Ilmu tafsir Al-Quran yang berorientasi untuk menjelaskan makna-makna, maksud-maksud, serta mengungkapkan signifikansi Al-Quran, merupakan salah satu pencarian akademis paling awal dalam peradaban Islam. Penafsiran Al-Quran dimulai sejak ia diwahyukan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: .Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.. (QS 2 : 151).
Secara historis, karya tafsir Al-Quran pertama kali dibuat sejumlah sahabat Nabi saw, seperti Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Ubayy bin Ka’ab, dan lain sebagainya (kami menggunakan kata .sahabat. kepada individu-individu selain Imam Ali (as)(**), karena beliau dan para imam lain dari keturunannya memiliki kekhususan tak tertandingi, kedudukan yang tak sejajar, yang akan dijelaskan di tempat lain). Penafsiran terhadap teks ayat yang dilakukan pada periode tersebut pada dasarnya terbatas pada aspek-aspek harfiah dan tempat ia diturunkan, yang terkadang dilakukan dengan bantuan ayat lain. Jika ayat tersebut menuturkan tentang peristiwa sejarah atau realitas penciptaan maupun kebangkitan, dan seterusnya, maka dalam hal ini tak jarang digunakan sejumlah hadis Nabi saw agar menjadikan arti ayat yang dimaksud menjadi terang dan gamblang.
Corak penafsiran yang sama agaknya masih kental mewarnai kalangan tabi’in (murid para sahabat), seperti Mujahid, Qatadah, Ibn Abi Laila, Ash-Sha.bi, As-Suddi, dan yang lainnya, yang hidup di abad pertama Hijrah. Mereka masih menggunakan metode tafsir dengan tekanan yang kuat pada penggunaan hadis-hadis, sehingga menjadikannya rentan terhadap pemalsuan dan interpolasi kaum Yahudi. Mereka mengutip banyak hadis dalam upaya menjelaskan ayat-ayat yang memuat rangkaian kisah bangsa sebelumnya, atau yang menjelaskan kejadian tertentu, misalnya penciptaan surga dan neraka, permulaan sungai dan gunung, Iram (kota suku bangsa ‘Ad), Shaddad (apa yang dinamakan kesalahan para nabi), penghapusan kitab-kitab dan yang sejenisnya. Beberapa hal yang sama bahkan dapat dijumpai dalam karya tafsir produk para sahabat.
Selama periode kekuasaan para khalifah, tatkala negara-negara tetangga telah ditaklukkan, kaum muslimin mengadakan hubungan dengan orang-orang yang ditaklukkan. Orang-orang tersebut pun dilibatkan dalam berbagai majelis diskusi keagamaan dengan para ulama dari berbagai agama dan aliran. Ini lantas memunculkan perdebatan-perdebatan teologis, yang dikenal dalam Islam sebagai kalam. Selain pula filsafat Yunani mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Proses semacam itu bermula pada akhir abad pertama Hijrah (pemerintahan Abbasiyyah). Dan sejak itulah, nuansa yang begitu dinamis dan kondusif bagi tumbuh suburnya berbagai argumen intelektual dan filosofis di kalangan intelegensia Muslimin tercipta secara mengesankan.
Pada saat yang sama, tasawwuf (sufisme, mistisisme) memunculkan sejumlah tokoh di masyarakat; di mana banyak orang kemudian begitu tertarik pada tasawwuf lantaran model penghayatan religius semacam ini memberi janji pembebasan dan pencerahan pikiran guna memahami realitas-realitas keagamaan melalui disiplin-diri yang sungguh-sungguh dan perilaku asketik yang ketat ---alih-alih melibatkan mereka dalam polemik-polemik verbal dan argumen-argumen intelektual.
Pada masa berikutnya, muncul sebuah kelompok yang menyebut dirinya sebagai Muhaddits (ahli hadis), yang berpendapat bahwa tugas penyelamatan amat tergantung pada keimanan terhadap makna-makna yang gamblang dari Al-Quran dan hadis, tanpa perlu dilakukan sebuah riset akademis. Sepenuhnya mereka diperbolehkan menelaah semata-mata pada nilai-nilai literer dari kalimat atau kata.
Dengan demikian, sejak abad kedua Hijrah, entitas masyarakat Muslim telah mengalami perkembangan yang begitu jauh, sekaligus terpecah ke dalam empat kelompok : Mutakallimin (kaum teolog), filosof, sufi, dan akhbari (ahli hadis). Ketika itu seolah ada suatu kerancuan intelektual pada diri umat dan kaum Muslim, dan pada umumnya, mereka telah kehilangan tujuan. Hanya satu hal yang masih mengikat mereka semua yaitu: La ilaha illallah Muhammadan Rasulullah (Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah). Dalam segala hal, mereka memang berbeda antara satu sama lain. Misal, munculnya perselisihan di seputar pemaknaan nama dan sifat Allah berikut perbuatan-Nya; konflik tentang realitas langit dan bumi serta apa yang di atas dan di dalamnya; pendapat-pendapat yang berseberangan ihwal manusia sebagai alat yang sama sekali tidak berdaya dalam genggaman Ilahi, ataukah ia justru bertindak sebagai agen bebas. Juga terdapat perdebatan seru seputar konsep pahala dan siksa. Argumen-argumen yang dilemparkan mirip sebuah bola, dari satu sisi ke sisi lainnya, berkaitan dengan realitas kematian, barzakh (masa penantian antara kematian dan Hari Kebangkitan); kebangkitan, surga dan neraka. Pendeknya, tak ada sebuah subyek tunggal, yang relevan dengan problem keagamaan, dibiarkan tanpa sanggahan sedikit pun oleh satu atau beberapa jenis pandangan yang lain. Perbedaan semacam ini tentunya muncul dari adanya perbedaan penafsiran terhadap Al-Quran. Setiap kelompok ingin menyokong pandangan dan pendapatnya dari Al-Quran. Dan tafsir memiliki keharusan untuk mendukung tujuan ini.
1. Dalam upaya menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Quran, kalangan akhbariyyah (ahli hadis) menggunakan sejumlah hadis yang berasal dari para sahabat dan murid-muridnya. Mereka kemudian melanjutkannya sejauh mungkin dengan menggunakan sejumlah metode, hingga pada satu kesempatan merasa terkecoh oleh salah satu hadis (memberikan makna yang tidak swa-bukti), sementara tidak ditemukan pula hadis lain yang isinya sama, mereka pun lantas menghentikan upayanya. Mereka mengira bahwa itulah satu-satunya metode tafsir yang paling aman, sebagaimana difirmankan Allah: ..dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : .Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.. (QS. 3:7).
Namun, ternyata mereka keliru. Allah belum pernah mengatakan dalam kitab-Nya bahwa bukti rasional tidaklah valid. Bagaimana Dia dapat mengatakan demikian kalau otentisitas kitab itu sendiri dibenarkan berdasarkan bukti rasional? Di pihak lain, Dia juga tak pernah berkata bahwa kata-kata para sahabat dan para muridnya merupakan satu-satunya bukti keagamaan yang paling shahih. Bagaimana mungkin seperti itu, ketika pendapat-pendapat yang mereka lontarkan sendiri menampakkan ketidakcocokan yang begitu menonjol antara satu sama lain? Pendek kata, Allah tidak menyeru kita untuk menempuh cara berpikir yang sesat (sophistry), yakni cara berpikir yang menerima, mengikuti, serta menganggap penting berbagai pendapat yang bersifat kontradiktif. Alih-alih untuk itu, Dia malah mengajak kita untuk merenungkan ayat-ayat Al-Quran demi melenyapkan keragu-raguan tentangnya. Allah telah menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk, dan menjadikannya cahaya dan penjelas segala sesuatu. Kalau demikian, apakah dalam kapasitas dirinya sebagai cahaya yang berfungsi sebagai penerang, Al-Quran perlu diterangi oleh cahaya yang lain? Dan sebagai sebuah petunjuk, harus ia dibantu oleh petunjuk yang lain? Logiskah sesuatu yang sudah jelas yang sekaligus berfungsi sebagai penjelas segala sesuatu, harus dijelaskan oleh selainnya?
2. Kelompok mutakallimin (para teolog) yang membahas persoalan doktrin keagamaan. Mereka juga cenderung menyisipkan ke dalam ayat-ayat Al-Quran sejumlah istilah yang berasal dari prinsip-prinsip mereka sendiri. Kalangan ini tampak berpegang teguh pada ayat-ayat yang sekilas kelihatannya mendukung keyakinannya dan berupaya mengabaikan apa-apa yang secara gamblang bertentangan dengannya. Benih perbedaan sektarian (mengikuti prasangka kebangsaan maupun kesukuan), disebarkan secara diam-diam dalam berbagai karya akademis ---namun kiranya bukan tempat yang tepat untuk membahas hal ini meski cuma secara ringkas. Bagaimanapun, bentuk penafsiran semacam itu lebih tepat disebut dengan adaptasi. (adaptation), ketimbang upaya untuk menjelaskan (explanation). Ada dua cara dalam menjelaskan sebuah ayat. Seseorang mungkin mengatakan: Apa yang Al-Quran katakan?. Atau mungkin juga: Bagaimana ayat ini dijelaskan sehingga bisa mengokohkan keyakinan saya?. Perbedaan yang terdapat pada dua jenis pendekatan ini tampak sangat gamblang. Pada pertanyaan bentuk pertama, prosesnya dimulai dengan mengabaikan setiap gagasan yang sebelumnya terbentuk untuk kemudian beranjak ke arah yang dikehendaki Al-Quran. Sedangkan pada yang kedua tersirat pengertian bahwa orang tersebut telah memutuskan apa-apa yang harus diyakini, sembari memilah-memilah ayat-ayat Al-Quran demi peneguhannya. Itu sama sekali tidak bisa disebut sebagai tafsir.
3. Para filosof ternyata juga menderita sindrom yang sama. Mereka mencoba meneguhkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan prinsip-prinsip filsafat Yunani (yang terbagi dalam empat cabang: matematika, ilmu-ilmu alam, teologi, dan hikmah praktis). Jika satu atau dua buah ayat jelas-jelas menentang segenap prinsip tersebut, maka penjelasan terhadap ayat tersebut segera saja diabaikan. Dengan cara ini, ayat-ayat yang memaparkan tema-tema metafisika, seperti menjelaskan terjadinya penciptaan langit dan bumi, kehidupan setelah mati dan problem kebangkitan, keberadaan surga dan neraka, dan sebaginya, didistorsi sedemikian rupa agar selaras dengan pernyataan dan pandangan diri para filosof. Tak bisa disangkal lagi bahwa filsafat tak lain hanya terdiri dari rangkaian terkaan (conjecture) ---tak dibebani keharusan melakukan tes atau didukung bukti apapun. Namun sementara itu, para filosof Muslim dalam hal ini tak pernah merasa sungkan untuk menerapkan pandangan-pandangannya terhadap sistem ruang angkasa, orbit-orbit, unsur-unsur alam, dan subyek-subyek lain yang berhubungan, dan menyatakannya sebagai sebuah kebenaran mutlak berdasarkan penafsiran mereka terhadap Al-Quran (tentunya bertolak dari perspektif filosofis khasnya --pen.).
4. Pandangan kaum sufi secara tegas mengarah pada segenap aspek esoteris penciptaan. Dalam hal memandang dunia luar (fisik .ed.), mereka juga tampak dididominasi pandangan alam batin. Visi masa depannya menjadikan mereka tetap melihat segala sesuatu dalam perspektif yang sejati. Kecintaan terhadap aspek esoteris menjadikan pencarian makna ayat-ayat Al-Quran semata-mata bertolak dari tafsiran batin, tanpa secuilpun menghargai makna lahiriahnya. Fenomena semacam itu telah mendorongnya membingkai segenap penjelasan dalam makna-makna puitis dan menggunakan sesuatu untuk membuktikan sesuatu yang lain (alegoris). Kondisi yang dihadapi menjadi kian buruk tatkala ayat-ayat Al-Quran dijabarkan di atas pijakan nilai-nilai numerik dari kata-kata, di mana deret huruf dikategorikan ke dalam huruf .gelap. dan .terang.. Bukankah itu sama artinya dengan membangun menara di awang-awang? Secara tegas dikatakan, Al-Quran tidaklah diturunkan hanya untuk membimbing kaum sufi. Dengan kata lain, Al-Quran tidak mengalamatkan dirinya kepada segelintir orang yang mengetahui kandungan nilai-nilai numerik dari deretan huruf-huruf (dengan semua cabang-cabangnya). Demikian pula dengan realitas dirinya, (Al-Quran) tidaklah didasarkan pada kalkulasi astrologis.
Memang, terdapat sejumlah hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw dan para Imam Ahlul Bait as yang mengatakan, umpamanya "Sesungguhnya Al-Quran memiliki makna lahir dan batin. Dan makna batinnya mempunyai makna lagi sampai tujuh tingkatan (atau menurut versi lain, tujuh puluh)." Akan tetapi, Nabi saw dan para Imam as menekankan bahwa jumlah makna lahirnya sama banyak dengan makna batinnya. Dengan kata lain, banyaknya perhatian pada pewahyuan, sebanyak itu pula perhatian pada penafsirannya. Berkenaan dengan ayat-ayat di awal surat ketiga Al-Quran Ali Imran (yang kelak memunculkan isu-isu tentang Tsaqalayn, Insya Allah), akan kami jelaskan bahwa setiap upaya penafsiran (interpretasi) tidak akan membuahkan pengertian yang berlawanan dengan makna yang dikandung ayat tersebut. Kalau memang terjadi kekeliruan dalam menafsirkan, itu sebenarnya lebih tepat disebut "misinterpretasi" atau salah tafsir. Pengertian di seputar istilah "interpretasi" memang kian intens diperbincangkan di lingkungan masayarakat Muslim, lama setelah turunnya Al-Quran dan berkembangannya Islam. Padahal, apa yang dimaksud Al-Quran dengan istilah "interpretasi" bukanlah diarahkan untuk menggali pengertian dan signifikansi dari ayat-ayatnya .
Ke Arah Perkembangan Baru
Metode tafsir yang belakangan berkembang tak pelak telah memiliki karakteristik yang cukup modern. Berdasarkan dugaan kaum muslimin, sejumlah individu yang begitu memuja wacana ilmu-ilmu alam (yang didasarkan kepada pengamatan-pengamatan dan pengujian) dan ilmu-ilmu sosial (yang berdasarkan induksi), telah mengikuti secara membabi buta teori-teori yang dirumuskan kaum materialis atau pragmatis Eropa. Di bawah pengaruh teori-teori anti-Islam tersebut, mereka menyatakan bahwa realitas agama tidak akan sanggup melawan pengetahuan ilmiah (dalam arti, seseorang seharusnya tidak percaya terhadap apapun kecuali yang bisa ditangkap oleh salah satu atau lebih dari kelima alat indra), yang beranggapan bahwa tak satu pun keberadaan yang eksis melainkan materi beserta sarana-sarananya. Apa yang diklaim agama sebagai ‘ada’, namun diklaim sains sebagai ‘tidak ada’ ---seperti Singgasana (Arasy), Kursi, Kitab, dan Pena--- harus ditafsirkan dengan cara tertentu yang sesuai dengan kaidah sains. Segenap hal yang masih tersamar dari pandangan saintifik, seperti kebangkitan dan lain-lain, maka dalam setiap upaya menyelidikinya harus diterapkan prinsip-prinsip material. Dengan kata lain, pilar-pilar tempat berpijak seluruh hukum keagamaan samawi ---umpama pewahyuan, wujud makhluk gaib (malaikat dan setan), kenabian, kerasulan, imamah, dan lain-lain--- yang semuanya berkenaan dengan perkara-perkara spiritual, secara esensial dikatakan kalangan tersebut sebagai bersifat material, atau disebut sebagai sarana perwujudan materi. Contohnya adalah masalah kenabian yang diartikan sebagai manifestasi seorang jenius sosial yang piawai dalam mengelola hukum, setelah sebelumnya sukses melakukan kontemplasi, sehingga memiliki kesanggupan untuk membangun mayarakat yang baik dan progresif.
Lebih lanjut mereka berkata, "Orang tak dapat lagi mempercayai isi hadis-hadis, karena banyak yang tidak otentik lagi. Hanya hadis-hadis yang sesuai dengan isi Kitab saja yang bisa dijadikan sandaran." Perihal upaya untuk menjelaskan isi Kitab suci sendiri, semestinya tidak dilakukan lewat sorotan filsafat dan teori yang sudah usang, lantaran penjelasannya tidaklah didasarkan pada observasi dan eksperimen ---semua itu hanya menjadi sebentuk latihan mental yang sepenuhnya telah dicemari sains modern.
Dengan demikian, satu-satunya cara yang paling baik dalam menjelaskan ayat Al-Quran adalah lewat bantuan ayat Al-Quran lainnya ---kecuali sebelumnya sains telah memberi penegasan yang sesuai dengan Al-Quran tentang sesuatu hal.
Pendek kata, demikianlah bentuk pemahaman yang mereka junjung sepanjang berkenaan dengan metode eksplanasi seputar isi ayat Al-Quran, yang dalam hal ini dilandasi oleh ketundukan totalnya pada pengujian dan observasi ilmiah. Pada dasarnya kami sama sekali tidak mempersoalkan apakah prinsip-prinsip ilmiah dan diktum filosofis mereka dapat diterima sebagai fondasi tafsir Al-Quran. Namun masalahnya terletak pada keberatan terhadap sikap mereka yang amat menentang para mufasir terdahulu ---yang dikatakan bahwa produk tafsir mereka hanyalah sebuah adaptasi, bukan penjelasan.
Padahal kalau ditelaah lebih jauh, metode tafsir yang digunakan para mufasir yang dikecam tersebut, sama dengan metode yang digunakan para pengecamnya sendiri. Mereka juga mengatakan bahwa Al-Quran beserta realitasnya harus disesuaikan dengan teori-teori ilmiah. Jika tidak, lantas mengapa mereka menegaskan bahwa teori-teori akademis harus dijadikan satu-satunya fondasi tafsir yang benar, yang dengannya tak satupun penyimpangan bakal terjadi?
Metode ini jelas tidak mampu sedikit pun memperbaiki metode-metode terdahulu yang telah usang dan tercemar.
Bila seluruh metode tafsir yang telah disebutkan di atas diperhatikan dengan jeli, akan tampak bahwa tak satu pun yang tidak mengalami cacat sangat serius. Dengan demikian, mereka menanggung segenap konsekuensi akademis atau filosofis atas tafsirnya terhadap makna-makna Al-Quran. Dalam hal ini, mereka telah menjadikan Al-Quran kosong dari gagasan-gagasan bermakna. Lewat cara ini, tugas penjelasan bergeser menjadi tugas pengadaptasian, di mana realitas Al-Quran hanya dianggap sebagai alegori (kiasan), sedangkan makna sesungguhnya dari Al-Quran justru dikorbankan di atas altar sesembahan yang bernama "interpretasi".
Sebagaimana dikutip di awal tulisan, Al-Quran menyebut dirinya sebagai "petunjuk bagi semua manusia" (QS.3:96), "cahaya yang terang benderang" (QS.4:174), dan .penjelas bagi segala sesuatu. (QS.16:89). Sementara berdasarkan anggapan kalangan pemuja ilmu ---yang nyata-nyata berseberangan dengan pernyataan Al-Quran--- upaya menjelaskan isi Al-Quran harus dipandu oleh faktor-faktor di luar dirinya. Dengan kata lain, penjelasan Al-Quran harus berada di bawah sorotan teori-teori yang berasal dari luar dirinya, serta harus dijelaskan bukan oleh dirinya sendiri melainkan oleh sesuatu yang lain! Apakah "sesuatu yang lain" itu? Otoritas seperti apa yang dimilikinya? Dan apabila terdapat perbedaan yang beraneka rupa dalam menjelaskan arti sebuah ayat ---dan pada kenyataannya memang banyak muncul perbedaan yang sangat serius, mediator manakah yang seyogianya dirujuk oleh Al-Quran?
Sebenarnya apa akar penyebab terjadinya ragam perbedaan dalam upaya menjelaskan isi Al-Quran? Hal itu terjadi bukan lantaran adanya sejumlah perbedaan arti yang dikandung suatu kata, frasa, atau kalimat. Al-Quran telah diturunkan dalam versi bahasa Arab yang bersifat umum, di mana tak satupun orang Arab (atau non-Arab yang mengerti bahasa Arab) mengalami kesulitan dalam memahaminya. Juga, tak satu pun makna ayat (yang jumlahnya lebih dari enam ribu) itu yang membuat bingung, tak jelas, atau sulit dipahami. Meskipun dalam hal ini, tak ada satu kalimat Al-Quran pun yang menjamin bahwa pikiran seseorang akan bebas dari penyimpangan ketika ia berupaya menggali berbagai pengertian yang terselip di balik teksnya. Bagaimanapun, tak bisa disangkal lagi bahwa Al-Quran merupakan pembicara yang paling fasih, bahkan menjadi salah satu intisari kefasihan yang meniscayakan setiap perbincangan tentangnya bebas dari kebingungan dan ketidakjelasan.
Bahkan sejumlah ayat yang terhitung "ambigu" (mutasyabihat), pada dasarnya tidak memiliki ambiguitas atau kesamaran makna.
Apapun bentuk ambiguitas tersebut, yang jelas ayat tersebut tetap memiliki keterkaitan partikular atau individual terhadap suatu kumpulan makna yang dimaksud oleh Al-Quran. Pernyataan ini diakui membutuhkan penjelasan yang lebih detail.
Dalam kehidupan di dunia ini, kita dikelilingi oleh materi. Bahkan segenap alat indera dan fakultas jiwa kita saling berhubungan erat antara satu sama lain. Bentuk kedekatan dengan materi dan benda-benda lainnya tentu akan mempengaruhi cara kita berpikir. Ketika kita mendengar suatu kata atau kalimat diucapkan, segera saja pikiran mencari pengertian materialnya. Ketika mendengar, umpama, kata-kata kehidupan, pengetahuan, kekuatan, pendengaran, ucapan, kehendak, kesenangan, kemarahan, penciptaan, dan tatanan, kita lantas mengarahkan pikiran pada segenap manifestasi material dari pengertian-pengertian tersebut. Demikian juga, ketika mendengar kata-kata langit, bumi, kitab, pena, singgasana, kursi, malaikat dengan sayapnya, serta setan berikut golongan dan tentaranya, hal pertama yang merasuki benak kita adalah apa manifestasi material dari pengertian seluruh istilah tersebut.
Demikian pula tatkala kita mendengar kalimat "Allah menciptakan alam semesta", "Allah melakukan ini", "Allah mengetahuinya", "Allah menghendakinya", atau "kehendak-Nya", kita akan segera meletakan segenap perbuatan itu dalam bingkai "waktu". Ini terjadi lantaran adanya kelaziman, di mana kata kerja senantiasa terkait erat dengan tenses-nya.
Lewat cara yang sama, ketika mendengar ayat, ".dan pada sisi Kami ada tambahannya." (50:35), "tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami" (21:17), ".dan apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik." (62:11), "kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (2:28), dan lain-lain, kita akan menyandarkan konsep "tempat" pada kehadiran Ilahi, sebab dalam benak kita, kedua gagasan tersebut tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Juga pada saat membaca ayat-ayat, "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri." (17:16), "Dan Kami hendak memberi karunia." (28:5), "dan Allah menghendaki kemudahan bagimu." (2:185), kita mengira bahwa "kehendak" yang dimaksud memiliki pengertian yang identik dalam setiap kalimat, sebagaimana halnya perbuatan manusia.
Metode semacam ini telah menjadikan kita sangat akrab dengan pengertian (yang seringkali bersifat material) dari setiap kata. Demikianlah kenyataan yang memang berlangsung secara alamiah.
Manusia telah menciptakan kata-kata demi memenuhi kebutuhan sosialnya yang berpijak di atas kerangka hubungan interpersonal yang saling menguntungkan. Namun sebaliknya, masyarakat dibangun hanya untuk memuaskan segenap kebutuhan material manusia. Dengan demikian, sudah barang tentu, kata-kata hanya berfungsi sebagai simbol dari benda-benda, yang dengannya manusia dihubungkan dan yang membantunya dalam mencapai kemajuan material.
Akan tetapi kita seharusnya jangan melupakan bahwa ihwal yang bersifat material secara terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan, sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Seseorang memberi nama lampu untuk sebuah wadah tertentu yang di dalamnya terdapat sumbu dan sedikit minyak untuk menyuplai sumbu sehingga menyala dan menerangi tempat yang gelap. Perabotan itu terus berubah, dan saat kini telah menjelma menjadi bola lampu listrik dengan berbagai jenis. Dengan mekanisme pergeseran semacam itu, kendati istilah "lampu" tetap digunakan sampai sekarang, akan tetapi bisa dipastikan bahwa dalam bentuknya yang sekarang, sebuah lampu modern tak lagi mengandungi satu pun komponen yang terdapat pada lampu orisinil.
Demikian juga, tak mungkin ada kemiripan antara apa-apa yang ada atau berlangsung dalam periode masa lampau dengan yang modern. Terlebih dalam melakukan perbandingan antara peralatan yang dibuat atau digunakan di masa lampau dengan perlengkapan yang serba modern, umpama alat penimbang dan pengukur panas, aliran arus listrik, pengukur tekanan darah, dan sejenisnya. Dalam hal ini, perlengkapan yang dibuat dan digunakan pada masa lampau jelas tak memiliki arti yang sepadan dengan instrumen yang diproduksi pada zaman sekarang, kecuali tentunya hanya sekadar nama.
Penamaan benda-benda telah mengalami pergeseran sedemikian rupa, sehingga menjadikan sesuatu produk, meski masih menggunakan nama asal-usulnya (seperti contoh .lampu. tadi .ed.), namun tak satu pun komponen orisinilnya dapat ditemukan di dalamnya. Dalam hal ini, nama tersebut tidak mengalami perubahan. Itu menunjukkan, prinsip dasar yang membolehkan pengunaan nama suatu benda bukanlah mengacu pada bentuk benda tersebut, melainkan karena manfaat dan tujuan penggunaannya. Seseorang, yang keberadaanya terpenjara oleh kebiasaan dan lingkungan di sekelilingnya, acapkali keliru dalam melihat realitas. Inilah alasan utama mengapa Al-Hasyawiyyah dan orang-orang yang memiliki kepercayaan bahwa Tuhan memiliki tubuh (secara fisik .ed.), menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan berbagai frasanya dalam framework materi dan alam. Di mana dalam menyatakan dan meyakini hal itu, mereka sebenarnya terikat pada cara-cara dan kebiasaannya sendiri, dan bukan berdasarkan apa-apa yang secara lahiriah dikemukakan oleh Al-Quran dan hadis-hadis. Konsekuensinya, sebagaimana bukti-bukti semacam itu secara harfiah dapat kita jumpai dalam Al-Quran, upaya untuk menjelaskan segenap ucapan Ilahi dengan berdasar pada cara-cara dan kebiasaan, bakal menimbulkan kebingungan dan penyimpangan yang cukup fatal.
Misalnya, firman Allah, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia." (42:11), "Dia mengetahui yang gaib dan yang nampak. Dia Mahabijaksana dan Maha Mengetahui." (6:73), "Mahasuci Allah dan apa yang mereka sifatkan itu (kepada-Nya)." (23:91; 37:159). Ayat-ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa apa-apa yang menjadi kebiasaan kita, tidak dapat diklaim begitu saja sebagai berasal dari Allah.
Kenyataan semacam ini seharusnya bisa menjadi bukti yang meyakinkan kalangan terpelajar sehingga dalam upayanya menjelaskan Al-Quran tidak lagi menggunakan istilah-istilah umum atau yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat.
Dan langkah maju yang mesti ditempuh untuk itu adalah dengan menggunakan argumen logis dan filosofis, sehingga kekeliruan yang mungkin terjadi dalam proses pengambilan kesimpulan dapat dielakan.
Dengan begitu, akan tercipta suatu titik pijak yang kokoh bagi nalar akademis dalam menjelaskan isi Al-Quran sekaligus dalam mengidentifikasi keberadaan orang atau benda sebagimana yang dimaksudkan oleh suatu kata dalam ayat tertentu. Diskusi ini pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua bentuk:
1. Seorang juru tafsir membawa sebuah masalah, melihatnya dari sudut pandang akademis dan filosofis, menimbang berbagai pendapat pro maupun kontra mengenainya, dan dengan bantuan filsafat, sains, dan logika, membuat keputusan tentang jawaban jitu seperti apa yang harus diambil. Setelah itu, ia mengambil sebuah ayat dan mencocok-cocokkannya lewat berbagai cara dengan jawaban pilihannya yang dianggap paling benar. Para filosof dan teolog mungkin tidak akan keberatan untuk menggunakan metode seperti ini. Namun, sebagaimana telah dikemukakan di awal pembahasan, Al-Quran jelas-jelas akan menolaknya.
2. Dalam menjelaskan suatu ayat, seorang juru tafsir menggunakan ayat lain yang relevan, kemudian merenungkan makna yang dikandung keduanya ---sembari melakukan perenungan intensif terhadap Al-Quran sendiri--- serta mengenal kekhususan dan sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat tersebut.
Tak pelak, inilah satu-satunya metode tafsir yang benar. Allah berfirman, ".dan Kami telah turunkan Al-Kitab kepadamu yang menjelaskan segala sesuatu dengan terang benderang." (16:89). Mungkinkah kitab semacam itu tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan keberadaan dirinya sendiri ? Juga, Dia telah menerangkan Al-Quran dengan pernyataan, "suatu petunjuk bagi manusia dan penjelas mengenai petunjuk-petunjuk itu (antara kebenaran dan kesalahan)"/ (2:185). Dalam ayat lain, Dia berfirman, "dan Kami telah turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang." (4:174). Dengan demikian, Al-Quran merupakan suatu petunjuk, penerang, pembeda benar dan salah, dan cahaya yang terang benderang,yang semuanya ditujukan untuk membimbing manusia ke jalan yang lurus serta membantu mereka dalam memenuhi segenap kebutuhannya.
Bisakah dibayangkan jika kandungan Al-Quran tidak membimbing manusia ke jalan lurus, sementara itu telah menjadi kebutuhan yang paling penting? Kembali Allah berfirman, "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (29:69). Adakah jihad yang lebih besar dari usaha keras untuk memahami kitab-Nya? Adakah jalan yang lebih lurus selain dari Al-Quran? Ayat-ayat yang mengandung pengertian ini sangat banyak jumlahnya, dan kita akan mendiskusikannya secara rinci dalam permulaan surat Ali Imran (Keluarga Imran). Allah mengajarkan Al-Quran kepada Nabi-Nya (Saww) dan mendaulatnya sebagai pengajar kitab (Al-Quran), "Ruhul Amin telah diturunkan ke dalam hatimu agar kamu menjadi pemberi peringatan, dalam bahasa Arab yang jelas" (26:193-194); "dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkannya dengan senang hati" (16:44); ".seorang rasul.yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka serta mengajari mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah." (62:2).
Dan untuk meneruskan perjuangan keislaman sepeninggalnya, Nabi (saww) pun telah menunjuk keluarganya sendiri sebagai penerus yang absah. Ini dijelaskan dari hadis yang diterima secara bulat:
"Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang amat berharga; sepanjang kalian berpegang erat kepada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat sepeninggalku: Kitab Allah dan keluargaku, Ahlul Baitku; dan keduanya ini tidak pernah terpisah satu sama lain sampai mereka menjumpaiku di telaga."
Dalam dua ayat berikut, Allah telah menegaskan pernyataan Nabi (saww) tersebut bahwa Ahlul Baitnya memiliki pengetahuan hakiki atas Kitab Allah: "Sesungguhnya Allah berkehendak membersihkan kamu dari segala kekejian, hai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya." (33:33); "Sesungguhnya Al-Quran ini bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (lauh al-mahfuzh); tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan." (56:77-79).
Lebih jauh, Nabi (saww) dan para Imam (as) keturunannya senantiasa menggunakan metode kedua dalam upayanya menjelaskan kandungan Al-Quran. Ini terlihat jelas dalam hadis-hadis seputar tafsir yang diriwayatkan dari mereka. Dalam hadis-hadis tersebut, orang tak akan menemukan sesuatu hal pun yang membuatnya merasa perlu dibantu oleh suatu teori akademis atau postulat filosofis dalam menjelaskan makna sebuah ayat.
Dalam salah satu khutbanya, Nabi (saww) berkata:
"Oleh karena itu, ketika kerusakan-kerusakan muncul membingungkanmu seperti gulungan malam yang gelap gulita, maka peganglah Al-Quran erat-erat. Sebab ia adalah wasilah yang wasilahnya akan diterima, suatu pendukung yang mulia. Siapapun yang menjaga Al-Quran di hadapannya, maka Al-Quran akan mengantarnya menuju surga. Siapapun meninggalkannya di belakang, ia akan menggiringnya ke neraka. Al-Quran merupakan petunjuk ke arah ke jalan yang terbaik. Al-Quran adalah kitab yang di dalamnya terdapat penjelasan, kekhususan, dan ikhtisar. Ia adalah (alam) yang menentukan, dan bukan gurauan. Di dalamnya terdapat keterangan yang bersifat nyata maupun esoteris. Pengertiannya yang tampak adalah kokoh, pengertian esoterisnya adalah pengetahuan. Penampakan lahiriahnya begitu anggun dan batiniahnya begitu dalam. Ia memiliki banyak lapisan, dan masing-masing darinya memiliki banyak lapisan lagi. Keajaibannya takkan berhenti. Keagungannya (yang tidak diduga) tak akan usang. Di dalamnya terdapat lampu petunjuk dan obor kearifan, dan memandu ke arah pengetahuan bagi siapa yang mengetahui sifat-sifatnya. Oleh karena itu, orang harus memperluas pandangannya, membiarkan pandangannya mencapai sifat-sifatnya, sehingga mereka yang berada di bawah tekanan bisa meloloskan diri. Orang yang dijerat kesulitan akan memperoleh kebebasan, karena perenungan adalah hidupnya hati seseorang yang menjadikannya bisa melihat, sebagaimana orang yang mempunyai pelita (dengan mudah) berjalan di kegelapan. Karenanya, kalian harus mencari /wasilah/ terbaik dengan penuh kesabaran”.
Mengenai keberadaan Al-Quran, Imam Ali (as) berkata dalam khutbahnya: “Satu bagian berhubungan dengan bagian yang lain, dan satu bagian membenarkan bagian lainnya”.
Metode semacam ini merupakan metode yang benar dan cara yang paling tepat, yang digunakan para guru sejati Al-Quran dan pembimbing umat manusia menuju jalan Ilahi. Semoga rahmat Allah SWT senantiasa menyertai mereka semua.
Catatan Akhir:
*Artikel ini merupakan ringkasan jilid pertama Al-Mizan buah tangan Allamah Thabathaba'I, yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris oleh Sayyid Said Akhtar Ridhwi. Allamah Thabathaba'I diakui sebagai salah satu ulama besar kontemporer, dengan bidang spesialisasi tafsir Al-Quran, irfan, dan filsafat.
Allamah Thabathaba'i lahir di Tabriz tahun 1903 dan menerima pendidikannya di Hauzah Ilmiyah Najaf, Irak. Beliau menguasai berbagai cabang ilmu-ilmu tradisional: ilmu naqli dan aqli.
Allamah kembali ke Iran pada 1934 dan memulai pengajarannya di Qum. Secara perlahan-lahan kepribadian magnetis dan karakteristik mistisnya menarik pelajar-pelajar yang cerdas seperti Muthahhari.
Pada waktu-waktu itulah beliau menyusun magnum opus-nya, Al-Mizan, suatu tafsir Al-Quran yang terdiri dari 20 jilid. Dalam tafsirnya itu, Allamah, tidak seperti pendahulunya, menggunakan suatu pendekatan baru dalam menafsirkan Al-Quran, yakni tafsir Al-Quran dengan Al-Quran (Tafsir Al-Quran bi Al-Quran).
Dalam kata pengantarnya, Allamah Thabathaba'i melacak asal-usul dan perkembangan kajian Islam dan tafsir Al-Quran. Dia menyorot berbagai metode penafsiran Al-Quran serta kekurangannya masing-masing. Allamah berpendapat bahwa semua metode tafsir tersebut mengalami cacat-cacat yang sangat serius, yakni lantaran terbebani oleh asumsi-asumsi akademis atau argumen filosofis tentang makna-makna Al-Quran. Mereka memaksakan pandangan Al-Quran agar sesuai dengan pandangan-pandangannya yang terlihat berlebih-lebihan. Akhirnya, tafsir mereka berubah dari penjelasan menjadi adaptasi.(penyaduran).
Kami berharap dengan diperkenalkannya Al-Mizan karya Allamah Thabathaba'I, pembaca bisa memperkaya kajian ihwal tafsir Al-Quran. Metode tafsir Al-Quran dengan Al-Quran merupakan sesuatu yang unik yang dikemukakan orang yang arif, berilmu, dan mempunyai kedudukan tinggi, yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menyusun karya besar ini.
Tentu saja, Al-Mizan bukanlah karya satu-satunya. Beliau tergolong sangat produktif dengan menulis berbagai topik di antaranya antologi Islam Syi'ah, irfan, dan lain-lain. Karya-karya beliau yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia antara lain: Islam Syi'ah (Grafiti Pers), Inilah Islam
(Pustaka Hidayah), Menapak Jalan Spiritual (Pustaka Hidayah), Tafsir Ayat-ayat Kepemimpinan, Tafsir Ayat-ayat Ruh dan Alam Barzakh, Tafsir Al-Fatihah (tiga yang terakhir disebut merupakan cuplikan dari tafsir Al-Mizan), dan lain-lain.[]
**(as) merupakan singkatan dari frasa Arab yakni /.alahi(ha)himus-salam/ (salam atasnya/mereka).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !