

 

 Manusia telah menciptakan kata-kata demi memenuhi kebutuhan sosialnya yang berpijak di atas kerangka hubungan interpersonal yang saling menguntungkan.  Namun sebaliknya, masyarakat dibangun hanya untuk memuaskan segenap  kebutuhan  material manusia. Dengan demikian, sudah barang tentu, kata-kata hanya berfungsi sebagai simbol dari benda-benda, yang dengannya manusia dihubungkan dan yang membantunya dalam mencapai kemajuan material.

 

Akan tetapi kita seharusnya jangan melupakan bahwa ihwal yang bersifat material secara terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan, sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

Seseorang memberi nama lampu untuk sebuah wadah tertentu yang di dalamnya terdapat sumbu dan sedikit minyak untuk menyuplai sumbu sehingga menyala dan  menerangi  tempat  yang  gelap. Perabotan itu terus berubah, dan saat kini telah menjelma menjadi bola lampu listrik dengan berbagai jenis. Dengan mekanisme pergeseran semacam itu, kendati istilah "lampu" tetap digunakan sampai sekarang, akan tetapi bisa dipastikan bahwa dalam bentuknya yang sekarang, sebuah lampu modern tak lagi mengandungi satu pun komponen yang terdapat pada lampu orisinil.

 

Demikian  juga,  tak  mungkin  ada kemiripan antara apa-apa yang ada atau berlangsung dalam periode masa lampau dengan yang modern. Terlebih  dalam melakukan  perbandingan  antara  peralatan  yang dibuat atau digunakan di masa lampau dengan perlengkapan yang serba modern, umpama alat penimbang dan pengukur panas, aliran arus listrik, pengukur tekanan darah, dan sejenisnya. Dalam hal ini, perlengkapan yang  dibuat  dan  digunakan  pada  masa  lampau  jelas  tak  memiliki  arti  yang  sepadan dengan instrumen yang diproduksi pada zaman sekarang, kecuali tentunya hanya sekadar nama.

 

Penamaan  benda-benda  telah  mengalami pergeseran sedemikian rupa, sehingga menjadikan sesuatu produk, meski masih menggunakan  nama  asal-usulnya  (seperti contoh .lampu. tadi .ed.), namun tak satu pun komponen orisinilnya dapat ditemukan di dalamnya. Dalam hal ini, nama tersebut tidak mengalami perubahan.  Itu  menunjukkan, prinsip dasar yang membolehkan pengunaan nama suatu benda bukanlah mengacu pada bentuk benda tersebut, melainkan karena manfaat dan tujuan penggunaannya.   Seseorang,  yang  keberadaanya  terpenjara oleh kebiasaan dan lingkungan di sekelilingnya, acapkali keliru dalam melihat realitas. Inilah alasan utama  mengapa  Al-Hasyawiyyah dan orang-orang yang memiliki kepercayaan bahwa Tuhan memiliki tubuh (secara  fisik  .ed.), menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan berbagai frasanya dalam framework materi dan alam. Di mana dalam menyatakan dan meyakini hal itu, mereka sebenarnya terikat pada cara-cara dan kebiasaannya sendiri, dan bukan berdasarkan apa-apa yang secara lahiriah dikemukakan oleh Al-Quran dan hadis-hadis. Konsekuensinya, sebagaimana bukti-bukti semacam itu secara harfiah dapat kita jumpai dalam  Al-Quran, upaya untuk menjelaskan segenap ucapan Ilahi dengan  berdasar  pada  cara-cara  dan kebiasaan,  bakal  menimbulkan kebingungan dan penyimpangan yang cukup fatal.

 

Misalnya, firman Allah, "Tidak ada sesuatu pun yang  serupa  dengan  Dia."  (42:11), "Dia  mengetahui yang gaib dan yang nampak. Dia Mahabijaksana dan Maha Mengetahui."  (6:73), "Mahasuci  Allah dan apa yang mereka sifatkan itu (kepada-Nya)."  (23:91; 37:159). Ayat-ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa apa-apa yang menjadi kebiasaan kita,  tidak dapat diklaim begitu saja sebagai berasal dari Allah.

 

Kenyataan semacam ini seharusnya bisa menjadi bukti yang meyakinkan kalangan terpelajar sehingga dalam upayanya menjelaskan Al-Quran tidak lagi  menggunakan istilah-istilah umum atau  yang  sesuai  dengan  kebiasaan masyarakat. 

Dan  langkah maju yang mesti ditempuh untuk itu adalah dengan menggunakan argumen logis dan filosofis, sehingga  kekeliruan  yang mungkin terjadi dalam proses pengambilan kesimpulan dapat dielakan.

Dengan begitu, akan tercipta suatu titik pijak yang kokoh bagi nalar akademis dalam menjelaskan isi Al-Quran sekaligus dalam mengidentifikasi keberadaan orang atau benda sebagimana yang dimaksudkan oleh suatu kata dalam ayat tertentu.  Diskusi  ini pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua bentuk:

 

1.  Seorang  juru  tafsir membawa sebuah masalah, melihatnya dari sudut pandang akademis dan filosofis, menimbang berbagai pendapat pro maupun kontra mengenainya, dan dengan bantuan filsafat, sains, dan logika, membuat keputusan tentang jawaban jitu seperti apa yang harus diambil. Setelah itu,  ia  mengambil  sebuah  ayat  dan  mencocok-cocokkannya lewat berbagai cara dengan jawaban pilihannya yang dianggap paling benar. Para filosof dan teolog mungkin tidak akan keberatan untuk menggunakan metode seperti ini. Namun, sebagaimana telah dikemukakan di awal pembahasan, Al-Quran jelas-jelas akan menolaknya.

 

2.  Dalam menjelaskan suatu ayat, seorang juru tafsir menggunakan ayat lain yang relevan, kemudian merenungkan makna yang dikandung keduanya ---sembari melakukan perenungan intensif terhadap Al-Quran sendiri--- serta mengenal kekhususan dan  sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat tersebut.

 

Tak pelak, inilah satu-satunya metode tafsir yang benar. Allah berfirman, ".dan Kami telah turunkan Al-Kitab kepadamu  yang menjelaskan  segala sesuatu dengan terang benderang."  (16:89). Mungkinkah kitab semacam itu tidak memiliki kemampuan untuk  menjelaskan keberadaan dirinya sendiri ? Juga, Dia telah menerangkan Al-Quran  dengan  pernyataan,  "suatu  petunjuk  bagi manusia dan penjelas mengenai petunjuk-petunjuk itu  (antara  kebenaran  dan kesalahan)"/  (2:185). Dalam ayat lain, Dia berfirman"dan  Kami  telah  turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang."  (4:174). Dengan demikian, Al-Quran merupakan suatu petunjuk, penerang, pembeda benar dan salah, dan cahaya yang terang benderang,yang  semuanya  ditujukan untuk membimbing manusia ke jalan yang lurus serta membantu mereka dalam memenuhi segenap kebutuhannya.

Bisakah  dibayangkan jika kandungan Al-Quran tidak membimbing manusia ke jalan lurus, sementara itu telah menjadi kebutuhan yang paling penting? Kembali Allah berfirman"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami  tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”  (29:69). Adakah jihad yang lebih besar dari  usaha keras untuk memahami kitab-Nya? Adakah jalan yang lebih lurus selain dari Al-Quran? Ayat-ayat  yang mengandung pengertian ini sangat banyak jumlahnya, dan kita akan mendiskusikannya secara rinci dalam permulaan surat Ali Imran (Keluarga Imran). Allah mengajarkan Al-Quran kepada Nabi-Nya (Saww) dan mendaulatnya sebagai pengajar kitab (Al-Quran), "Ruhul Amin telah diturunkan ke dalam hatimu agar kamu menjadi pemberi peringatan, dalam bahasa Arab yang  jelas" (26:193-194); "dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkannya dengan  senang  hati"  (16:44);  ".seorang rasul.yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya  dan  menyucikan  mereka  serta mengajari mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah." (62:2).

 

Dan  untuk  meneruskan  perjuangan keislaman sepeninggalnya, Nabi (saww) pun telah menunjuk keluarganya sendiri sebagai penerus yang absah. Ini dijelaskan dari hadis yang diterima secara bulat:

"Aku tinggalkan kepada kalian dua hal  yang  amat  berharga;  sepanjang  kalian berpegang erat kepada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat sepeninggalku: Kitab Allah dan keluargaku, Ahlul Baitku; dan keduanya ini  tidak  pernah  terpisah  satu  sama  lain sampai mereka menjumpaiku di telaga."

 

Dalam dua ayat berikut, Allah telah menegaskan pernyataan Nabi (saww) tersebut bahwa  Ahlul  Baitnya  memiliki  pengetahuan  hakiki  atas  Kitab  Allah:  "Sesungguhnya Allah  berkehendak  membersihkan  kamu  dari segala kekejian, hai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya." (33:33); "Sesungguhnya Al-Quran ini bacaan yang sangat  mulia,  pada kitab yang terpelihara (lauh al-mahfuzh); tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan." (56:77-79).

 

Lebih  jauh,  Nabi (saww) dan para Imam (as) keturunannya senantiasa menggunakan metode kedua dalam upayanya menjelaskan kandungan  Al-Quran.  Ini terlihat  jelas  dalam  hadis-hadis  seputar  tafsir  yang  diriwayatkan  dari  mereka.  Dalam hadis-hadis  tersebut, orang tak akan menemukan sesuatu hal pun yang membuatnya merasa perlu dibantu oleh suatu teori akademis atau postulat filosofis dalam menjelaskan makna sebuah ayat.

 

Dalam salah satu khutbanya, Nabi (saww) berkata:

"Oleh karena itu, ketika kerusakan-kerusakan muncul membingungkanmu seperti gulungan malam yang gelap gulita, maka peganglah Al-Quran erat-erat. Sebab ia adalah wasilah yang wasilahnya akan diterima, suatu pendukung yang mulia. Siapapun yang menjaga  Al-Quran  di  hadapannya,  maka Al-Quran akan mengantarnya menuju surga. Siapapun  meninggalkannya  di  belakang,  ia akan menggiringnya ke neraka. Al-Quran merupakan  petunjuk  ke  arah  ke jalan yang terbaik. Al-Quran adalah kitab yang di dalamnya  terdapat  penjelasan,  kekhususan, dan ikhtisar.  Ia adalah (alam) yang menentukan, dan bukan gurauan. Di dalamnya terdapat keterangan yang bersifat nyata maupun esoteris. Pengertiannya yang tampak adalah kokoh, pengertian esoterisnya adalah pengetahuan. Penampakan lahiriahnya begitu anggun dan batiniahnya  begitu  dalam.  Ia memiliki  banyak  lapisan,  dan  masing-masing  darinya  memiliki  banyak  lapisan  lagi. Keajaibannya takkan berhenti. Keagungannya (yang tidak diduga) tak akan usang. Di dalamnya terdapat lampu petunjuk dan obor kearifan, dan memandu ke arah pengetahuan bagi siapa yang mengetahui sifat-sifatnya. Oleh karena  itu,  orang  harus  memperluas pandangannya,  membiarkan pandangannya mencapai sifat-sifatnya, sehingga mereka yang  berada  di  bawah  tekanan  bisa  meloloskan  diri.  Orang  yang  dijerat  kesulitan  akan memperoleh  kebebasan,  karena  perenungan adalah hidupnya hati seseorang yang menjadikannya bisa melihat, sebagaimana orang yang mempunyai pelita (dengan mudah) berjalan di kegelapan. Karenanya, kalian harus mencari /wasilah/ terbaik dengan penuh kesabaran”.

 

Mengenai keberadaan Al-Quran, Imam Ali (as) berkata dalam khutbahnya: “Satu bagian berhubungan dengan bagian yang  lain,  dan  satu  bagian membenarkan bagian lainnya”.

Metode semacam ini merupakan metode yang benar dan  cara yang  paling  tepat, yang digunakan para guru sejati Al-Quran dan pembimbing umat manusia menuju jalan Ilahi. Semoga rahmat Allah SWT senantiasa menyertai mereka semua. 

 

Catatan Akhir:

*Artikel  ini  merupakan  ringkasan  jilid  pertama  Al-Mizan  buah  tangan  Allamah  Thabathaba'I,  yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris oleh Sayyid Said Akhtar Ridhwi. Allamah Thabathaba'I diakui sebagai  salah  satu  ulama  besar  kontemporer,  dengan  bidang  spesialisasi  tafsir  Al-Quran,  irfan,  dan filsafat.

Allamah  Thabathaba'i  lahir  di  Tabriz  tahun  1903  dan  menerima  pendidikannya  di  Hauzah Ilmiyah  Najaf,  Irak.  Beliau  menguasai  berbagai  cabang  ilmu-ilmu  tradisional:  ilmu  naqli  dan  aqli.

Allamah  kembali  ke  Iran  pada  1934  dan  memulai  pengajarannya  di  Qum.  Secara  perlahan-lahan kepribadian magnetis dan karakteristik mistisnya menarik pelajar-pelajar yang cerdas seperti Muthahhari.

Pada waktu-waktu itulah beliau menyusun magnum opus-nya, Al-Mizan, suatu tafsir Al-Quran yang terdiri dari  20  jilid.  Dalam  tafsirnya  itu,  Allamah,  tidak  seperti pendahulunya, menggunakan suatu pendekatan baru dalam menafsirkan Al-Quran, yakni tafsir Al-Quran dengan Al-Quran (Tafsir Al-Quran bi Al-Quran).

Dalam  kata  pengantarnya,  Allamah  Thabathaba'i  melacak  asal-usul  dan  perkembangan  kajian Islam  dan  tafsir  Al-Quran.  Dia  menyorot  berbagai  metode  penafsiran  Al-Quran  serta  kekurangannya masing-masing.  Allamah  berpendapat  bahwa  semua  metode  tafsir  tersebut mengalami  cacat-cacat  yang sangat  serius,  yakni  lantaran  terbebani  oleh  asumsi-asumsi  akademis  atau  argumen  filosofis  tentang makna-makna  Al-Quran.  Mereka  memaksakan  pandangan  Al-Quran  agar  sesuai  dengan  pandangan-pandangannya  yang  terlihat  berlebih-lebihan.  Akhirnya,  tafsir mereka  berubah  dari  penjelasan menjadi adaptasi.(penyaduran).

Kami  berharap dengan diperkenalkannya Al-Mizan karya  Allamah Thabathaba'I, pembaca bisa memperkaya  kajian  ihwal  tafsir  Al-Quran. Metode  tafsir  Al-Quran dengan Al-Quran merupakan sesuatu yang  unik  yang  dikemukakan  orang  yang  arif,  berilmu,  dan  mempunyai  kedudukan  tinggi,  yang  telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menyusun karya besar ini.

Tentu  saja,  Al-Mizan  bukanlah  karya  satu-satunya.  Beliau  tergolong  sangat  produktif  dengan menulis berbagai topik di antaranya antologi Islam Syi'ah, irfan, dan lain-lain. Karya-karya beliau yang sudah  diterjemahkan  ke  dalam  bahasa  Indonesia  antara  lain:  Islam  Syi'ah  (Grafiti  Pers),  Inilah  Islam

(Pustaka Hidayah), Menapak Jalan  Spiritual  (Pustaka Hidayah),  Tafsir  Ayat-ayat Kepemimpinan, Tafsir Ayat-ayat Ruh dan Alam Barzakh, Tafsir Al-Fatihah (tiga yang terakhir disebut merupakan cuplikan dari tafsir Al-Mizan), dan lain-lain.[]

 

**(as) merupakan singkatan dari frasa  Arab  yakni  /.alahi(ha)himus-salam/  (salam atasnya/mereka).

 

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | MusrinSalila Template | Galeri Tinangkung
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Galeri Tinangkung - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MusrinSalila Template